Bab54
Ini ujiam dalam hidup, kuat tidak kuat, aku harus mampu melewatinya.
"Wanita pembawa sial," maki Bu Daung. Aku tidak menyangka, membawa anakku ke tempat ini malah mendapat perlakuan seburuk ini.
Bahkan dengan teganya, dia menghina dan memakiku, tanpa kutahu salah diri ini dimana.
Aku keluar tanpa suara, semua mata menatapku dengan sinis. Apa yang salah? Mengapa aku seolah mendapatkan sangsi sosial di lingkunganku.
Angin bertiup kencang, menyapu pergi air mataku dan Emilia. Anak malang itu masih terisak di gendonganku. Sedangkan aku, menangis tanpa suara.
Ya Allah, aku tahu engkau menyayangi kami, kuatkan aku melewati cobaan ini.
Ibu Hanum yang barusan pulang dari ladang, begitu terkejut mendengar suara tangis anakku.
Kami berjalan ke arah pintu, Ibu tergesa-gesa dari dapur, menghampiri kami ke depan rumah.
"Ada apa?" tanya Ibu dengan wajah khawatir.
Aku menggeleng, rasanya diri ini kesulita
Bab55Bapak hanya terdiam, dia memandangi koran di tangannya, sambil menyesap kopi buatan Ibu.Emilia masih sibuk dengan mainannya, jika biasanya dia akan bermain dengan Mas Alif dengan ceria.Kini dia hanya bermain seorang diri. Kadang dia jenuh dan terdiam, bahkan kuajak main bersama pun dia tolak.Gadis kecil itu kini sering menangis seorang diri.Saat kami sekeluarga menunggu taksi. Mak Rokayah tetangga belakang rumah, pun menghampiri kami."Mau kemana?""Ke kota, Bu!" jawab Bapak."Yah, lama nggak? Bakal kesepian aku nanti.""Belum tahu, kalau cocok mencari rezeki di sana, mungkin akan lama."Mak Rokayah nampak lesu, dan berjalan ke arah kami."Semoga kalian sukses dan selalu sehat di perantauan. Aku, pasti akan selalu rindu," ungkapnya, sembari memeluk Ibu.Kami terharu, mereka berdua memang begitu dekat. Selama bertahun-tahun, dua sahabat ini begitu akur dan tidak pernah berselisih
Bab56"Tentu saja, adil itu hal yang mudah."Lelaki tua itu terdengar begitu yakin dengan ucapannya."Bagaimana masalah hati?""Saya akan mencintai anak Bapak dengan baik. Dan memberikan apapun untuknya.""Saya tidak ingin, anak saya menjadi sebuah luka di kehidupan wanita lain."Aku lega, ketika mendengar suara Ibu."Tapi istri saya sudah setuju." Lelaki itu mencoba memberi pehaman pada Ibuku."Tetap saja, sebagai wanita, saya tidak ingin anak saya berbahagia di atas penderitaan wanita lainnya."Terdengar suara napas berat Ibu."Hidup kami sudah rumit, tolong jangan Anda tambahkan lagi."Lelaki tua itu terdiam."Masih banyak wanita lain, jangan anak saya!" pinta Ibu dengan tegas."Saya rasa, niat baik saya tidak bersambut," ucap lelaki itu, dengan nada kecewa. "Sebaiknya, setelah selesai kontrakan ini, kalian pindah! Dan, cari tempat lain.""Tentu saja," jawab Ibu dengan ce
Bab57Hari ini, aku ke pasar subuh bersama Ibu untuk berbelanja kebutuhan jualan, sekaligus keperluan dapur yang sudah pada habis.Ibu begitu kekeuh ingin ikut, meskipun aku sudah berulang kali menolaknya untuk ikut.Sebab kondisinya yang tidak sepenuhnya sehat. Di pasar subuh, Ibu nampak bersemangat membeli bahan sayuran."Sudah yuk, keburu kesiangan kita jualan," ucap Ibu, sambil meraih belanjaannya yang sudah penuh satu kantong plastik.Aku pun manut saja dengan apapun yang Ibu katakan."Aisya gimana kabarnya ya, Rin? Apakah ponselnya sudah bisa di hubungi?" tanya Ibu, sembari kami berjalan menuju tukang ojek.Aku menggeleng. "Masih tidak aktif, Bu!" jawabku lemah.Ya, setiap hari kami mencoba menghubungi Aisya. Namun, selalu saja nomor ponselnya tidak aktif.Padahal, kami sekeluarga sangat rindu kepadanya, apalagi kini kami berjauhan. Dan nyaris sudah setahun kami di kota, namun Aisya seakan hilang ditelan bumi
Bab58Terik panas mentari, tidak juga mampu mengusirku dari gundukkan tanah berhias bunga tabur di depanku ini.Bahkan Bapak yang sedari tadi memintaku untuk pulang, tidak juga kuturuti.Dari ini begitu terluka, Ibu begitu mencintai dan menyayangiku, juga Emilia. Tapi kini, aku telah kehilangan sosok itu, bahkan aku belum sempat membahagiakannya.Semenjak kepergian Ibu, rumah pun menjadi sangat sepi. Bahkan Bapak pun seakan tidak punya gairah hidup lagi.Aku pun membuat lamaran pekerjaan, di kantor tempat Hanung bekerja. Dia pun bersedia membantuku, untuk mendapat pekerjaan."Maaf, cuma itu yang ada lowongannya," ucap Hanung, dengan mimik wajah tidak enak."Tidak apa-apa, yang penting aku bisa kerja," jawabku dengan penuh keyakinan.Aku tidak ingin melanjutkan usaha gado-gado lagi. Bahkan aku tidak kuasa memakan-makanan itu lagi. Bayangan sosok Ibu, selalu meliputi ingatanku.Hingga rasa bersalah, kembali memporak-
Bab59"Rin, kamu kenal dengan Pak Hanung?" tanya Ratna kepadaku, ketika Bos galak itu telah keluar dari ruangan kami.Aku meraih kain pel, juga pewangi lantai. Sedangkan Ratna, dia duduk di bangku sofa."Ibuku yang kenal, aku biasa aja," sahutku.Kemudian Anton pun datang, salah satu team kebersihan juga."Aku sarapan dulu, ya! Capek banget habis bersihin kaca," ungkapnya dengan wajah lelah.Sedangkan Ratna, tadi bertugas membersihkan gudang. Jadi tidak heran, jika sekarang mereka beristirahat.Aku lapar juga sebenarnya. Gara-gara mengantar susu tadi, dan menaiki tangga darurat, waktuku banyak habis disana."Kamu harus bawa parfume ke kantor. Karena Bos tidak suka, jika kita bau badan pagi-pagi."Aku mengangguk."Tapi itu tadi, sepertinya pertama kali Bos masuk ke ruangan ini," ungkap Ratna, sambil mengingat-ingat.Aku tidak perduli sebenarnya, yang aku ingin tahu, bagaimana caranya memasuki lift dan menggu
Bab60Aku menarik tangan yang di pegang oleh Adi."Maaf, aku tidak bisa!""Kenapa? Emak kangen sama kamu," ucap Adi dengan berusaha memegang bahuku.Namun dengan sigap, aku melangkah mundur. "Tolong jaga sikapmu! Aku dan kamu tidak memiliki kedekatan semacam ini. Jadi, jangan menyentuhku sesukamu!" tegasku.Teman-teman hanya diam, sambil sesekali memperhatikan kami yang berdebat pelan di depan pintu karyawan."Maaf, aku salah. Tapi kamu mau ya, memenuhi undangan Emak."Aku menarik napas dengan berat, melihat Adi, aku melihat luka di masa itu. Bagaimana tidak, Ayahnya yang begitu brutal, tega menabrak ibuku hingga meregang nyawa di tempat."Maaf tidak bisa," sahutku dingin."Kenapa lagi, kamu tega membuat Emak sedih? Katanya kalian dekat dan sudah seperti keluarga."Aku menatap tajam wajah Adi."Apakah kamu lupa, Ayahmu begitu kejam membunuh Ibuku. Dan sikapmu ini, seolah tidak terjadi apa-apa
Bab61"Silahkan pukuli saya, asal jangan pernah sentuh anak dan cucu saya!" bentak Bapak dengan tegas."Bapak," teriakku. "Biarkan aku bekerja pada Bos mereka. Gak apa-apa," lanjutku lagi.Meskipun dalam hati ini gugup dan takut, namun apalah dayaku untuk melawan. Nyatanya, kami tidak memiliki uang untuk membayar."Ribet banget memang," keluh salah satu preman, yang memang sedari tadi terus terdiam."Karin ...." kali ini Ummi bersuara. "Maaf Ummi tidak bisa bantu," lanjutnya.Aku tahu, dan aku pun paham. Uang 10juta itu besar, tentu saja akan sulit bagi siapapun membantu kami saat ini."Jangan Nak, Bapak tidak ingin membebani kamu," kata Bapak dengan wajah tertekannya."Biarlah, Pak. Gak apa-apa, yang penting Bapak tidak mereka lukai.""Karin, jangan,"ucap Bapak lagi.Kulihat wajah anakku yang ketakutan, namun sepertinya tidak begitu memahami masalah ini.Bagaimana mungkin aku tega, membiarkan B
Bab62Malamku sepi, aku tidur meringkuk. Kuusap lembut bantal di sampingku. Tempat Emilia terlelap biasanya.Kembali aku menangis, membayangkan wajah lucu anakku. Suara cadelnya, juga ocehan ketika dia marah dan merajuk. Aku rindu, aku sangat rindu anakku.Kupeluk bantal, yang biasanya dia gunakan, kuciumi dengan lembut, mencoba menghirup aroma tubuh anakku, yang tertinggal di bantal itu.Ya Allah, mengapa rasanya begitu banyak orang yang kusayangi meninggalkanku? Rasanya hidupku sekarang semakin sepi.Aku menangis sesegukan, melawan malam yang menyakitkan, bahkan aku kesulitan untuk terlelap.Langit-langit kamar yang biasanya membawaku ke alam hayalan, kini terlihat semakin menyakitkan. Bayangan ocehan anakku, kembali berputar diingatan."Ma, coba lihat keatas, Papa pasti sedang memandangi kita," ucapnya saat itu. Dan reaksiku tidaklah baik, aku marah padanya."Jangan terus menyebut orang yang telah tiada. Lebih baik Emil tidu