Halo Readers, Terima kasih sudah mengikuti kisah Rafan dan Nayya sejauh ini. Jika berkenan tolong kasih dukungan buat cerita ini yaaaa š¹š¹š¹
Ketika mentari hangat datang menyapa, Nayya berjemur di halaman belakang. Ia meregangkan otot-otot tubuhnya dengan berolahraga kecil seperti lari di tempat dan menggerak-gerakkan tubuh. Butiran-butiran embun menguap melewati fase kondensasi ketika cahaya matahari mulai berkilauan.Rafan sudah pamit pergi ke desa tetangga untuk mengisi kuliah subuh di sebuah masjid. Saat melintasi ruang makan, Nayya mendengar ada suara Abah dan Ummi yang sedang ngobrol. Tercium aroma wangi kopi bubuk yang mambaui hidung wanita itu. Nayya berniat pergi ke kamar Gina untuk membangunkan sahabatnya itu. Karena Gina suka tidur lagi setelah salat Subuh.Langkah kaki Nayya terkunci saat ia tidak sengaja mendengar namanya disebut-sebut oleh kedua mertuanya itu."Menantu kita bukan lagi Iin, Bu. Kamu harus bisa menempatkan diri. Siapa yang berhak kamu perlakukan sebagai menantu. Nak Nayya pasti sangat sedih melihatmu terlalu mengistimewakan mantan istri Rafan itu." Musa menyeruput kopi hitam dalam cangkir jad
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Nayya kepada sopir pribadi keluarga suaminya. Kardi hanya bergeming, tanpa berucap sepatah kata pun, ia memilih untuk berlalu pergi."Lo sekarang percaya sama gue kan, Nay? Pak Kardi dari awal ketemu emang sikapnya aneh. Ngapain coba dia berdiri di di dekat kamar cewek?" Gina terlihat resah. "Gue ngerti perasaan lo, Gin. Gue juga pernah bicara sama Mas Rafan perihal Pak Kardi. Tapi akhir-akhir ini lo tahu sendiri, Mas Rafan sibuk banget. Kita cari tahu sama-sama soal Pak Kardi, ya. Lo mau sabar dikit lagi kan?" Gina menghempaskan napas. "Oke gue usahain buat lebih bersabar. Ini semua demi lo."Kening Nayya berkerut. "Itu karena lo sahabat baik gue. Nggak mungkin kan, hanya gara-gara Pak Kardi gue balik ke Depok ninggalin lo?" Gina teringat bagaimana perlakuan mertua Nayya. Ia juga tahu kalau sahabatnya merasa minder dengan kondisi pesantren yang serba Islami. Setidaknya kalau ada dirinya, Nayya tidak menghadapi masalahnya sendirian. "Sebenar
"Gin, lo nggak papa 'kan?" tanya Nayya yang berdiri di belakang Gina. Gina memutar tubuhnya. "Gila lo, bikin jantung gue mau copot tahu nggak?""Gue cuma mastiin kalau lo sampai ke kamar dengan selamat. Soalnya tadi sebelum lo ke aula, Pak Kardi udah ke sana duluan. Gue takut lo kenapa-napa," terang Nayya memberitahu. Mendengar nama itu disebut, Gina bergerak cepat membuka pintu. Ia menarik tangan Nayya untuk masuk ke kamar. "Lo tahu dia di aula kenapa nggak ngomong?" Gina agak geram. "Makanya gue nyusul ke aula, takut kalau orang tua itu ngikutin lo ke kamar. Tadi gue lupa ngasih tahu ke lo. Udah ah yang penting lo slamet. Jangan lupa kunci pintunya. Gue mau ke dapur lagi bantuin Dije."Nayya dan Dije asyik membicarakan banyak hal mengenai kegiatan pesantren. Membuka wawasan yang jauh lebih luas bagi Nayya. Saking asyiknya, membuat Dije ketumpahan air dari wajan yang sedang dibilasnya. "Astaghfirullah. Yah, basah deh kerudung saya." Dije mengibaskan kerudungnya."Eh, pakai kerud
"Tadi aku sempet ke kamar buat ambil kerudung. Tapi nggak sengaja lihat Pak Kardi di depan pintu kamar Gina, Mas." Nayya menggigit bibir. "Waktu aku mergokin, alasan Pak Kardi nggak masuk akal. Katanya nggak sengaja lewat. Masa iya, nggak sengaja. Kamar ini kan posisinya paling pojok. Nggak mungkin ada yang lewat sini 'kan?""Tenang, Sayang. Coba jelasinnya pelan-pelan." Rafan menggenggam tangan Nayya yang terasa dingin. Istrinya itu berbicara dengan suara gemetaran."Aku kasihan aja sama Gina, Mas. Oh, iya, tapi tadi Pak Kardi kayak menitikkan air mata gitu. Ada yang aneh menurutku. Aku juga nanya sama Dije soal Pak Kardi.""Dije?" tanya Rafan yang tengah berpikir, terasa asing mendengar nama yang baru disebut sang istri."Itu loh, santriwati yang bareng aku ke taman. Dia banyak tahu hal tentang Pak Kardi.""Oh, baru dengar nama itu soalnya.""Namanya Khadijah, cuma temen-temen dia manggilnya Dije." Kening Rafan berkerut. "Nama bagus-bagus dipanggilnya malah Dije.""Jadi gimana soal
Gina termenung sembari mendekap bantal. Ia menatap kosong ke seluruh ruangan luas yang katanya ini adalah kamar Furqon.Tumpukan-tumpukan kejadian yang ia alami, membuat pikirannya menjadi kalut. Bagaimana bisa orang yang ia takuti selama ini adalah ayah kandungnya sendiri.Untuk membuktikan bahwa Kardi betulan ayah kandung dari Gina, maka gadis itu harus membawanya pulang ke rumah dan menanyakan kebenarannya kepada sang ibu. Gina tidak pernah habis pikir kenapa Kardi terlihat begitu membencinya. Kenapa pula pria itu selalu memiliki tatapan setajam pedang yang diarahkan kepadanya."Gin, maaf. Dari tadi gue ngetuk pintu tapi lo nggak respon. Are you okay?" Nayya melongok dari balik pintu. "Gue nggak papa, Nay. Tapi kayaknya gue lagi butuh buat sendiri." "Oke, gue ngerti. Tapi tolong lo jangan terlalu mikirin apa yang terjadi. Inget, Kalau lo butuh apa-apa panggil gue." "Iya, Nay." Nayya menjauh dari kamar Gina dengan berat hati. Siapa pun yang berada di posisi sahabatnya itu pasti
"Gina Safira. Bagaimanapun itu adalah nama yang pernah aku berikan kepada seorang anak bayi yang mengalir darahku di dalam tubuhnya." Kardi mulai mengungkit-ungkit masa lalu untuk meluluhkan hati Gina."Betapapun kamu membenciku, sampai kapan pun statusnya tidak akan berubah. Aku adalah ayah dan kamu anak. Aku bisa mengerti kalau kamu butuh waktu. Tapi tolong jangan terlalu lama," lanjutnya.Gina menatap nanar ke arah orang tua yang masih berdiri tepat di depannya. "Anda masih ingat dengan jelas namaku, kenapa Anda nggak punya insting sebelumnya kalau aku ini adalah putrimu.""Maafkan ayah, sungguh maafkan. Pertama kali melihatmu aku tidak berpikir kamu adalah putri dari Een. Aku menganggap kamu adalah orang lain yang mirip dengan mantan istriku itu. Kebencian yang bertumpukan itulah membuatku menutup hati.""Apa alasannya Pak Kardi benci sama Mama?"Pak Kardi menangis tersedu-sedu. Saat bersamaan den
"Pak, coba jelasin apa kesalahan Mama sampai Anda tega pergi meninggalkan kami?" Gina menekan Kardi dengan pertanyaan. Mumpung ada Nayya dan suaminya yang ikut mendengarkan, pikirnya.Kardi mengambil napas terlebih dahulu sebelum menjelaskan segala yang terjadi dulu. "Aku lupa tepatnya kapan meninggalkan rumah. Tapi yang jelas saat itu kamu masih sangat kecil, Gin. Aku masih ingat dengan jelas kamu merengek menahanku untuk tidak pergi." Kardi mulai bercerita."Saat itu sedang ada PHK massal. Aku ikut terkena imbasnya. Jadi harus luntang-lantung mencari lowongan pekerjaan. Malam itu ada seorang wanita berbaik hati mengantarku pulang dengan mobilnya. Dia seorang manajer yang bekerja di perusahaan elektronik. Wanita itu melihatku basah kuyup karena kehujanan. Jadi dia memberi tumpangan. Saking baiknya, dia memayungiku sampai depan rumah. Saat aku tawarin untuk mampir terlebih dahulu, wanita itu menolak. Alasannya karena sudah terlalu larut." Kardi mengatur napasnya. Dadanya mulai sesak
Kardi melanjutkan lagi cerita yang bersambung tadi."Wanita baik yang mengantarku pulang itu ternyata belum pergi saat mengetahui kalau aku diusir oleh istriku sendiri. Dia bilang tidak sengaja mendengar suara seseorang berteriak dari dalam. Wanita itu lagi-lagi dengan kebaikan hatinya menawariku tumpangan. Dia memberiku tumpangan di rumahnya sampai aku mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal." Kardi mengambil gelas berisi air putih dan menenggak hingga tandas setengahnya."Syukurlah tidak sampai seminggu aku mendapatkan pekerjaan. Mungkin Mas Rafan sudah pernah mendengar sebelumnya di mana akhirnya aku melanjutkan hidup."Rafan mengangguk. "Mas Aim pernah bercerita kalau Pak Kardi melamar pekerjaan ke toko sembako Mas Aim yang ada di Depok. Tapi saat itu karyawan sudah penuh. Kemudian Pak Kardi ditawari menjadi sopir pribadi Mas Aim. Hanya sebatas itu yang saya tahu, Pak.""Betul sekali. Aku berakhir di sini karena kebaikan keluarga Mas Rafan."&nb