"Apa mauku?" tanya Dandi balik dan tertawa mengejek. Dia mendorong Ramdan dengan telunjuk dan berkata. "Aku maunya lihat kamu mati!"Ramdan menyeringai dan menangkap telunjuk Dandi sebelum memelintirnya. Dia makin bersemangat memelintir saat mendengar Dandi mengerang kesakitan."Tak akan semudah itu. Aku tak akan lengah untuk kedua kalinya. Kali ini kamu yang akan mati di tanganku, pengecut!"Ramdan langsung menendang kaki Dandi sampai tersungkur. Lalu, menarik kerah baju pria itu dan memukul wajahnya berulang kali. Saat melihat empat orang berbadan tegap mendekat dan hendak menyerang, Ramdan bergegas mencekik leher Dandi."Maju selangkah lagi, aku pastikan dia mati!"Dengan napas tersengal, Dandi mengacungkan telapak tangannya, menyuruh anak buahnya mundur. Setelahnya, Ramdan menarik tubuh Dandi hingga berdiri, kemudian menatapnya nyalang."Sekarang ikut aku! Aku akan membawamu menemui seseorang!"Dengan napas memburu karena menahan amarah, Ramdan menyeret Dandi menuju mobilnya. Namu
Ramdan terkekeh saat teringat ucapannya sebelum berangkat ke kantor. Dia menggeleng lemah sebelum menekuri berkas di tangannya. Dia meneliti satu per satu laporan yang ada sebelum membubuhkan tanda tangan. Setelahnya, dia membuka laptop dan membaca satu per satu email yang masuk. Ketika fokus dengan pekerjaannya, ponsel Ramdan berdering nyaring. Dia melirik sekilas ponsel yang tergeletak di meja sebelum menjawab panggilan."Hai, Pa. Ada apa?""Akhtar, kenapa kamu baru bilang kalau Mama mau punya cucu, hem?""Mama?""Iya, kenapa? Mama sengaja menyabotase HP Papa setelah dengar cerita kalau istri kamu hamil. Teganya kalian berdua?"Ramdan terkekeh mendengar kalimat bernada kesal yang dilontarkan ibunya. Dia mengusap dahi dan terus tersenyum sebelum membuka kata."Bukannya aku enggak mau kasih tahu Mama, tapi memang belum saatnya. Mama tahu sendiri bagaimana awal pernikahanku, kan?""Ya, Mama juga tahu hal itu dari Papa. Tapi, kenapa kamu masih saja enggak kasih tahu Mama, hem? Mama mara
Ramdan bergeming sejenak, merasakan sesak di bagian perut setelah makanan yang dibeli untuk Elea harus dimakannya. Dia mendesah lirih sambil mengusap perut sebelum melirik sang istri yang terkekeh di depannya."Kalau aku sampai muntah, kamu harus tanggung jawab, Elea."Elea masih terkekeh lantas menyusut air matanya sebelum mengangguk lemah. Setelahnya, dia mengusap pipi Ramdan dan menatapnya lekat."Makasih, Ramdan. Makasih atas pengertian dan perhatianmu. Mulai sekarang tolong cintai dan sayangi aku.""Pasti, Elea. Pasti aku akan mencintai dan menyayangimu, apalagi ada calon anakku di sini," ucap Ramdan sambil mengusap perut Elea. "Apa kamu masih merasa mual, Elea?"Elea menggeleng lemah, sedangkan Ramdan perlahan merebahkan kepala di pangkuannya. Dia memeluk erat pinggang sang istri dan mencium perutnya. "Papa enggak tahu kamu laki-laki atau perempuan, tapi yang pasti Papa mau kamu sehat dan lahir dengan selamat."Elea mengusap kepala Ramdan sambil mengulas senyum. Sementara, Ramd
Ramdan tersenyum tipis melihat ekspresi istrinya setelah menjawab panggilan. Dia menelisik sang istri sebelum mengusap kepalanya."Kenapa, Elea?"Elea menatap suaminya sebelum menyerahkan ponsel sedikit kasar ke dadanya. "Itu dari mama kamu, kenapa suruh aku yang jawab?"Ramdan terkekeh sambil mengambil ponsel dan memasukkannya ke saku celana. Dia bangkit dari ranjang dan memapah sang istri keluar kamar. Dia abaikan tatapan tajam Elea sambil mengulum senyum. Pria itu terus membawa Elea ke mobil dan mendudukkannya di bangku penumpang. Setelahnya, dia berlari memutari mobil sebelum duduk di balik kemudi. Lalu, perlahan melajukan kendaraan menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Ramdan terus menatap jalanan, menghindari tatapan tajam istrinya yang meminta penjelasan. Keadaan itu terus terjadi sampai tiba di parkiran rumah sakit. Ramdan bergegas turun dan membantu Elea masuk untuk bertemu dokter kandungan. Hening yang meningkahi keduanya, membuat Elea gemas dan mamilih mencubit lengan
Ramdan menggeram kesal sambil menggebrak meja memikirkan nama yang disebutkan pemilik mobil tadi. Dia menyandarkan punggung sebelum memijat pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih sambil memejamkan mata sebelum menoleh ketika mendengar pintu diketuk."Masuk!" titahnya kepada orang di balik pintu. Ramdan berbalik dan melihat sekretarisnya mendekat sambil membawa sebuah berkas."Ada karyawan baru yang harus Bapak wawancara," ucap sang sekretaris sambil menyerahkan berkas di tangannya kepada Ramdan. "Dia sudah menunggu di depan, Pak.""Suruh masuk!"Sekretaris Ramdan segera berlalu dan kembali sambil membawa seorang wanita yang memakai kemeja putih dan celana panjang hitam. Ramdan yang membuka berkas dan membacanya sedikit mengernyit saat membaca nama yang tertera."Gwen Karisma?""Iya, itu nama saya, Pak."Ramdan langsung emndongak dan melihat Gwen yang dulu pernah membantu sudah berdiri di hadapannya. Mereka berserobok sesaat sebelum Ramdan mempersilakan Gwen untuk duduk. Setelahnya henin
Ramdan menatap lekat wajah Elea yang terpejam dalam dekapannya. Dia menyibak anak rambut yang menutupi dahi sang istri sebelum mengecup keningnya. Setelahnya, dia makin mengeratkan pelukan dan bergumam."Terima kasih atas maaf yang kamu berikan, Elea. Aku janji akan memberikan hatiku hanya untukmu."Ramdan tersenyum tipis sebelum memejamkan mata. Sementara itu, Elea perlahan membuka mata. Dia mendongak dan tersenyum melihat wajah damai suaminya. Tangannya terulur untuk mengusap lembut pipi sang suami sebelum berkata lirih."Terima kasih karena mencintaiku dengan caramu, Ramdan. Aku janji akan selalu ada di dekatmu, mendukungmu, dan menopangmu di saat jatuh."Elea kembali tersenyum sebelum menelusup ke dada suaminya. Dia menghela napas panjang dan menghidu aroma tubuh Ramdan sebelum memejamkan mata.Keesokan harinya, Ramdan terjaga lebih dulu. Dia menatap lekat wajah sang istri yang masih terpejam dalam dekapannya sebelum mengecup keningnya."Morning, my beautiful wife?"Elea perlahan
Ramdan melajukan mobilnya dengan kecepatan kuda agar cepat sampai di rumah. Ucapan Edrik sukses memecah konsentrasinya. Beberapa kali, dia hampir saja menabrak pengguna jalan lainnya. Tak ingin terjadi sesuatu yang membahayakan, dia menepikan mobil dan bergeming sejenak.Ramdan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sambil mencengkeram erat kemudi. Setelahnya, dia mengambil ponsel dan kembali menghubungi Elea. Kali ini panggilannya diangkat."Elea, apa kamu baik-baik saja? Kata Edrik kamu ....""Aku tidak apa-apa, Ramdan. Perutku sedikit keram tadi, tapi sekarang sudah tidak lagi. Kata dokter aku disuruh rileks dan atur napas saja kalau keramnya datang lagi."Satu helaan napas panjang lolos dari mulut Ramdan. Dia meraup wajah dan terkekeh sebelum mengantuk-antukkan kepala ke sandaran kursi mobil."Ramdan, kamu masih di situ? Memangnya ada apa?"Ramdan kembali terkekeh sebelum menyeka keringat yang membanjiri dahinya karena pikiran buruk tentang sang istri. Dia menggeleng l
"Kamu kenapa, Elea?" tanya Ramdan sambil mengempaskan tubuh di tepi ranjang.Elea langsung memeluk erat Ramdan. Raut ketakutan tampak jelas di wajahnya. Melihat itu, Ramdan mengusap pelan punggung istrinya. Usai tenang, Elea melerai pelukan dan menatap suaminya."Maaf, aku ... aku mimpi buruk tadi. Aku benar-benar ketakutan, soalnya ... soalnya ....""Sudah, Elea. Itu hanya mimpi buruk, tak akan pernah jadi kenyataan. Sebaiknya kamu bangun dan cuci muka. Kita mau makan malam."Elea mengangguk sekilas sebelum turun dari ranjang dan keluar kamar Alina. Ketika hendak berjalan menuju tangga, Ramdan menyusul dan memegangi pinggangnya."Sepertinya kita harus pindah ke lantai bawah agar kamu tidak naik turun tangga begini. Aku takut kalau meninggalkanmu sendiri.""Sepertinya ide yang bagus.""Oke, aku akan bilang Edrik untuk menyiapkan kamar di dekat kolam renang."Elea tersenyum tipis sebelum meneruskan langkah menuju kamar. Setelahnya, dia beranjak ke kamar mandi untuk membasuh muka, kemud
Elea bergeming sesaat begitu tiba di depan area pemakaman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Ramdan."Kamu mau temani aku lagi, kan, Ramdan?""Kamu mau bertemu siapa di tempat seperti ini, Elea?"Elea tersenyum sekilas sebelum mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas selempangnya. Lalu, menyerahkan foto itu kepada Ramdan. Pria itu mengernyit heran sebelum menatap istrinya."Ini siapa, Elea?""Dialah ibu kandungku, Ramdan. Kumala Permatasari, wanita kedua yang hadir dalam pernikahan Papa dan Mama. Aku tahu Ibu dimakamkan di sini setelah membaca buku Mama. Aku juga menemukan foto itu dalam bukunya."Elea menunduk dalam sambil menghela napas panjang. Lalu, kembali menatap Ramdan dan melanjutkan ucapannya. "Benar kata Mama, wajahku sama dengan Ibu. Makanya Mama sangat membenciku karena selalu mengingatkannya pada Ibu."Ramdan mengusap lembut bahu sang istri sebelum merengkuh dan mengecup keningnya. "Semuanya sudah berlalu, Elea. Yang terpenting sekarang
"Ada apa, Ramdan? Kenapa kamu menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Berondongan pertanyaan dari Elea membuat Ramdan kelu. Dia membelokkan mobil dan kembali menuju kediaman Ramlan."Tunggu di sini, Elea. Biar aku titipkan Aldrin sebentar ke Mama.""Tapi, ada apa, Ramdan? Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"Ramdan bungkam dan segera mengambil Aldrin sebelum membawanya masuk ke rumah. Usai menyerahkan sang anak kepada Alina dan menceritakan apa yang terjadi, Ramdan kembali menuju mobil. Lalu, tergesa melajukannya menuju suatu tempat. Selama perjalanan, dia hanya bungkam meskipun Elea terus mendesaknya untuk berbicara.Mobil berhenti di depan bangunan yang mengingatkan Elea dengan kepergian Dina. Dia mematung di tempat duduk sebelum menatap Ramdan penuh tanya. "Sebenarnya ini ada apa, Ramdan? Kenapa kamu bawa aku ke sini? Siapa yang sakit?"Ramdan menghela napas panjang sebelum menggenggam erat jemari sang istri. Dia kembali menghela napas dan memegang kedua lengan Elea sebe
Elea mematut diri di cermin. Dia mengulas senyum sambil menelisik penampilan dirinya. Gaun hitam berlengan pendek dengan rok sedikit mengembang sebatas lutut itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dia berbalik dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.Sementara itu, Ramdan yang sejak tadi menatap dari sofa sambil memangku Aldrin hanya mampu menggeleng lemah melihat sikap istrinya."Mau sampai kapan kamu berdiri di depan cermin, Elea? Kita sudah hampir telat.""Maafkan aku, Ramdan. Aku cuma tidak pede bertemu dengan keluargamu. Makanya aku harus totalitas dan mempersiapkan semuanya.Ramdan terkekeh sambil bangkit dari duduk. Dia mendekati Elea dan memeluk pinggangnya. Lalu, menyematkan kecupan di pipinya sebelum menatap Aldrin yang melihatnya."Lihat, Nak. Mama kamu sekarang jadi genit. Haruskah Papa memberinya hukuman nanti?"Aldrin tersenyum tipis sehingga membuat Ramdan dan Elea tergelak. Elea berbalik dan merapatkan tubuhnya kepada sang suami, kemudian membisikkan kalimat."Aku
Teruntuk Elea, Satu nama yang sangat aku sayang, tetapi juga sangat aku benci. Setiap kali melihat wajahnya, aku selalu teringat akan sosok Kumala Permatasari, wanita lugu dan polos yang aku kenal baik, tetapi malah menusukku dari belakang. Aku membencinya sama seperti membenci ibunya.Ingin rasanya memutar waktu dan menolak kehadiran Kumala di dekat Harsa, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi saat pria tua itu memintaku untuk merawat anak mereka. Ingin berontak, tapi aku bisa apa?Namanya Elea. Dia sebenarnya anak yang cantik dan baik, tapi entah mengapa setiap kali dekat dengannya, hanya ada kebencian dalam dada. Perlahan aku menutup mata atas semua perbuatannya. Aku tak peduli dengannya sehingga membuatnya jadi seorang pembangkang hanya untuk menarik perhatian. Amarah dan kecewa sudah terlanjur tertanam dalam dada, sehingga aku memutuskan untuk pergi dari rumah.Elea, maafkan Mama. Pernah pada satu titik, di mana kamu terjatuh dari tangga tempo hari. Mama
Elea gelisah duduk di samping kemudi. Dia meremas kuat jemarinya sebelum melirik Ramdan. Berita yang dibawa pria itu mau tidak mau menyentak hatinya. Dia makin gelisah di tempat duduk saat melihat jalanan yang padat."Bisakah kita cari jalan lain, Ramdan?""Tenang, Elea. Mereka pasti menunggu kita.""Tapi aku tak akan bisa tenang sebelum melihatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ramdan?"Ramdan meraih jemari Elea dan menggenggamnya erat, kemudian mengecupnya. Dia menoleh dan mengusap kepala sang istri, berusaha untuk menenangkannya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, jalanan mulai terurai. Ramdan menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Setibanya di sana, Elea segera turun dan berlari menyusuri lorong sebelum tiba di suatu ruangan.Elea bergeming sesaat ketika menatap ruangan di depannya. Sepi yang melingkupi ruangan itu makin menambah hawa dingin yang terasa. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian tangannya terulur untuk
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua
Ramdan menatap lekat Aleta yang berdiri di ujung anak tangga teratas dengan dipapah Alina. Sedetik kemudian, Ramdan mendesah lirih dan memilih keluar rumah, mengabaikan kalimat permohonan yang dilontarkan sang adik. Dia meneruskan langkah menuju mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, kalimat Aleta terus terngiang di kepala."Aku akan datang untuk bersaksi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah menyuruhku untuk berhenti, setelah memintaku untuk memulainya."Ramdan kembali mengulang ucapan itu sambil sesekali memijat pelan pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih setelah mengetahui maksud dari perkataan Aleta. Tak ingin ambil pusing dengan permintaan sang adik, Ramdan menggeleng kuat dan segera melajukan mobilnya menuju kediaman Harsa. Ramdan bergegas turun dari mobil dan berjalan tergesa memasuki rumah. Dia segera menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Aldrin terdengar. Saat membuka pintu, dia hanya mendapati sang anak yang menangis di ranjang, sedangkan
Ramdan melajukan mobilnya keluar dari rumah Harsa. Dia mengumbar senyum sepanjang perjalanan saat membayangkan orang tuanya mengetahui bahwa sang cucu yang diketahui sudah meninggal, ternyata masih hidup. Ramdan menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumahnya.Ramdan bergegas memasuki rumah saat melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi. Dia menaiki tangga dengan tergesa saat mendengar sayup suara dari lantai atas. Langkah membawanya menuju kamar Aleta, tetapi dia bergeming di depan pintu saat mendengar percakapan ketiganya. Ramdan menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang dibicaraka Aleta dan orang tuanya."Papa dengar kasus kamu mau dibuka kembali, Aleta. Sekarang saatnya kamu untuk beberkan semua fakta karena pasti Akhtar tak main-main dengan bukti yang dia kumpulkan selama ini."Aleta menoleh ke arah Ramlan sebelum menggeleng lemah. "Enggak, Pa. Aleta enggak sanggup beberkan semua cerita pilu itu.""Tapi, ini harus, Sayang. Mau sampai kapan kamu begini terus
Ramdan bergeming saat melihat bayi berusia sekitar 3 bulan ada dalam gendongan seorang wanita. Ramdan mengerjap pelan sebelum menoleh kepada Elea. Namun, belum sempat membuka kata, wanita itu masuk. Lalu, menghampiri ranjang dan menyerahkan sang bayi kepada Elea.Ramdan masih bergeming. Namun, dia segera tersadar dan bergegas menghampiri Elea. Dia menggeleng lemah dan mendesah lirih saat tangan bayi itu dicium Elea. Ramdan mengernyit heran dan mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menatap lekat bayi itu sebelum beralih menatap istrinya."Dia ....""Aldrin Elraja Alaydrus."Ramdan menatap tak percaya Elea yang tersenyum kepadanya. Tangannya terulur mengusap kepala bayi yang ada di gendongan sang istri. Seulas senyum tipis tersemat di bibirnya."Benarkah dia ...."Ramdan menunjuk dirinya sendiri. Dia tak sanggup meneruskan ucapannya karena rasa haru yang menyeruak. Tiga bulan yang lalu saat mendengar sang anak akhirnya meninggal, hatinya hancur. Dunia runtuh bahkan nyaris hilang ka