Nayya menutup semua korden jendela di kamar. Malam sudah mulai gelap. Waktu tidur mereka sudah hampir tiba. Inilah saatnya pasangan suami istri itu saling mencurahkan isi hati sebelum pergi ke alam mimpi."Sayang, kita jadi pulang ke Depok?" tanya Nayya kepada sang suami. Rafan baru saja selesai mengkaji Al-Qur'an. Ia meletakkan mushaf di atas nakas. "Sebentar aku lihat agenda dulu, ya."Rafan menarik gagang laci meja rias. Buku agenda berwarna hitam miliknya tergeletak di sana. "Nggak ada jadwal untuk bulan ini. Kita bisa pulang minggu-minggu ini. Insya Allah." Rafan menutup kembali buku agendanya dan meletakkan ke tempat semula. "Udah rindu sama Ibu dan Ayah?"Nayya mengangguk. "Jelas."Rafan naik ke tempat tidur dan duduk di bahu ranjang. Ia menyandarkan kepalanya pada headboard. "Oh, ya, sebelum pulang ke Depok ada yang mau aku selesaikan dulu."Nayya mengedipkan matanya beberapa kali sambil memandangi wajah Rafan yang tampak serius."Apa ada masalah serius?" Nayya bertanya den
Rafan tengah berbicara empat mata di ruang aula dengan kakak keduanya. Ia dan Furqon saling berhadapan. Kedua kaki mereka ditekuk, duduk bersila."Semalam aku bicara sama Nayya. Dia punya rekomendasi wanita yang insya Allah salihah, Mas," ucap Rafan. "Wanita itu mondok di sini. Kebetulan Nayya mengenalnya dengan baik."Furqon menautkan alis. "Bukankah yang seharusnya mengenal dengan baik santrinya adalah Mbak Maryam?" "Ya. Tentu saja. Tapi Nayya gampang bergaul orangnya. Selama di sini, dia mau berbaur dengan santriwati lain.""Siapa nama wanita itu?""Khadijah.""Masya Allah, nama yang bagus.""Mas Furqon bisa mencari tahu tentang wanita itu lewat Mbak Maryam," Rafan memberi saran."Pasti. Syukron karena sudah mau membantu sejauh ini." Furqon menepuk-nepuk pundak sang adik. Sementara itu, Nayya sibuk mencari Khadijah di pos santri wanita. Ia sudah mencari Dije ke mana-mana, tapi belum juga ketemu. Nayya sudah mencari ke dapur, aula putri sampai ke kebun-kebun. Tak juga ketemu yang
"Gimana, kamu siap kan, ta'aruf sama beliau?" Nayya sudah tak lagi bertanya Dije mau atau tidak, melainkan bertanya tentang kesiapan. "Oh, iya, kamu mau istikharah dulu. Aku lupa. Maaf-maaf." "Masya Allah Ustazah, jantung saya tiba-tiba berdegup sangat cepat." Dije memegangi dadanya."Wah, beneran?" "Siapa wanita yang tidak mau disandingkan dengan seorang tampan dan ahli ilmu seperti Ustaz Furqon?" "Alhamdulillah kalau begitu. Biar nanti aku sampaikan ke Mas Rafan."Dije memegangi kedua pipi. Ia masih tak percaya sama apa yang sedang terjadi. Benarkah ia akan segera ta'aruf sama seorang Ustaz. Tiba-tiba Dije merasa insecure. "Ust, jujur saya minder. Ilmu saya masih begitu dangkal. Apa pantas kiranya mendampingi Ustaz Furqon kelak?" ujar Dije tampak ragu."Kamu berdoa sama Allah. Minta petunjuk. Nggak mungkin Allah nggak ngabulin, kan?"Dije mengangguk mantap. "Saya yakin seyakin-yakinnya sama kuasa Allah. Tapi ini Ustaz Furqon.""Ssst ... kalau masih ada tapinya berarti kamu engga
Inilah saat pertemuan antara Furqon dan Khadijah dilaksanakan. Khadijah datang bersama Nayya dan Rafan. Furqon bersama Ibrahim dan Maryam. Mereka semua berkumpul di aula. Mumpung sedang sepi karena para santri sudah pada masuk kelasnya masing-masing, mereka memanfaatkan aula untuk melakukan pertemuan.Khadijah tidak berhenti beristigfar dalam hati. Ia terus menunduk menghitung ubin. Keringat dingin mulai menyebar luas di dalam tubuh. Santai aja, Dije. Nayya berbisik melihat Dije yang begitu berbisik.Dije menarik napas dan mengempaskannya."Dik Furqon, ini adalah Khadijah dan Khadijah, ini Furqon adik ipar saya. Kalian bisa saling melihat sebentar untuk meyakinkan hati." Maryam membuka suara dalam acara nadhor tersebut."Dije, angkat mukamu sedikit biar Ustaz Furqon bisa melihatnya." Nayya kembali berbisik. Demi melihat tangan Dije yang gemetaran, Nayya memegangi tangan gadis itu. "Nggak papa, ayok!"Dije perlahan-lahan menatap ke arah Furqon. Hatinya langsung jedag jedug dibuatnya.
"Lo seneng nggak sih, gue pakai rok gini?" tanya Gina pada sahabatnya yang mengenakan baju sage. "Ya seneng, dong. Temen ada kemajuan masa nggak seneng." Terpoles senyum di bibir Nayya."Eh, lo habis dari mana? Kayak ibu-ibu habis arisan tahu," seloroh Gina."Wah bener-bener lo, ya. Gue dikatain kayak emak-emak, dong." "Serius. Itu kayak seragam yang dijahit sama nyokap gue. Pesenan ibu-ibu PKK komplek." Gina setengah nyengir. Nayya terlihat sebal. "Serah lo, deh.""Tukang ngambek!" Gina mengejar langkah kaki Nayya yang terayun menjauh darinya."Habis dari mana?" kejar Gina lagi. Ia menjajari langkah sahabatnya.Tiba-tiba di tengah jalan, kedua wanita tersebut berpapasan dengan Rafan dan Furqon. "Dik Nayya, saya mau bicara sebentar boleh?" ujar Furqon. "Oh, baik, Mas." Nayya celingukan karena bingung perlu mengajak Gina atau tidak. "Ikut aja nggak papa, Gin." Rafan yang selalu paham sikon langsung menawari sahabat istrinya itu untuk turut serta.Gina tengah mengatur napas dan ju
"Gin, Lo kenapa, sih, dari kemarin bengong terus?" Nayya sedang main-main ke kamar Gina. Di kamarnya sendiri sepi sejak kepergian sang suami ke Semarang."Nggak papa, Nay. Gue baik-baik aja, kok." Nayya menarik wajah Gina ke dekatnya. digamitnya dua pipi tirus itu menggunakan tangan. Dilihatnya dengan detail pancaran mata Gina. Ada yang tidak beres."Ini bukan Gina, sih? Lo siapa? Jin mana?""E busyet dah!" Gina spontan mendorong tubuh Nayya dan menepis tangan yang menghinggapi pipi. "Gila, Nay?""Lo tuh, yang gila!""Lo kayak orang patah hati, galau dan banyak pikiran, Gin." Nayya berargumen."Emang.""Hah sama siapa? Nggak mungkin sama bokap, dong. Kalian kan, udah akur. Apa sama nyokap?" "Itu salah satunya.""Udah tenang aja, nanti gue bantu ngomong ke nyokap." Gina tersenyum kecil. "Thanks, ya." Nayya mengangguk.Gina tidak bisa berkata jujur. Memang salah satu yang menjadi alasannya adalah sang ibu. Namun, bukan itu yang utama mengganggu pikiran gadis itu. Ini tentang Furqon.
Nayya mendatangi Dije dan membawanya ke tempat aman. Di mana tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. "Ada apa Ustazah? Kenapa kita harus kemari?" Dije bingung kenapa Nayya membawanya ke belakang gedung kosong. Kalau mau bicara empat mata, biasanya ia mengajak ke taman.Nayya mengatur napas, sedikit ngos-ngosan setelah tadi ia berjalan cepat. Ia jarang berolahraga, jadi wajar saja kalau suka gampang kelelahan."Dije ada hal penting yang mau aku sampaikan ke kamu." Nayya menoleh ke kanan kiri seperti habis memecahkan kaca milik tetangga. Takut sekali ia menyampaikannya. "Iya. Ada apa Ustazah?""Duh, aku sebenarnya nggak yakin. Tapi ini harus disampaikan.""Tidak apa-apa, Ustazah. Sampaikan saja." Muka Dije setenang lautan. Tak ada rasa curiga atau berpikir yang tidak-tidak kepada Nayya. "Sebelumnya maaf banget, aku harus bawa kamu ke tempat kayak gini. Aku cuman nggak mau ada yang denger."Dije mengangguk takzim. Ia bisa memahami kalau memang ada hal serius yang mesti disampaikan
Rafan tentu saja senang mendengarnya. Bukankah baru kemarin istrinya itu bilang kalau Gina menaruh hati pada Furqon. Tidak. Bukan sekarang waktunya. Rafan akan memendamnya sendiri dulu. Hingga suasana hati Ibrahim membaik. Baru nanti ia akan bicara kepada istrinya lagi. Kalau sebenarnya, Furqon jatuh hati kepada Gina. "Aku khawatir kalau Mas Aim tahu malah akan bertambah marah," ujar Furqon."Tidak apa-apa. Kita bisa menunggu Mas Aim membaik suasana hatinya. Aku dukung Mas Furqon. Gina adalah sahabat Nayya dari kecil. Insya Allah Gina wanita yang baik." Rafan tersenyum.Alih-alih merasa senang, raut muka Furqon justru terlihat sedih. "Kau dengar sendiri Mas Aim menyuruhku mencari wanita yang sekufu.""Mintalah petunjuk sama Allah, Mas. Dengan hati penuh ikhlas seperti yang dikatakan guru kita. Jangan lupa pula meminta pendapat kepada Ummi dan Abah."Di lain tempat, Nayya melamunkan tentang perasaan Gina terhadap Furqon. Bukan hal mustahil kalau orang biasa bisa menikah dengan seora
Matahari belum terlalu tinggi ketika Gina, Nayya dan Rafan tiba di pendopo berarsitektur Jawa klasik itu. Jantung Gina sudah berdetak tak menentu sejak pagi. Setiap langkah kaki serasa membawa beban yang semakin berat, bukan karena jalan setapak menuju pendopo yang panjang, tapi karena hari ini akan menjadi salah satu momen terpenting dalam hidupnya. Ayahnya, Pak Kardi, menampar bahunya dengan lembut. “Tenang saja, Gina. Bapak yakin semua akan berjalan dengan lancar." Gina tipis tersenyum, meski hatinya masih penuh kecemasan. Ia tak bisa berhenti memikirkan perasaan yang mendesaknya sejak mengetahui siapa calon yang akan menemuinya hari ini, Furqon. Nama itu menggetarkan jantung, dan semakin mendekati pertemuan ini, rasa tegang melumuri perasaannya. Gina tak pernah menyangka kalau lelaki yang dicintainya itu juga mencintainya. Hari ini, ia seperti sedang memimpikan hal besar dan mimpi tersebut menjadi kenyataan. Langkahnya sempat berhenti di depan pintu. Seketika jantungnya berdet
Gina dan Pak Kardi baru saja sampai di halaman pondok setelah perjalanan panjang dari Semarang. Matahari senja memancarkan hangat, mengingatkan keduanya dengan cahaya oranye yang lembut. Udara desa yang segar menyambut mereka setelah beberapa hari berkelana di kota besar, membawa kelegaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata."Capek juga ya, Gin?" tanya Pak Kardi sambil melepaskan topinya dan mengibaskannya ke wajahnya yang mulai basah oleh keringat. Ia tersenyum kecil meski jelas lelah.Gina mengangguk, matanya menerawang ke arah taman yang ada di halaman pondok. "Iya, Pak. Alhamdulillah perjalanan tadi lancar. Nggak seperti yang kita bayangkan," jawab Gina, suaranya lembut, menggambarkan kelegaan yang juga dirasakannya.Malam itu, setelah beristirahat panjang di kamar, Gina memutuskan untuk menemui Nayya. Mereka sudah lama bersahabat, dan bagi Gina, Nayya adalah seseorang yang selalu bisa mendengar cerita-ceritanya dengan penuh perhatian. Dengan perasa
Rafan berdiri dengan tenang di ambang pintu, memperhatikan kedua kakaknya, Ibrahim dan Furqon yang duduk di ruang tamu rumah orang tua mereka. Suasana terasa tegang, meski tak ada kata yang terucap. Di sudut ruangan, Abah dan Ummi duduk dengan wajah yang penuh pertimbangan. Pembicaraan tentang pernikahan Furqon dan Gina semakin memanas di dalam keluarga mereka, dan kali ini, Rafan berhasil membawa semua orang yang terlibat ke meja perundingan.Nayya memilih untuk tidak hadir. Ia merasa sudah terlalu lelah dengan segala ketegangan ini. Ia memilih menghabiskan waktu di pondok."Aku sudah mendengar semuanya." Abah memulai pembicaraan, suaranya berat dan penuh dengan perasaan. "Tentang niatmu yang ingin meminang Nak Gina."Furqon mengangguk pelan, matanya tidak pernah lepas dari wajah Abah. "Ya, Bah. Aku sudah memantapkan niat. Aku jatuh cinta padanya."Ibrahim, yang duduk di sebelah Furqon, menghela napas panjang. Dia adalah kakak tertua, yang selama ini selalu menjadi panutan. Namun, d
Nayya duduk diam di kursi penumpang, menatap kosong ke luar. Hujan turun dengan pelan, membentuk tetesan air yang perlahan mengalir di kaca jendela, seakan mengikuti derasnya perasaannya. Hatinya masih terasa berat setelah kejadian di rumah mertuanya tadi. Perasaan terluka dan kesal bercampur menjadi satu, membuat perjalanannya jadi tidak nyaman.Di sebelahnya, Rafan yang sejak tadi juga diam, sesekali melirik ke arah Nayya. Ia tahu betul bahwa Nayya terluka karena perlakuan Ummi tadi. Ucapan-ucapan keras yang terlontar dari mulut Ummi, meski niatnya untuk mengingatkan, telah melukai hati Nayya."Aku minta maaf atas perkataan Ummi."Nayya masih diam. Bukan karena ia tidak mendengar, tapi karena ada gumpalan emosi yang masih tersulut di hatinya. Sejak kejadian di rumah Ummi tadi, ucapan-ucapan itu terus terngiang di pikiran, seolah menambah beban yang sudah ia pikul. Akan tetapi, ia juga tahu bahwa Rafan ada di tengah-tengah semua ini, terjepit antara dua cinta: cinta seorang anak pada
"Abah," Rafan memulai dengan hati-hati, "Kami datang untuk membicarakan sesuatu yang penting. Ini tentang Mas Furqon."Abah mengangkat kelopak mata, tapi tetap tenang. "Apa yang terjadi dengan Furqon?"Rafan menelan ludah, lalu menatap ke Nayya. Furqon ingin meminang Gina, Abah. Dia berharap Abah bisa merestui niatnya."Sejenak suasana menjadi hening. Abah menatap Rafan dan Nayya bergantian, seolah mencoba mencari jawaban di balik wajah mereka. Dia meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi kayu yang sudah mulai usang."Maksudmu, Nak Gina sahabat Nak Nayya?" "Betul, Abah." Rafan menjawab.“Furqon anak yang baik dan penurut. Aku tahu dia serius. Tapi kau harus tahu, Rafan, bahwa menikah bukanlah perkara mudah. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, bukan hanya cinta."Nayya yang sedari tadi diam, tiba-tiba berbicara, "Abah, kami paham. Mas Furqon bukan hanya mencintai Gina, tapi dia juga siap untuk bertanggung jawab dan membahagiakannya. Kami y
Nayya menghela napas panjang. Meskipun sudah sering ke rumah mertua, tetap ada rasa gugup yang menggelayuti hatinya. Ia ingin semua berjalan lancar, tetapi perasaan itu tak mudah diabaikan. Terlebih lagi, hubungan dengan mertua, khususnya Ummi, masih terasa kaku. Rafan menggenggam erat tangan Nayya. "Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja," ujarnya meyakinkan. Nayya tersenyum lemah, menyembunyikan kegelisahan yang bergemuruh di hatinya."Assalamualaikum, Ummi," ucap Nayya, mencoba mencairkan suasana.Ummi menjawab salamnya dengan nada datar, tanpa senyuman. "Waalaikumussalam."Rafan, yang menyadari perubahan sikap ibunya, berusaha bersikap biasa. "Ummi, apa kabar?" tanyanya sambil mendekat untuk mencium tangan ibunya."Baik," jawab Ummi singkat, lalu menoleh ke arah Nayya dengan pandangan yang sulit diterjemahkan.Ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah, suasana terasa berbeda dari biasanya. Udara yang biasanya hangat, kini terasa berat. Ummi yang biasanya menyambut putra
Seperti biasa menjelang tidur, sepasang suami istri itu deep talk terlebih dahulu, bertukar cerita tentang apa saja yang terjadi selama satu hari ini. "Kenapa melamun, Sayang?" tanya Rafan menarik selimut. Di sampingnya, duduk sang istri yang sedang menopang dagu menggunakan tangan sambil menggembungkan pipi. "Gina minta pulang ke Depok, Mas." "Tapi aku masih ada beberapa jadwal mengisi pengajian di beberapa tempat. Apa nggak sebaiknya nunggu dulu, biar bisa pulang sama-sama?""Maunya aku juga gitu.""Sebentar, aku mau cek jadwal dulu," ucap Rafan yang hendak mengambil buku agenda hitamnya. "Aku udah cek. Masih dua minggu lagi, Mas." Rafan tidak tahu ternyata sang istri begitu paham dengan jadwal kegiatannya. "Terus apa rencanamu?" Nayya mengedikkan bahu. "Sebenarnya aku juga ingin pulang. Kangen sama Ibu dan Ayah." Rafan termenung. Ia menyadari, sudah lama mereka tidak pulang ke Depok. "Kalau begitu, aku akan coba diskusikan terlebih dahulu dengan pihak penyelenggara dan pon
"Sorry, Nay. Pikiran gue lagi kalut. Gue nggak bermaksud bikin lo sedih." Gina jelas merasa bersalah. Kalimat yang diucapkannya tadi bisa saja menjadi bumerang. Ia setuju dengan Nayya dan menganggap dirinya keliru.Nayya berjalan selangkah demi selangkah mendekat kepada sang sahabat. Tatap memelas yang ditujukan untuk sang sahabat sedikit mencairkan hati Gina. Di bawah langit yang cukup cerah dengan gumpalan awan indah mereka saling berpelukan. Mata-mata telanjang para santri yang tidak sengaja melihat adegan itu langsung tertunduk. Tidak ada yang kepo dengan urusan orang lain. Terlebih orang itu merupakan orang terdekat Ustaz."Lo ngerasa kita itu lucu nggak, sih, Gin?"Masih dengan pelukan yang tidak seerat tadi, Gina menjawab iya. Perlahan, dilepaskan tangan sang sahabat dari pinggang. "Lebih ke aneh kali, ya," sangkal Gina kemudian."Yups. Kita sama-sama aneh dan lucu." Nayya meringis. Seketika tangan jahil sang sahabat mendorong tubuhnya yang sedang lengah. "Aish, gila!" prote
Rafan tentu saja senang mendengarnya. Bukankah baru kemarin istrinya itu bilang kalau Gina menaruh hati pada Furqon. Tidak. Bukan sekarang waktunya. Rafan akan memendamnya sendiri dulu. Hingga suasana hati Ibrahim membaik. Baru nanti ia akan bicara kepada istrinya lagi. Kalau sebenarnya, Furqon jatuh hati kepada Gina. "Aku khawatir kalau Mas Aim tahu malah akan bertambah marah," ujar Furqon."Tidak apa-apa. Kita bisa menunggu Mas Aim membaik suasana hatinya. Aku dukung Mas Furqon. Gina adalah sahabat Nayya dari kecil. Insya Allah Gina wanita yang baik." Rafan tersenyum.Alih-alih merasa senang, raut muka Furqon justru terlihat sedih. "Kau dengar sendiri Mas Aim menyuruhku mencari wanita yang sekufu.""Mintalah petunjuk sama Allah, Mas. Dengan hati penuh ikhlas seperti yang dikatakan guru kita. Jangan lupa pula meminta pendapat kepada Ummi dan Abah."Di lain tempat, Nayya melamunkan tentang perasaan Gina terhadap Furqon. Bukan hal mustahil kalau orang biasa bisa menikah dengan seora