Petaka Mendua
Part41°pov Aisya.°Setelah membukakan pintu, aku berjalan menuju dapur, untuk membuat minuman. "Ibu Hanum sekeluarga, sebelumnya, saya mau meminta maaf, atas kekhilafan saya tempo hari pada Aisya." Ucapan itu terdengar dari suara Bu Ustadzah. "Emm, maaf, saya tidak tahu mengenai yang Ustadzah maksud. Mungkin, Ustadzah bisa langsung mengatakannya kepada Aisya."Aku pun berjalan menuju ruang tengah, membawa beberapa gelas, dan minumanan di dalam teko.Kemudian menuangkannya, dan menyuguhkan ke mereka semua.Aku ikut duduk, diantara Ibu dan Bapak. Bu Ustadzah kembali mengulang perkataannya tadi. "Aisya sudah melupakan itu, Ibu juga harus melupakannya." Aku berkata dengan datar.Bu Ustadzah tersenyum simpul. "Bismillahirrahmanirrahim, sebelumnya, niat kami bertiga datang kemari, untuk melamar Aisya. Jika tidak keberatan, mBab42Karin dan Alif usai melalukan ibadah Umroh dan kembali ke tanah air dengan suka cita.Mereka pun disambut para keluarga besar di rumahnya."Karin, sudah isi belum?" tanya Bu Daung."Belum, Bu!" sahut Karin ramah."Idih, kasihan banget si Alif, membesarkan anak orang doang. Nah tu si Aisya, sudah bisa ngasih keturunan pada Azzam. Kamu yang lama nikah, nggak hamil-hamil," celetuk Bu Daung."Astagfirullah, Bu Daung!" tegur Aisya."Apaan? Memang salah saya ngomong begitu? Fakta padahal," ucap Bu Daung tak berperasaan."Sudah Aisya, tidak apa-apa," kata Karin dengan mengulas senyum tipis."Setidaknya jangan berkata seperti itu, Bu! Kasihan Kak Karin.""Widih! Sekarang aja kasihan. Dulu? Jadi pelakor kakak sendiri," sindir Bu Daung.Ucapannya kali ini sedikit nyaring, hingga membuat beberapa pasang mata, yang berada di rumah acara, penyambutan kedatang Karin dan Alif, menoleh ke arah mereka.
Bab43"Maafkan kekurangan Karin," ucap Karin dengan terisak. "Maaf," lanjutnya lagi.Alif merangkul bahu istrinya yang kini bergetar."Ini bukan salah kamu, Karin." Ustadzah berkata dengan tegas. "Tapi Daung! Wanita itu, melukai harga diri keluarga ini."Karin masih terisak, hatinya tetap saja terasa sakit. Bayangan tentang hinaan itu saja, masih membekas diingatannya. Dan malam ini, kembali hal itu mereka bahas, membuatnya semakin merasa hancur."Bun, bisakah kita tidak membahas ini," pinta Alif, yang merasa kasihan dengan istrinya."Karin, sebelumnya Bunda minta maaf, jika ada perkataan Bunda, yang menyakiti hatimu."Ustadzah menarik napas dengan berat."Kita bicara pada intinya saja. Danang, Bunda mohon! Batalkan pertunangan kamu dan anak Bu Daung!" pinta Ustadzah dengan wajah penuh harap."Apa?" Mereka semua serentak terkejut."Bunda, kenapa hubunganku yang jadi sasaran? Itu masalah Kak Karin dengan
Bab44"Ya Allah, Ya Allah," pekik Bunda. Wanita paru baya itu pun terkulai lemah, hingga tidak sadarkan diri lagi."Astagfirullah, Bunda ...." mereka semua terkejut, dan bergegas menghampiri Bunda mereka.Ustadz begitu panik dan nyaris ingin mengamuk. Namun dia terus beristighfar dalam hati berkali-kali, sembari menahan kepala Ustadzah di lengannya.Mereka membawa Ustadzah ke dalam kamar, dan membaringkannya diatas kasur."Bunda," lirih Karin, air mata wanita itu terus mengalir sedari tadi. Namun tiba-tiba, Alif melayangkan tinju ke arah Danang.Seisi rumah mendadak riuh."Mas, tolong hentikan," pinta Karin, dan berusaha menahan tubuh suaminya, yang berusaha kembali menyerang Danang.Danang yang tersungkur, begitu marah dan berniat membalas perbuatan Alif. Namun Ustadz dan Azzam, melerai keduanya."Dasar brengsek!" umpat Danang dengan mata melotot marah."Kubunuh kamu!" teriaknya dengan meronta-ronta, agar lepas d
Bab45"Karin, apakah kamu bahagia?" tanya Alif, namun lelaki itu, tidak kuasa menatap wajah istrinya. Meskipun melempar tanya, dia tetap berbaring membelakangi Karin.Karin tidak menyahut, dia terdiam, menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan yang rumit.Alif pun terdiam, sembari melentangkan tubuh, dan melihat ke samping. Karin membelakanginya."Karin," panggil Alif dengan suara serak."Hmm.""Kenapa tidak menjawab?""Untuk apa?""Aku bertanya, dan aku ingin tahu.""Kalau sudah tahu untuk apa? Jangan terus menekanku, Mas."Alif terdiam."Aku mampu menahan hinaan mereka, demi kamu. Kamu bukannya menguatkan, malah memupuskan. Jika Mas tidak bahagia hidup denganku, utarakan, jangan bersikap seperti ini. Nyaris, hampir tiap malam aku dibelakangi. Semenjak surat itu kamu dapatkan, tanpa kamu sadari, aku jadi korban perasaanmu."Alif masih terdiam, semua yang Karin katakan adalah benar. Alif merasa
Bab46Pagi itu, Karin melakukan aktivitasnya seperti biasa. Begitu juga dengan Alif, yang selalu setia membantu istrinya."Karin, benar nggak sih, kalau ternyata si Alif mandul?" tanya Bu Atun, yang rumahnya bersebelahan dengan toko Bu Daung.Karin terkejut, dan menatap datar ke arah Bu Atun, yang tiba-tiba bertanya seperti itu.Cobaan apalagi ini? Ya Allah, lirihnya dalam hati. Di saat ekonomi mereka melejit naik, cobaan itu pun nyaris sama.Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin menerpanya. Mungkin kata-kata itu, patut dia pahami kini dalam kehidupannya.Apalagi, kini Karin dan Alif, telah membangun rumah paling besar dan megah di kampung mereka. Meskipun masih dalam proses pembangunan, namun jelas sekali, rangkaian bangunan itu nampak mewah dengan bahan-bahan bangunan yang mahal dan juga kualitas tinggi."Bu, maaf, apa yang membuar Ibu bertanya seperti itu?" tanya Karin dengan lembut."Itu tadi si Daung yang
Bab47 "Maaf." "Jika Mas merasa lelah, aku juga. Tapi aku tidak pernah berpikir sedikitpun, untuk meninggalkanmu." Alif tertunduk, entah mengapa, rasanya kenyataan ini begitu pahit untuk dia terima. "Berdamailah dengan takdir, Mas. Terima kekuranganmu, seperti aku menerima kamu apa adanya. Aku bahagia, aku tidak merasa kekurangan apapun." Mata Alif kini berembun, ada rasa sesak di dada yang kian kuat. Karin mendekat dan memeluk suaminya. "Aku beruntung memiliki kamu. Suami yang baik dan bertanggung jawab, mencintaiku, juga Emilia. Lalu, apa yang kurang? Tidak ada." "Maaf." Alif kembali bersuara. Bu Daung yang tadinya mendengar teriakkan Karin, pun langsung memasang mata dengan tajam. Melihat Karin dan Alif berpelukan, entah mengapa, dia tidak suka. Dan merasa, Karin begitu bodoh mempertahankan Alif yang mandul. Mengingat masa depan anaknya yang nyaris gagal dalam hubungan cinta. Hal itu, mem
Bab48 Karin gelisah, begitu juga dengan Hanum dan Ustadzah.Karin terus berusaha menghubungi Alif, namun tetap nomor ponselnya tidak aktif. Karin pun izin keluar, untuk mencari Alif. Sepanjang koridor, perasaan Karin kini tidak tenang. Teringat kembali ucapan Alif, bahwa dia merasa pusing. Karin menyesal, begitu egois mendesak Alif, hanya karena panik dengan keadaan Aisya. Sirine mobil ambulan berhenti di ruang UGD, yang tidak jauh dari tempat Karin berdiri saat ini. Para team medis keluar dari ambulan, membawa seseorang yang terbaring di atas brankar. Juga ada satu orang laki-laki berpakaian biasa, yang tidak di kenali Karin. Namun lelaki yang terbaring di atas brankar itu, pakaian dan perawakannya, sangat Karin kenali. Perasaan gugup dan terkejut, kini menyeruak di hatinya. Karin berlari tergopoh-gopoh ke arah para team medis yang mendorong cepat brankar itu ke arah ruang UGD. "Berhenti sebentar," pinta Karin denga
Bab49 Hanum yang mendengar teriakkan Karin, dia pun bangkit dari duduknya di depan kompor, karena sambil memasak untuk sarapan. Wanita paru baya itu berlari tergopoh-gopoh. "Ya Allah, Karin." Hanum semakin panik, ketika melihat Karin berlari keluar rumah, dan dia pun mengejarnya dengan cepat. Karin menangis sepanjang jalan, sembari menyebut nama Alif berulang-ulang. Wanita itu pergi menuju ruko miliknya. Namun ruko itu tutup, dan hal itu kembali membuat Karin panik. Jika awalnya dia berusaha yakin ini mimpi, kini perasaannya kembali cemas dan ketakutan. "Karin," panggil Bu Daung, yang heran melihat Karin menangis di depan rukonya. Bu Daung yang sudah rapi dan berpakaian serba hitam itu pun, mendekat ke arah Karin, usai menutup pintu toko sembakonya. Hanum pun merasa sangat lelah, dan tidak begitu kuat lagi untuk berlari. Hingga dia hanya mampu berjalan, itu pun dengan susah payah dia mengatur napas