Kardi melanjutkan lagi cerita yang bersambung tadi."Wanita baik yang mengantarku pulang itu ternyata belum pergi saat mengetahui kalau aku diusir oleh istriku sendiri. Dia bilang tidak sengaja mendengar suara seseorang berteriak dari dalam. Wanita itu lagi-lagi dengan kebaikan hatinya menawariku tumpangan. Dia memberiku tumpangan di rumahnya sampai aku mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal." Kardi mengambil gelas berisi air putih dan menenggak hingga tandas setengahnya."Syukurlah tidak sampai seminggu aku mendapatkan pekerjaan. Mungkin Mas Rafan sudah pernah mendengar sebelumnya di mana akhirnya aku melanjutkan hidup."Rafan mengangguk. "Mas Aim pernah bercerita kalau Pak Kardi melamar pekerjaan ke toko sembako Mas Aim yang ada di Depok. Tapi saat itu karyawan sudah penuh. Kemudian Pak Kardi ditawari menjadi sopir pribadi Mas Aim. Hanya sebatas itu yang saya tahu, Pak.""Betul sekali. Aku berakhir di sini karena kebaikan keluarga Mas Rafan."&nb
Ibrahim dan Furqon tengah membaca kitab kaidah yang disusun Ibnu Taimiyah di ruang tamu ketika Rafan datang. Ketiga kakak beradik itu memang sering menggunakan ruang tamu sebagai tempat berdiskusi bersama, saling bertukar pikiran membahas apa yang mereka pelajari. "Ada apa gerangan kakak-kakak sekalian memanggilku pada jam segini?" Biasanya mereka berkumpul rutin ba'da asar atau ba'da isya. Namun, hari ini Rafan dipanggil setelah selesai melaksanakan salat Zuhur.Ibrahim dan Furqon kompak memasukkan kitab yang tadi mereka pegang ke rak buku."Begini, Dik Rafan. Dik Furqon sedang memiliki niatan baik. Beliau ingin menikah." Ibrahim memberi penjelasan secara to the point. "Masyaa Allah. Bagus itu. Rencananya kapan dan dengan siapa, Mas?" tanya Rafan kepada kakak keduanya yang duduk persis di sebelah kanannya.Furqon tersenyum manis. "Itu dia, Dik, permasalahannya. Aku belum ada calon. Untuk itulah aku ingin meminta bantuan sama Mas Ibrahim dan Dik Rafan. Siapa tahu ada rekomendasi seo
Nayya menutup semua korden jendela di kamar. Malam sudah mulai gelap. Waktu tidur mereka sudah hampir tiba. Inilah saatnya pasangan suami istri itu saling mencurahkan isi hati sebelum pergi ke alam mimpi."Sayang, kita jadi pulang ke Depok?" tanya Nayya kepada sang suami. Rafan baru saja selesai mengkaji Al-Qur'an. Ia meletakkan mushaf di atas nakas. "Sebentar aku lihat agenda dulu, ya."Rafan menarik gagang laci meja rias. Buku agenda berwarna hitam miliknya tergeletak di sana. "Nggak ada jadwal untuk bulan ini. Kita bisa pulang minggu-minggu ini. Insya Allah." Rafan menutup kembali buku agendanya dan meletakkan ke tempat semula. "Udah rindu sama Ibu dan Ayah?"Nayya mengangguk. "Jelas."Rafan naik ke tempat tidur dan duduk di bahu ranjang. Ia menyandarkan kepalanya pada headboard. "Oh, ya, sebelum pulang ke Depok ada yang mau aku selesaikan dulu."Nayya mengedipkan matanya beberapa kali sambil memandangi wajah Rafan yang tampak serius."Apa ada masalah serius?" Nayya bertanya den
Rafan tengah berbicara empat mata di ruang aula dengan kakak keduanya. Ia dan Furqon saling berhadapan. Kedua kaki mereka ditekuk, duduk bersila."Semalam aku bicara sama Nayya. Dia punya rekomendasi wanita yang insya Allah salihah, Mas," ucap Rafan. "Wanita itu mondok di sini. Kebetulan Nayya mengenalnya dengan baik."Furqon menautkan alis. "Bukankah yang seharusnya mengenal dengan baik santrinya adalah Mbak Maryam?" "Ya. Tentu saja. Tapi Nayya gampang bergaul orangnya. Selama di sini, dia mau berbaur dengan santriwati lain.""Siapa nama wanita itu?""Khadijah.""Masya Allah, nama yang bagus.""Mas Furqon bisa mencari tahu tentang wanita itu lewat Mbak Maryam," Rafan memberi saran."Pasti. Syukron karena sudah mau membantu sejauh ini." Furqon menepuk-nepuk pundak sang adik. Sementara itu, Nayya sibuk mencari Khadijah di pos santri wanita. Ia sudah mencari Dije ke mana-mana, tapi belum juga ketemu. Nayya sudah mencari ke dapur, aula putri sampai ke kebun-kebun. Tak juga ketemu yang
"Gimana, kamu siap kan, ta'aruf sama beliau?" Nayya sudah tak lagi bertanya Dije mau atau tidak, melainkan bertanya tentang kesiapan. "Oh, iya, kamu mau istikharah dulu. Aku lupa. Maaf-maaf." "Masya Allah Ustazah, jantung saya tiba-tiba berdegup sangat cepat." Dije memegangi dadanya."Wah, beneran?" "Siapa wanita yang tidak mau disandingkan dengan seorang tampan dan ahli ilmu seperti Ustaz Furqon?" "Alhamdulillah kalau begitu. Biar nanti aku sampaikan ke Mas Rafan."Dije memegangi kedua pipi. Ia masih tak percaya sama apa yang sedang terjadi. Benarkah ia akan segera ta'aruf sama seorang Ustaz. Tiba-tiba Dije merasa insecure. "Ust, jujur saya minder. Ilmu saya masih begitu dangkal. Apa pantas kiranya mendampingi Ustaz Furqon kelak?" ujar Dije tampak ragu."Kamu berdoa sama Allah. Minta petunjuk. Nggak mungkin Allah nggak ngabulin, kan?"Dije mengangguk mantap. "Saya yakin seyakin-yakinnya sama kuasa Allah. Tapi ini Ustaz Furqon.""Ssst ... kalau masih ada tapinya berarti kamu engga
Inilah saat pertemuan antara Furqon dan Khadijah dilaksanakan. Khadijah datang bersama Nayya dan Rafan. Furqon bersama Ibrahim dan Maryam. Mereka semua berkumpul di aula. Mumpung sedang sepi karena para santri sudah pada masuk kelasnya masing-masing, mereka memanfaatkan aula untuk melakukan pertemuan.Khadijah tidak berhenti beristigfar dalam hati. Ia terus menunduk menghitung ubin. Keringat dingin mulai menyebar luas di dalam tubuh. Santai aja, Dije. Nayya berbisik melihat Dije yang begitu berbisik.Dije menarik napas dan mengempaskannya."Dik Furqon, ini adalah Khadijah dan Khadijah, ini Furqon adik ipar saya. Kalian bisa saling melihat sebentar untuk meyakinkan hati." Maryam membuka suara dalam acara nadhor tersebut."Dije, angkat mukamu sedikit biar Ustaz Furqon bisa melihatnya." Nayya kembali berbisik. Demi melihat tangan Dije yang gemetaran, Nayya memegangi tangan gadis itu. "Nggak papa, ayok!"Dije perlahan-lahan menatap ke arah Furqon. Hatinya langsung jedag jedug dibuatnya.
"Lo seneng nggak sih, gue pakai rok gini?" tanya Gina pada sahabatnya yang mengenakan baju sage. "Ya seneng, dong. Temen ada kemajuan masa nggak seneng." Terpoles senyum di bibir Nayya."Eh, lo habis dari mana? Kayak ibu-ibu habis arisan tahu," seloroh Gina."Wah bener-bener lo, ya. Gue dikatain kayak emak-emak, dong." "Serius. Itu kayak seragam yang dijahit sama nyokap gue. Pesenan ibu-ibu PKK komplek." Gina setengah nyengir. Nayya terlihat sebal. "Serah lo, deh.""Tukang ngambek!" Gina mengejar langkah kaki Nayya yang terayun menjauh darinya."Habis dari mana?" kejar Gina lagi. Ia menjajari langkah sahabatnya.Tiba-tiba di tengah jalan, kedua wanita tersebut berpapasan dengan Rafan dan Furqon. "Dik Nayya, saya mau bicara sebentar boleh?" ujar Furqon. "Oh, baik, Mas." Nayya celingukan karena bingung perlu mengajak Gina atau tidak. "Ikut aja nggak papa, Gin." Rafan yang selalu paham sikon langsung menawari sahabat istrinya itu untuk turut serta.Gina tengah mengatur napas dan ju
"Gin, Lo kenapa, sih, dari kemarin bengong terus?" Nayya sedang main-main ke kamar Gina. Di kamarnya sendiri sepi sejak kepergian sang suami ke Semarang."Nggak papa, Nay. Gue baik-baik aja, kok." Nayya menarik wajah Gina ke dekatnya. digamitnya dua pipi tirus itu menggunakan tangan. Dilihatnya dengan detail pancaran mata Gina. Ada yang tidak beres."Ini bukan Gina, sih? Lo siapa? Jin mana?""E busyet dah!" Gina spontan mendorong tubuh Nayya dan menepis tangan yang menghinggapi pipi. "Gila, Nay?""Lo tuh, yang gila!""Lo kayak orang patah hati, galau dan banyak pikiran, Gin." Nayya berargumen."Emang.""Hah sama siapa? Nggak mungkin sama bokap, dong. Kalian kan, udah akur. Apa sama nyokap?" "Itu salah satunya.""Udah tenang aja, nanti gue bantu ngomong ke nyokap." Gina tersenyum kecil. "Thanks, ya." Nayya mengangguk.Gina tidak bisa berkata jujur. Memang salah satu yang menjadi alasannya adalah sang ibu. Namun, bukan itu yang utama mengganggu pikiran gadis itu. Ini tentang Furqon.