Bab43
"Maafkan kekurangan Karin," ucap Karin dengan terisak. "Maaf," lanjutnya lagi.
Alif merangkul bahu istrinya yang kini bergetar.
"Ini bukan salah kamu, Karin." Ustadzah berkata dengan tegas. "Tapi Daung! Wanita itu, melukai harga diri keluarga ini."
Karin masih terisak, hatinya tetap saja terasa sakit. Bayangan tentang hinaan itu saja, masih membekas diingatannya. Dan malam ini, kembali hal itu mereka bahas, membuatnya semakin merasa hancur.
"Bun, bisakah kita tidak membahas ini," pinta Alif, yang merasa kasihan dengan istrinya.
"Karin, sebelumnya Bunda minta maaf, jika ada perkataan Bunda, yang menyakiti hatimu."
Ustadzah menarik napas dengan berat.
"Kita bicara pada intinya saja. Danang, Bunda mohon! Batalkan pertunangan kamu dan anak Bu Daung!" pinta Ustadzah dengan wajah penuh harap."Apa?" Mereka semua serentak terkejut.
"Bunda, kenapa hubunganku yang jadi sasaran? Itu masalah Kak Karin dengan
Bab44"Ya Allah, Ya Allah," pekik Bunda. Wanita paru baya itu pun terkulai lemah, hingga tidak sadarkan diri lagi."Astagfirullah, Bunda ...." mereka semua terkejut, dan bergegas menghampiri Bunda mereka.Ustadz begitu panik dan nyaris ingin mengamuk. Namun dia terus beristighfar dalam hati berkali-kali, sembari menahan kepala Ustadzah di lengannya.Mereka membawa Ustadzah ke dalam kamar, dan membaringkannya diatas kasur."Bunda," lirih Karin, air mata wanita itu terus mengalir sedari tadi. Namun tiba-tiba, Alif melayangkan tinju ke arah Danang.Seisi rumah mendadak riuh."Mas, tolong hentikan," pinta Karin, dan berusaha menahan tubuh suaminya, yang berusaha kembali menyerang Danang.Danang yang tersungkur, begitu marah dan berniat membalas perbuatan Alif. Namun Ustadz dan Azzam, melerai keduanya."Dasar brengsek!" umpat Danang dengan mata melotot marah."Kubunuh kamu!" teriaknya dengan meronta-ronta, agar lepas d
Bab45"Karin, apakah kamu bahagia?" tanya Alif, namun lelaki itu, tidak kuasa menatap wajah istrinya. Meskipun melempar tanya, dia tetap berbaring membelakangi Karin.Karin tidak menyahut, dia terdiam, menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan yang rumit.Alif pun terdiam, sembari melentangkan tubuh, dan melihat ke samping. Karin membelakanginya."Karin," panggil Alif dengan suara serak."Hmm.""Kenapa tidak menjawab?""Untuk apa?""Aku bertanya, dan aku ingin tahu.""Kalau sudah tahu untuk apa? Jangan terus menekanku, Mas."Alif terdiam."Aku mampu menahan hinaan mereka, demi kamu. Kamu bukannya menguatkan, malah memupuskan. Jika Mas tidak bahagia hidup denganku, utarakan, jangan bersikap seperti ini. Nyaris, hampir tiap malam aku dibelakangi. Semenjak surat itu kamu dapatkan, tanpa kamu sadari, aku jadi korban perasaanmu."Alif masih terdiam, semua yang Karin katakan adalah benar. Alif merasa
Bab46Pagi itu, Karin melakukan aktivitasnya seperti biasa. Begitu juga dengan Alif, yang selalu setia membantu istrinya."Karin, benar nggak sih, kalau ternyata si Alif mandul?" tanya Bu Atun, yang rumahnya bersebelahan dengan toko Bu Daung.Karin terkejut, dan menatap datar ke arah Bu Atun, yang tiba-tiba bertanya seperti itu.Cobaan apalagi ini? Ya Allah, lirihnya dalam hati. Di saat ekonomi mereka melejit naik, cobaan itu pun nyaris sama.Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin menerpanya. Mungkin kata-kata itu, patut dia pahami kini dalam kehidupannya.Apalagi, kini Karin dan Alif, telah membangun rumah paling besar dan megah di kampung mereka. Meskipun masih dalam proses pembangunan, namun jelas sekali, rangkaian bangunan itu nampak mewah dengan bahan-bahan bangunan yang mahal dan juga kualitas tinggi."Bu, maaf, apa yang membuar Ibu bertanya seperti itu?" tanya Karin dengan lembut."Itu tadi si Daung yang
Bab47 "Maaf." "Jika Mas merasa lelah, aku juga. Tapi aku tidak pernah berpikir sedikitpun, untuk meninggalkanmu." Alif tertunduk, entah mengapa, rasanya kenyataan ini begitu pahit untuk dia terima. "Berdamailah dengan takdir, Mas. Terima kekuranganmu, seperti aku menerima kamu apa adanya. Aku bahagia, aku tidak merasa kekurangan apapun." Mata Alif kini berembun, ada rasa sesak di dada yang kian kuat. Karin mendekat dan memeluk suaminya. "Aku beruntung memiliki kamu. Suami yang baik dan bertanggung jawab, mencintaiku, juga Emilia. Lalu, apa yang kurang? Tidak ada." "Maaf." Alif kembali bersuara. Bu Daung yang tadinya mendengar teriakkan Karin, pun langsung memasang mata dengan tajam. Melihat Karin dan Alif berpelukan, entah mengapa, dia tidak suka. Dan merasa, Karin begitu bodoh mempertahankan Alif yang mandul. Mengingat masa depan anaknya yang nyaris gagal dalam hubungan cinta. Hal itu, mem
Bab48 Karin gelisah, begitu juga dengan Hanum dan Ustadzah.Karin terus berusaha menghubungi Alif, namun tetap nomor ponselnya tidak aktif. Karin pun izin keluar, untuk mencari Alif. Sepanjang koridor, perasaan Karin kini tidak tenang. Teringat kembali ucapan Alif, bahwa dia merasa pusing. Karin menyesal, begitu egois mendesak Alif, hanya karena panik dengan keadaan Aisya. Sirine mobil ambulan berhenti di ruang UGD, yang tidak jauh dari tempat Karin berdiri saat ini. Para team medis keluar dari ambulan, membawa seseorang yang terbaring di atas brankar. Juga ada satu orang laki-laki berpakaian biasa, yang tidak di kenali Karin. Namun lelaki yang terbaring di atas brankar itu, pakaian dan perawakannya, sangat Karin kenali. Perasaan gugup dan terkejut, kini menyeruak di hatinya. Karin berlari tergopoh-gopoh ke arah para team medis yang mendorong cepat brankar itu ke arah ruang UGD. "Berhenti sebentar," pinta Karin denga
Bab49 Hanum yang mendengar teriakkan Karin, dia pun bangkit dari duduknya di depan kompor, karena sambil memasak untuk sarapan. Wanita paru baya itu berlari tergopoh-gopoh. "Ya Allah, Karin." Hanum semakin panik, ketika melihat Karin berlari keluar rumah, dan dia pun mengejarnya dengan cepat. Karin menangis sepanjang jalan, sembari menyebut nama Alif berulang-ulang. Wanita itu pergi menuju ruko miliknya. Namun ruko itu tutup, dan hal itu kembali membuat Karin panik. Jika awalnya dia berusaha yakin ini mimpi, kini perasaannya kembali cemas dan ketakutan. "Karin," panggil Bu Daung, yang heran melihat Karin menangis di depan rukonya. Bu Daung yang sudah rapi dan berpakaian serba hitam itu pun, mendekat ke arah Karin, usai menutup pintu toko sembakonya. Hanum pun merasa sangat lelah, dan tidak begitu kuat lagi untuk berlari. Hingga dia hanya mampu berjalan, itu pun dengan susah payah dia mengatur napas
Bab50 Karin terus menangis di depan pagar rumah. Dan Hanum pun telah sampai, menyusul Karin ke rumah Ustadzah. Dia bersama Emilia, meminta Mang Diman mengantar mereka. Melihat putrinya menangis, Hanum tidak kuasa menahan lagi air matanya. Lagi-lagi, keduanya menangis, begitu juga dengan Emilia yang kini sudah besar dan mulai mengerti keadaan. "Anakku." Hanum berlari memeluk Karin. "Sudah, Nak! Ikhlaskan Alif," ucap Hanum dengan suara serak. "Ngapain kalian di sini?" tanya suara datar dari belakang. Emilia menyeka air matanya, gadis kecil itu mematung melihat wajah Neneknya. Jika biasanya dia akan berlari dan memeluk Kakek dan Neneknya. Tidak untuk kali ini, dia tidak berani bersuara. Karin dan Hanum menoleh ke arah belakang mereka. Ustadzah dan beberapa rombongan, kini telah kembali ke rumah duka, setelah usai pemakaman Alif. Ustad dan Danang tidak bersuara, hanya diam dan datar menatap Hanum dan Karin.
Bab51 "Ibu ...." Suara Karin terdengar begitu pilu, seakan dunianya kini mendadak hancur dalam sekejab. Hanum memeluknya, begitu juga dengan Emilia. Biar bagaimana pun juga, sekecil itu kini telah paham dengan keadaan yang terjadi. "Tenangkan dulu hatimu, Nak. Banyak-banyak mengucap istighfar." "Mas Alif, Bu." Karin terisak, degub jantungnya kian memacu cepat. Karin sulit menerima kenyataan ini, namun dia pun kebingungan harus berbuat apa? Untuk menengkan dirinya saat ini. "Salat," bisik Hanum, yang mengerti kegelisahan anaknya. "Dengan begitu, kamu bisa memberikan terang di alam baru suami kamu. Berikan dia doa, doa dari istri sholeha, insya Allah segera sampai." Karin masih terisak. "Alif akan bersedih, jika melihat kondisimu begini," bisik Hanum lagi. "Ayo kita pulang! Hari ini, Bapakmu juga akan datang dari perantauan." Dengan kekuatan yang nyaris habis, Karin berusaha menurut
Bab110 "Tenang," seru Dewi, yang sadar, dari tadi majikannya tidak tenang. "Apaan sih." Tania kesal. Ia pun mengetikkan sebuah pesan singkat, dan mengirimnya kepada Raka, yang tengah sibuk meeting. "Aku menyesal, telah ada di saat keluarga kamu butuh. Sedangkan kamu, ah sudahlah. Kadang, kebaikan tidak harus dibalas dengan hal yang sama." Membaca pesan singkat dari Tania, Raka merasa tidak nyaman hati. Meskipun faktanya, proyek ini masih bisa dihandle anak buahnya. Namun Raka yang selalu bertanggung jawab penuh dengan pekerjaannya, tidak ingin melakukan kesalahan sama sekali.Sebab itulah, dia tidak ingin meninggalkan proyek ini. Namun membaca pesan singkat itu, mendadak Raka menjadi gusar. Ia pun tidak konsen, memulai pekerjaannya hari ini.______ Tania dan Dewi yang sudah sampai di rumah Sari, pun mulai bertanya banyak, tentang hal yang menimpa Karin. Sari mulai menceritakan semuanya secara detail. Wanita paru baya it
Bab109"Maaf? Ada apa?" tanya Karin, sembari melepaskan diri, dari pelukan Hanung."Ya maaf," Hanung menunduk. "Aku berburuk sangka pada kamu dan Emilia. Aku nggak nyangka aja, anak kecil itu begitu dewasa.""Aku juga tidak menyangka, dia akan menolakku. Tapi aku lega, dia tidak melupakanku sama sekali," ucap Karin, sembari menyeka air matanya."Setidaknya, aku bisa melepas rindu. Melihat dia tumbuh dengan baik saja, aku sudah merasa tenang. Meskipun di lubuk hati yang paling dalam, aku tidak bahagia, merelakannya tetap di sana. Tapi aku ...."Karin menghela napas berat, ia mulai kesulitan untuk bicara. Wajah bahagia Emilia, saat bertemu dia tadi, selalu terngiang diingatan Karin.Apalagi, saat Emilia berkata kangen, membuat Karin semakin merasakan sakit luar biasa."Ya Allah, anakku!" pekik Karin, membuat Hanung sedikit terkejut.Karin menangis dengan meraung, layaknya anak kecil. Bahkan, dia tidak lagi duduk diata
Bab108"Ummi, Karin mohon!" pinta Karin, wanita itu pun berusaha bersimpuh.Namun Hanung mencegahnya."Mau memberikan Emilia baik-baik, atau lewat jalur hukum?" gertak Hanung.Mendengar ucapan suami baru Karin itu, Ummi melotot. Sedangkan Abah, berusaha untuk tetap tenang."Berani sekali kamu mengancam orang tua! Apakah kamu tidak di ajari Ibumu?" bentak Ummi.Mendengar dirinya disinggung. Sari hanya memusut dada, membesarkan rasa sabar, dan berpikir jernih."Ibu, istri saya ini, berhak atas anak ini. Dan Ibu, jangan coba menghalangi kami membawanya. Kecuali, Emilia menolaknya," terang Hanung dengan tegas.Ummi berjongkok, mensejajarkan wajahnya pada Emilia."Emil, kamu sayang Nenek, kan?" tanya Ummi.Emilia terisak. "Emilia sayang Nenek, juga Kakek. Tapi ...."Gadis kecil itu menghentikan ucapannya, dia menatap lekat wajah Neneknya yang sangat sedih."Tapi apa, Nak?" tanya Karin tidak sabar.
Bab107Karin melangkah pelan, dia menuju pintu utama."Kak Karin," seru Aisya, yang baru keluar dari dapur.Karin berbalik badan, dan menoleh ke arah Aisya dengan terheran."Kamu ada disini?" tanya Karin, sambil mengucek matanya berkali-kali."Aish ....""Hhmm, ada apa?" Aisya tahu, bahwa Karin penasaran, dengan rumah yang kini dia tempati untuk tidur."Ini rumah teman Aish, kita kemalaman dijalan, kasihan Bang Hanung, sepertinya sangat lelah. Sedangkan perjalanan menuju kampung Abah, masih sangat jauh. Jadi, Aisya meminta izin teman umtuk menginap."Karin mengangguk. "Ayo tidur lagi," pinta Aish pada Karin.Karin pun percaya begitu saja, dan mau menuruti ucapan Aisya.Untung saja Aisya cepat tanggap, jika tidak, mungkin malam ini, mereka tidak jadi tidur lagi.Sebab jika Karin tahu, bahwa dia ada di kampungnya. Maka, dia akan terus mengomel hingga pagi, dan membuat kegaduhan.______Usai salat subu
Bab106Azzam meminta waktu, untuk berbicara dengan Aisya berdua saja."Ada apa?" tanya Aish, dia nampak sangat kesal, dengan keputusan Azzam, yang menolak memberikan alamat."Ummi dan Abah kembali ke kampung. Kata Ayah, mereka juga mengadakan sukuran, ulang tahun Emilia.""Kamu tidak bohongkan, Mas?" selidik Aisya. Seakan semua kebetulan, membuat Aisya meragu."Sebenarnya, Ummi dan Abah, sudah tiga hari ini, ada di kampung. Dan esok, adalah perayaan ulang tahun Emilia.""Alhamdulilah, Mas.""Eh, jadi dari tadi, Mas ngerjai aku?" pekik Aisya, yang tiba-tiba sadar.Azzam terkekeh. "Iya maaf."Bibir Aisya manyun, dia kesal, dengan ulah suaminya."Malam ini juga, kalian duluan saja ke kampung. Ibu beneran sakit.""Yakin, nggak lagi ngerjain aku?""Iya, bener.""Dirujuk ke rumah sakit beneran?""Iya, Mas akan langsung, menemui mereka nanti. Kamu bawa saja, kak Karin ke rumah kita. Tadi
Bab105Melihat wajah Hanung yang sangat datar, menimbulkan tanya dihati Karin. Wanita itu, yang tadinya sangat bersemangat, kini tiba-tiba meredup, seperti lilin yang menyala, kemudian padam tertiup angin."Ada apa?" tanya Karin, dengan perasaan, yang mulai tidak nyaman."Karin, Emilia itu bagian dari masa lalu. Dan kami, kami masa depanmu!" ucap Hanung. Membuat Karin merasa syok, begitu juga dengan Aisya, yang tidak sengaja, mendengar ucapan Hanung."Mas, tega sekali kamu berkata begitu!" lirih Karin. "Tidak ada yang kata masa lalu buat anak. Emilia itu darah dagingku, cinta pertama dalam hidupku. Dia yang mengajari aku jadi Ibu. Dan kamu, memintaku melupakannya? Jahat kamu!" kata Karin dengan terisak."Bukan begitu, Karin. Mas tidak minta, kamu untuk melupakan Emilia. Aku mengerti, tidak ada mantan anak. Tapi tidak bisakah, kamu hanya fokus kepada kami? Dan Emilia, biarkan dia, hanya ada di hati kamu.""Apa? Maksudnya apa?""Ya, kam
Bab104"Suami kamu!"Aisya terdiam, melihat Azzam yang nampak kusut."Suami Aisya?" tanya Hanung pada Karin. Karin mengangguk.Sari memegang bahu Aish. "Hadapi, dan selesaikan baik-baik," ucap Sari."Iya, Aish. Bagaimana pun juga, dia masih suami kamu," timpal Karin.Meskipun rasa hati teramat berat, Aisya tetap, mengikuti saran mereka.Karin keluar dari mobil, membuka pintu pagar. Dan mobil Hanung pun, memasuki pekarangan rumah."Masuklah, Zam!" seru Karin, sembari berjalan, menuju ke arah rumahnya.Mobil Hanung pun menepi, mereka semua keluar. Sedangkan Karin, membuka pintu rumah.Azzam pun berjalan ke depan pintu pagar, semberi menatap istrinya, yang baru keluar dari mobil.Aisya melangkah, mendekati Azzam."Masuk dulu, Mas!" ucap Aisya dengan lembut.Azzam pun mengangguk, mengikuti langkah Aisya. Ada debaran rasa gugup, yang mengganggunya kini.Karin duduk bersama anaknya Aisy
Bab103Saat itu, pukul 05.30 sore. Sesampainya Raka di rumah Sutina, hanya ada beberapa tetangga dekat rumah, yang berada di rumah duka.Raka menepikan mobilnya, bergegas keluar dan sedikit tergopoh. Di dalam rumah, ada keluarga besar Tania, juga Sutina dan Rina."Ayah!" lirih Raka. Sutina tidak mau menoleh ke arah Raka, begitu juga dengan Tania.Kedua wanita ini, merasa sangat terluka, dengan perlakuan Raka. Mereka merasa, Raka abai dan begitu mementingkan perasaannya sendiri."Ayah, maafkan Raka ....""Ibu," lirihnya, berusaha memegangi tangan Sutina. Sutina hanya bisa terisak, dia tidak mampu berkata-kata lagi.Secapat ini, Tuhan memisahkan mereka. Bahkan selama ini, Sutina merasa banyak salah dan berdosa pada suaminya.Namun apalah daya, mereka di pisahkan oleh maut, yang di perantai tangan anak kandungnya sendiri."Kamu kemana saja?" tanya Sutina dengan pelan, ketika Raka memeluk ibunya."Ma
Bab102Aisya menulis alamat Karin disecarik kertas. Sebab itulah, dia melupakan ponselnya, dan fokus memegangi alamat rumah Karin.Kini Aisya merasa was-was, kalau Azzam, akan datang menyusulnya ke rumah Karin.Ia pun kembali memencet tombol bell berulang kali, hingga pintu rumah, bercat putih itu kini terbuka."Kak Karin," pekik Aisya. Sambil melambaikan tangan.Karin yang melihat di depan pintu pagar itu Aisya, sedikit berlari ke dalam rumah, dan gegas meraih kunci pagar.Ia pun tidak sabar, ingin berpelukan dengan Aisya, adik yang sangat dia rindukan selama ini.Karin keluar rumah, dan membuka kunci pagar. Aisya mendorong pelan pagar, yang sudah tidak terkunci lagi.Mereka saling berpelukan, melepas sejuta rasa rindu yang mendalam.Sedangkan anak Aisya, hanya menatap heran.Kakak beradik itu menangis terisak, dan melupakan si kecil yang menatap heran pada mereka."Siapa Rin?" tanya Sari, yang