Share

Berlari

Author: Rias Ardani
last update Last Updated: 2021-10-07 22:38:46

Bab49

Hanum yang mendengar teriakkan Karin, dia pun bangkit dari duduknya di depan kompor, karena sambil memasak untuk sarapan.

Wanita paru baya itu berlari tergopoh-gopoh.

"Ya Allah, Karin." 

Hanum semakin panik, ketika melihat Karin berlari keluar rumah, dan dia pun mengejarnya dengan cepat.

Karin menangis sepanjang jalan, sembari menyebut nama Alif berulang-ulang.

Wanita itu pergi menuju ruko miliknya. Namun ruko itu tutup, dan hal itu kembali membuat Karin panik.

Jika awalnya dia berusaha yakin ini mimpi, kini perasaannya kembali cemas dan ketakutan.

"Karin," panggil Bu Daung, yang heran melihat Karin menangis di depan rukonya.

Bu Daung yang sudah rapi dan berpakaian serba hitam itu pun, mendekat ke arah Karin, usai menutup pintu toko sembakonya.

Hanum pun merasa sangat lelah, dan tidak begitu kuat lagi untuk berlari. Hingga dia hanya mampu berjalan, itu pun dengan susah payah dia mengatur napas

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Petaka Mendua   Dibentak

    Bab50 Karin terus menangis di depan pagar rumah. Dan Hanum pun telah sampai, menyusul Karin ke rumah Ustadzah. Dia bersama Emilia, meminta Mang Diman mengantar mereka. Melihat putrinya menangis, Hanum tidak kuasa menahan lagi air matanya. Lagi-lagi, keduanya menangis, begitu juga dengan Emilia yang kini sudah besar dan mulai mengerti keadaan. "Anakku." Hanum berlari memeluk Karin. "Sudah, Nak! Ikhlaskan Alif," ucap Hanum dengan suara serak. "Ngapain kalian di sini?" tanya suara datar dari belakang. Emilia menyeka air matanya, gadis kecil itu mematung melihat wajah Neneknya. Jika biasanya dia akan berlari dan memeluk Kakek dan Neneknya. Tidak untuk kali ini, dia tidak berani bersuara. Karin dan Hanum menoleh ke arah belakang mereka. Ustadzah dan beberapa rombongan, kini telah kembali ke rumah duka, setelah usai pemakaman Alif. Ustad dan Danang tidak bersuara, hanya diam dan datar menatap Hanum dan Karin.

    Last Updated : 2021-10-07
  • Petaka Mendua   Mengejar

    Bab51 "Ibu ...." Suara Karin terdengar begitu pilu, seakan dunianya kini mendadak hancur dalam sekejab. Hanum memeluknya, begitu juga dengan Emilia. Biar bagaimana pun juga, sekecil itu kini telah paham dengan keadaan yang terjadi. "Tenangkan dulu hatimu, Nak. Banyak-banyak mengucap istighfar." "Mas Alif, Bu." Karin terisak, degub jantungnya kian memacu cepat. Karin sulit menerima kenyataan ini, namun dia pun kebingungan harus berbuat apa? Untuk menengkan dirinya saat ini. "Salat," bisik Hanum, yang mengerti kegelisahan anaknya. "Dengan begitu, kamu bisa memberikan terang di alam baru suami kamu. Berikan dia doa, doa dari istri sholeha, insya Allah segera sampai." Karin masih terisak. "Alif akan bersedih, jika melihat kondisimu begini," bisik Hanum lagi. "Ayo kita pulang! Hari ini, Bapakmu juga akan datang dari perantauan." Dengan kekuatan yang nyaris habis, Karin berusaha menurut

    Last Updated : 2021-10-08
  • Petaka Mendua   Memilih Diam

    Bab52 Bulan berganti bulan, namun Aisya tidak juga mendapat kabar tentang Karin dan keluarganya. Hatinya gelisah, bahkan Ibunya, belum sempat bertemu dengan anak yang Aisya lahirkan. Bayi laki-laki yang sangat mungil itu, kini berada dalam gendongan Ustadzah, yang sangat gembira dengan kehadirannya. Aisya memandanginya dengan perasaan yang rumit. Disatu sisi, dia senang Ustadzah mencintai anaknya. Namun, dia akan lebih senang lagi, jika Ibunya juga bisa memeluk bayi mungil itu. "Bun, Aisya kangen Ibu," ungkapnya dengan pelan. Ustadzah memandangi Aisya dengan lekat, senyum di wajahnya kini menghilang seketika. "Temuilah Ibumu. Tapi, jangan bawa cucuku." "Bunda ...." Aisya sedikit kecewa, namun dia berusaha menahan diri. "Pergilah," seru Ustadzah dengan tatapan dingin. "Aku akan membawa anakku," sahut Aisya. "Sudah 6 bulan lamanya, aku tidak tahu kabar keluargaku. Bahkan, Ibuku belum pernah bertemu d

    Last Updated : 2021-10-08
  • Petaka Mendua   Sinis

    Bab53 - pov Karin- Jiwa ini seakan mengering di dalam raga. Rasa sakit yang kian membuncah di dalam dada, seakan menyiksaku tanpa ampun. Suami terbaikku, imam dalam hidupku. Bagaimana mungkin Ya Allah, kini kami di pisahkan oleh kematian yang menyakitkan. "Karin," lirih suara Ibu, aku pun menoleh ke belakang. Mata tuanya begitu kuyu memandangiku dengan tatapan teramat sedih. Aku pun bingung harus bagaimana bersikap. Berpura-pura kuat? Aku rasa tidak kuasa melakukan semua itu. Hal ini berbeda, jika kehilangan karena di khianati, aku tidak akan seperti ini. Namun kehilangan karena kematian, dan itupun di jembatani oleh tingkahku yang saat itu memaksanya. Seperti pukulan godam besar. Aku terus beristighfar untuk menenangkan diri. Rasanya aku nyaris gila menghadapi semua ini, aku tidak kuat. Bukan hanya kehilangan yang membuatku hancur. Tapi juga penyesalan akan kesalahanku. Hal itu, juga begitu kuat menyiksak

    Last Updated : 2021-10-09
  • Petaka Mendua   Rencana pindah

    Bab54Ini ujiam dalam hidup, kuat tidak kuat, aku harus mampu melewatinya."Wanita pembawa sial," maki Bu Daung. Aku tidak menyangka, membawa anakku ke tempat ini malah mendapat perlakuan seburuk ini.Bahkan dengan teganya, dia menghina dan memakiku, tanpa kutahu salah diri ini dimana.Aku keluar tanpa suara, semua mata menatapku dengan sinis. Apa yang salah? Mengapa aku seolah mendapatkan sangsi sosial di lingkunganku.Angin bertiup kencang, menyapu pergi air mataku dan Emilia. Anak malang itu masih terisak di gendonganku. Sedangkan aku, menangis tanpa suara.Ya Allah, aku tahu engkau menyayangi kami, kuatkan aku melewati cobaan ini.Ibu Hanum yang barusan pulang dari ladang, begitu terkejut mendengar suara tangis anakku.Kami berjalan ke arah pintu, Ibu tergesa-gesa dari dapur, menghampiri kami ke depan rumah."Ada apa?" tanya Ibu dengan wajah khawatir.Aku menggeleng, rasanya diri ini kesulita

    Last Updated : 2021-10-11
  • Petaka Mendua   Panik

    Bab55Bapak hanya terdiam, dia memandangi koran di tangannya, sambil menyesap kopi buatan Ibu.Emilia masih sibuk dengan mainannya, jika biasanya dia akan bermain dengan Mas Alif dengan ceria.Kini dia hanya bermain seorang diri. Kadang dia jenuh dan terdiam, bahkan kuajak main bersama pun dia tolak.Gadis kecil itu kini sering menangis seorang diri.Saat kami sekeluarga menunggu taksi. Mak Rokayah tetangga belakang rumah, pun menghampiri kami."Mau kemana?""Ke kota, Bu!" jawab Bapak."Yah, lama nggak? Bakal kesepian aku nanti.""Belum tahu, kalau cocok mencari rezeki di sana, mungkin akan lama."Mak Rokayah nampak lesu, dan berjalan ke arah kami."Semoga kalian sukses dan selalu sehat di perantauan. Aku, pasti akan selalu rindu," ungkapnya, sembari memeluk Ibu.Kami terharu, mereka berdua memang begitu dekat. Selama bertahun-tahun, dua sahabat ini begitu akur dan tidak pernah berselisih

    Last Updated : 2021-10-11
  • Petaka Mendua   Menyampaikan kenyataan

    Bab56"Tentu saja, adil itu hal yang mudah."Lelaki tua itu terdengar begitu yakin dengan ucapannya."Bagaimana masalah hati?""Saya akan mencintai anak Bapak dengan baik. Dan memberikan apapun untuknya.""Saya tidak ingin, anak saya menjadi sebuah luka di kehidupan wanita lain."Aku lega, ketika mendengar suara Ibu."Tapi istri saya sudah setuju." Lelaki itu mencoba memberi pehaman pada Ibuku."Tetap saja, sebagai wanita, saya tidak ingin anak saya berbahagia di atas penderitaan wanita lainnya."Terdengar suara napas berat Ibu."Hidup kami sudah rumit, tolong jangan Anda tambahkan lagi."Lelaki tua itu terdiam."Masih banyak wanita lain, jangan anak saya!" pinta Ibu dengan tegas."Saya rasa, niat baik saya tidak bersambut," ucap lelaki itu, dengan nada kecewa. "Sebaiknya, setelah selesai kontrakan ini, kalian pindah! Dan, cari tempat lain.""Tentu saja," jawab Ibu dengan ce

    Last Updated : 2021-10-11
  • Petaka Mendua   Merasa Sial

    Bab57Hari ini, aku ke pasar subuh bersama Ibu untuk berbelanja kebutuhan jualan, sekaligus keperluan dapur yang sudah pada habis.Ibu begitu kekeuh ingin ikut, meskipun aku sudah berulang kali menolaknya untuk ikut.Sebab kondisinya yang tidak sepenuhnya sehat. Di pasar subuh, Ibu nampak bersemangat membeli bahan sayuran."Sudah yuk, keburu kesiangan kita jualan," ucap Ibu, sambil meraih belanjaannya yang sudah penuh satu kantong plastik.Aku pun manut saja dengan apapun yang Ibu katakan."Aisya gimana kabarnya ya, Rin? Apakah ponselnya sudah bisa di hubungi?" tanya Ibu, sembari kami berjalan menuju tukang ojek.Aku menggeleng. "Masih tidak aktif, Bu!" jawabku lemah.Ya, setiap hari kami mencoba menghubungi Aisya. Namun, selalu saja nomor ponselnya tidak aktif.Padahal, kami sekeluarga sangat rindu kepadanya, apalagi kini kami berjauhan. Dan nyaris sudah setahun kami di kota, namun Aisya seakan hilang ditelan bumi

    Last Updated : 2021-10-11

Latest chapter

  • Petaka Mendua   Panik

    Bab110 "Tenang," seru Dewi, yang sadar, dari tadi majikannya tidak tenang. "Apaan sih." Tania kesal. Ia pun mengetikkan sebuah pesan singkat, dan mengirimnya kepada Raka, yang tengah sibuk meeting. "Aku menyesal, telah ada di saat keluarga kamu butuh. Sedangkan kamu, ah sudahlah. Kadang, kebaikan tidak harus dibalas dengan hal yang sama." Membaca pesan singkat dari Tania, Raka merasa tidak nyaman hati. Meskipun faktanya, proyek ini masih bisa dihandle anak buahnya. Namun Raka yang selalu bertanggung jawab penuh dengan pekerjaannya, tidak ingin melakukan kesalahan sama sekali.Sebab itulah, dia tidak ingin meninggalkan proyek ini. Namun membaca pesan singkat itu, mendadak Raka menjadi gusar. Ia pun tidak konsen, memulai pekerjaannya hari ini.______ Tania dan Dewi yang sudah sampai di rumah Sari, pun mulai bertanya banyak, tentang hal yang menimpa Karin. Sari mulai menceritakan semuanya secara detail. Wanita paru baya it

  • Petaka Mendua   Tidak Tenang

    Bab109"Maaf? Ada apa?" tanya Karin, sembari melepaskan diri, dari pelukan Hanung."Ya maaf," Hanung menunduk. "Aku berburuk sangka pada kamu dan Emilia. Aku nggak nyangka aja, anak kecil itu begitu dewasa.""Aku juga tidak menyangka, dia akan menolakku. Tapi aku lega, dia tidak melupakanku sama sekali," ucap Karin, sembari menyeka air matanya."Setidaknya, aku bisa melepas rindu. Melihat dia tumbuh dengan baik saja, aku sudah merasa tenang. Meskipun di lubuk hati yang paling dalam, aku tidak bahagia, merelakannya tetap di sana. Tapi aku ...."Karin menghela napas berat, ia mulai kesulitan untuk bicara. Wajah bahagia Emilia, saat bertemu dia tadi, selalu terngiang diingatan Karin.Apalagi, saat Emilia berkata kangen, membuat Karin semakin merasakan sakit luar biasa."Ya Allah, anakku!" pekik Karin, membuat Hanung sedikit terkejut.Karin menangis dengan meraung, layaknya anak kecil. Bahkan, dia tidak lagi duduk diata

  • Petaka Mendua   Maaf

    Bab108"Ummi, Karin mohon!" pinta Karin, wanita itu pun berusaha bersimpuh.Namun Hanung mencegahnya."Mau memberikan Emilia baik-baik, atau lewat jalur hukum?" gertak Hanung.Mendengar ucapan suami baru Karin itu, Ummi melotot. Sedangkan Abah, berusaha untuk tetap tenang."Berani sekali kamu mengancam orang tua! Apakah kamu tidak di ajari Ibumu?" bentak Ummi.Mendengar dirinya disinggung. Sari hanya memusut dada, membesarkan rasa sabar, dan berpikir jernih."Ibu, istri saya ini, berhak atas anak ini. Dan Ibu, jangan coba menghalangi kami membawanya. Kecuali, Emilia menolaknya," terang Hanung dengan tegas.Ummi berjongkok, mensejajarkan wajahnya pada Emilia."Emil, kamu sayang Nenek, kan?" tanya Ummi.Emilia terisak. "Emilia sayang Nenek, juga Kakek. Tapi ...."Gadis kecil itu menghentikan ucapannya, dia menatap lekat wajah Neneknya yang sangat sedih."Tapi apa, Nak?" tanya Karin tidak sabar.

  • Petaka Mendua   Di Tolak

    Bab107Karin melangkah pelan, dia menuju pintu utama."Kak Karin," seru Aisya, yang baru keluar dari dapur.Karin berbalik badan, dan menoleh ke arah Aisya dengan terheran."Kamu ada disini?" tanya Karin, sambil mengucek matanya berkali-kali."Aish ....""Hhmm, ada apa?" Aisya tahu, bahwa Karin penasaran, dengan rumah yang kini dia tempati untuk tidur."Ini rumah teman Aish, kita kemalaman dijalan, kasihan Bang Hanung, sepertinya sangat lelah. Sedangkan perjalanan menuju kampung Abah, masih sangat jauh. Jadi, Aisya meminta izin teman umtuk menginap."Karin mengangguk. "Ayo tidur lagi," pinta Aish pada Karin.Karin pun percaya begitu saja, dan mau menuruti ucapan Aisya.Untung saja Aisya cepat tanggap, jika tidak, mungkin malam ini, mereka tidak jadi tidur lagi.Sebab jika Karin tahu, bahwa dia ada di kampungnya. Maka, dia akan terus mengomel hingga pagi, dan membuat kegaduhan.______Usai salat subu

  • Petaka Mendua   Penasaran

    Bab106Azzam meminta waktu, untuk berbicara dengan Aisya berdua saja."Ada apa?" tanya Aish, dia nampak sangat kesal, dengan keputusan Azzam, yang menolak memberikan alamat."Ummi dan Abah kembali ke kampung. Kata Ayah, mereka juga mengadakan sukuran, ulang tahun Emilia.""Kamu tidak bohongkan, Mas?" selidik Aisya. Seakan semua kebetulan, membuat Aisya meragu."Sebenarnya, Ummi dan Abah, sudah tiga hari ini, ada di kampung. Dan esok, adalah perayaan ulang tahun Emilia.""Alhamdulilah, Mas.""Eh, jadi dari tadi, Mas ngerjai aku?" pekik Aisya, yang tiba-tiba sadar.Azzam terkekeh. "Iya maaf."Bibir Aisya manyun, dia kesal, dengan ulah suaminya."Malam ini juga, kalian duluan saja ke kampung. Ibu beneran sakit.""Yakin, nggak lagi ngerjain aku?""Iya, bener.""Dirujuk ke rumah sakit beneran?""Iya, Mas akan langsung, menemui mereka nanti. Kamu bawa saja, kak Karin ke rumah kita. Tadi

  • Petaka Mendua   Pupus Lagi

    Bab105Melihat wajah Hanung yang sangat datar, menimbulkan tanya dihati Karin. Wanita itu, yang tadinya sangat bersemangat, kini tiba-tiba meredup, seperti lilin yang menyala, kemudian padam tertiup angin."Ada apa?" tanya Karin, dengan perasaan, yang mulai tidak nyaman."Karin, Emilia itu bagian dari masa lalu. Dan kami, kami masa depanmu!" ucap Hanung. Membuat Karin merasa syok, begitu juga dengan Aisya, yang tidak sengaja, mendengar ucapan Hanung."Mas, tega sekali kamu berkata begitu!" lirih Karin. "Tidak ada yang kata masa lalu buat anak. Emilia itu darah dagingku, cinta pertama dalam hidupku. Dia yang mengajari aku jadi Ibu. Dan kamu, memintaku melupakannya? Jahat kamu!" kata Karin dengan terisak."Bukan begitu, Karin. Mas tidak minta, kamu untuk melupakan Emilia. Aku mengerti, tidak ada mantan anak. Tapi tidak bisakah, kamu hanya fokus kepada kami? Dan Emilia, biarkan dia, hanya ada di hati kamu.""Apa? Maksudnya apa?""Ya, kam

  • Petaka Mendua   Mendapatkan Alamat

    Bab104"Suami kamu!"Aisya terdiam, melihat Azzam yang nampak kusut."Suami Aisya?" tanya Hanung pada Karin. Karin mengangguk.Sari memegang bahu Aish. "Hadapi, dan selesaikan baik-baik," ucap Sari."Iya, Aish. Bagaimana pun juga, dia masih suami kamu," timpal Karin.Meskipun rasa hati teramat berat, Aisya tetap, mengikuti saran mereka.Karin keluar dari mobil, membuka pintu pagar. Dan mobil Hanung pun, memasuki pekarangan rumah."Masuklah, Zam!" seru Karin, sembari berjalan, menuju ke arah rumahnya.Mobil Hanung pun menepi, mereka semua keluar. Sedangkan Karin, membuka pintu rumah.Azzam pun berjalan ke depan pintu pagar, semberi menatap istrinya, yang baru keluar dari mobil.Aisya melangkah, mendekati Azzam."Masuk dulu, Mas!" ucap Aisya dengan lembut.Azzam pun mengangguk, mengikuti langkah Aisya. Ada debaran rasa gugup, yang mengganggunya kini.Karin duduk bersama anaknya Aisy

  • Petaka Mendua   Pemakaman

    Bab103Saat itu, pukul 05.30 sore. Sesampainya Raka di rumah Sutina, hanya ada beberapa tetangga dekat rumah, yang berada di rumah duka.Raka menepikan mobilnya, bergegas keluar dan sedikit tergopoh. Di dalam rumah, ada keluarga besar Tania, juga Sutina dan Rina."Ayah!" lirih Raka. Sutina tidak mau menoleh ke arah Raka, begitu juga dengan Tania.Kedua wanita ini, merasa sangat terluka, dengan perlakuan Raka. Mereka merasa, Raka abai dan begitu mementingkan perasaannya sendiri."Ayah, maafkan Raka ....""Ibu," lirihnya, berusaha memegangi tangan Sutina. Sutina hanya bisa terisak, dia tidak mampu berkata-kata lagi.Secapat ini, Tuhan memisahkan mereka. Bahkan selama ini, Sutina merasa banyak salah dan berdosa pada suaminya.Namun apalah daya, mereka di pisahkan oleh maut, yang di perantai tangan anak kandungnya sendiri."Kamu kemana saja?" tanya Sutina dengan pelan, ketika Raka memeluk ibunya."Ma

  • Petaka Mendua   Kabar Duka

    Bab102Aisya menulis alamat Karin disecarik kertas. Sebab itulah, dia melupakan ponselnya, dan fokus memegangi alamat rumah Karin.Kini Aisya merasa was-was, kalau Azzam, akan datang menyusulnya ke rumah Karin.Ia pun kembali memencet tombol bell berulang kali, hingga pintu rumah, bercat putih itu kini terbuka."Kak Karin," pekik Aisya. Sambil melambaikan tangan.Karin yang melihat di depan pintu pagar itu Aisya, sedikit berlari ke dalam rumah, dan gegas meraih kunci pagar.Ia pun tidak sabar, ingin berpelukan dengan Aisya, adik yang sangat dia rindukan selama ini.Karin keluar rumah, dan membuka kunci pagar. Aisya mendorong pelan pagar, yang sudah tidak terkunci lagi.Mereka saling berpelukan, melepas sejuta rasa rindu yang mendalam.Sedangkan anak Aisya, hanya menatap heran.Kakak beradik itu menangis terisak, dan melupakan si kecil yang menatap heran pada mereka."Siapa Rin?" tanya Sari, yang

DMCA.com Protection Status