Elea terjaga dari tidur saat merasakan cahaya yang menyilaukan matanya. Dia mengedarkan pandangan dan melihat Dina mengikis jarak sambil membawa map berwarna merah. Dia mengernyit heran dan berusaha beringsut duduk. Namun, sakit di sekujur tubuh membuatnya mengerang kesakitan sebelum memilih berbaring kembali."Enggak usah dipaksakan kalau memang masih sakit, Elea. Mama ke sini cuma mau ngasih ini."Dina mengangsurkan berkas di tangannya kepada Elea. Tanpa menunggu reaksi sang anak, wanita paruh baya itu segera berlalu. "Apa ini, Ma? Perjanjian kerja sama?"Dina yang sudah sampai di pintu bergeming ketika mendengar suara Elea. Dia berbalik dan menatap sang anak sambil tersenyum tipis."Iya, Elea. Bujuk Ramdan agar mau menyetujui perjanjian itu biar perusahaan kita bisa terus berjalan.""Tapi, Ma. Elea ....""Ini saatnya kamu berbakti kepada kami, Elea. Kamu hanya membujuk Ramdan saja, setelahnya biar Papa yang urus.""Ma, ini bukan soal itu ... ini soal Elea yang ....""Mama yakin ka
Ramdan membeliak mendengar ucapan Elea. Dia mengacak-acak rambut sambil tersenyum canggung sebelum menatap lekat wanita yang berbaring di depannya. Dia menghela napas panjang sebelum membuka kata."Hanya itu?" Elea mengangguk lemah menanggapi pertanyaan Ramdan. Dia tersenyum tipis dan berkata. "Iya, hanya itu yang aku mau sekarang, Ramdan. Kamu minta maaf dengan tulus dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatanmu."Ramdan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengangguk lemah. Dia menyugar rambut dan meraup wajah sebelum menatap lekat wanita yang berbaring di depannya."Oke, aku minta maaf atas semua kesalahanku, Elea. Aku janji enggak akan mengulanginya lagi, kecuali ... terpaksa."Elea membeliak mendengar ucapan Ramdan. Dia mencebik sebelum membuang pandangan ke luar jendela. Sementara, Ramdan terkekeh sebelum kembali berkata."Iya-iya, aku janji enggak akan kasar lagi. Tapi ... kalau khilaf, ya, maafkan."Elea melirik sekilas Ramdan sambil mendengkus kes
Ramdan berlari menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Elea. Dia abaikan tubuh yang lengket karena belum terguyur air sejak kemarin. Baginya yang terpenting adalah mengetahui keadaan sang istri, Elea. Setibanya di depan kamar perawatan, dia bergeming sejenak untuk mengatur napas sebelum menatap tajam kedua penjaga yang menunduk di depannya. Dia mendengkus kesal sebelum menarik kerah baju salah satu dari mereka."Kenapa kalian bisa lengah, hah!""Maaf, Bos. Kami ....""Aaargh!" seru Ramdan sambil melepas tangannya dari kerah baju sang penjaga dengan sedikit menyentak. Dia menggeram kesal dan segera berlalu ke dalam kamar perawatan.Ramdan mengikis jarak sambil menatap Elea yang berbaring menghadap jendela. Dia menghela napas panjang saat mengetahui wanita itu sedang terpejam. Dia berkacak pinggang sambil menyugar rambut sebelum mengempaskan tubuh di kursi samping ranjang."Ramdan ...," panggil Elea sambil memutar tubuh menjadi menghadap suaminya."Hem. Aku kira kamu tidur,
Ramdan memegang kedua lengan Elea dan menatapnya lekat. Dia mengguncang tubuh sang istri sambil menatapnya tajam. Sementara, Elea menggeleng berulang kali dengan mata mengembun. Dia melepas tangan pria itu dan mundur sejengkal sebelum membekap dirinya sendiri dan menunduk dalam.Ramdan kembali mendekat, tetapi Elea menggeleng sebelum mundur. Akhirnya, pria itu perlahan mendekat dengan tangan terulur, kemudian memegang jemari sang istri sebelum memeluknya erat. Dia mengusap lembut punggung Elea dan melirik lukanya sekilas. Lalu, satu helaan napas panjang lolos dari mulut pria itu."Maafkan aku, Elea. Aku tak akan memaksamu lagi."Ramdan mengeratkan pelukan dan membiarkan Elea terguguk di dadanya. Usai tangisan Elea reda, Ramdan melerai pelukan dan menghapus air matanya. Dengan perlahan, dia membawa sang istri ke dalam dan mendudukkannya di ranjang. Dia berlalu ke lemari dan mengambil baju tidur sebelum menyerahkannya kepada Elea."Pakai dan tidurlah sekarang, Elea! Aku ada di ruang ker
"Edrik! Beraninya kamu ... Papa!"Ramdan membeliak melihat ayahnya berjalan masuk melewati Edrik yang berhenti di ambang pintu. Dia yang awalnya ingin marah karena kedatangan Edrik, langsung menarik Elea dan menyembunyikan di belakang punggungnya. Dia menatap lekat pria yang membuatnya hadir ke dunia sambil menelan ludah dengan susah payah."Jadi ini yang kamu sembunyikan dari Papa, Akhtar?" tanya Ramlan sambil menggeleng lemah. Dia melirik Elea yang bersembunyi di belakang punggung sang anak sebelum berbalik dan menjauh. "Papa tunggu di ruang kerja sekarang!"Ramdan menghela napas panjang sebelum berbalik dan menatap istrinya. "Tunggu di sini, Elea. Aku cuma sebentar."Elea mengangguk lemah sebelum melihat punggung suaminya perlahan menjauh. Dia mengangguk sekilas ketika melihat Edrik yang menutup pintu. Setelahnya, dia menatap lekat Aleta dan menghela napas panjang sebelum tersenyum tipis. Lalu, beranjak ke kamar mandi dan kembali sambil membawa peralatan untuk mengelap tubuh adik i
Ramdan bergeming usai mendengar penjelasan dokter. Dia bahkan masih bergeming setelah dokter yang memeriksa Elea berlalu meninggalkan kamar. Setelah beberapa detik berlalu, dia baru tersadar dan meraup wajahnya kasar. Lalu, menatap lekat Elea yang terbaring sambil menatap keluar jendela. Tangan wanita itu mengusap lembut perut ratanya sebelum mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuh sampai sebatas dada. Air mata wanita itu meleleh membasahi pipi, tetapi segera dihapus saat melihat Ramdan mendekat.Ramdan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengempaskan tubuh di tepi ranjang. Dia menatap lekat sang istri dengan tangan terulur. Namun, segera dia tarik kembali tangannya saat mendengar suara pintu dibuka. Ramdan menoleh dan melihat Ramlan mengikis jarak dengan raut wajah penuh kegembiraan."Apa benar berita yang Papa dengar, Akhtar? Elea ... Elea hamil?"Ramdan kembali menatap Elea yang memejamkan mata dengan air mata berurai. Dia segera menarik sang ayah kelua
"A-aku juga enggak tahu siapa. Cuma ada nomornya aja, kamu lihat, kan?""Dia enggak ngomong apa-apa?"Elea menggeleng lemah sebelum meletakkan kembali ponselnya di nakas. Ramdan mendengkus lirih sebelum membantu mengangkat kaki sang istri dan menaruhnya di ranjang. Lalu, mengambil gelas berisi cokelat hangat di meja sebelum menyerahkannya kepada Elea. "Mumpung masih hangat, minumlah!"Elea mengangguk dan menerima gelas yang diangsurkan Ramdan. Perlahan, dia menyesap minuman itu. Namun, baru saja cairan cokelat itu menyentuh lambung, dia bergegas meletakkan gelas di nakas dan bangkit dari ranjang sebelum berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Ramdan menyusul dan mengurut pelan tengkuk sang istri. Lalu, memapah Elea kembali ke ranjang."Aku ambilkan air putih hangat sebentar."Ramdan bergegas berlari ke dapur untuk mengisi gelas dengan air hangat, kemudian kembali ke kamar. Dia menghela napas panjang saat melihat istrinya sudah terpejam. Perlahan, dia mengikis jarak dan
Ramdan mendekati Elea dan menatapnya lekat. Tangannya terulur untuk mengusap lembut kepala sang istri sebelum mengecup keningnya. "Aku tak akan lama, janji. Selesai urusannya, aku akan ke sini. Nanti aku suruh dua orang berjaga di depan."Ramdan mengulas senyum tipis sebelum berlalu meninggalkan kamar diiringi tatapan sendu Elea. Dia terus berlari sambil menelepon anak buahnya."Kalian ke rumah sakit sekarang! Jaga Elea, jangan sampai ada yang masuk tanpa izinku! Elea ada di rumah sakit dan kamar yang sama seperti dulu!"Ramdan bergegas mematikan panggilan dan meneruskan langkah hingga sampai di dekat mobil. Dia langsung masuk dan melajukan mobil dengan tergesa menuju kediamannya. Setibanya di sana, Edrik segera mendekat dan membukakan pintu. Ramdan turun dari mobil dan terkejut melihat halamn rumahnya sudah berantakan. Taman yang biasanya rapi dan indah dipandang mata, sekarang dipenuhi puing dan tanah. Lalu, air mancur yang terletak di depan rumah juga sudah tidak berbentuk. Airnya