Bab46
Pagi itu, Karin melakukan aktivitasnya seperti biasa. Begitu juga dengan Alif, yang selalu setia membantu istrinya.
"Karin, benar nggak sih, kalau ternyata si Alif mandul?" tanya Bu Atun, yang rumahnya bersebelahan dengan toko Bu Daung.
Karin terkejut, dan menatap datar ke arah Bu Atun, yang tiba-tiba bertanya seperti itu.
Cobaan apalagi ini? Ya Allah, lirihnya dalam hati. Di saat ekonomi mereka melejit naik, cobaan itu pun nyaris sama.
Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin menerpanya. Mungkin kata-kata itu, patut dia pahami kini dalam kehidupannya.
Apalagi, kini Karin dan Alif, telah membangun rumah paling besar dan megah di kampung mereka. Meskipun masih dalam proses pembangunan, namun jelas sekali, rangkaian bangunan itu nampak mewah dengan bahan-bahan bangunan yang mahal dan juga kualitas tinggi.
"Bu, maaf, apa yang membuar Ibu bertanya seperti itu?" tanya Karin dengan lembut.
"Itu tadi si Daung yang
Bab47 "Maaf." "Jika Mas merasa lelah, aku juga. Tapi aku tidak pernah berpikir sedikitpun, untuk meninggalkanmu." Alif tertunduk, entah mengapa, rasanya kenyataan ini begitu pahit untuk dia terima. "Berdamailah dengan takdir, Mas. Terima kekuranganmu, seperti aku menerima kamu apa adanya. Aku bahagia, aku tidak merasa kekurangan apapun." Mata Alif kini berembun, ada rasa sesak di dada yang kian kuat. Karin mendekat dan memeluk suaminya. "Aku beruntung memiliki kamu. Suami yang baik dan bertanggung jawab, mencintaiku, juga Emilia. Lalu, apa yang kurang? Tidak ada." "Maaf." Alif kembali bersuara. Bu Daung yang tadinya mendengar teriakkan Karin, pun langsung memasang mata dengan tajam. Melihat Karin dan Alif berpelukan, entah mengapa, dia tidak suka. Dan merasa, Karin begitu bodoh mempertahankan Alif yang mandul. Mengingat masa depan anaknya yang nyaris gagal dalam hubungan cinta. Hal itu, mem
Bab48 Karin gelisah, begitu juga dengan Hanum dan Ustadzah.Karin terus berusaha menghubungi Alif, namun tetap nomor ponselnya tidak aktif. Karin pun izin keluar, untuk mencari Alif. Sepanjang koridor, perasaan Karin kini tidak tenang. Teringat kembali ucapan Alif, bahwa dia merasa pusing. Karin menyesal, begitu egois mendesak Alif, hanya karena panik dengan keadaan Aisya. Sirine mobil ambulan berhenti di ruang UGD, yang tidak jauh dari tempat Karin berdiri saat ini. Para team medis keluar dari ambulan, membawa seseorang yang terbaring di atas brankar. Juga ada satu orang laki-laki berpakaian biasa, yang tidak di kenali Karin. Namun lelaki yang terbaring di atas brankar itu, pakaian dan perawakannya, sangat Karin kenali. Perasaan gugup dan terkejut, kini menyeruak di hatinya. Karin berlari tergopoh-gopoh ke arah para team medis yang mendorong cepat brankar itu ke arah ruang UGD. "Berhenti sebentar," pinta Karin denga
Bab49 Hanum yang mendengar teriakkan Karin, dia pun bangkit dari duduknya di depan kompor, karena sambil memasak untuk sarapan. Wanita paru baya itu berlari tergopoh-gopoh. "Ya Allah, Karin." Hanum semakin panik, ketika melihat Karin berlari keluar rumah, dan dia pun mengejarnya dengan cepat. Karin menangis sepanjang jalan, sembari menyebut nama Alif berulang-ulang. Wanita itu pergi menuju ruko miliknya. Namun ruko itu tutup, dan hal itu kembali membuat Karin panik. Jika awalnya dia berusaha yakin ini mimpi, kini perasaannya kembali cemas dan ketakutan. "Karin," panggil Bu Daung, yang heran melihat Karin menangis di depan rukonya. Bu Daung yang sudah rapi dan berpakaian serba hitam itu pun, mendekat ke arah Karin, usai menutup pintu toko sembakonya. Hanum pun merasa sangat lelah, dan tidak begitu kuat lagi untuk berlari. Hingga dia hanya mampu berjalan, itu pun dengan susah payah dia mengatur napas
Bab50 Karin terus menangis di depan pagar rumah. Dan Hanum pun telah sampai, menyusul Karin ke rumah Ustadzah. Dia bersama Emilia, meminta Mang Diman mengantar mereka. Melihat putrinya menangis, Hanum tidak kuasa menahan lagi air matanya. Lagi-lagi, keduanya menangis, begitu juga dengan Emilia yang kini sudah besar dan mulai mengerti keadaan. "Anakku." Hanum berlari memeluk Karin. "Sudah, Nak! Ikhlaskan Alif," ucap Hanum dengan suara serak. "Ngapain kalian di sini?" tanya suara datar dari belakang. Emilia menyeka air matanya, gadis kecil itu mematung melihat wajah Neneknya. Jika biasanya dia akan berlari dan memeluk Kakek dan Neneknya. Tidak untuk kali ini, dia tidak berani bersuara. Karin dan Hanum menoleh ke arah belakang mereka. Ustadzah dan beberapa rombongan, kini telah kembali ke rumah duka, setelah usai pemakaman Alif. Ustad dan Danang tidak bersuara, hanya diam dan datar menatap Hanum dan Karin.
Bab51 "Ibu ...." Suara Karin terdengar begitu pilu, seakan dunianya kini mendadak hancur dalam sekejab. Hanum memeluknya, begitu juga dengan Emilia. Biar bagaimana pun juga, sekecil itu kini telah paham dengan keadaan yang terjadi. "Tenangkan dulu hatimu, Nak. Banyak-banyak mengucap istighfar." "Mas Alif, Bu." Karin terisak, degub jantungnya kian memacu cepat. Karin sulit menerima kenyataan ini, namun dia pun kebingungan harus berbuat apa? Untuk menengkan dirinya saat ini. "Salat," bisik Hanum, yang mengerti kegelisahan anaknya. "Dengan begitu, kamu bisa memberikan terang di alam baru suami kamu. Berikan dia doa, doa dari istri sholeha, insya Allah segera sampai." Karin masih terisak. "Alif akan bersedih, jika melihat kondisimu begini," bisik Hanum lagi. "Ayo kita pulang! Hari ini, Bapakmu juga akan datang dari perantauan." Dengan kekuatan yang nyaris habis, Karin berusaha menurut
Bab52 Bulan berganti bulan, namun Aisya tidak juga mendapat kabar tentang Karin dan keluarganya. Hatinya gelisah, bahkan Ibunya, belum sempat bertemu dengan anak yang Aisya lahirkan. Bayi laki-laki yang sangat mungil itu, kini berada dalam gendongan Ustadzah, yang sangat gembira dengan kehadirannya. Aisya memandanginya dengan perasaan yang rumit. Disatu sisi, dia senang Ustadzah mencintai anaknya. Namun, dia akan lebih senang lagi, jika Ibunya juga bisa memeluk bayi mungil itu. "Bun, Aisya kangen Ibu," ungkapnya dengan pelan. Ustadzah memandangi Aisya dengan lekat, senyum di wajahnya kini menghilang seketika. "Temuilah Ibumu. Tapi, jangan bawa cucuku." "Bunda ...." Aisya sedikit kecewa, namun dia berusaha menahan diri. "Pergilah," seru Ustadzah dengan tatapan dingin. "Aku akan membawa anakku," sahut Aisya. "Sudah 6 bulan lamanya, aku tidak tahu kabar keluargaku. Bahkan, Ibuku belum pernah bertemu d
Bab53 - pov Karin- Jiwa ini seakan mengering di dalam raga. Rasa sakit yang kian membuncah di dalam dada, seakan menyiksaku tanpa ampun. Suami terbaikku, imam dalam hidupku. Bagaimana mungkin Ya Allah, kini kami di pisahkan oleh kematian yang menyakitkan. "Karin," lirih suara Ibu, aku pun menoleh ke belakang. Mata tuanya begitu kuyu memandangiku dengan tatapan teramat sedih. Aku pun bingung harus bagaimana bersikap. Berpura-pura kuat? Aku rasa tidak kuasa melakukan semua itu. Hal ini berbeda, jika kehilangan karena di khianati, aku tidak akan seperti ini. Namun kehilangan karena kematian, dan itupun di jembatani oleh tingkahku yang saat itu memaksanya. Seperti pukulan godam besar. Aku terus beristighfar untuk menenangkan diri. Rasanya aku nyaris gila menghadapi semua ini, aku tidak kuat. Bukan hanya kehilangan yang membuatku hancur. Tapi juga penyesalan akan kesalahanku. Hal itu, juga begitu kuat menyiksak
Bab54Ini ujiam dalam hidup, kuat tidak kuat, aku harus mampu melewatinya."Wanita pembawa sial," maki Bu Daung. Aku tidak menyangka, membawa anakku ke tempat ini malah mendapat perlakuan seburuk ini.Bahkan dengan teganya, dia menghina dan memakiku, tanpa kutahu salah diri ini dimana.Aku keluar tanpa suara, semua mata menatapku dengan sinis. Apa yang salah? Mengapa aku seolah mendapatkan sangsi sosial di lingkunganku.Angin bertiup kencang, menyapu pergi air mataku dan Emilia. Anak malang itu masih terisak di gendonganku. Sedangkan aku, menangis tanpa suara.Ya Allah, aku tahu engkau menyayangi kami, kuatkan aku melewati cobaan ini.Ibu Hanum yang barusan pulang dari ladang, begitu terkejut mendengar suara tangis anakku.Kami berjalan ke arah pintu, Ibu tergesa-gesa dari dapur, menghampiri kami ke depan rumah."Ada apa?" tanya Ibu dengan wajah khawatir.Aku menggeleng, rasanya diri ini kesulita