Petaka Mendua
Part37"Apa? Jangan-jangan apa?" Aku bertanya dengan wajah bingung."Hamil?" tembaknya."Mana mungkin, Bun. Kan Karin lagi datang bulan!" jawabku lesu. Mendadak wajah mertua langsung murung, membuatku merasa bersalah."Yasudah, kamu istirahat saja! Rin. Mana tau, kamu lagi kurang sehat," ucap Ibu mertua.Aku pun mengangguk. "Rin, disana kamar Alif, dulu. Kamu istirahat saja, disana."Ibu mertua, menunjuk sebuah kamar, yang katanya kamar mas Alif."Karin istirahat, bentar ya! Bun." Meskipun gurat kecewa masih terlihat, Ibu mertua tetap berusaha ramah dan tersenyum.Rasanya, aku mendadak di buat tidak nyaman, namun apa boleh buat, Allah belum memberikan anugerah terindah nya itu kepada kami saat ini.Kurebahkan diri di atas kasur, sambil menatap langit-langit kamar, yang dulunya menjadi tempat istirahatnya mas Alif.Entah berapa lama aku tertidur,Petaka MenduaPart38"Ummi." Aku menatap lekat wajah tuanya. Kemudian mobil ambulan datang, dan berhenti tepat di depan rumah mas Yusuf.Aku memandang bingung, begitu pula dengan mas Alif."Ummi, ada apa? Kenapa ada mobil ambulan?" tanyaku, mulai merasa ada yang tidak beres."Yusuf ..., Yusuf meninggal." Ummi berkata dengan pilu.Aku syok, lututku rasanya hilang pijakan. Mas Yusuf, Ayah dari anakku itu, meninggal. Sulit aku percaya, namun, para lelaki berbaju dinas putih itu keluar.Mereka ada tiga orang, menuruni brankar, dan membawa tubuh yang terbujur kaku itu, menuju ke arah rumah.Abah sudah membukakan pintu, tubuh yang berada di atas berankar itu pun di turunkan, dan di letakkan di atas kasur.Tidak ada satupun warga, yang mengetahu duka ini."Ummi, kenapa mendadak?" tanyaku. Emilia sudah berada di gendongan mas Alif."Dua hari yang lalu, s
Petaka MenduaPart39Ibu semakin emosi, melihat Ibu mang Tohar itu pingsan. Ia pun berlari ke arah dapur, dan kembali membawa se-ember air penuh.Tanpa memperdulikan kami semua, Ibu langsung menyiramkan seisi air itu, ke wajah Ibu Mang Tohar.Kami semua terlonjak, melihat aksi heroik Ibu, yang secara tiba-tiba."Uhukk ..., Uhuk ...." Ibu mang Tohar terbatuk, entah tadi ia berpura-pura, atau memang itu pingsan sungguhan. Yang jelas, kini wanita paru baya itu, sudah kembali sadar, dari pingsannya."Sialan, berani sekali kamu menyiramkan air ke wajahku! Bedebah!" bentak Ibu mang Tohar, dengan wajah memerah, penuh emosi bergejolak.Ibuku mendengus, ia merasa puas, telah melakukan hal yang tepat."Kalau aku diam dan menunggu, itu sama saja aku mendukungmu!" ucap Ibu, dingin."Cuih ...." Ibu mang Tohar meludah ke lantai, menatap sengit wajah Ibu."Cukup! Sekarang kalia
Petaka MenduaPart40°pov Aisya."Aish ...." Mas Azzam memanggilnya.Aisya menundukkan pandangan. "Iya, ada apa? Mas.""Boleh kita bicara serius?" Mas Azzam bertanya dengan antusias, saat jam pelajaran mengajar telah usai, anak-anak pun sudah kembali pulang ke rumah mereka masing-masing."Boleh!" jawab Aisya. Kemudian aku mengekor langkah mas Azzam, yang membawa untuk duduk di depan rumah, tempat ia mengajar, yang memang tersedia tempat duduk.Kami duduk berjauhan, agar tidak menimbulkan fitnah."Aisya, apakah kamu tidak berniat menikah lagi?" tanya mas Azzam.Rasanya hatiku mendadak berdebar, mendapat pertanyaan itu, darinya."Belum terpikir, mas.""Apakah, karena kamu, masih menyimpan rasa? Kepada almarhum mantan suami kamu?" tanya mas Azzam, hati-hati."InsyaAllah, dihati ini, sudah tidak ada lagi, mas Yusuf.""Alhamd
Petaka MenduaPart41°pov Aisya.°Setelah membukakan pintu, aku berjalan menuju dapur, untuk membuat minuman."Ibu Hanum sekeluarga, sebelumnya, saya mau meminta maaf, atas kekhilafan saya tempo hari pada Aisya." Ucapan itu terdengar dari suara Bu Ustadzah."Emm, maaf, saya tidak tahu mengenai yang Ustadzah maksud. Mungkin, Ustadzah bisa langsung mengatakannya kepada Aisya."Aku pun berjalan menuju ruang tengah, membawa beberapa gelas, dan minumanan di dalam teko.Kemudian menuangkannya, dan menyuguhkan ke mereka semua.Aku ikut duduk, diantara Ibu dan Bapak.Bu Ustadzah kembali mengulang perkataannya tadi."Aisya sudah melupakan itu, Ibu juga harus melupakannya." Aku berkata dengan datar.Bu Ustadzah tersenyum simpul."Bismillahirrahmanirrahim, sebelumnya, niat kami bertiga datang kemari, untuk melamar Aisya. Jika tidak keberatan, m
Bab42Karin dan Alif usai melalukan ibadah Umroh dan kembali ke tanah air dengan suka cita.Mereka pun disambut para keluarga besar di rumahnya."Karin, sudah isi belum?" tanya Bu Daung."Belum, Bu!" sahut Karin ramah."Idih, kasihan banget si Alif, membesarkan anak orang doang. Nah tu si Aisya, sudah bisa ngasih keturunan pada Azzam. Kamu yang lama nikah, nggak hamil-hamil," celetuk Bu Daung."Astagfirullah, Bu Daung!" tegur Aisya."Apaan? Memang salah saya ngomong begitu? Fakta padahal," ucap Bu Daung tak berperasaan."Sudah Aisya, tidak apa-apa," kata Karin dengan mengulas senyum tipis."Setidaknya jangan berkata seperti itu, Bu! Kasihan Kak Karin.""Widih! Sekarang aja kasihan. Dulu? Jadi pelakor kakak sendiri," sindir Bu Daung.Ucapannya kali ini sedikit nyaring, hingga membuat beberapa pasang mata, yang berada di rumah acara, penyambutan kedatang Karin dan Alif, menoleh ke arah mereka.
Bab43"Maafkan kekurangan Karin," ucap Karin dengan terisak. "Maaf," lanjutnya lagi.Alif merangkul bahu istrinya yang kini bergetar."Ini bukan salah kamu, Karin." Ustadzah berkata dengan tegas. "Tapi Daung! Wanita itu, melukai harga diri keluarga ini."Karin masih terisak, hatinya tetap saja terasa sakit. Bayangan tentang hinaan itu saja, masih membekas diingatannya. Dan malam ini, kembali hal itu mereka bahas, membuatnya semakin merasa hancur."Bun, bisakah kita tidak membahas ini," pinta Alif, yang merasa kasihan dengan istrinya."Karin, sebelumnya Bunda minta maaf, jika ada perkataan Bunda, yang menyakiti hatimu."Ustadzah menarik napas dengan berat."Kita bicara pada intinya saja. Danang, Bunda mohon! Batalkan pertunangan kamu dan anak Bu Daung!" pinta Ustadzah dengan wajah penuh harap."Apa?" Mereka semua serentak terkejut."Bunda, kenapa hubunganku yang jadi sasaran? Itu masalah Kak Karin dengan
Bab44"Ya Allah, Ya Allah," pekik Bunda. Wanita paru baya itu pun terkulai lemah, hingga tidak sadarkan diri lagi."Astagfirullah, Bunda ...." mereka semua terkejut, dan bergegas menghampiri Bunda mereka.Ustadz begitu panik dan nyaris ingin mengamuk. Namun dia terus beristighfar dalam hati berkali-kali, sembari menahan kepala Ustadzah di lengannya.Mereka membawa Ustadzah ke dalam kamar, dan membaringkannya diatas kasur."Bunda," lirih Karin, air mata wanita itu terus mengalir sedari tadi. Namun tiba-tiba, Alif melayangkan tinju ke arah Danang.Seisi rumah mendadak riuh."Mas, tolong hentikan," pinta Karin, dan berusaha menahan tubuh suaminya, yang berusaha kembali menyerang Danang.Danang yang tersungkur, begitu marah dan berniat membalas perbuatan Alif. Namun Ustadz dan Azzam, melerai keduanya."Dasar brengsek!" umpat Danang dengan mata melotot marah."Kubunuh kamu!" teriaknya dengan meronta-ronta, agar lepas d
Bab45"Karin, apakah kamu bahagia?" tanya Alif, namun lelaki itu, tidak kuasa menatap wajah istrinya. Meskipun melempar tanya, dia tetap berbaring membelakangi Karin.Karin tidak menyahut, dia terdiam, menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan yang rumit.Alif pun terdiam, sembari melentangkan tubuh, dan melihat ke samping. Karin membelakanginya."Karin," panggil Alif dengan suara serak."Hmm.""Kenapa tidak menjawab?""Untuk apa?""Aku bertanya, dan aku ingin tahu.""Kalau sudah tahu untuk apa? Jangan terus menekanku, Mas."Alif terdiam."Aku mampu menahan hinaan mereka, demi kamu. Kamu bukannya menguatkan, malah memupuskan. Jika Mas tidak bahagia hidup denganku, utarakan, jangan bersikap seperti ini. Nyaris, hampir tiap malam aku dibelakangi. Semenjak surat itu kamu dapatkan, tanpa kamu sadari, aku jadi korban perasaanmu."Alif masih terdiam, semua yang Karin katakan adalah benar. Alif merasa