Bab60
Aku menarik tangan yang di pegang oleh Adi.
"Maaf, aku tidak bisa!""Kenapa? Emak kangen sama kamu," ucap Adi dengan berusaha memegang bahuku.
Namun dengan sigap, aku melangkah mundur. "Tolong jaga sikapmu! Aku dan kamu tidak memiliki kedekatan semacam ini. Jadi, jangan menyentuhku sesukamu!" tegasku.
Teman-teman hanya diam, sambil sesekali memperhatikan kami yang berdebat pelan di depan pintu karyawan.
"Maaf, aku salah. Tapi kamu mau ya, memenuhi undangan Emak."
Aku menarik napas dengan berat, melihat Adi, aku melihat luka di masa itu. Bagaimana tidak, Ayahnya yang begitu brutal, tega menabrak ibuku hingga meregang nyawa di tempat.
"Maaf tidak bisa," sahutku dingin.
"Kenapa lagi, kamu tega membuat Emak sedih? Katanya kalian dekat dan sudah seperti keluarga."
Aku menatap tajam wajah Adi.
"Apakah kamu lupa, Ayahmu begitu kejam membunuh Ibuku. Dan sikapmu ini, seolah tidak terjadi apa-apaBab61"Silahkan pukuli saya, asal jangan pernah sentuh anak dan cucu saya!" bentak Bapak dengan tegas."Bapak," teriakku. "Biarkan aku bekerja pada Bos mereka. Gak apa-apa," lanjutku lagi.Meskipun dalam hati ini gugup dan takut, namun apalah dayaku untuk melawan. Nyatanya, kami tidak memiliki uang untuk membayar."Ribet banget memang," keluh salah satu preman, yang memang sedari tadi terus terdiam."Karin ...." kali ini Ummi bersuara. "Maaf Ummi tidak bisa bantu," lanjutnya.Aku tahu, dan aku pun paham. Uang 10juta itu besar, tentu saja akan sulit bagi siapapun membantu kami saat ini."Jangan Nak, Bapak tidak ingin membebani kamu," kata Bapak dengan wajah tertekannya."Biarlah, Pak. Gak apa-apa, yang penting Bapak tidak mereka lukai.""Karin, jangan,"ucap Bapak lagi.Kulihat wajah anakku yang ketakutan, namun sepertinya tidak begitu memahami masalah ini.Bagaimana mungkin aku tega, membiarkan B
Bab62Malamku sepi, aku tidur meringkuk. Kuusap lembut bantal di sampingku. Tempat Emilia terlelap biasanya.Kembali aku menangis, membayangkan wajah lucu anakku. Suara cadelnya, juga ocehan ketika dia marah dan merajuk. Aku rindu, aku sangat rindu anakku.Kupeluk bantal, yang biasanya dia gunakan, kuciumi dengan lembut, mencoba menghirup aroma tubuh anakku, yang tertinggal di bantal itu.Ya Allah, mengapa rasanya begitu banyak orang yang kusayangi meninggalkanku? Rasanya hidupku sekarang semakin sepi.Aku menangis sesegukan, melawan malam yang menyakitkan, bahkan aku kesulitan untuk terlelap.Langit-langit kamar yang biasanya membawaku ke alam hayalan, kini terlihat semakin menyakitkan. Bayangan ocehan anakku, kembali berputar diingatan."Ma, coba lihat keatas, Papa pasti sedang memandangi kita," ucapnya saat itu. Dan reaksiku tidaklah baik, aku marah padanya."Jangan terus menyebut orang yang telah tiada. Lebih baik Emil tidu
Bab63"Ken, sudahlah," tegur Bu Soraya.Kentaka si galak itu pun pergi. Dan Bi Nam yang di maksud tadi, pun juga sudah datang menghampiri kami.Sedangkan preman jahat itu, pamit undur diri, dan melanjutkan kembali tugas barunya.Bi Nam membawaku masuk ke istana megah itu. Istana dengan dalamnya gaya eropa itu, sangat membuatku terkagum-kagum dengan semua ini.Seumur-umur, ini pertama kalinya aku melihat langsung barang-barang mewah import, yang terpajang di beberapa sudut ruangan bernuansa putih terang ini."Namanya siapa?" tanya Bi Nam, saat kami terus melangkah, menuju kamar tujuan."Karin, Bi," jawabku."Oh, ok. Panggil saya, Bi Nam."Aku mengangguk."Sesuai intruksi Tuan rumah, hari ini kamu bebas kerja dan bereskan kamarmu sendiri. Setelah setelah, kamu nanti akan kuajak pengenalan area kerja. Tapi untuk sekarang, kamu bisa istirahat dan keluar temui aku, di jam 15.30 wib.""Baik, Bi.
Bab64Semula kupikir tidak begitu rumit. Mereka terlihat begitu ramah dan baik . Namun menelisik dari peraturan yang Bi Nam katakan, aku merasa, rumah ini sangat tidak beres."Kamu di sini untuk bekerja. Jadi, kerjakan sesuai perintah, dan jangan coba-coba melanggar larangannku," tegas Bi Nam dengan tatapan dingin tak bersahabat.Aku mengangguk dengan ekspresi pasrah. Melawan pun tidak mungkin, jadi kuputuskan untuk mengikuti ucapan Bi Nam.Pagi hari, selesai salat subuh, aku bergegas keluar kamar, dan mengerjakan pekerjaanku."Kamu bikin sarapan apa?" tanya suara berat, yang berasal dari pintu dapur.Lelaki berpandangan dingin itu, menatap tajam ke arahku yang tengah sibuk memotong sayuran."Bubur Manado," sahutku lembut."Ganti, aku nggak suka bubur," titahnya.Aku menghela napas berat."Lalu mau sarapan apa?" tanyaku."Jangan tanya aku, pikir sendiri," jawabnya, sambil berlalu dari daun pintu.Aku
Bab65Maya akhirnya pun duduk, masih terlihat nampak gelisah."Maya, jika kamu melanggar larangan saya. Maka, kamu tanggung sendiri akibatnya," tegas Bi Nam.Hal itu, tentu saja membuatku semakin penasaran. Begitu juga dengan Maya. Meskipun dia terlihat diam, namun nampak sekali dia gelisah._____Terdengar bunyi ketukan pintu kamar, ketika kami sudah masuk ke dalam kamar masing-masing.Di rumah ini, tidak ada yang boleh satu kamar.Aku beranjak dari dudukku, dan berjalan pelan menuju daun pintu kamar.Kutarik gagang perlahan, dan membuka pintu."Ada apa?" tanyaku, pada Maya, yang berdiri di depanku kini.Mata Maya menyapu sekitar dengan liar."Boleh masuk?" tanyanya.Aku mengangguk, dan Maya pun masuk ke dalam.Aku menutup kembali daun pintu, dan Maya memintaku menguncinya.Aku pun mengiyakan saja, melihat gelagat Maya, sepertinya ada yang membuatnya takut."Ada apa?" tanyak
Bab66Aku membuka mata, rasanya kepala ini masih pusing.Kulihat di sekitar, ada Bi Nam, yang berdiri, tidak jauh dariku berbaring."Bibi," pekikku sangat terkejut, sebab wajahnya begitu datar melihatku."Cepat masak! Kamu kesiangan," ucapnya dengan dingin."Bi, jelaskan kepadaku, ada apa dengan orang di rumah ini," pintaku, sembari bangkit dari rebahan.Kepalaku sangat sakit masih."Diam dan lanjutkan pekerjaanmu seperti biasa," sahut Bi Nam sambil berjalan menuju keluar kamar. "Jika kamu ingin selamat," lanjutnya lagi, ketika membuka daun pintu.Aku pun terdiam, tidak memiliki keberanian lebih, untuk melanjutkan pertanyaanku.Diri ini semakin merasa was-was dan gugup. Aku bergegas menuju dapur, untuk menyiapkan sarapan.Kusapu sekeliling, tidak ada Maya. Kemana dia? Apakah Maya di bunuh malam tadi? Ya Allah, aku benar-benar culas dan penakut.Aku memilih lari, padahal Maya membutuhkan bantuanku.Apa
Bab67"Karin," serunya. "Kamu tahu, memasuki rumahku ini, seperti memasuki lubang kematian."Aku panas dingin, bahkan tanganku gemeter hebat, mendengar perkataannya."Tolll---ong. Aku, aku pengen pulang," lirihku mengiba.Lelaki itu bangkit dari duduknya, dan berjalan ke arahku, dengan kedua tangannya, dia masukkan ke dalam kantong celana.Kentaka duduk di depanku, menatapku dengan lekat."Kamu tahu, sudah banyak yang jadi korban di rumah ini," ungkapnya dengan senyum menyeringai.Aku diam, tidak berani berkata apapun, aku takut menyinggungnya."Tidak ada satupun dari mereka, yang lolos dari kematian," lanjutnya, masih dengan tatapan, yang sulit aku jelaskan."Kejam," gumamku.Lelaki itu tertawa, melihatku ketakutan, seperti kesenangan baginya."Aku seorang Ibu, tolong lepaskan aku, putri kecilku, pasti kini merindukanku," ucapku pelan."Kamu punya anak?"Aku mengangguk."Dimana d
Bab68Bunyi telepon Bu Soraya terdengar, dia pun nampak menjawab panggilan telepon tersebut.Aku menajamkan pendengaran, untuk menggali informasi lebih lanjut."Ada apa? Puas kamu meneror keluargaku?" teriak Bu Soraya.Namun, suara si penelpon terdengar seperti di loudspeaker. Apa mungkin, Bu Soraya sedang melakukan panggilan video call?"Hahaha .... bagaimana rasanya? Apakah kamu bahagia, setelah berhasil merusak rumah tanggaku?""Aku tidak merusaknya, Suamiku sendiri, yang memang lebih memilih aku.""Tentu saja, itu karena kamu daun muda. Dan kamu pikir, aku harus berlapang dada? Oh tidak! Kamu salah baby. Aku, pendendam."Aku bergidik ngeri, mendengarkan suara tawa berderainya."Brengsek! Aku akan balas perbuatan kamu!" teriak Bu Soraya, sembari membanting keras gawainya, ke lantai hingga hancur lebur.Aku menutup mulut, melihat emosi Bu Soraya yang meledak."Dasar keluarga kacau," batinku.
Bab110 "Tenang," seru Dewi, yang sadar, dari tadi majikannya tidak tenang. "Apaan sih." Tania kesal. Ia pun mengetikkan sebuah pesan singkat, dan mengirimnya kepada Raka, yang tengah sibuk meeting. "Aku menyesal, telah ada di saat keluarga kamu butuh. Sedangkan kamu, ah sudahlah. Kadang, kebaikan tidak harus dibalas dengan hal yang sama." Membaca pesan singkat dari Tania, Raka merasa tidak nyaman hati. Meskipun faktanya, proyek ini masih bisa dihandle anak buahnya. Namun Raka yang selalu bertanggung jawab penuh dengan pekerjaannya, tidak ingin melakukan kesalahan sama sekali.Sebab itulah, dia tidak ingin meninggalkan proyek ini. Namun membaca pesan singkat itu, mendadak Raka menjadi gusar. Ia pun tidak konsen, memulai pekerjaannya hari ini.______ Tania dan Dewi yang sudah sampai di rumah Sari, pun mulai bertanya banyak, tentang hal yang menimpa Karin. Sari mulai menceritakan semuanya secara detail. Wanita paru baya it
Bab109"Maaf? Ada apa?" tanya Karin, sembari melepaskan diri, dari pelukan Hanung."Ya maaf," Hanung menunduk. "Aku berburuk sangka pada kamu dan Emilia. Aku nggak nyangka aja, anak kecil itu begitu dewasa.""Aku juga tidak menyangka, dia akan menolakku. Tapi aku lega, dia tidak melupakanku sama sekali," ucap Karin, sembari menyeka air matanya."Setidaknya, aku bisa melepas rindu. Melihat dia tumbuh dengan baik saja, aku sudah merasa tenang. Meskipun di lubuk hati yang paling dalam, aku tidak bahagia, merelakannya tetap di sana. Tapi aku ...."Karin menghela napas berat, ia mulai kesulitan untuk bicara. Wajah bahagia Emilia, saat bertemu dia tadi, selalu terngiang diingatan Karin.Apalagi, saat Emilia berkata kangen, membuat Karin semakin merasakan sakit luar biasa."Ya Allah, anakku!" pekik Karin, membuat Hanung sedikit terkejut.Karin menangis dengan meraung, layaknya anak kecil. Bahkan, dia tidak lagi duduk diata
Bab108"Ummi, Karin mohon!" pinta Karin, wanita itu pun berusaha bersimpuh.Namun Hanung mencegahnya."Mau memberikan Emilia baik-baik, atau lewat jalur hukum?" gertak Hanung.Mendengar ucapan suami baru Karin itu, Ummi melotot. Sedangkan Abah, berusaha untuk tetap tenang."Berani sekali kamu mengancam orang tua! Apakah kamu tidak di ajari Ibumu?" bentak Ummi.Mendengar dirinya disinggung. Sari hanya memusut dada, membesarkan rasa sabar, dan berpikir jernih."Ibu, istri saya ini, berhak atas anak ini. Dan Ibu, jangan coba menghalangi kami membawanya. Kecuali, Emilia menolaknya," terang Hanung dengan tegas.Ummi berjongkok, mensejajarkan wajahnya pada Emilia."Emil, kamu sayang Nenek, kan?" tanya Ummi.Emilia terisak. "Emilia sayang Nenek, juga Kakek. Tapi ...."Gadis kecil itu menghentikan ucapannya, dia menatap lekat wajah Neneknya yang sangat sedih."Tapi apa, Nak?" tanya Karin tidak sabar.
Bab107Karin melangkah pelan, dia menuju pintu utama."Kak Karin," seru Aisya, yang baru keluar dari dapur.Karin berbalik badan, dan menoleh ke arah Aisya dengan terheran."Kamu ada disini?" tanya Karin, sambil mengucek matanya berkali-kali."Aish ....""Hhmm, ada apa?" Aisya tahu, bahwa Karin penasaran, dengan rumah yang kini dia tempati untuk tidur."Ini rumah teman Aish, kita kemalaman dijalan, kasihan Bang Hanung, sepertinya sangat lelah. Sedangkan perjalanan menuju kampung Abah, masih sangat jauh. Jadi, Aisya meminta izin teman umtuk menginap."Karin mengangguk. "Ayo tidur lagi," pinta Aish pada Karin.Karin pun percaya begitu saja, dan mau menuruti ucapan Aisya.Untung saja Aisya cepat tanggap, jika tidak, mungkin malam ini, mereka tidak jadi tidur lagi.Sebab jika Karin tahu, bahwa dia ada di kampungnya. Maka, dia akan terus mengomel hingga pagi, dan membuat kegaduhan.______Usai salat subu
Bab106Azzam meminta waktu, untuk berbicara dengan Aisya berdua saja."Ada apa?" tanya Aish, dia nampak sangat kesal, dengan keputusan Azzam, yang menolak memberikan alamat."Ummi dan Abah kembali ke kampung. Kata Ayah, mereka juga mengadakan sukuran, ulang tahun Emilia.""Kamu tidak bohongkan, Mas?" selidik Aisya. Seakan semua kebetulan, membuat Aisya meragu."Sebenarnya, Ummi dan Abah, sudah tiga hari ini, ada di kampung. Dan esok, adalah perayaan ulang tahun Emilia.""Alhamdulilah, Mas.""Eh, jadi dari tadi, Mas ngerjai aku?" pekik Aisya, yang tiba-tiba sadar.Azzam terkekeh. "Iya maaf."Bibir Aisya manyun, dia kesal, dengan ulah suaminya."Malam ini juga, kalian duluan saja ke kampung. Ibu beneran sakit.""Yakin, nggak lagi ngerjain aku?""Iya, bener.""Dirujuk ke rumah sakit beneran?""Iya, Mas akan langsung, menemui mereka nanti. Kamu bawa saja, kak Karin ke rumah kita. Tadi
Bab105Melihat wajah Hanung yang sangat datar, menimbulkan tanya dihati Karin. Wanita itu, yang tadinya sangat bersemangat, kini tiba-tiba meredup, seperti lilin yang menyala, kemudian padam tertiup angin."Ada apa?" tanya Karin, dengan perasaan, yang mulai tidak nyaman."Karin, Emilia itu bagian dari masa lalu. Dan kami, kami masa depanmu!" ucap Hanung. Membuat Karin merasa syok, begitu juga dengan Aisya, yang tidak sengaja, mendengar ucapan Hanung."Mas, tega sekali kamu berkata begitu!" lirih Karin. "Tidak ada yang kata masa lalu buat anak. Emilia itu darah dagingku, cinta pertama dalam hidupku. Dia yang mengajari aku jadi Ibu. Dan kamu, memintaku melupakannya? Jahat kamu!" kata Karin dengan terisak."Bukan begitu, Karin. Mas tidak minta, kamu untuk melupakan Emilia. Aku mengerti, tidak ada mantan anak. Tapi tidak bisakah, kamu hanya fokus kepada kami? Dan Emilia, biarkan dia, hanya ada di hati kamu.""Apa? Maksudnya apa?""Ya, kam
Bab104"Suami kamu!"Aisya terdiam, melihat Azzam yang nampak kusut."Suami Aisya?" tanya Hanung pada Karin. Karin mengangguk.Sari memegang bahu Aish. "Hadapi, dan selesaikan baik-baik," ucap Sari."Iya, Aish. Bagaimana pun juga, dia masih suami kamu," timpal Karin.Meskipun rasa hati teramat berat, Aisya tetap, mengikuti saran mereka.Karin keluar dari mobil, membuka pintu pagar. Dan mobil Hanung pun, memasuki pekarangan rumah."Masuklah, Zam!" seru Karin, sembari berjalan, menuju ke arah rumahnya.Mobil Hanung pun menepi, mereka semua keluar. Sedangkan Karin, membuka pintu rumah.Azzam pun berjalan ke depan pintu pagar, semberi menatap istrinya, yang baru keluar dari mobil.Aisya melangkah, mendekati Azzam."Masuk dulu, Mas!" ucap Aisya dengan lembut.Azzam pun mengangguk, mengikuti langkah Aisya. Ada debaran rasa gugup, yang mengganggunya kini.Karin duduk bersama anaknya Aisy
Bab103Saat itu, pukul 05.30 sore. Sesampainya Raka di rumah Sutina, hanya ada beberapa tetangga dekat rumah, yang berada di rumah duka.Raka menepikan mobilnya, bergegas keluar dan sedikit tergopoh. Di dalam rumah, ada keluarga besar Tania, juga Sutina dan Rina."Ayah!" lirih Raka. Sutina tidak mau menoleh ke arah Raka, begitu juga dengan Tania.Kedua wanita ini, merasa sangat terluka, dengan perlakuan Raka. Mereka merasa, Raka abai dan begitu mementingkan perasaannya sendiri."Ayah, maafkan Raka ....""Ibu," lirihnya, berusaha memegangi tangan Sutina. Sutina hanya bisa terisak, dia tidak mampu berkata-kata lagi.Secapat ini, Tuhan memisahkan mereka. Bahkan selama ini, Sutina merasa banyak salah dan berdosa pada suaminya.Namun apalah daya, mereka di pisahkan oleh maut, yang di perantai tangan anak kandungnya sendiri."Kamu kemana saja?" tanya Sutina dengan pelan, ketika Raka memeluk ibunya."Ma
Bab102Aisya menulis alamat Karin disecarik kertas. Sebab itulah, dia melupakan ponselnya, dan fokus memegangi alamat rumah Karin.Kini Aisya merasa was-was, kalau Azzam, akan datang menyusulnya ke rumah Karin.Ia pun kembali memencet tombol bell berulang kali, hingga pintu rumah, bercat putih itu kini terbuka."Kak Karin," pekik Aisya. Sambil melambaikan tangan.Karin yang melihat di depan pintu pagar itu Aisya, sedikit berlari ke dalam rumah, dan gegas meraih kunci pagar.Ia pun tidak sabar, ingin berpelukan dengan Aisya, adik yang sangat dia rindukan selama ini.Karin keluar rumah, dan membuka kunci pagar. Aisya mendorong pelan pagar, yang sudah tidak terkunci lagi.Mereka saling berpelukan, melepas sejuta rasa rindu yang mendalam.Sedangkan anak Aisya, hanya menatap heran.Kakak beradik itu menangis terisak, dan melupakan si kecil yang menatap heran pada mereka."Siapa Rin?" tanya Sari, yang