Ramdan membeliak mendengar ucapan Elea. Dia mengacak-acak rambut sambil tersenyum canggung sebelum menatap lekat wanita yang berbaring di depannya. Dia menghela napas panjang sebelum membuka kata."Hanya itu?" Elea mengangguk lemah menanggapi pertanyaan Ramdan. Dia tersenyum tipis dan berkata. "Iya, hanya itu yang aku mau sekarang, Ramdan. Kamu minta maaf dengan tulus dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatanmu."Ramdan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengangguk lemah. Dia menyugar rambut dan meraup wajah sebelum menatap lekat wanita yang berbaring di depannya."Oke, aku minta maaf atas semua kesalahanku, Elea. Aku janji enggak akan mengulanginya lagi, kecuali ... terpaksa."Elea membeliak mendengar ucapan Ramdan. Dia mencebik sebelum membuang pandangan ke luar jendela. Sementara, Ramdan terkekeh sebelum kembali berkata."Iya-iya, aku janji enggak akan kasar lagi. Tapi ... kalau khilaf, ya, maafkan."Elea melirik sekilas Ramdan sambil mendengkus kes
Ramdan berlari menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Elea. Dia abaikan tubuh yang lengket karena belum terguyur air sejak kemarin. Baginya yang terpenting adalah mengetahui keadaan sang istri, Elea. Setibanya di depan kamar perawatan, dia bergeming sejenak untuk mengatur napas sebelum menatap tajam kedua penjaga yang menunduk di depannya. Dia mendengkus kesal sebelum menarik kerah baju salah satu dari mereka."Kenapa kalian bisa lengah, hah!""Maaf, Bos. Kami ....""Aaargh!" seru Ramdan sambil melepas tangannya dari kerah baju sang penjaga dengan sedikit menyentak. Dia menggeram kesal dan segera berlalu ke dalam kamar perawatan.Ramdan mengikis jarak sambil menatap Elea yang berbaring menghadap jendela. Dia menghela napas panjang saat mengetahui wanita itu sedang terpejam. Dia berkacak pinggang sambil menyugar rambut sebelum mengempaskan tubuh di kursi samping ranjang."Ramdan ...," panggil Elea sambil memutar tubuh menjadi menghadap suaminya."Hem. Aku kira kamu tidur,
Ramdan memegang kedua lengan Elea dan menatapnya lekat. Dia mengguncang tubuh sang istri sambil menatapnya tajam. Sementara, Elea menggeleng berulang kali dengan mata mengembun. Dia melepas tangan pria itu dan mundur sejengkal sebelum membekap dirinya sendiri dan menunduk dalam.Ramdan kembali mendekat, tetapi Elea menggeleng sebelum mundur. Akhirnya, pria itu perlahan mendekat dengan tangan terulur, kemudian memegang jemari sang istri sebelum memeluknya erat. Dia mengusap lembut punggung Elea dan melirik lukanya sekilas. Lalu, satu helaan napas panjang lolos dari mulut pria itu."Maafkan aku, Elea. Aku tak akan memaksamu lagi."Ramdan mengeratkan pelukan dan membiarkan Elea terguguk di dadanya. Usai tangisan Elea reda, Ramdan melerai pelukan dan menghapus air matanya. Dengan perlahan, dia membawa sang istri ke dalam dan mendudukkannya di ranjang. Dia berlalu ke lemari dan mengambil baju tidur sebelum menyerahkannya kepada Elea."Pakai dan tidurlah sekarang, Elea! Aku ada di ruang ker
"Edrik! Beraninya kamu ... Papa!"Ramdan membeliak melihat ayahnya berjalan masuk melewati Edrik yang berhenti di ambang pintu. Dia yang awalnya ingin marah karena kedatangan Edrik, langsung menarik Elea dan menyembunyikan di belakang punggungnya. Dia menatap lekat pria yang membuatnya hadir ke dunia sambil menelan ludah dengan susah payah."Jadi ini yang kamu sembunyikan dari Papa, Akhtar?" tanya Ramlan sambil menggeleng lemah. Dia melirik Elea yang bersembunyi di belakang punggung sang anak sebelum berbalik dan menjauh. "Papa tunggu di ruang kerja sekarang!"Ramdan menghela napas panjang sebelum berbalik dan menatap istrinya. "Tunggu di sini, Elea. Aku cuma sebentar."Elea mengangguk lemah sebelum melihat punggung suaminya perlahan menjauh. Dia mengangguk sekilas ketika melihat Edrik yang menutup pintu. Setelahnya, dia menatap lekat Aleta dan menghela napas panjang sebelum tersenyum tipis. Lalu, beranjak ke kamar mandi dan kembali sambil membawa peralatan untuk mengelap tubuh adik i
Ramdan bergeming usai mendengar penjelasan dokter. Dia bahkan masih bergeming setelah dokter yang memeriksa Elea berlalu meninggalkan kamar. Setelah beberapa detik berlalu, dia baru tersadar dan meraup wajahnya kasar. Lalu, menatap lekat Elea yang terbaring sambil menatap keluar jendela. Tangan wanita itu mengusap lembut perut ratanya sebelum mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuh sampai sebatas dada. Air mata wanita itu meleleh membasahi pipi, tetapi segera dihapus saat melihat Ramdan mendekat.Ramdan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengempaskan tubuh di tepi ranjang. Dia menatap lekat sang istri dengan tangan terulur. Namun, segera dia tarik kembali tangannya saat mendengar suara pintu dibuka. Ramdan menoleh dan melihat Ramlan mengikis jarak dengan raut wajah penuh kegembiraan."Apa benar berita yang Papa dengar, Akhtar? Elea ... Elea hamil?"Ramdan kembali menatap Elea yang memejamkan mata dengan air mata berurai. Dia segera menarik sang ayah kelua
"A-aku juga enggak tahu siapa. Cuma ada nomornya aja, kamu lihat, kan?""Dia enggak ngomong apa-apa?"Elea menggeleng lemah sebelum meletakkan kembali ponselnya di nakas. Ramdan mendengkus lirih sebelum membantu mengangkat kaki sang istri dan menaruhnya di ranjang. Lalu, mengambil gelas berisi cokelat hangat di meja sebelum menyerahkannya kepada Elea. "Mumpung masih hangat, minumlah!"Elea mengangguk dan menerima gelas yang diangsurkan Ramdan. Perlahan, dia menyesap minuman itu. Namun, baru saja cairan cokelat itu menyentuh lambung, dia bergegas meletakkan gelas di nakas dan bangkit dari ranjang sebelum berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Ramdan menyusul dan mengurut pelan tengkuk sang istri. Lalu, memapah Elea kembali ke ranjang."Aku ambilkan air putih hangat sebentar."Ramdan bergegas berlari ke dapur untuk mengisi gelas dengan air hangat, kemudian kembali ke kamar. Dia menghela napas panjang saat melihat istrinya sudah terpejam. Perlahan, dia mengikis jarak dan
Ramdan mendekati Elea dan menatapnya lekat. Tangannya terulur untuk mengusap lembut kepala sang istri sebelum mengecup keningnya. "Aku tak akan lama, janji. Selesai urusannya, aku akan ke sini. Nanti aku suruh dua orang berjaga di depan."Ramdan mengulas senyum tipis sebelum berlalu meninggalkan kamar diiringi tatapan sendu Elea. Dia terus berlari sambil menelepon anak buahnya."Kalian ke rumah sakit sekarang! Jaga Elea, jangan sampai ada yang masuk tanpa izinku! Elea ada di rumah sakit dan kamar yang sama seperti dulu!"Ramdan bergegas mematikan panggilan dan meneruskan langkah hingga sampai di dekat mobil. Dia langsung masuk dan melajukan mobil dengan tergesa menuju kediamannya. Setibanya di sana, Edrik segera mendekat dan membukakan pintu. Ramdan turun dari mobil dan terkejut melihat halamn rumahnya sudah berantakan. Taman yang biasanya rapi dan indah dipandang mata, sekarang dipenuhi puing dan tanah. Lalu, air mancur yang terletak di depan rumah juga sudah tidak berbentuk. Airnya
"Apa mauku?" tanya Dandi balik dan tertawa mengejek. Dia mendorong Ramdan dengan telunjuk dan berkata. "Aku maunya lihat kamu mati!"Ramdan menyeringai dan menangkap telunjuk Dandi sebelum memelintirnya. Dia makin bersemangat memelintir saat mendengar Dandi mengerang kesakitan."Tak akan semudah itu. Aku tak akan lengah untuk kedua kalinya. Kali ini kamu yang akan mati di tanganku, pengecut!"Ramdan langsung menendang kaki Dandi sampai tersungkur. Lalu, menarik kerah baju pria itu dan memukul wajahnya berulang kali. Saat melihat empat orang berbadan tegap mendekat dan hendak menyerang, Ramdan bergegas mencekik leher Dandi."Maju selangkah lagi, aku pastikan dia mati!"Dengan napas tersengal, Dandi mengacungkan telapak tangannya, menyuruh anak buahnya mundur. Setelahnya, Ramdan menarik tubuh Dandi hingga berdiri, kemudian menatapnya nyalang."Sekarang ikut aku! Aku akan membawamu menemui seseorang!"Dengan napas memburu karena menahan amarah, Ramdan menyeret Dandi menuju mobilnya. Namu
Elea bergeming sesaat begitu tiba di depan area pemakaman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Ramdan."Kamu mau temani aku lagi, kan, Ramdan?""Kamu mau bertemu siapa di tempat seperti ini, Elea?"Elea tersenyum sekilas sebelum mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas selempangnya. Lalu, menyerahkan foto itu kepada Ramdan. Pria itu mengernyit heran sebelum menatap istrinya."Ini siapa, Elea?""Dialah ibu kandungku, Ramdan. Kumala Permatasari, wanita kedua yang hadir dalam pernikahan Papa dan Mama. Aku tahu Ibu dimakamkan di sini setelah membaca buku Mama. Aku juga menemukan foto itu dalam bukunya."Elea menunduk dalam sambil menghela napas panjang. Lalu, kembali menatap Ramdan dan melanjutkan ucapannya. "Benar kata Mama, wajahku sama dengan Ibu. Makanya Mama sangat membenciku karena selalu mengingatkannya pada Ibu."Ramdan mengusap lembut bahu sang istri sebelum merengkuh dan mengecup keningnya. "Semuanya sudah berlalu, Elea. Yang terpenting sekarang
"Ada apa, Ramdan? Kenapa kamu menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Berondongan pertanyaan dari Elea membuat Ramdan kelu. Dia membelokkan mobil dan kembali menuju kediaman Ramlan."Tunggu di sini, Elea. Biar aku titipkan Aldrin sebentar ke Mama.""Tapi, ada apa, Ramdan? Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"Ramdan bungkam dan segera mengambil Aldrin sebelum membawanya masuk ke rumah. Usai menyerahkan sang anak kepada Alina dan menceritakan apa yang terjadi, Ramdan kembali menuju mobil. Lalu, tergesa melajukannya menuju suatu tempat. Selama perjalanan, dia hanya bungkam meskipun Elea terus mendesaknya untuk berbicara.Mobil berhenti di depan bangunan yang mengingatkan Elea dengan kepergian Dina. Dia mematung di tempat duduk sebelum menatap Ramdan penuh tanya. "Sebenarnya ini ada apa, Ramdan? Kenapa kamu bawa aku ke sini? Siapa yang sakit?"Ramdan menghela napas panjang sebelum menggenggam erat jemari sang istri. Dia kembali menghela napas dan memegang kedua lengan Elea sebe
Elea mematut diri di cermin. Dia mengulas senyum sambil menelisik penampilan dirinya. Gaun hitam berlengan pendek dengan rok sedikit mengembang sebatas lutut itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dia berbalik dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.Sementara itu, Ramdan yang sejak tadi menatap dari sofa sambil memangku Aldrin hanya mampu menggeleng lemah melihat sikap istrinya."Mau sampai kapan kamu berdiri di depan cermin, Elea? Kita sudah hampir telat.""Maafkan aku, Ramdan. Aku cuma tidak pede bertemu dengan keluargamu. Makanya aku harus totalitas dan mempersiapkan semuanya.Ramdan terkekeh sambil bangkit dari duduk. Dia mendekati Elea dan memeluk pinggangnya. Lalu, menyematkan kecupan di pipinya sebelum menatap Aldrin yang melihatnya."Lihat, Nak. Mama kamu sekarang jadi genit. Haruskah Papa memberinya hukuman nanti?"Aldrin tersenyum tipis sehingga membuat Ramdan dan Elea tergelak. Elea berbalik dan merapatkan tubuhnya kepada sang suami, kemudian membisikkan kalimat."Aku
Teruntuk Elea, Satu nama yang sangat aku sayang, tetapi juga sangat aku benci. Setiap kali melihat wajahnya, aku selalu teringat akan sosok Kumala Permatasari, wanita lugu dan polos yang aku kenal baik, tetapi malah menusukku dari belakang. Aku membencinya sama seperti membenci ibunya.Ingin rasanya memutar waktu dan menolak kehadiran Kumala di dekat Harsa, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi saat pria tua itu memintaku untuk merawat anak mereka. Ingin berontak, tapi aku bisa apa?Namanya Elea. Dia sebenarnya anak yang cantik dan baik, tapi entah mengapa setiap kali dekat dengannya, hanya ada kebencian dalam dada. Perlahan aku menutup mata atas semua perbuatannya. Aku tak peduli dengannya sehingga membuatnya jadi seorang pembangkang hanya untuk menarik perhatian. Amarah dan kecewa sudah terlanjur tertanam dalam dada, sehingga aku memutuskan untuk pergi dari rumah.Elea, maafkan Mama. Pernah pada satu titik, di mana kamu terjatuh dari tangga tempo hari. Mama
Elea gelisah duduk di samping kemudi. Dia meremas kuat jemarinya sebelum melirik Ramdan. Berita yang dibawa pria itu mau tidak mau menyentak hatinya. Dia makin gelisah di tempat duduk saat melihat jalanan yang padat."Bisakah kita cari jalan lain, Ramdan?""Tenang, Elea. Mereka pasti menunggu kita.""Tapi aku tak akan bisa tenang sebelum melihatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ramdan?"Ramdan meraih jemari Elea dan menggenggamnya erat, kemudian mengecupnya. Dia menoleh dan mengusap kepala sang istri, berusaha untuk menenangkannya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, jalanan mulai terurai. Ramdan menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Setibanya di sana, Elea segera turun dan berlari menyusuri lorong sebelum tiba di suatu ruangan.Elea bergeming sesaat ketika menatap ruangan di depannya. Sepi yang melingkupi ruangan itu makin menambah hawa dingin yang terasa. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian tangannya terulur untuk
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua
Ramdan menatap lekat Aleta yang berdiri di ujung anak tangga teratas dengan dipapah Alina. Sedetik kemudian, Ramdan mendesah lirih dan memilih keluar rumah, mengabaikan kalimat permohonan yang dilontarkan sang adik. Dia meneruskan langkah menuju mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, kalimat Aleta terus terngiang di kepala."Aku akan datang untuk bersaksi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah menyuruhku untuk berhenti, setelah memintaku untuk memulainya."Ramdan kembali mengulang ucapan itu sambil sesekali memijat pelan pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih setelah mengetahui maksud dari perkataan Aleta. Tak ingin ambil pusing dengan permintaan sang adik, Ramdan menggeleng kuat dan segera melajukan mobilnya menuju kediaman Harsa. Ramdan bergegas turun dari mobil dan berjalan tergesa memasuki rumah. Dia segera menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Aldrin terdengar. Saat membuka pintu, dia hanya mendapati sang anak yang menangis di ranjang, sedangkan
Ramdan melajukan mobilnya keluar dari rumah Harsa. Dia mengumbar senyum sepanjang perjalanan saat membayangkan orang tuanya mengetahui bahwa sang cucu yang diketahui sudah meninggal, ternyata masih hidup. Ramdan menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumahnya.Ramdan bergegas memasuki rumah saat melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi. Dia menaiki tangga dengan tergesa saat mendengar sayup suara dari lantai atas. Langkah membawanya menuju kamar Aleta, tetapi dia bergeming di depan pintu saat mendengar percakapan ketiganya. Ramdan menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang dibicaraka Aleta dan orang tuanya."Papa dengar kasus kamu mau dibuka kembali, Aleta. Sekarang saatnya kamu untuk beberkan semua fakta karena pasti Akhtar tak main-main dengan bukti yang dia kumpulkan selama ini."Aleta menoleh ke arah Ramlan sebelum menggeleng lemah. "Enggak, Pa. Aleta enggak sanggup beberkan semua cerita pilu itu.""Tapi, ini harus, Sayang. Mau sampai kapan kamu begini terus
Ramdan bergeming saat melihat bayi berusia sekitar 3 bulan ada dalam gendongan seorang wanita. Ramdan mengerjap pelan sebelum menoleh kepada Elea. Namun, belum sempat membuka kata, wanita itu masuk. Lalu, menghampiri ranjang dan menyerahkan sang bayi kepada Elea.Ramdan masih bergeming. Namun, dia segera tersadar dan bergegas menghampiri Elea. Dia menggeleng lemah dan mendesah lirih saat tangan bayi itu dicium Elea. Ramdan mengernyit heran dan mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menatap lekat bayi itu sebelum beralih menatap istrinya."Dia ....""Aldrin Elraja Alaydrus."Ramdan menatap tak percaya Elea yang tersenyum kepadanya. Tangannya terulur mengusap kepala bayi yang ada di gendongan sang istri. Seulas senyum tipis tersemat di bibirnya."Benarkah dia ...."Ramdan menunjuk dirinya sendiri. Dia tak sanggup meneruskan ucapannya karena rasa haru yang menyeruak. Tiga bulan yang lalu saat mendengar sang anak akhirnya meninggal, hatinya hancur. Dunia runtuh bahkan nyaris hilang ka