"Gin, lo nggak papa 'kan?" tanya Nayya yang berdiri di belakang Gina. Gina memutar tubuhnya. "Gila lo, bikin jantung gue mau copot tahu nggak?""Gue cuma mastiin kalau lo sampai ke kamar dengan selamat. Soalnya tadi sebelum lo ke aula, Pak Kardi udah ke sana duluan. Gue takut lo kenapa-napa," terang Nayya memberitahu. Mendengar nama itu disebut, Gina bergerak cepat membuka pintu. Ia menarik tangan Nayya untuk masuk ke kamar. "Lo tahu dia di aula kenapa nggak ngomong?" Gina agak geram. "Makanya gue nyusul ke aula, takut kalau orang tua itu ngikutin lo ke kamar. Tadi gue lupa ngasih tahu ke lo. Udah ah yang penting lo slamet. Jangan lupa kunci pintunya. Gue mau ke dapur lagi bantuin Dije."Nayya dan Dije asyik membicarakan banyak hal mengenai kegiatan pesantren. Membuka wawasan yang jauh lebih luas bagi Nayya. Saking asyiknya, membuat Dije ketumpahan air dari wajan yang sedang dibilasnya. "Astaghfirullah. Yah, basah deh kerudung saya." Dije mengibaskan kerudungnya."Eh, pakai kerud
"Tadi aku sempet ke kamar buat ambil kerudung. Tapi nggak sengaja lihat Pak Kardi di depan pintu kamar Gina, Mas." Nayya menggigit bibir. "Waktu aku mergokin, alasan Pak Kardi nggak masuk akal. Katanya nggak sengaja lewat. Masa iya, nggak sengaja. Kamar ini kan posisinya paling pojok. Nggak mungkin ada yang lewat sini 'kan?""Tenang, Sayang. Coba jelasinnya pelan-pelan." Rafan menggenggam tangan Nayya yang terasa dingin. Istrinya itu berbicara dengan suara gemetaran."Aku kasihan aja sama Gina, Mas. Oh, iya, tapi tadi Pak Kardi kayak menitikkan air mata gitu. Ada yang aneh menurutku. Aku juga nanya sama Dije soal Pak Kardi.""Dije?" tanya Rafan yang tengah berpikir, terasa asing mendengar nama yang baru disebut sang istri."Itu loh, santriwati yang bareng aku ke taman. Dia banyak tahu hal tentang Pak Kardi.""Oh, baru dengar nama itu soalnya.""Namanya Khadijah, cuma temen-temen dia manggilnya Dije." Kening Rafan berkerut. "Nama bagus-bagus dipanggilnya malah Dije.""Jadi gimana soal
Gina termenung sembari mendekap bantal. Ia menatap kosong ke seluruh ruangan luas yang katanya ini adalah kamar Furqon.Tumpukan-tumpukan kejadian yang ia alami, membuat pikirannya menjadi kalut. Bagaimana bisa orang yang ia takuti selama ini adalah ayah kandungnya sendiri.Untuk membuktikan bahwa Kardi betulan ayah kandung dari Gina, maka gadis itu harus membawanya pulang ke rumah dan menanyakan kebenarannya kepada sang ibu. Gina tidak pernah habis pikir kenapa Kardi terlihat begitu membencinya. Kenapa pula pria itu selalu memiliki tatapan setajam pedang yang diarahkan kepadanya."Gin, maaf. Dari tadi gue ngetuk pintu tapi lo nggak respon. Are you okay?" Nayya melongok dari balik pintu. "Gue nggak papa, Nay. Tapi kayaknya gue lagi butuh buat sendiri." "Oke, gue ngerti. Tapi tolong lo jangan terlalu mikirin apa yang terjadi. Inget, Kalau lo butuh apa-apa panggil gue." "Iya, Nay." Nayya menjauh dari kamar Gina dengan berat hati. Siapa pun yang berada di posisi sahabatnya itu pasti
"Gina Safira. Bagaimanapun itu adalah nama yang pernah aku berikan kepada seorang anak bayi yang mengalir darahku di dalam tubuhnya." Kardi mulai mengungkit-ungkit masa lalu untuk meluluhkan hati Gina."Betapapun kamu membenciku, sampai kapan pun statusnya tidak akan berubah. Aku adalah ayah dan kamu anak. Aku bisa mengerti kalau kamu butuh waktu. Tapi tolong jangan terlalu lama," lanjutnya.Gina menatap nanar ke arah orang tua yang masih berdiri tepat di depannya. "Anda masih ingat dengan jelas namaku, kenapa Anda nggak punya insting sebelumnya kalau aku ini adalah putrimu.""Maafkan ayah, sungguh maafkan. Pertama kali melihatmu aku tidak berpikir kamu adalah putri dari Een. Aku menganggap kamu adalah orang lain yang mirip dengan mantan istriku itu. Kebencian yang bertumpukan itulah membuatku menutup hati.""Apa alasannya Pak Kardi benci sama Mama?"Pak Kardi menangis tersedu-sedu. Saat bersamaan den
"Pak, coba jelasin apa kesalahan Mama sampai Anda tega pergi meninggalkan kami?" Gina menekan Kardi dengan pertanyaan. Mumpung ada Nayya dan suaminya yang ikut mendengarkan, pikirnya.Kardi mengambil napas terlebih dahulu sebelum menjelaskan segala yang terjadi dulu. "Aku lupa tepatnya kapan meninggalkan rumah. Tapi yang jelas saat itu kamu masih sangat kecil, Gin. Aku masih ingat dengan jelas kamu merengek menahanku untuk tidak pergi." Kardi mulai bercerita."Saat itu sedang ada PHK massal. Aku ikut terkena imbasnya. Jadi harus luntang-lantung mencari lowongan pekerjaan. Malam itu ada seorang wanita berbaik hati mengantarku pulang dengan mobilnya. Dia seorang manajer yang bekerja di perusahaan elektronik. Wanita itu melihatku basah kuyup karena kehujanan. Jadi dia memberi tumpangan. Saking baiknya, dia memayungiku sampai depan rumah. Saat aku tawarin untuk mampir terlebih dahulu, wanita itu menolak. Alasannya karena sudah terlalu larut." Kardi mengatur napasnya. Dadanya mulai sesak
Kardi melanjutkan lagi cerita yang bersambung tadi."Wanita baik yang mengantarku pulang itu ternyata belum pergi saat mengetahui kalau aku diusir oleh istriku sendiri. Dia bilang tidak sengaja mendengar suara seseorang berteriak dari dalam. Wanita itu lagi-lagi dengan kebaikan hatinya menawariku tumpangan. Dia memberiku tumpangan di rumahnya sampai aku mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal." Kardi mengambil gelas berisi air putih dan menenggak hingga tandas setengahnya."Syukurlah tidak sampai seminggu aku mendapatkan pekerjaan. Mungkin Mas Rafan sudah pernah mendengar sebelumnya di mana akhirnya aku melanjutkan hidup."Rafan mengangguk. "Mas Aim pernah bercerita kalau Pak Kardi melamar pekerjaan ke toko sembako Mas Aim yang ada di Depok. Tapi saat itu karyawan sudah penuh. Kemudian Pak Kardi ditawari menjadi sopir pribadi Mas Aim. Hanya sebatas itu yang saya tahu, Pak.""Betul sekali. Aku berakhir di sini karena kebaikan keluarga Mas Rafan."&nb
Ibrahim dan Furqon tengah membaca kitab kaidah yang disusun Ibnu Taimiyah di ruang tamu ketika Rafan datang. Ketiga kakak beradik itu memang sering menggunakan ruang tamu sebagai tempat berdiskusi bersama, saling bertukar pikiran membahas apa yang mereka pelajari. "Ada apa gerangan kakak-kakak sekalian memanggilku pada jam segini?" Biasanya mereka berkumpul rutin ba'da asar atau ba'da isya. Namun, hari ini Rafan dipanggil setelah selesai melaksanakan salat Zuhur.Ibrahim dan Furqon kompak memasukkan kitab yang tadi mereka pegang ke rak buku."Begini, Dik Rafan. Dik Furqon sedang memiliki niatan baik. Beliau ingin menikah." Ibrahim memberi penjelasan secara to the point. "Masyaa Allah. Bagus itu. Rencananya kapan dan dengan siapa, Mas?" tanya Rafan kepada kakak keduanya yang duduk persis di sebelah kanannya.Furqon tersenyum manis. "Itu dia, Dik, permasalahannya. Aku belum ada calon. Untuk itulah aku ingin meminta bantuan sama Mas Ibrahim dan Dik Rafan. Siapa tahu ada rekomendasi seo
Nayya menutup semua korden jendela di kamar. Malam sudah mulai gelap. Waktu tidur mereka sudah hampir tiba. Inilah saatnya pasangan suami istri itu saling mencurahkan isi hati sebelum pergi ke alam mimpi."Sayang, kita jadi pulang ke Depok?" tanya Nayya kepada sang suami. Rafan baru saja selesai mengkaji Al-Qur'an. Ia meletakkan mushaf di atas nakas. "Sebentar aku lihat agenda dulu, ya."Rafan menarik gagang laci meja rias. Buku agenda berwarna hitam miliknya tergeletak di sana. "Nggak ada jadwal untuk bulan ini. Kita bisa pulang minggu-minggu ini. Insya Allah." Rafan menutup kembali buku agendanya dan meletakkan ke tempat semula. "Udah rindu sama Ibu dan Ayah?"Nayya mengangguk. "Jelas."Rafan naik ke tempat tidur dan duduk di bahu ranjang. Ia menyandarkan kepalanya pada headboard. "Oh, ya, sebelum pulang ke Depok ada yang mau aku selesaikan dulu."Nayya mengedipkan matanya beberapa kali sambil memandangi wajah Rafan yang tampak serius."Apa ada masalah serius?" Nayya bertanya den