Ramdan berlari menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Elea. Dia abaikan tubuh yang lengket karena belum terguyur air sejak kemarin. Baginya yang terpenting adalah mengetahui keadaan sang istri, Elea. Setibanya di depan kamar perawatan, dia bergeming sejenak untuk mengatur napas sebelum menatap tajam kedua penjaga yang menunduk di depannya. Dia mendengkus kesal sebelum menarik kerah baju salah satu dari mereka."Kenapa kalian bisa lengah, hah!""Maaf, Bos. Kami ....""Aaargh!" seru Ramdan sambil melepas tangannya dari kerah baju sang penjaga dengan sedikit menyentak. Dia menggeram kesal dan segera berlalu ke dalam kamar perawatan.Ramdan mengikis jarak sambil menatap Elea yang berbaring menghadap jendela. Dia menghela napas panjang saat mengetahui wanita itu sedang terpejam. Dia berkacak pinggang sambil menyugar rambut sebelum mengempaskan tubuh di kursi samping ranjang."Ramdan ...," panggil Elea sambil memutar tubuh menjadi menghadap suaminya."Hem. Aku kira kamu tidur,
Ramdan memegang kedua lengan Elea dan menatapnya lekat. Dia mengguncang tubuh sang istri sambil menatapnya tajam. Sementara, Elea menggeleng berulang kali dengan mata mengembun. Dia melepas tangan pria itu dan mundur sejengkal sebelum membekap dirinya sendiri dan menunduk dalam.Ramdan kembali mendekat, tetapi Elea menggeleng sebelum mundur. Akhirnya, pria itu perlahan mendekat dengan tangan terulur, kemudian memegang jemari sang istri sebelum memeluknya erat. Dia mengusap lembut punggung Elea dan melirik lukanya sekilas. Lalu, satu helaan napas panjang lolos dari mulut pria itu."Maafkan aku, Elea. Aku tak akan memaksamu lagi."Ramdan mengeratkan pelukan dan membiarkan Elea terguguk di dadanya. Usai tangisan Elea reda, Ramdan melerai pelukan dan menghapus air matanya. Dengan perlahan, dia membawa sang istri ke dalam dan mendudukkannya di ranjang. Dia berlalu ke lemari dan mengambil baju tidur sebelum menyerahkannya kepada Elea."Pakai dan tidurlah sekarang, Elea! Aku ada di ruang ker
"Edrik! Beraninya kamu ... Papa!"Ramdan membeliak melihat ayahnya berjalan masuk melewati Edrik yang berhenti di ambang pintu. Dia yang awalnya ingin marah karena kedatangan Edrik, langsung menarik Elea dan menyembunyikan di belakang punggungnya. Dia menatap lekat pria yang membuatnya hadir ke dunia sambil menelan ludah dengan susah payah."Jadi ini yang kamu sembunyikan dari Papa, Akhtar?" tanya Ramlan sambil menggeleng lemah. Dia melirik Elea yang bersembunyi di belakang punggung sang anak sebelum berbalik dan menjauh. "Papa tunggu di ruang kerja sekarang!"Ramdan menghela napas panjang sebelum berbalik dan menatap istrinya. "Tunggu di sini, Elea. Aku cuma sebentar."Elea mengangguk lemah sebelum melihat punggung suaminya perlahan menjauh. Dia mengangguk sekilas ketika melihat Edrik yang menutup pintu. Setelahnya, dia menatap lekat Aleta dan menghela napas panjang sebelum tersenyum tipis. Lalu, beranjak ke kamar mandi dan kembali sambil membawa peralatan untuk mengelap tubuh adik i
Ramdan bergeming usai mendengar penjelasan dokter. Dia bahkan masih bergeming setelah dokter yang memeriksa Elea berlalu meninggalkan kamar. Setelah beberapa detik berlalu, dia baru tersadar dan meraup wajahnya kasar. Lalu, menatap lekat Elea yang terbaring sambil menatap keluar jendela. Tangan wanita itu mengusap lembut perut ratanya sebelum mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuh sampai sebatas dada. Air mata wanita itu meleleh membasahi pipi, tetapi segera dihapus saat melihat Ramdan mendekat.Ramdan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengempaskan tubuh di tepi ranjang. Dia menatap lekat sang istri dengan tangan terulur. Namun, segera dia tarik kembali tangannya saat mendengar suara pintu dibuka. Ramdan menoleh dan melihat Ramlan mengikis jarak dengan raut wajah penuh kegembiraan."Apa benar berita yang Papa dengar, Akhtar? Elea ... Elea hamil?"Ramdan kembali menatap Elea yang memejamkan mata dengan air mata berurai. Dia segera menarik sang ayah kelua
"A-aku juga enggak tahu siapa. Cuma ada nomornya aja, kamu lihat, kan?""Dia enggak ngomong apa-apa?"Elea menggeleng lemah sebelum meletakkan kembali ponselnya di nakas. Ramdan mendengkus lirih sebelum membantu mengangkat kaki sang istri dan menaruhnya di ranjang. Lalu, mengambil gelas berisi cokelat hangat di meja sebelum menyerahkannya kepada Elea. "Mumpung masih hangat, minumlah!"Elea mengangguk dan menerima gelas yang diangsurkan Ramdan. Perlahan, dia menyesap minuman itu. Namun, baru saja cairan cokelat itu menyentuh lambung, dia bergegas meletakkan gelas di nakas dan bangkit dari ranjang sebelum berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Ramdan menyusul dan mengurut pelan tengkuk sang istri. Lalu, memapah Elea kembali ke ranjang."Aku ambilkan air putih hangat sebentar."Ramdan bergegas berlari ke dapur untuk mengisi gelas dengan air hangat, kemudian kembali ke kamar. Dia menghela napas panjang saat melihat istrinya sudah terpejam. Perlahan, dia mengikis jarak dan
Ramdan mendekati Elea dan menatapnya lekat. Tangannya terulur untuk mengusap lembut kepala sang istri sebelum mengecup keningnya. "Aku tak akan lama, janji. Selesai urusannya, aku akan ke sini. Nanti aku suruh dua orang berjaga di depan."Ramdan mengulas senyum tipis sebelum berlalu meninggalkan kamar diiringi tatapan sendu Elea. Dia terus berlari sambil menelepon anak buahnya."Kalian ke rumah sakit sekarang! Jaga Elea, jangan sampai ada yang masuk tanpa izinku! Elea ada di rumah sakit dan kamar yang sama seperti dulu!"Ramdan bergegas mematikan panggilan dan meneruskan langkah hingga sampai di dekat mobil. Dia langsung masuk dan melajukan mobil dengan tergesa menuju kediamannya. Setibanya di sana, Edrik segera mendekat dan membukakan pintu. Ramdan turun dari mobil dan terkejut melihat halamn rumahnya sudah berantakan. Taman yang biasanya rapi dan indah dipandang mata, sekarang dipenuhi puing dan tanah. Lalu, air mancur yang terletak di depan rumah juga sudah tidak berbentuk. Airnya
"Apa mauku?" tanya Dandi balik dan tertawa mengejek. Dia mendorong Ramdan dengan telunjuk dan berkata. "Aku maunya lihat kamu mati!"Ramdan menyeringai dan menangkap telunjuk Dandi sebelum memelintirnya. Dia makin bersemangat memelintir saat mendengar Dandi mengerang kesakitan."Tak akan semudah itu. Aku tak akan lengah untuk kedua kalinya. Kali ini kamu yang akan mati di tanganku, pengecut!"Ramdan langsung menendang kaki Dandi sampai tersungkur. Lalu, menarik kerah baju pria itu dan memukul wajahnya berulang kali. Saat melihat empat orang berbadan tegap mendekat dan hendak menyerang, Ramdan bergegas mencekik leher Dandi."Maju selangkah lagi, aku pastikan dia mati!"Dengan napas tersengal, Dandi mengacungkan telapak tangannya, menyuruh anak buahnya mundur. Setelahnya, Ramdan menarik tubuh Dandi hingga berdiri, kemudian menatapnya nyalang."Sekarang ikut aku! Aku akan membawamu menemui seseorang!"Dengan napas memburu karena menahan amarah, Ramdan menyeret Dandi menuju mobilnya. Namu
Ramdan terkekeh saat teringat ucapannya sebelum berangkat ke kantor. Dia menggeleng lemah sebelum menekuri berkas di tangannya. Dia meneliti satu per satu laporan yang ada sebelum membubuhkan tanda tangan. Setelahnya, dia membuka laptop dan membaca satu per satu email yang masuk. Ketika fokus dengan pekerjaannya, ponsel Ramdan berdering nyaring. Dia melirik sekilas ponsel yang tergeletak di meja sebelum menjawab panggilan."Hai, Pa. Ada apa?""Akhtar, kenapa kamu baru bilang kalau Mama mau punya cucu, hem?""Mama?""Iya, kenapa? Mama sengaja menyabotase HP Papa setelah dengar cerita kalau istri kamu hamil. Teganya kalian berdua?"Ramdan terkekeh mendengar kalimat bernada kesal yang dilontarkan ibunya. Dia mengusap dahi dan terus tersenyum sebelum membuka kata."Bukannya aku enggak mau kasih tahu Mama, tapi memang belum saatnya. Mama tahu sendiri bagaimana awal pernikahanku, kan?""Ya, Mama juga tahu hal itu dari Papa. Tapi, kenapa kamu masih saja enggak kasih tahu Mama, hem? Mama mara