“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Nayya sembari memegangi lututnya. Sudah sepuluh menit ia berjalan kaki membuntuti Rafan. Lebih tepatnya, dipaksa untuk ikut. Seharusnya kalau sedang berhalangan salat begini, ia masih meringkuk di kamar. Menambah durasi tidurnya.
Rafan bilang akan mengajak Nayya ke tempat yang pasti disukai sang istri. Namun, ini rahasia. Namanya juga surprise. Mereka berdua menyusup ke kebun belakang. Melewati jalan setapak. Ditemani cahaya samar-samar senter yang dibawa Rafan. Hari masih terlalu gelap untuk dijajaki. Udara pun membuat tubuh sedikit menggigil.
“Mas, enggak asyik ah.” Nayya menggaruk pipinya. Gatal karena gigitan nyamuk. Kakinya sudah minta istirahat.
“Dikit lagi kok.” Rafan berusaha meyakinkan.
Sayup-sayup suara tertangkap gendang telinga Nayya. Ia tahu ada suara binatang yang kedengarannya tidak asing. Bukankah itu suara sapi?
“Mas, bau apaan nih?”
"Jangan panik, kita diam dan berdoa!" Nayya menahan napas, melantunkan doa apa saja. Sesuai yang terlintas di kepalanya, sampai-sampai doa makan pun ikut terbawa. Semua santriwati menurut, tidak ada yang bergerak. Mereka membaca doa-doa pengusir bahaya seperti yang telah diajarkan di pesantren. Ular hitam sebesar lengan manusia melintas. Tepat di depan mereka. Napas Nayya naik turun. Keringat dingin sudah menghinggapi badannya. Setelah ular sudah menjauh, Nayya menarik napas dalam-dalam. Lega. Tubuh wanita itu menggelosor ke bawah, jatuh terduduk. "Astaghfirullah, Ustazah kenapa?" tanya Dije sambil memegangi lengan Nayya. Nayya masih mengatur napas. Ia memegangi dadanya. Air mata jatuh menetes ke pipi mulusnya. "Kakiku mendadak lemes. Aku enggak pernah lihat ular sebesar itu sebelumnya," ujar Nayya kalut. "Ust, sebaiknya kita bergegas sekarang. Sebelum ularnya balik lagi," kata salah satu santriwati. Dije membantu memapah Nayya. "Enggak papa, biar aku sendiri aja," tolak Na
Bukan karena suhu dingin dari hawa gunung yang membuat gadis dengan julukan perawan Depok itu merasakan gigil di tubuhnya. Namun, ia tengah dilanda ketakutan. "Gin, gue jadi khawatir sama kondisi lo, deh. Kita bilang sama Mas Rafan buat antar lo ke dokter, ya?" tawar Nayya penuh perhatian.Alih-alih mengiyakan permintaan Nayya, Gina menggeleng. Gadis itu memeluk dua lututnya."Gue kena sindrom kali, ya, Nay," ucap Gina."Maksudnya?""Setiap kali ngelihat Pak Kardi, gue jadi menggigil gini," terangnya lebih lanjut."Lo sindrom sama Pak Kardi?"Gina mengangguk cepat. "Kita sampai kapan sih, Nay, di sini?" "Gue juga belum tahu, Gin. Tergantung Mas Rafannya. Besok ke tempat mertua Gue ikut?" "Ikut." Respons dari Gina yang secepat kilat."Oke, nanti gue bilang sama Mas Arkan."***Rafan sudah memberitahu pada Nayya semalam bahwa hari ini tidak ada jadwal mengisi ceramah. Untuk itu, pria yang dipanggil ustaz itu mengajak sang istri untuk berkunjung ke rumah orang tuanya saat fajar tiba.
"Mas, ada yang mau aku tanyakan." Nayya tiduran di pangkuan Rafan, tempat ternyaman menurut Nayya. Mereka sedang berada di dalam kamar. Rafan membelai pipi sang istri dengan lembut dan penuh kasih sayang. Sebenarnya Nayya sedari tadi sudah menahan geli dan ingin menyingkirkan tangan suaminya dari pipi. Namun, ia tidak rela melepas belaian lembut sang suami by. Wanita itu berusaha keras menahan rasa geli dan bersikap biasa saja."Tapi janji jangan marah, ya?""Kamu selalu deh, bikin penasaran orang aja. Ngomong sekarang, nggak?" Rafan menarik hidung istrinya. Nayya sampai bangun dan bersin karena hidungnya ditarik sama Rafan. "Sayang, ih, hidung aku jadi gatel tahu kalau ditarik-tarik gitu.""Ya udah bilang cepet!" Sekarang Rafan memencet-mencet pipi Nayya dengan gemas."Aku udah kayak squishy, deh, dipencet-pencet melulu." Bibir Nayya tertekuk. Protesnya diabaikan. Suaminya malah semakin menjadi dan asyik meremas-remas pipinya."Habisnya punya istri nggemesin banget. Jadi, ya, gini
Ibu mertua Nayya begitu dekat dengan mantan menantunya. Tentu saja Nayya merasakan kecemburuan di dalam hati. Kehadiran wanita yang pernah masuk dalam kehidupan suaminya membuat hati Nayya menjadi kacau. Kini dia terpaksa harus berbaring di atas ranjang. Kondisi fisik Nayya mendadak down sejak pertemuannya dengan mantan sang suami."Nay, udah dong. Kenapa harus dipikirin, sih? Mas Rafan itu milik kamu seutuhnya, wanita itu cuma mantan." Gina tengah menghibur sahabatnya itu. "Justru itu, Gin. Kenapa coba udah mantan tapi masih berkunjung ke rumah mertuaku? Aneh 'kan?" Hati Nayya yang mudah layu teramat nelangsa. Saat lagi sedih-sedihnya, orang yang tidak diharapkan kehadirannya justru datang mengetuk pintu kamar Nayya."Permisi. Saya bikinkan susu buat Mbak Nayya. Diminum, ya. Susu sangat baik buat kesehatan." Wanita yang menjadi alasan Nayya terpuruk saat ini meletakkan gelas berisi susu ke meja kecil di samping ranjang."Makasih banyak, Mbak. Tapi sepertinya teman saya lagi butuh s
"Maaf, Nayya lupa meminumnya. Susunya keburu dingin." Rafan memang luar biasa. Ia selalu bisa membaca keadaan. Rafan mengambil gelas berisi susu dan melewati mantan istrinya begitu saja. Hal itu cukup membantunya memiliki alasan untuk kabur dari sana. Rafan tidak mungkin tetap tinggal sementara ia dikepung wanita dari masa lalu dan wanita yang akan menemani di masa depannya. "Mama kenapa ke sini, sih? Aku lagi kenalan sama Umma Nayya," protes Hanun pada sang ibu. Hati Iin tiba-tiba terasa perih. Seperti teriris oleh silet tajam. Wanita bernama Nayya itu betul-betul keterlaluan. Setelah mendapatkan mantan suaminya, ia juga akan merebut hati sang putri. "Hanun, ayo keluar! Kita sarapan sekarang!" perintah Iin dengan ketus. "Anak cantik sekarang sarapan dulu, ya. Katanya Hanun Qadira adalah anak yang kuat." Nayya membujuk Hanun dengan baik. "Baik, Umma. Aku mau sarapan dulu biar kuat, ya." Hanun tersenyum simpul. Dada Iin terasa panas melihat sang putri begitu ramah pada orang y
Ketika mentari hangat datang menyapa, Nayya berjemur di halaman belakang. Ia meregangkan otot-otot tubuhnya dengan berolahraga kecil seperti lari di tempat dan menggerak-gerakkan tubuh. Butiran-butiran embun menguap melewati fase kondensasi ketika cahaya matahari mulai berkilauan.Rafan sudah pamit pergi ke desa tetangga untuk mengisi kuliah subuh di sebuah masjid. Saat melintasi ruang makan, Nayya mendengar ada suara Abah dan Ummi yang sedang ngobrol. Tercium aroma wangi kopi bubuk yang mambaui hidung wanita itu. Nayya berniat pergi ke kamar Gina untuk membangunkan sahabatnya itu. Karena Gina suka tidur lagi setelah salat Subuh.Langkah kaki Nayya terkunci saat ia tidak sengaja mendengar namanya disebut-sebut oleh kedua mertuanya itu."Menantu kita bukan lagi Iin, Bu. Kamu harus bisa menempatkan diri. Siapa yang berhak kamu perlakukan sebagai menantu. Nak Nayya pasti sangat sedih melihatmu terlalu mengistimewakan mantan istri Rafan itu." Musa menyeruput kopi hitam dalam cangkir jad
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Nayya kepada sopir pribadi keluarga suaminya. Kardi hanya bergeming, tanpa berucap sepatah kata pun, ia memilih untuk berlalu pergi."Lo sekarang percaya sama gue kan, Nay? Pak Kardi dari awal ketemu emang sikapnya aneh. Ngapain coba dia berdiri di di dekat kamar cewek?" Gina terlihat resah. "Gue ngerti perasaan lo, Gin. Gue juga pernah bicara sama Mas Rafan perihal Pak Kardi. Tapi akhir-akhir ini lo tahu sendiri, Mas Rafan sibuk banget. Kita cari tahu sama-sama soal Pak Kardi, ya. Lo mau sabar dikit lagi kan?" Gina menghempaskan napas. "Oke gue usahain buat lebih bersabar. Ini semua demi lo."Kening Nayya berkerut. "Itu karena lo sahabat baik gue. Nggak mungkin kan, hanya gara-gara Pak Kardi gue balik ke Depok ninggalin lo?" Gina teringat bagaimana perlakuan mertua Nayya. Ia juga tahu kalau sahabatnya merasa minder dengan kondisi pesantren yang serba Islami. Setidaknya kalau ada dirinya, Nayya tidak menghadapi masalahnya sendirian. "Sebenar
"Gin, lo nggak papa 'kan?" tanya Nayya yang berdiri di belakang Gina. Gina memutar tubuhnya. "Gila lo, bikin jantung gue mau copot tahu nggak?""Gue cuma mastiin kalau lo sampai ke kamar dengan selamat. Soalnya tadi sebelum lo ke aula, Pak Kardi udah ke sana duluan. Gue takut lo kenapa-napa," terang Nayya memberitahu. Mendengar nama itu disebut, Gina bergerak cepat membuka pintu. Ia menarik tangan Nayya untuk masuk ke kamar. "Lo tahu dia di aula kenapa nggak ngomong?" Gina agak geram. "Makanya gue nyusul ke aula, takut kalau orang tua itu ngikutin lo ke kamar. Tadi gue lupa ngasih tahu ke lo. Udah ah yang penting lo slamet. Jangan lupa kunci pintunya. Gue mau ke dapur lagi bantuin Dije."Nayya dan Dije asyik membicarakan banyak hal mengenai kegiatan pesantren. Membuka wawasan yang jauh lebih luas bagi Nayya. Saking asyiknya, membuat Dije ketumpahan air dari wajan yang sedang dibilasnya. "Astaghfirullah. Yah, basah deh kerudung saya." Dije mengibaskan kerudungnya."Eh, pakai kerud
Matahari belum terlalu tinggi ketika Gina, Nayya dan Rafan tiba di pendopo berarsitektur Jawa klasik itu. Jantung Gina sudah berdetak tak menentu sejak pagi. Setiap langkah kaki serasa membawa beban yang semakin berat, bukan karena jalan setapak menuju pendopo yang panjang, tapi karena hari ini akan menjadi salah satu momen terpenting dalam hidupnya. Ayahnya, Pak Kardi, menampar bahunya dengan lembut. “Tenang saja, Gina. Bapak yakin semua akan berjalan dengan lancar." Gina tipis tersenyum, meski hatinya masih penuh kecemasan. Ia tak bisa berhenti memikirkan perasaan yang mendesaknya sejak mengetahui siapa calon yang akan menemuinya hari ini, Furqon. Nama itu menggetarkan jantung, dan semakin mendekati pertemuan ini, rasa tegang melumuri perasaannya. Gina tak pernah menyangka kalau lelaki yang dicintainya itu juga mencintainya. Hari ini, ia seperti sedang memimpikan hal besar dan mimpi tersebut menjadi kenyataan. Langkahnya sempat berhenti di depan pintu. Seketika jantungnya berdet
Gina dan Pak Kardi baru saja sampai di halaman pondok setelah perjalanan panjang dari Semarang. Matahari senja memancarkan hangat, mengingatkan keduanya dengan cahaya oranye yang lembut. Udara desa yang segar menyambut mereka setelah beberapa hari berkelana di kota besar, membawa kelegaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata."Capek juga ya, Gin?" tanya Pak Kardi sambil melepaskan topinya dan mengibaskannya ke wajahnya yang mulai basah oleh keringat. Ia tersenyum kecil meski jelas lelah.Gina mengangguk, matanya menerawang ke arah taman yang ada di halaman pondok. "Iya, Pak. Alhamdulillah perjalanan tadi lancar. Nggak seperti yang kita bayangkan," jawab Gina, suaranya lembut, menggambarkan kelegaan yang juga dirasakannya.Malam itu, setelah beristirahat panjang di kamar, Gina memutuskan untuk menemui Nayya. Mereka sudah lama bersahabat, dan bagi Gina, Nayya adalah seseorang yang selalu bisa mendengar cerita-ceritanya dengan penuh perhatian. Dengan perasa
Rafan berdiri dengan tenang di ambang pintu, memperhatikan kedua kakaknya, Ibrahim dan Furqon yang duduk di ruang tamu rumah orang tua mereka. Suasana terasa tegang, meski tak ada kata yang terucap. Di sudut ruangan, Abah dan Ummi duduk dengan wajah yang penuh pertimbangan. Pembicaraan tentang pernikahan Furqon dan Gina semakin memanas di dalam keluarga mereka, dan kali ini, Rafan berhasil membawa semua orang yang terlibat ke meja perundingan.Nayya memilih untuk tidak hadir. Ia merasa sudah terlalu lelah dengan segala ketegangan ini. Ia memilih menghabiskan waktu di pondok."Aku sudah mendengar semuanya." Abah memulai pembicaraan, suaranya berat dan penuh dengan perasaan. "Tentang niatmu yang ingin meminang Nak Gina."Furqon mengangguk pelan, matanya tidak pernah lepas dari wajah Abah. "Ya, Bah. Aku sudah memantapkan niat. Aku jatuh cinta padanya."Ibrahim, yang duduk di sebelah Furqon, menghela napas panjang. Dia adalah kakak tertua, yang selama ini selalu menjadi panutan. Namun, d
Nayya duduk diam di kursi penumpang, menatap kosong ke luar. Hujan turun dengan pelan, membentuk tetesan air yang perlahan mengalir di kaca jendela, seakan mengikuti derasnya perasaannya. Hatinya masih terasa berat setelah kejadian di rumah mertuanya tadi. Perasaan terluka dan kesal bercampur menjadi satu, membuat perjalanannya jadi tidak nyaman.Di sebelahnya, Rafan yang sejak tadi juga diam, sesekali melirik ke arah Nayya. Ia tahu betul bahwa Nayya terluka karena perlakuan Ummi tadi. Ucapan-ucapan keras yang terlontar dari mulut Ummi, meski niatnya untuk mengingatkan, telah melukai hati Nayya."Aku minta maaf atas perkataan Ummi."Nayya masih diam. Bukan karena ia tidak mendengar, tapi karena ada gumpalan emosi yang masih tersulut di hatinya. Sejak kejadian di rumah Ummi tadi, ucapan-ucapan itu terus terngiang di pikiran, seolah menambah beban yang sudah ia pikul. Akan tetapi, ia juga tahu bahwa Rafan ada di tengah-tengah semua ini, terjepit antara dua cinta: cinta seorang anak pada
"Abah," Rafan memulai dengan hati-hati, "Kami datang untuk membicarakan sesuatu yang penting. Ini tentang Mas Furqon."Abah mengangkat kelopak mata, tapi tetap tenang. "Apa yang terjadi dengan Furqon?"Rafan menelan ludah, lalu menatap ke Nayya. Furqon ingin meminang Gina, Abah. Dia berharap Abah bisa merestui niatnya."Sejenak suasana menjadi hening. Abah menatap Rafan dan Nayya bergantian, seolah mencoba mencari jawaban di balik wajah mereka. Dia meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi kayu yang sudah mulai usang."Maksudmu, Nak Gina sahabat Nak Nayya?" "Betul, Abah." Rafan menjawab.“Furqon anak yang baik dan penurut. Aku tahu dia serius. Tapi kau harus tahu, Rafan, bahwa menikah bukanlah perkara mudah. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, bukan hanya cinta."Nayya yang sedari tadi diam, tiba-tiba berbicara, "Abah, kami paham. Mas Furqon bukan hanya mencintai Gina, tapi dia juga siap untuk bertanggung jawab dan membahagiakannya. Kami y
Nayya menghela napas panjang. Meskipun sudah sering ke rumah mertua, tetap ada rasa gugup yang menggelayuti hatinya. Ia ingin semua berjalan lancar, tetapi perasaan itu tak mudah diabaikan. Terlebih lagi, hubungan dengan mertua, khususnya Ummi, masih terasa kaku. Rafan menggenggam erat tangan Nayya. "Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja," ujarnya meyakinkan. Nayya tersenyum lemah, menyembunyikan kegelisahan yang bergemuruh di hatinya."Assalamualaikum, Ummi," ucap Nayya, mencoba mencairkan suasana.Ummi menjawab salamnya dengan nada datar, tanpa senyuman. "Waalaikumussalam."Rafan, yang menyadari perubahan sikap ibunya, berusaha bersikap biasa. "Ummi, apa kabar?" tanyanya sambil mendekat untuk mencium tangan ibunya."Baik," jawab Ummi singkat, lalu menoleh ke arah Nayya dengan pandangan yang sulit diterjemahkan.Ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah, suasana terasa berbeda dari biasanya. Udara yang biasanya hangat, kini terasa berat. Ummi yang biasanya menyambut putra
Seperti biasa menjelang tidur, sepasang suami istri itu deep talk terlebih dahulu, bertukar cerita tentang apa saja yang terjadi selama satu hari ini. "Kenapa melamun, Sayang?" tanya Rafan menarik selimut. Di sampingnya, duduk sang istri yang sedang menopang dagu menggunakan tangan sambil menggembungkan pipi. "Gina minta pulang ke Depok, Mas." "Tapi aku masih ada beberapa jadwal mengisi pengajian di beberapa tempat. Apa nggak sebaiknya nunggu dulu, biar bisa pulang sama-sama?""Maunya aku juga gitu.""Sebentar, aku mau cek jadwal dulu," ucap Rafan yang hendak mengambil buku agenda hitamnya. "Aku udah cek. Masih dua minggu lagi, Mas." Rafan tidak tahu ternyata sang istri begitu paham dengan jadwal kegiatannya. "Terus apa rencanamu?" Nayya mengedikkan bahu. "Sebenarnya aku juga ingin pulang. Kangen sama Ibu dan Ayah." Rafan termenung. Ia menyadari, sudah lama mereka tidak pulang ke Depok. "Kalau begitu, aku akan coba diskusikan terlebih dahulu dengan pihak penyelenggara dan pon
"Sorry, Nay. Pikiran gue lagi kalut. Gue nggak bermaksud bikin lo sedih." Gina jelas merasa bersalah. Kalimat yang diucapkannya tadi bisa saja menjadi bumerang. Ia setuju dengan Nayya dan menganggap dirinya keliru.Nayya berjalan selangkah demi selangkah mendekat kepada sang sahabat. Tatap memelas yang ditujukan untuk sang sahabat sedikit mencairkan hati Gina. Di bawah langit yang cukup cerah dengan gumpalan awan indah mereka saling berpelukan. Mata-mata telanjang para santri yang tidak sengaja melihat adegan itu langsung tertunduk. Tidak ada yang kepo dengan urusan orang lain. Terlebih orang itu merupakan orang terdekat Ustaz."Lo ngerasa kita itu lucu nggak, sih, Gin?"Masih dengan pelukan yang tidak seerat tadi, Gina menjawab iya. Perlahan, dilepaskan tangan sang sahabat dari pinggang. "Lebih ke aneh kali, ya," sangkal Gina kemudian."Yups. Kita sama-sama aneh dan lucu." Nayya meringis. Seketika tangan jahil sang sahabat mendorong tubuhnya yang sedang lengah. "Aish, gila!" prote
Rafan tentu saja senang mendengarnya. Bukankah baru kemarin istrinya itu bilang kalau Gina menaruh hati pada Furqon. Tidak. Bukan sekarang waktunya. Rafan akan memendamnya sendiri dulu. Hingga suasana hati Ibrahim membaik. Baru nanti ia akan bicara kepada istrinya lagi. Kalau sebenarnya, Furqon jatuh hati kepada Gina. "Aku khawatir kalau Mas Aim tahu malah akan bertambah marah," ujar Furqon."Tidak apa-apa. Kita bisa menunggu Mas Aim membaik suasana hatinya. Aku dukung Mas Furqon. Gina adalah sahabat Nayya dari kecil. Insya Allah Gina wanita yang baik." Rafan tersenyum.Alih-alih merasa senang, raut muka Furqon justru terlihat sedih. "Kau dengar sendiri Mas Aim menyuruhku mencari wanita yang sekufu.""Mintalah petunjuk sama Allah, Mas. Dengan hati penuh ikhlas seperti yang dikatakan guru kita. Jangan lupa pula meminta pendapat kepada Ummi dan Abah."Di lain tempat, Nayya melamunkan tentang perasaan Gina terhadap Furqon. Bukan hal mustahil kalau orang biasa bisa menikah dengan seora