Part18^pov Karin^Flashback sedikit.Aisyahkita gantiAisyaSepulang Aisya dan Mas Yusuf dari rumah Bapak, Ibu mendekat ke arahku, ia duduk disampingku sambil tersenyum memandangi wajah mungil Emilia."Nak, apakah kamu benci dengan Aisya?" tanya Ibu.Aku menggeleng. "Biar bagaimanapun, Aisya anak Ibu, yang berarti, adik Karin. Mana mungkin Karin bisa membenci saudara sendiri.""Kalaupun kamu membencinya, Ibu bisa memaklumi, dia adalah petaka dalam rumah tangga kalian," ungkap Ibu, dengan mata mulai berkaca.Aku tersenyum. "Perpisahan kami itu garis takdir, Bu. Aisya hanyalah korban cinta buta mas Yusuf, dia lah orang yang paling bersalah dalam hal ini," jawabku pelan."Tetap saja, Aisya juga berperan dalam hal ini.""Iya, biarkan semesta yang menghukum mereka. Karin selalu berdoa, semoga adik Karin itu bahagia. Dan kembali menjadi wani
Part19"Mas ..., aku mohon sadarlah, kamu sudah keterlaluan!" lirihku.Ya Allah, bagaimana jika anakku kehausan, sedangkan selama ini ia selalu aku berikan asi eksklusif."Mas, kasihan Emel, kalau dia haus bagaimana?" pekikku."Diam ..., buat apa kamu sok-sokan peduli dengan Emelia, nyatanya kamu tetap memilih memberikan keluarga broken home untuknya.""Mas, ini pilihan kamu saat itu, kamu yang terang-terangan menceraikanku! Untuk apalagi kita kembali bersama? Jika nyatanya aku sudah tidak punya rasa.""Rasa itu bisa tumbuh seiring waktu!" jawabnya dingin."Mas, kumohon pulangkan aku," lirihku."Aku tidak akan rela, kamu menikah dengan si Alif.""Mas, aku juga berhak bahagia, sadarlah! Yang kamu lakukan ini salah.""Aku tidak bisa, tidak akan pernah bisa, melihat kamu menjadi milik lelaki lain.""Egois, kamu jahat, mas."Mas Yusuf tida
Part20Usai makan siang, aku dan mas Alif bersantai-santai di depan etalase toko yang terisi smartphone, dengan harga yang bervariasi, milik mas Alif."Dek, tuh Aisya ...." Mas Alif sambil menunjuk dengan bibirnya, ke arah Aisya yang terlihat berlari kecil dengan mengenakan gamis berwarna maroon serta kerudung warna senada. Ia terlihat begitu panik menuju ke arah toko kami."Kak, Ummi masuk rumah sakit," katanya dengan wajah panik."Seriusan? Kapan Aish?" tanyaku, yang juga mendadak panik."Tadi pagi, Aish tau dari Bu Romlah, ketemu di tukang sayur tadi. Ummi katanya di bawa ke rumah sakit, di kota.""Mas ...." Aku menatap sesaat wajah mas Alif.Mas Alif pun paham dengan pandanganku."Mas yang akan antar kalian, nanti mas akan minta Danang yang jaga toko. Kamu siap-siap dulu!" ucapnya dengan ramah.Aku mengangguk cepat. "Aish, Kakak siap-siap dulu, kamu tunggu disini? Atau
Part21"Maaf, Rin."Abah berkata sambil menunduk.Aku enggan menggubris ucapan Abah, hatiku rasanya beku, menatap kecewa pada mereka."Setelah Aisya pulih, aku akan membawanya pulang ke rumah. Kalian tidak perlu repot-repot lagi menolak kehadirannya sebagai menantu, aku yang akan membantunya menggugat cerai mas Yusuf.""Karin, Abah tahu kamu kecewa, tapi tolong, jangan rusak kebahagiaan yang di impikan Aisya.""Kebahagiaan apa? Bah. Selama ini apakah mas Yusuf membahagiakan Aisya? Tidak. Bahkan kalian selalu menganggapnya tidak ada? Kan. Sejahat-jahatnya Aisya, dia tetap adik Karin, kalian menyakitinya, sama dengan menyakiti Karin," jawabku."Sayang, sudah!" bisik mas Alif, seraya memegang kedua bahuku dari belakang."Mas, aku sakit hati, melihat mereka memperlakukan Aisya seenaknya.""Karin, ini rumah tanggaku, kamu tidak berhak ikut campur!" ucap mas Yusuf, dingin.Aku men
Part22"Ummi terlalu kecewa dengan Aisya, Ummi merasa, semenjak Yusuf menikah dengan Aisya, ia menjadi tidak terarah.""Umm, itu bukan alasan yang tepat, untuk mempermainkan Aisya seperti ini. Jika Ummi keberatan dengan hubungan mereka, kenapa tidak meminta anak Ummi, menceraikan Aisya terlebih dahulu? Jangan di gantung seperti itu."Ummi terdiam, rasanya aku lelah untuk menyalahkan mereka. Semua inti permasalahan ini, ada pada mas Yusuf.Aku enggan bicara pada Ummi dan Abah lagi, kutarik tangan mas Alif, membawanya keluar dari ruang rawat Ummi. Kemudian menuju ruangan Aisya di rawat."Terimakasih, Mas. Aisya kangen sekali, jangan tinggalin Aisya lagi ya!"Terdengar suara lirih Aisya, sepertinya ia sudah siuman. Kudorong pelan ruangannya, istri kedua mas Yusuf duduk di sofa, yang ada di pojokan ruangan."Kak Karin," lirih Aisya, seraya tersenyum manis, binar kebahagiaan begitu kentara di wajah A
Part23"Ummi, maksud Ummi apa?" tanyaku bingung.Sulit untuk aku cerna, inti dari omongannya."Assalamualaikum," ucap seseorang dari luar."Walaikumsalam," jawabku dan Ummi bersamaan, sambil menoleh ke arah pintu. Sedangkan Abah, sedari tadi ia memilih untuk masuk ke dalam kamar.Dinda, wanita itu datang berkunjung, kemudian ikut duduk di ruang tamu, sambil melempar senyum kepada Ummi."Begini, Karin. Ummi tau, kamu kecewa. Tapi Ummi tidak bisa membiarkan Yusuf tidak memiliki keturunan. Apalagi, sekarang anak Ummi hanya Yusuf.""Memangnya Emelia itu bukan anak mas Yusuf?" tanyaku heran, seakan Emelia tidak dianggap ada."Jadi? Ini kecil ini, anak mas Yusuf? Lalu kamu?" Dinda langsung menyambar bagaikan petir.Dengan wajah terheran-heran, sepertinya Dinda tidak begitu banyak tau tentang kemelut keluarga kami semua ini."Kenapa Kaget? Tuh anak mas Yusuf sama aku!" jawabk
Part24°pov Aisya°Masih begitu terasa nyeri, pasca operasi pencangkokan ginjal untuk Ummi.Namun hatiku berbunga-bunga, suami yang teramat aku rindukan, kini ada di depanku dengan pandangan wajah yang teramat khawatir menatapku."Kamu sudah siuman sayang?" tanyanya lembut, kemudian mencium mesra punggung tanganku, juga puncuk kepalaku.Aku tersenyum menatapnya. "Aku rindu!" bisikku pelan."Aku juga, sangat rindu! Maaf lama pergi, mas sempat merasa malu untuk kembali ke kampung," jawabnya pelan, kemudian wajah tampan nan rupawan itu menunduk."Tidak apa-apa, mas."Kemudian pintu terbuka, muncul sosok seorang wanita yang tidak aku kenali."Mas, siapa?" tanyaku, sambil melirik ke arah daun pintu. Tempat wanita itu berdiri.Mas Yusuf menoleh ke arahnya, kemudian kembali tersenyum menatapku."Dinda namanya, sepupu mas! Mungkin dia akan menema
Part25°pov Aisya°"Mas, kamu hargain aku dong! Aku ini juga istri kamu, aku nggak mau di perkenalkan sebagai pembantu!" rengek Dinda."Memang pantes kok di kata pembantu! Norak soalnya!" cetus Bu Daung dengan mencibir."Heh, nggak usah ikut-ikutan dong! Makin runyam aja nih," sahut Dinda, masih pelan, tidak segalak di awal."Bu Daung, saya minta maaf atas ketidaknyamanan kalian," ucap mas Yusuf pelan.Bu Daung mendengus, mobil orang tua mas Yusuf memasuki pekarangan rumah kami.Ummi bergegas keluar dari mobil, kemudian menghampiriku yang diam membeku. Dari kejauhan pun, terlihat Ibuku berjalan menuju kemari.'Ya Allah, bakal rame nih rumah.' celetukku dalam hati."Sayang ..., Maafin Ummi ya, Nak."Aku tidak bergeming, masih diam seraya memeluk kedua lututku."Aisya, kita buka lembaran baru lagi, demi keluarga kita!" seru mas Yusuf.