Ibu mertua Nayya begitu dekat dengan mantan menantunya. Tentu saja Nayya merasakan kecemburuan di dalam hati. Kehadiran wanita yang pernah masuk dalam kehidupan suaminya membuat hati Nayya menjadi kacau. Kini dia terpaksa harus berbaring di atas ranjang. Kondisi fisik Nayya mendadak down sejak pertemuannya dengan mantan sang suami."Nay, udah dong. Kenapa harus dipikirin, sih? Mas Rafan itu milik kamu seutuhnya, wanita itu cuma mantan." Gina tengah menghibur sahabatnya itu. "Justru itu, Gin. Kenapa coba udah mantan tapi masih berkunjung ke rumah mertuaku? Aneh 'kan?" Hati Nayya yang mudah layu teramat nelangsa. Saat lagi sedih-sedihnya, orang yang tidak diharapkan kehadirannya justru datang mengetuk pintu kamar Nayya."Permisi. Saya bikinkan susu buat Mbak Nayya. Diminum, ya. Susu sangat baik buat kesehatan." Wanita yang menjadi alasan Nayya terpuruk saat ini meletakkan gelas berisi susu ke meja kecil di samping ranjang."Makasih banyak, Mbak. Tapi sepertinya teman saya lagi butuh s
"Maaf, Nayya lupa meminumnya. Susunya keburu dingin." Rafan memang luar biasa. Ia selalu bisa membaca keadaan. Rafan mengambil gelas berisi susu dan melewati mantan istrinya begitu saja. Hal itu cukup membantunya memiliki alasan untuk kabur dari sana. Rafan tidak mungkin tetap tinggal sementara ia dikepung wanita dari masa lalu dan wanita yang akan menemani di masa depannya. "Mama kenapa ke sini, sih? Aku lagi kenalan sama Umma Nayya," protes Hanun pada sang ibu. Hati Iin tiba-tiba terasa perih. Seperti teriris oleh silet tajam. Wanita bernama Nayya itu betul-betul keterlaluan. Setelah mendapatkan mantan suaminya, ia juga akan merebut hati sang putri. "Hanun, ayo keluar! Kita sarapan sekarang!" perintah Iin dengan ketus. "Anak cantik sekarang sarapan dulu, ya. Katanya Hanun Qadira adalah anak yang kuat." Nayya membujuk Hanun dengan baik. "Baik, Umma. Aku mau sarapan dulu biar kuat, ya." Hanun tersenyum simpul. Dada Iin terasa panas melihat sang putri begitu ramah pada orang y
Ketika mentari hangat datang menyapa, Nayya berjemur di halaman belakang. Ia meregangkan otot-otot tubuhnya dengan berolahraga kecil seperti lari di tempat dan menggerak-gerakkan tubuh. Butiran-butiran embun menguap melewati fase kondensasi ketika cahaya matahari mulai berkilauan.Rafan sudah pamit pergi ke desa tetangga untuk mengisi kuliah subuh di sebuah masjid. Saat melintasi ruang makan, Nayya mendengar ada suara Abah dan Ummi yang sedang ngobrol. Tercium aroma wangi kopi bubuk yang mambaui hidung wanita itu. Nayya berniat pergi ke kamar Gina untuk membangunkan sahabatnya itu. Karena Gina suka tidur lagi setelah salat Subuh.Langkah kaki Nayya terkunci saat ia tidak sengaja mendengar namanya disebut-sebut oleh kedua mertuanya itu."Menantu kita bukan lagi Iin, Bu. Kamu harus bisa menempatkan diri. Siapa yang berhak kamu perlakukan sebagai menantu. Nak Nayya pasti sangat sedih melihatmu terlalu mengistimewakan mantan istri Rafan itu." Musa menyeruput kopi hitam dalam cangkir jad
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Nayya kepada sopir pribadi keluarga suaminya. Kardi hanya bergeming, tanpa berucap sepatah kata pun, ia memilih untuk berlalu pergi."Lo sekarang percaya sama gue kan, Nay? Pak Kardi dari awal ketemu emang sikapnya aneh. Ngapain coba dia berdiri di di dekat kamar cewek?" Gina terlihat resah. "Gue ngerti perasaan lo, Gin. Gue juga pernah bicara sama Mas Rafan perihal Pak Kardi. Tapi akhir-akhir ini lo tahu sendiri, Mas Rafan sibuk banget. Kita cari tahu sama-sama soal Pak Kardi, ya. Lo mau sabar dikit lagi kan?" Gina menghempaskan napas. "Oke gue usahain buat lebih bersabar. Ini semua demi lo."Kening Nayya berkerut. "Itu karena lo sahabat baik gue. Nggak mungkin kan, hanya gara-gara Pak Kardi gue balik ke Depok ninggalin lo?" Gina teringat bagaimana perlakuan mertua Nayya. Ia juga tahu kalau sahabatnya merasa minder dengan kondisi pesantren yang serba Islami. Setidaknya kalau ada dirinya, Nayya tidak menghadapi masalahnya sendirian. "Sebenar
"Gin, lo nggak papa 'kan?" tanya Nayya yang berdiri di belakang Gina. Gina memutar tubuhnya. "Gila lo, bikin jantung gue mau copot tahu nggak?""Gue cuma mastiin kalau lo sampai ke kamar dengan selamat. Soalnya tadi sebelum lo ke aula, Pak Kardi udah ke sana duluan. Gue takut lo kenapa-napa," terang Nayya memberitahu. Mendengar nama itu disebut, Gina bergerak cepat membuka pintu. Ia menarik tangan Nayya untuk masuk ke kamar. "Lo tahu dia di aula kenapa nggak ngomong?" Gina agak geram. "Makanya gue nyusul ke aula, takut kalau orang tua itu ngikutin lo ke kamar. Tadi gue lupa ngasih tahu ke lo. Udah ah yang penting lo slamet. Jangan lupa kunci pintunya. Gue mau ke dapur lagi bantuin Dije."Nayya dan Dije asyik membicarakan banyak hal mengenai kegiatan pesantren. Membuka wawasan yang jauh lebih luas bagi Nayya. Saking asyiknya, membuat Dije ketumpahan air dari wajan yang sedang dibilasnya. "Astaghfirullah. Yah, basah deh kerudung saya." Dije mengibaskan kerudungnya."Eh, pakai kerud
"Tadi aku sempet ke kamar buat ambil kerudung. Tapi nggak sengaja lihat Pak Kardi di depan pintu kamar Gina, Mas." Nayya menggigit bibir. "Waktu aku mergokin, alasan Pak Kardi nggak masuk akal. Katanya nggak sengaja lewat. Masa iya, nggak sengaja. Kamar ini kan posisinya paling pojok. Nggak mungkin ada yang lewat sini 'kan?""Tenang, Sayang. Coba jelasinnya pelan-pelan." Rafan menggenggam tangan Nayya yang terasa dingin. Istrinya itu berbicara dengan suara gemetaran."Aku kasihan aja sama Gina, Mas. Oh, iya, tapi tadi Pak Kardi kayak menitikkan air mata gitu. Ada yang aneh menurutku. Aku juga nanya sama Dije soal Pak Kardi.""Dije?" tanya Rafan yang tengah berpikir, terasa asing mendengar nama yang baru disebut sang istri."Itu loh, santriwati yang bareng aku ke taman. Dia banyak tahu hal tentang Pak Kardi.""Oh, baru dengar nama itu soalnya.""Namanya Khadijah, cuma temen-temen dia manggilnya Dije." Kening Rafan berkerut. "Nama bagus-bagus dipanggilnya malah Dije.""Jadi gimana soal
Gina termenung sembari mendekap bantal. Ia menatap kosong ke seluruh ruangan luas yang katanya ini adalah kamar Furqon.Tumpukan-tumpukan kejadian yang ia alami, membuat pikirannya menjadi kalut. Bagaimana bisa orang yang ia takuti selama ini adalah ayah kandungnya sendiri.Untuk membuktikan bahwa Kardi betulan ayah kandung dari Gina, maka gadis itu harus membawanya pulang ke rumah dan menanyakan kebenarannya kepada sang ibu. Gina tidak pernah habis pikir kenapa Kardi terlihat begitu membencinya. Kenapa pula pria itu selalu memiliki tatapan setajam pedang yang diarahkan kepadanya."Gin, maaf. Dari tadi gue ngetuk pintu tapi lo nggak respon. Are you okay?" Nayya melongok dari balik pintu. "Gue nggak papa, Nay. Tapi kayaknya gue lagi butuh buat sendiri." "Oke, gue ngerti. Tapi tolong lo jangan terlalu mikirin apa yang terjadi. Inget, Kalau lo butuh apa-apa panggil gue." "Iya, Nay." Nayya menjauh dari kamar Gina dengan berat hati. Siapa pun yang berada di posisi sahabatnya itu pasti
"Gina Safira. Bagaimanapun itu adalah nama yang pernah aku berikan kepada seorang anak bayi yang mengalir darahku di dalam tubuhnya." Kardi mulai mengungkit-ungkit masa lalu untuk meluluhkan hati Gina."Betapapun kamu membenciku, sampai kapan pun statusnya tidak akan berubah. Aku adalah ayah dan kamu anak. Aku bisa mengerti kalau kamu butuh waktu. Tapi tolong jangan terlalu lama," lanjutnya.Gina menatap nanar ke arah orang tua yang masih berdiri tepat di depannya. "Anda masih ingat dengan jelas namaku, kenapa Anda nggak punya insting sebelumnya kalau aku ini adalah putrimu.""Maafkan ayah, sungguh maafkan. Pertama kali melihatmu aku tidak berpikir kamu adalah putri dari Een. Aku menganggap kamu adalah orang lain yang mirip dengan mantan istriku itu. Kebencian yang bertumpukan itulah membuatku menutup hati.""Apa alasannya Pak Kardi benci sama Mama?"Pak Kardi menangis tersedu-sedu. Saat bersamaan den