Ramdan bergeming usai mendengar penjelasan dokter. Dia bahkan masih bergeming setelah dokter yang memeriksa Elea berlalu meninggalkan kamar. Setelah beberapa detik berlalu, dia baru tersadar dan meraup wajahnya kasar. Lalu, menatap lekat Elea yang terbaring sambil menatap keluar jendela. Tangan wanita itu mengusap lembut perut ratanya sebelum mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuh sampai sebatas dada. Air mata wanita itu meleleh membasahi pipi, tetapi segera dihapus saat melihat Ramdan mendekat.Ramdan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengempaskan tubuh di tepi ranjang. Dia menatap lekat sang istri dengan tangan terulur. Namun, segera dia tarik kembali tangannya saat mendengar suara pintu dibuka. Ramdan menoleh dan melihat Ramlan mengikis jarak dengan raut wajah penuh kegembiraan."Apa benar berita yang Papa dengar, Akhtar? Elea ... Elea hamil?"Ramdan kembali menatap Elea yang memejamkan mata dengan air mata berurai. Dia segera menarik sang ayah kelua
"A-aku juga enggak tahu siapa. Cuma ada nomornya aja, kamu lihat, kan?""Dia enggak ngomong apa-apa?"Elea menggeleng lemah sebelum meletakkan kembali ponselnya di nakas. Ramdan mendengkus lirih sebelum membantu mengangkat kaki sang istri dan menaruhnya di ranjang. Lalu, mengambil gelas berisi cokelat hangat di meja sebelum menyerahkannya kepada Elea. "Mumpung masih hangat, minumlah!"Elea mengangguk dan menerima gelas yang diangsurkan Ramdan. Perlahan, dia menyesap minuman itu. Namun, baru saja cairan cokelat itu menyentuh lambung, dia bergegas meletakkan gelas di nakas dan bangkit dari ranjang sebelum berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Ramdan menyusul dan mengurut pelan tengkuk sang istri. Lalu, memapah Elea kembali ke ranjang."Aku ambilkan air putih hangat sebentar."Ramdan bergegas berlari ke dapur untuk mengisi gelas dengan air hangat, kemudian kembali ke kamar. Dia menghela napas panjang saat melihat istrinya sudah terpejam. Perlahan, dia mengikis jarak dan
Ramdan mendekati Elea dan menatapnya lekat. Tangannya terulur untuk mengusap lembut kepala sang istri sebelum mengecup keningnya. "Aku tak akan lama, janji. Selesai urusannya, aku akan ke sini. Nanti aku suruh dua orang berjaga di depan."Ramdan mengulas senyum tipis sebelum berlalu meninggalkan kamar diiringi tatapan sendu Elea. Dia terus berlari sambil menelepon anak buahnya."Kalian ke rumah sakit sekarang! Jaga Elea, jangan sampai ada yang masuk tanpa izinku! Elea ada di rumah sakit dan kamar yang sama seperti dulu!"Ramdan bergegas mematikan panggilan dan meneruskan langkah hingga sampai di dekat mobil. Dia langsung masuk dan melajukan mobil dengan tergesa menuju kediamannya. Setibanya di sana, Edrik segera mendekat dan membukakan pintu. Ramdan turun dari mobil dan terkejut melihat halamn rumahnya sudah berantakan. Taman yang biasanya rapi dan indah dipandang mata, sekarang dipenuhi puing dan tanah. Lalu, air mancur yang terletak di depan rumah juga sudah tidak berbentuk. Airnya
"Apa mauku?" tanya Dandi balik dan tertawa mengejek. Dia mendorong Ramdan dengan telunjuk dan berkata. "Aku maunya lihat kamu mati!"Ramdan menyeringai dan menangkap telunjuk Dandi sebelum memelintirnya. Dia makin bersemangat memelintir saat mendengar Dandi mengerang kesakitan."Tak akan semudah itu. Aku tak akan lengah untuk kedua kalinya. Kali ini kamu yang akan mati di tanganku, pengecut!"Ramdan langsung menendang kaki Dandi sampai tersungkur. Lalu, menarik kerah baju pria itu dan memukul wajahnya berulang kali. Saat melihat empat orang berbadan tegap mendekat dan hendak menyerang, Ramdan bergegas mencekik leher Dandi."Maju selangkah lagi, aku pastikan dia mati!"Dengan napas tersengal, Dandi mengacungkan telapak tangannya, menyuruh anak buahnya mundur. Setelahnya, Ramdan menarik tubuh Dandi hingga berdiri, kemudian menatapnya nyalang."Sekarang ikut aku! Aku akan membawamu menemui seseorang!"Dengan napas memburu karena menahan amarah, Ramdan menyeret Dandi menuju mobilnya. Namu
Ramdan terkekeh saat teringat ucapannya sebelum berangkat ke kantor. Dia menggeleng lemah sebelum menekuri berkas di tangannya. Dia meneliti satu per satu laporan yang ada sebelum membubuhkan tanda tangan. Setelahnya, dia membuka laptop dan membaca satu per satu email yang masuk. Ketika fokus dengan pekerjaannya, ponsel Ramdan berdering nyaring. Dia melirik sekilas ponsel yang tergeletak di meja sebelum menjawab panggilan."Hai, Pa. Ada apa?""Akhtar, kenapa kamu baru bilang kalau Mama mau punya cucu, hem?""Mama?""Iya, kenapa? Mama sengaja menyabotase HP Papa setelah dengar cerita kalau istri kamu hamil. Teganya kalian berdua?"Ramdan terkekeh mendengar kalimat bernada kesal yang dilontarkan ibunya. Dia mengusap dahi dan terus tersenyum sebelum membuka kata."Bukannya aku enggak mau kasih tahu Mama, tapi memang belum saatnya. Mama tahu sendiri bagaimana awal pernikahanku, kan?""Ya, Mama juga tahu hal itu dari Papa. Tapi, kenapa kamu masih saja enggak kasih tahu Mama, hem? Mama mara
Ramdan bergeming sejenak, merasakan sesak di bagian perut setelah makanan yang dibeli untuk Elea harus dimakannya. Dia mendesah lirih sambil mengusap perut sebelum melirik sang istri yang terkekeh di depannya."Kalau aku sampai muntah, kamu harus tanggung jawab, Elea."Elea masih terkekeh lantas menyusut air matanya sebelum mengangguk lemah. Setelahnya, dia mengusap pipi Ramdan dan menatapnya lekat."Makasih, Ramdan. Makasih atas pengertian dan perhatianmu. Mulai sekarang tolong cintai dan sayangi aku.""Pasti, Elea. Pasti aku akan mencintai dan menyayangimu, apalagi ada calon anakku di sini," ucap Ramdan sambil mengusap perut Elea. "Apa kamu masih merasa mual, Elea?"Elea menggeleng lemah, sedangkan Ramdan perlahan merebahkan kepala di pangkuannya. Dia memeluk erat pinggang sang istri dan mencium perutnya. "Papa enggak tahu kamu laki-laki atau perempuan, tapi yang pasti Papa mau kamu sehat dan lahir dengan selamat."Elea mengusap kepala Ramdan sambil mengulas senyum. Sementara, Ramd
Ramdan tersenyum tipis melihat ekspresi istrinya setelah menjawab panggilan. Dia menelisik sang istri sebelum mengusap kepalanya."Kenapa, Elea?"Elea menatap suaminya sebelum menyerahkan ponsel sedikit kasar ke dadanya. "Itu dari mama kamu, kenapa suruh aku yang jawab?"Ramdan terkekeh sambil mengambil ponsel dan memasukkannya ke saku celana. Dia bangkit dari ranjang dan memapah sang istri keluar kamar. Dia abaikan tatapan tajam Elea sambil mengulum senyum. Pria itu terus membawa Elea ke mobil dan mendudukkannya di bangku penumpang. Setelahnya, dia berlari memutari mobil sebelum duduk di balik kemudi. Lalu, perlahan melajukan kendaraan menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Ramdan terus menatap jalanan, menghindari tatapan tajam istrinya yang meminta penjelasan. Keadaan itu terus terjadi sampai tiba di parkiran rumah sakit. Ramdan bergegas turun dan membantu Elea masuk untuk bertemu dokter kandungan. Hening yang meningkahi keduanya, membuat Elea gemas dan mamilih mencubit lengan
Ramdan menggeram kesal sambil menggebrak meja memikirkan nama yang disebutkan pemilik mobil tadi. Dia menyandarkan punggung sebelum memijat pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih sambil memejamkan mata sebelum menoleh ketika mendengar pintu diketuk."Masuk!" titahnya kepada orang di balik pintu. Ramdan berbalik dan melihat sekretarisnya mendekat sambil membawa sebuah berkas."Ada karyawan baru yang harus Bapak wawancara," ucap sang sekretaris sambil menyerahkan berkas di tangannya kepada Ramdan. "Dia sudah menunggu di depan, Pak.""Suruh masuk!"Sekretaris Ramdan segera berlalu dan kembali sambil membawa seorang wanita yang memakai kemeja putih dan celana panjang hitam. Ramdan yang membuka berkas dan membacanya sedikit mengernyit saat membaca nama yang tertera."Gwen Karisma?""Iya, itu nama saya, Pak."Ramdan langsung emndongak dan melihat Gwen yang dulu pernah membantu sudah berdiri di hadapannya. Mereka berserobok sesaat sebelum Ramdan mempersilakan Gwen untuk duduk. Setelahnya henin