Bab56
"Tentu saja, adil itu hal yang mudah."
Lelaki tua itu terdengar begitu yakin dengan ucapannya.
"Bagaimana masalah hati?"
"Saya akan mencintai anak Bapak dengan baik. Dan memberikan apapun untuknya."
"Saya tidak ingin, anak saya menjadi sebuah luka di kehidupan wanita lain."
Aku lega, ketika mendengar suara Ibu.
"Tapi istri saya sudah setuju." Lelaki itu mencoba memberi pehaman pada Ibuku.
"Tetap saja, sebagai wanita, saya tidak ingin anak saya berbahagia di atas penderitaan wanita lainnya."
Terdengar suara napas berat Ibu.
"Hidup kami sudah rumit, tolong jangan Anda tambahkan lagi."
Lelaki tua itu terdiam.
"Masih banyak wanita lain, jangan anak saya!" pinta Ibu dengan tegas.
"Saya rasa, niat baik saya tidak bersambut," ucap lelaki itu, dengan nada kecewa. "Sebaiknya, setelah selesai kontrakan ini, kalian pindah! Dan, cari tempat lain."
"Tentu saja," jawab Ibu dengan ce
Bab57Hari ini, aku ke pasar subuh bersama Ibu untuk berbelanja kebutuhan jualan, sekaligus keperluan dapur yang sudah pada habis.Ibu begitu kekeuh ingin ikut, meskipun aku sudah berulang kali menolaknya untuk ikut.Sebab kondisinya yang tidak sepenuhnya sehat. Di pasar subuh, Ibu nampak bersemangat membeli bahan sayuran."Sudah yuk, keburu kesiangan kita jualan," ucap Ibu, sambil meraih belanjaannya yang sudah penuh satu kantong plastik.Aku pun manut saja dengan apapun yang Ibu katakan."Aisya gimana kabarnya ya, Rin? Apakah ponselnya sudah bisa di hubungi?" tanya Ibu, sembari kami berjalan menuju tukang ojek.Aku menggeleng. "Masih tidak aktif, Bu!" jawabku lemah.Ya, setiap hari kami mencoba menghubungi Aisya. Namun, selalu saja nomor ponselnya tidak aktif.Padahal, kami sekeluarga sangat rindu kepadanya, apalagi kini kami berjauhan. Dan nyaris sudah setahun kami di kota, namun Aisya seakan hilang ditelan bumi
Bab58Terik panas mentari, tidak juga mampu mengusirku dari gundukkan tanah berhias bunga tabur di depanku ini.Bahkan Bapak yang sedari tadi memintaku untuk pulang, tidak juga kuturuti.Dari ini begitu terluka, Ibu begitu mencintai dan menyayangiku, juga Emilia. Tapi kini, aku telah kehilangan sosok itu, bahkan aku belum sempat membahagiakannya.Semenjak kepergian Ibu, rumah pun menjadi sangat sepi. Bahkan Bapak pun seakan tidak punya gairah hidup lagi.Aku pun membuat lamaran pekerjaan, di kantor tempat Hanung bekerja. Dia pun bersedia membantuku, untuk mendapat pekerjaan."Maaf, cuma itu yang ada lowongannya," ucap Hanung, dengan mimik wajah tidak enak."Tidak apa-apa, yang penting aku bisa kerja," jawabku dengan penuh keyakinan.Aku tidak ingin melanjutkan usaha gado-gado lagi. Bahkan aku tidak kuasa memakan-makanan itu lagi. Bayangan sosok Ibu, selalu meliputi ingatanku.Hingga rasa bersalah, kembali memporak-
Bab59"Rin, kamu kenal dengan Pak Hanung?" tanya Ratna kepadaku, ketika Bos galak itu telah keluar dari ruangan kami.Aku meraih kain pel, juga pewangi lantai. Sedangkan Ratna, dia duduk di bangku sofa."Ibuku yang kenal, aku biasa aja," sahutku.Kemudian Anton pun datang, salah satu team kebersihan juga."Aku sarapan dulu, ya! Capek banget habis bersihin kaca," ungkapnya dengan wajah lelah.Sedangkan Ratna, tadi bertugas membersihkan gudang. Jadi tidak heran, jika sekarang mereka beristirahat.Aku lapar juga sebenarnya. Gara-gara mengantar susu tadi, dan menaiki tangga darurat, waktuku banyak habis disana."Kamu harus bawa parfume ke kantor. Karena Bos tidak suka, jika kita bau badan pagi-pagi."Aku mengangguk."Tapi itu tadi, sepertinya pertama kali Bos masuk ke ruangan ini," ungkap Ratna, sambil mengingat-ingat.Aku tidak perduli sebenarnya, yang aku ingin tahu, bagaimana caranya memasuki lift dan menggu
Bab60Aku menarik tangan yang di pegang oleh Adi."Maaf, aku tidak bisa!""Kenapa? Emak kangen sama kamu," ucap Adi dengan berusaha memegang bahuku.Namun dengan sigap, aku melangkah mundur. "Tolong jaga sikapmu! Aku dan kamu tidak memiliki kedekatan semacam ini. Jadi, jangan menyentuhku sesukamu!" tegasku.Teman-teman hanya diam, sambil sesekali memperhatikan kami yang berdebat pelan di depan pintu karyawan."Maaf, aku salah. Tapi kamu mau ya, memenuhi undangan Emak."Aku menarik napas dengan berat, melihat Adi, aku melihat luka di masa itu. Bagaimana tidak, Ayahnya yang begitu brutal, tega menabrak ibuku hingga meregang nyawa di tempat."Maaf tidak bisa," sahutku dingin."Kenapa lagi, kamu tega membuat Emak sedih? Katanya kalian dekat dan sudah seperti keluarga."Aku menatap tajam wajah Adi."Apakah kamu lupa, Ayahmu begitu kejam membunuh Ibuku. Dan sikapmu ini, seolah tidak terjadi apa-apa
Bab61"Silahkan pukuli saya, asal jangan pernah sentuh anak dan cucu saya!" bentak Bapak dengan tegas."Bapak," teriakku. "Biarkan aku bekerja pada Bos mereka. Gak apa-apa," lanjutku lagi.Meskipun dalam hati ini gugup dan takut, namun apalah dayaku untuk melawan. Nyatanya, kami tidak memiliki uang untuk membayar."Ribet banget memang," keluh salah satu preman, yang memang sedari tadi terus terdiam."Karin ...." kali ini Ummi bersuara. "Maaf Ummi tidak bisa bantu," lanjutnya.Aku tahu, dan aku pun paham. Uang 10juta itu besar, tentu saja akan sulit bagi siapapun membantu kami saat ini."Jangan Nak, Bapak tidak ingin membebani kamu," kata Bapak dengan wajah tertekannya."Biarlah, Pak. Gak apa-apa, yang penting Bapak tidak mereka lukai.""Karin, jangan,"ucap Bapak lagi.Kulihat wajah anakku yang ketakutan, namun sepertinya tidak begitu memahami masalah ini.Bagaimana mungkin aku tega, membiarkan B
Bab62Malamku sepi, aku tidur meringkuk. Kuusap lembut bantal di sampingku. Tempat Emilia terlelap biasanya.Kembali aku menangis, membayangkan wajah lucu anakku. Suara cadelnya, juga ocehan ketika dia marah dan merajuk. Aku rindu, aku sangat rindu anakku.Kupeluk bantal, yang biasanya dia gunakan, kuciumi dengan lembut, mencoba menghirup aroma tubuh anakku, yang tertinggal di bantal itu.Ya Allah, mengapa rasanya begitu banyak orang yang kusayangi meninggalkanku? Rasanya hidupku sekarang semakin sepi.Aku menangis sesegukan, melawan malam yang menyakitkan, bahkan aku kesulitan untuk terlelap.Langit-langit kamar yang biasanya membawaku ke alam hayalan, kini terlihat semakin menyakitkan. Bayangan ocehan anakku, kembali berputar diingatan."Ma, coba lihat keatas, Papa pasti sedang memandangi kita," ucapnya saat itu. Dan reaksiku tidaklah baik, aku marah padanya."Jangan terus menyebut orang yang telah tiada. Lebih baik Emil tidu
Bab63"Ken, sudahlah," tegur Bu Soraya.Kentaka si galak itu pun pergi. Dan Bi Nam yang di maksud tadi, pun juga sudah datang menghampiri kami.Sedangkan preman jahat itu, pamit undur diri, dan melanjutkan kembali tugas barunya.Bi Nam membawaku masuk ke istana megah itu. Istana dengan dalamnya gaya eropa itu, sangat membuatku terkagum-kagum dengan semua ini.Seumur-umur, ini pertama kalinya aku melihat langsung barang-barang mewah import, yang terpajang di beberapa sudut ruangan bernuansa putih terang ini."Namanya siapa?" tanya Bi Nam, saat kami terus melangkah, menuju kamar tujuan."Karin, Bi," jawabku."Oh, ok. Panggil saya, Bi Nam."Aku mengangguk."Sesuai intruksi Tuan rumah, hari ini kamu bebas kerja dan bereskan kamarmu sendiri. Setelah setelah, kamu nanti akan kuajak pengenalan area kerja. Tapi untuk sekarang, kamu bisa istirahat dan keluar temui aku, di jam 15.30 wib.""Baik, Bi.
Bab64Semula kupikir tidak begitu rumit. Mereka terlihat begitu ramah dan baik . Namun menelisik dari peraturan yang Bi Nam katakan, aku merasa, rumah ini sangat tidak beres."Kamu di sini untuk bekerja. Jadi, kerjakan sesuai perintah, dan jangan coba-coba melanggar larangannku," tegas Bi Nam dengan tatapan dingin tak bersahabat.Aku mengangguk dengan ekspresi pasrah. Melawan pun tidak mungkin, jadi kuputuskan untuk mengikuti ucapan Bi Nam.Pagi hari, selesai salat subuh, aku bergegas keluar kamar, dan mengerjakan pekerjaanku."Kamu bikin sarapan apa?" tanya suara berat, yang berasal dari pintu dapur.Lelaki berpandangan dingin itu, menatap tajam ke arahku yang tengah sibuk memotong sayuran."Bubur Manado," sahutku lembut."Ganti, aku nggak suka bubur," titahnya.Aku menghela napas berat."Lalu mau sarapan apa?" tanyaku."Jangan tanya aku, pikir sendiri," jawabnya, sambil berlalu dari daun pintu.Aku