"Tadi aku sempet ke kamar buat ambil kerudung. Tapi nggak sengaja lihat Pak Kardi di depan pintu kamar Gina, Mas." Nayya menggigit bibir. "Waktu aku mergokin, alasan Pak Kardi nggak masuk akal. Katanya nggak sengaja lewat. Masa iya, nggak sengaja. Kamar ini kan posisinya paling pojok. Nggak mungkin ada yang lewat sini 'kan?""Tenang, Sayang. Coba jelasinnya pelan-pelan." Rafan menggenggam tangan Nayya yang terasa dingin. Istrinya itu berbicara dengan suara gemetaran."Aku kasihan aja sama Gina, Mas. Oh, iya, tapi tadi Pak Kardi kayak menitikkan air mata gitu. Ada yang aneh menurutku. Aku juga nanya sama Dije soal Pak Kardi.""Dije?" tanya Rafan yang tengah berpikir, terasa asing mendengar nama yang baru disebut sang istri."Itu loh, santriwati yang bareng aku ke taman. Dia banyak tahu hal tentang Pak Kardi.""Oh, baru dengar nama itu soalnya.""Namanya Khadijah, cuma temen-temen dia manggilnya Dije." Kening Rafan berkerut. "Nama bagus-bagus dipanggilnya malah Dije.""Jadi gimana soal
Gina termenung sembari mendekap bantal. Ia menatap kosong ke seluruh ruangan luas yang katanya ini adalah kamar Furqon.Tumpukan-tumpukan kejadian yang ia alami, membuat pikirannya menjadi kalut. Bagaimana bisa orang yang ia takuti selama ini adalah ayah kandungnya sendiri.Untuk membuktikan bahwa Kardi betulan ayah kandung dari Gina, maka gadis itu harus membawanya pulang ke rumah dan menanyakan kebenarannya kepada sang ibu. Gina tidak pernah habis pikir kenapa Kardi terlihat begitu membencinya. Kenapa pula pria itu selalu memiliki tatapan setajam pedang yang diarahkan kepadanya."Gin, maaf. Dari tadi gue ngetuk pintu tapi lo nggak respon. Are you okay?" Nayya melongok dari balik pintu. "Gue nggak papa, Nay. Tapi kayaknya gue lagi butuh buat sendiri." "Oke, gue ngerti. Tapi tolong lo jangan terlalu mikirin apa yang terjadi. Inget, Kalau lo butuh apa-apa panggil gue." "Iya, Nay." Nayya menjauh dari kamar Gina dengan berat hati. Siapa pun yang berada di posisi sahabatnya itu pasti
"Gina Safira. Bagaimanapun itu adalah nama yang pernah aku berikan kepada seorang anak bayi yang mengalir darahku di dalam tubuhnya." Kardi mulai mengungkit-ungkit masa lalu untuk meluluhkan hati Gina."Betapapun kamu membenciku, sampai kapan pun statusnya tidak akan berubah. Aku adalah ayah dan kamu anak. Aku bisa mengerti kalau kamu butuh waktu. Tapi tolong jangan terlalu lama," lanjutnya.Gina menatap nanar ke arah orang tua yang masih berdiri tepat di depannya. "Anda masih ingat dengan jelas namaku, kenapa Anda nggak punya insting sebelumnya kalau aku ini adalah putrimu.""Maafkan ayah, sungguh maafkan. Pertama kali melihatmu aku tidak berpikir kamu adalah putri dari Een. Aku menganggap kamu adalah orang lain yang mirip dengan mantan istriku itu. Kebencian yang bertumpukan itulah membuatku menutup hati.""Apa alasannya Pak Kardi benci sama Mama?"Pak Kardi menangis tersedu-sedu. Saat bersamaan den
"Pak, coba jelasin apa kesalahan Mama sampai Anda tega pergi meninggalkan kami?" Gina menekan Kardi dengan pertanyaan. Mumpung ada Nayya dan suaminya yang ikut mendengarkan, pikirnya.Kardi mengambil napas terlebih dahulu sebelum menjelaskan segala yang terjadi dulu. "Aku lupa tepatnya kapan meninggalkan rumah. Tapi yang jelas saat itu kamu masih sangat kecil, Gin. Aku masih ingat dengan jelas kamu merengek menahanku untuk tidak pergi." Kardi mulai bercerita."Saat itu sedang ada PHK massal. Aku ikut terkena imbasnya. Jadi harus luntang-lantung mencari lowongan pekerjaan. Malam itu ada seorang wanita berbaik hati mengantarku pulang dengan mobilnya. Dia seorang manajer yang bekerja di perusahaan elektronik. Wanita itu melihatku basah kuyup karena kehujanan. Jadi dia memberi tumpangan. Saking baiknya, dia memayungiku sampai depan rumah. Saat aku tawarin untuk mampir terlebih dahulu, wanita itu menolak. Alasannya karena sudah terlalu larut." Kardi mengatur napasnya. Dadanya mulai sesak
Kardi melanjutkan lagi cerita yang bersambung tadi."Wanita baik yang mengantarku pulang itu ternyata belum pergi saat mengetahui kalau aku diusir oleh istriku sendiri. Dia bilang tidak sengaja mendengar suara seseorang berteriak dari dalam. Wanita itu lagi-lagi dengan kebaikan hatinya menawariku tumpangan. Dia memberiku tumpangan di rumahnya sampai aku mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal." Kardi mengambil gelas berisi air putih dan menenggak hingga tandas setengahnya."Syukurlah tidak sampai seminggu aku mendapatkan pekerjaan. Mungkin Mas Rafan sudah pernah mendengar sebelumnya di mana akhirnya aku melanjutkan hidup."Rafan mengangguk. "Mas Aim pernah bercerita kalau Pak Kardi melamar pekerjaan ke toko sembako Mas Aim yang ada di Depok. Tapi saat itu karyawan sudah penuh. Kemudian Pak Kardi ditawari menjadi sopir pribadi Mas Aim. Hanya sebatas itu yang saya tahu, Pak.""Betul sekali. Aku berakhir di sini karena kebaikan keluarga Mas Rafan."&nb
Ibrahim dan Furqon tengah membaca kitab kaidah yang disusun Ibnu Taimiyah di ruang tamu ketika Rafan datang. Ketiga kakak beradik itu memang sering menggunakan ruang tamu sebagai tempat berdiskusi bersama, saling bertukar pikiran membahas apa yang mereka pelajari. "Ada apa gerangan kakak-kakak sekalian memanggilku pada jam segini?" Biasanya mereka berkumpul rutin ba'da asar atau ba'da isya. Namun, hari ini Rafan dipanggil setelah selesai melaksanakan salat Zuhur.Ibrahim dan Furqon kompak memasukkan kitab yang tadi mereka pegang ke rak buku."Begini, Dik Rafan. Dik Furqon sedang memiliki niatan baik. Beliau ingin menikah." Ibrahim memberi penjelasan secara to the point. "Masyaa Allah. Bagus itu. Rencananya kapan dan dengan siapa, Mas?" tanya Rafan kepada kakak keduanya yang duduk persis di sebelah kanannya.Furqon tersenyum manis. "Itu dia, Dik, permasalahannya. Aku belum ada calon. Untuk itulah aku ingin meminta bantuan sama Mas Ibrahim dan Dik Rafan. Siapa tahu ada rekomendasi seo
Nayya menutup semua korden jendela di kamar. Malam sudah mulai gelap. Waktu tidur mereka sudah hampir tiba. Inilah saatnya pasangan suami istri itu saling mencurahkan isi hati sebelum pergi ke alam mimpi."Sayang, kita jadi pulang ke Depok?" tanya Nayya kepada sang suami. Rafan baru saja selesai mengkaji Al-Qur'an. Ia meletakkan mushaf di atas nakas. "Sebentar aku lihat agenda dulu, ya."Rafan menarik gagang laci meja rias. Buku agenda berwarna hitam miliknya tergeletak di sana. "Nggak ada jadwal untuk bulan ini. Kita bisa pulang minggu-minggu ini. Insya Allah." Rafan menutup kembali buku agendanya dan meletakkan ke tempat semula. "Udah rindu sama Ibu dan Ayah?"Nayya mengangguk. "Jelas."Rafan naik ke tempat tidur dan duduk di bahu ranjang. Ia menyandarkan kepalanya pada headboard. "Oh, ya, sebelum pulang ke Depok ada yang mau aku selesaikan dulu."Nayya mengedipkan matanya beberapa kali sambil memandangi wajah Rafan yang tampak serius."Apa ada masalah serius?" Nayya bertanya den
Rafan tengah berbicara empat mata di ruang aula dengan kakak keduanya. Ia dan Furqon saling berhadapan. Kedua kaki mereka ditekuk, duduk bersila."Semalam aku bicara sama Nayya. Dia punya rekomendasi wanita yang insya Allah salihah, Mas," ucap Rafan. "Wanita itu mondok di sini. Kebetulan Nayya mengenalnya dengan baik."Furqon menautkan alis. "Bukankah yang seharusnya mengenal dengan baik santrinya adalah Mbak Maryam?" "Ya. Tentu saja. Tapi Nayya gampang bergaul orangnya. Selama di sini, dia mau berbaur dengan santriwati lain.""Siapa nama wanita itu?""Khadijah.""Masya Allah, nama yang bagus.""Mas Furqon bisa mencari tahu tentang wanita itu lewat Mbak Maryam," Rafan memberi saran."Pasti. Syukron karena sudah mau membantu sejauh ini." Furqon menepuk-nepuk pundak sang adik. Sementara itu, Nayya sibuk mencari Khadijah di pos santri wanita. Ia sudah mencari Dije ke mana-mana, tapi belum juga ketemu. Nayya sudah mencari ke dapur, aula putri sampai ke kebun-kebun. Tak juga ketemu yang
Matahari belum terlalu tinggi ketika Gina, Nayya dan Rafan tiba di pendopo berarsitektur Jawa klasik itu. Jantung Gina sudah berdetak tak menentu sejak pagi. Setiap langkah kaki serasa membawa beban yang semakin berat, bukan karena jalan setapak menuju pendopo yang panjang, tapi karena hari ini akan menjadi salah satu momen terpenting dalam hidupnya. Ayahnya, Pak Kardi, menampar bahunya dengan lembut. “Tenang saja, Gina. Bapak yakin semua akan berjalan dengan lancar." Gina tipis tersenyum, meski hatinya masih penuh kecemasan. Ia tak bisa berhenti memikirkan perasaan yang mendesaknya sejak mengetahui siapa calon yang akan menemuinya hari ini, Furqon. Nama itu menggetarkan jantung, dan semakin mendekati pertemuan ini, rasa tegang melumuri perasaannya. Gina tak pernah menyangka kalau lelaki yang dicintainya itu juga mencintainya. Hari ini, ia seperti sedang memimpikan hal besar dan mimpi tersebut menjadi kenyataan. Langkahnya sempat berhenti di depan pintu. Seketika jantungnya berdet
Gina dan Pak Kardi baru saja sampai di halaman pondok setelah perjalanan panjang dari Semarang. Matahari senja memancarkan hangat, mengingatkan keduanya dengan cahaya oranye yang lembut. Udara desa yang segar menyambut mereka setelah beberapa hari berkelana di kota besar, membawa kelegaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata."Capek juga ya, Gin?" tanya Pak Kardi sambil melepaskan topinya dan mengibaskannya ke wajahnya yang mulai basah oleh keringat. Ia tersenyum kecil meski jelas lelah.Gina mengangguk, matanya menerawang ke arah taman yang ada di halaman pondok. "Iya, Pak. Alhamdulillah perjalanan tadi lancar. Nggak seperti yang kita bayangkan," jawab Gina, suaranya lembut, menggambarkan kelegaan yang juga dirasakannya.Malam itu, setelah beristirahat panjang di kamar, Gina memutuskan untuk menemui Nayya. Mereka sudah lama bersahabat, dan bagi Gina, Nayya adalah seseorang yang selalu bisa mendengar cerita-ceritanya dengan penuh perhatian. Dengan perasa
Rafan berdiri dengan tenang di ambang pintu, memperhatikan kedua kakaknya, Ibrahim dan Furqon yang duduk di ruang tamu rumah orang tua mereka. Suasana terasa tegang, meski tak ada kata yang terucap. Di sudut ruangan, Abah dan Ummi duduk dengan wajah yang penuh pertimbangan. Pembicaraan tentang pernikahan Furqon dan Gina semakin memanas di dalam keluarga mereka, dan kali ini, Rafan berhasil membawa semua orang yang terlibat ke meja perundingan.Nayya memilih untuk tidak hadir. Ia merasa sudah terlalu lelah dengan segala ketegangan ini. Ia memilih menghabiskan waktu di pondok."Aku sudah mendengar semuanya." Abah memulai pembicaraan, suaranya berat dan penuh dengan perasaan. "Tentang niatmu yang ingin meminang Nak Gina."Furqon mengangguk pelan, matanya tidak pernah lepas dari wajah Abah. "Ya, Bah. Aku sudah memantapkan niat. Aku jatuh cinta padanya."Ibrahim, yang duduk di sebelah Furqon, menghela napas panjang. Dia adalah kakak tertua, yang selama ini selalu menjadi panutan. Namun, d
Nayya duduk diam di kursi penumpang, menatap kosong ke luar. Hujan turun dengan pelan, membentuk tetesan air yang perlahan mengalir di kaca jendela, seakan mengikuti derasnya perasaannya. Hatinya masih terasa berat setelah kejadian di rumah mertuanya tadi. Perasaan terluka dan kesal bercampur menjadi satu, membuat perjalanannya jadi tidak nyaman.Di sebelahnya, Rafan yang sejak tadi juga diam, sesekali melirik ke arah Nayya. Ia tahu betul bahwa Nayya terluka karena perlakuan Ummi tadi. Ucapan-ucapan keras yang terlontar dari mulut Ummi, meski niatnya untuk mengingatkan, telah melukai hati Nayya."Aku minta maaf atas perkataan Ummi."Nayya masih diam. Bukan karena ia tidak mendengar, tapi karena ada gumpalan emosi yang masih tersulut di hatinya. Sejak kejadian di rumah Ummi tadi, ucapan-ucapan itu terus terngiang di pikiran, seolah menambah beban yang sudah ia pikul. Akan tetapi, ia juga tahu bahwa Rafan ada di tengah-tengah semua ini, terjepit antara dua cinta: cinta seorang anak pada
"Abah," Rafan memulai dengan hati-hati, "Kami datang untuk membicarakan sesuatu yang penting. Ini tentang Mas Furqon."Abah mengangkat kelopak mata, tapi tetap tenang. "Apa yang terjadi dengan Furqon?"Rafan menelan ludah, lalu menatap ke Nayya. Furqon ingin meminang Gina, Abah. Dia berharap Abah bisa merestui niatnya."Sejenak suasana menjadi hening. Abah menatap Rafan dan Nayya bergantian, seolah mencoba mencari jawaban di balik wajah mereka. Dia meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi kayu yang sudah mulai usang."Maksudmu, Nak Gina sahabat Nak Nayya?" "Betul, Abah." Rafan menjawab.“Furqon anak yang baik dan penurut. Aku tahu dia serius. Tapi kau harus tahu, Rafan, bahwa menikah bukanlah perkara mudah. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, bukan hanya cinta."Nayya yang sedari tadi diam, tiba-tiba berbicara, "Abah, kami paham. Mas Furqon bukan hanya mencintai Gina, tapi dia juga siap untuk bertanggung jawab dan membahagiakannya. Kami y
Nayya menghela napas panjang. Meskipun sudah sering ke rumah mertua, tetap ada rasa gugup yang menggelayuti hatinya. Ia ingin semua berjalan lancar, tetapi perasaan itu tak mudah diabaikan. Terlebih lagi, hubungan dengan mertua, khususnya Ummi, masih terasa kaku. Rafan menggenggam erat tangan Nayya. "Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja," ujarnya meyakinkan. Nayya tersenyum lemah, menyembunyikan kegelisahan yang bergemuruh di hatinya."Assalamualaikum, Ummi," ucap Nayya, mencoba mencairkan suasana.Ummi menjawab salamnya dengan nada datar, tanpa senyuman. "Waalaikumussalam."Rafan, yang menyadari perubahan sikap ibunya, berusaha bersikap biasa. "Ummi, apa kabar?" tanyanya sambil mendekat untuk mencium tangan ibunya."Baik," jawab Ummi singkat, lalu menoleh ke arah Nayya dengan pandangan yang sulit diterjemahkan.Ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah, suasana terasa berbeda dari biasanya. Udara yang biasanya hangat, kini terasa berat. Ummi yang biasanya menyambut putra
Seperti biasa menjelang tidur, sepasang suami istri itu deep talk terlebih dahulu, bertukar cerita tentang apa saja yang terjadi selama satu hari ini. "Kenapa melamun, Sayang?" tanya Rafan menarik selimut. Di sampingnya, duduk sang istri yang sedang menopang dagu menggunakan tangan sambil menggembungkan pipi. "Gina minta pulang ke Depok, Mas." "Tapi aku masih ada beberapa jadwal mengisi pengajian di beberapa tempat. Apa nggak sebaiknya nunggu dulu, biar bisa pulang sama-sama?""Maunya aku juga gitu.""Sebentar, aku mau cek jadwal dulu," ucap Rafan yang hendak mengambil buku agenda hitamnya. "Aku udah cek. Masih dua minggu lagi, Mas." Rafan tidak tahu ternyata sang istri begitu paham dengan jadwal kegiatannya. "Terus apa rencanamu?" Nayya mengedikkan bahu. "Sebenarnya aku juga ingin pulang. Kangen sama Ibu dan Ayah." Rafan termenung. Ia menyadari, sudah lama mereka tidak pulang ke Depok. "Kalau begitu, aku akan coba diskusikan terlebih dahulu dengan pihak penyelenggara dan pon
"Sorry, Nay. Pikiran gue lagi kalut. Gue nggak bermaksud bikin lo sedih." Gina jelas merasa bersalah. Kalimat yang diucapkannya tadi bisa saja menjadi bumerang. Ia setuju dengan Nayya dan menganggap dirinya keliru.Nayya berjalan selangkah demi selangkah mendekat kepada sang sahabat. Tatap memelas yang ditujukan untuk sang sahabat sedikit mencairkan hati Gina. Di bawah langit yang cukup cerah dengan gumpalan awan indah mereka saling berpelukan. Mata-mata telanjang para santri yang tidak sengaja melihat adegan itu langsung tertunduk. Tidak ada yang kepo dengan urusan orang lain. Terlebih orang itu merupakan orang terdekat Ustaz."Lo ngerasa kita itu lucu nggak, sih, Gin?"Masih dengan pelukan yang tidak seerat tadi, Gina menjawab iya. Perlahan, dilepaskan tangan sang sahabat dari pinggang. "Lebih ke aneh kali, ya," sangkal Gina kemudian."Yups. Kita sama-sama aneh dan lucu." Nayya meringis. Seketika tangan jahil sang sahabat mendorong tubuhnya yang sedang lengah. "Aish, gila!" prote
Rafan tentu saja senang mendengarnya. Bukankah baru kemarin istrinya itu bilang kalau Gina menaruh hati pada Furqon. Tidak. Bukan sekarang waktunya. Rafan akan memendamnya sendiri dulu. Hingga suasana hati Ibrahim membaik. Baru nanti ia akan bicara kepada istrinya lagi. Kalau sebenarnya, Furqon jatuh hati kepada Gina. "Aku khawatir kalau Mas Aim tahu malah akan bertambah marah," ujar Furqon."Tidak apa-apa. Kita bisa menunggu Mas Aim membaik suasana hatinya. Aku dukung Mas Furqon. Gina adalah sahabat Nayya dari kecil. Insya Allah Gina wanita yang baik." Rafan tersenyum.Alih-alih merasa senang, raut muka Furqon justru terlihat sedih. "Kau dengar sendiri Mas Aim menyuruhku mencari wanita yang sekufu.""Mintalah petunjuk sama Allah, Mas. Dengan hati penuh ikhlas seperti yang dikatakan guru kita. Jangan lupa pula meminta pendapat kepada Ummi dan Abah."Di lain tempat, Nayya melamunkan tentang perasaan Gina terhadap Furqon. Bukan hal mustahil kalau orang biasa bisa menikah dengan seora