Ramdan bergeming sejenak, merasakan sesak di bagian perut setelah makanan yang dibeli untuk Elea harus dimakannya. Dia mendesah lirih sambil mengusap perut sebelum melirik sang istri yang terkekeh di depannya."Kalau aku sampai muntah, kamu harus tanggung jawab, Elea."Elea masih terkekeh lantas menyusut air matanya sebelum mengangguk lemah. Setelahnya, dia mengusap pipi Ramdan dan menatapnya lekat."Makasih, Ramdan. Makasih atas pengertian dan perhatianmu. Mulai sekarang tolong cintai dan sayangi aku.""Pasti, Elea. Pasti aku akan mencintai dan menyayangimu, apalagi ada calon anakku di sini," ucap Ramdan sambil mengusap perut Elea. "Apa kamu masih merasa mual, Elea?"Elea menggeleng lemah, sedangkan Ramdan perlahan merebahkan kepala di pangkuannya. Dia memeluk erat pinggang sang istri dan mencium perutnya. "Papa enggak tahu kamu laki-laki atau perempuan, tapi yang pasti Papa mau kamu sehat dan lahir dengan selamat."Elea mengusap kepala Ramdan sambil mengulas senyum. Sementara, Ramd
Ramdan tersenyum tipis melihat ekspresi istrinya setelah menjawab panggilan. Dia menelisik sang istri sebelum mengusap kepalanya."Kenapa, Elea?"Elea menatap suaminya sebelum menyerahkan ponsel sedikit kasar ke dadanya. "Itu dari mama kamu, kenapa suruh aku yang jawab?"Ramdan terkekeh sambil mengambil ponsel dan memasukkannya ke saku celana. Dia bangkit dari ranjang dan memapah sang istri keluar kamar. Dia abaikan tatapan tajam Elea sambil mengulum senyum. Pria itu terus membawa Elea ke mobil dan mendudukkannya di bangku penumpang. Setelahnya, dia berlari memutari mobil sebelum duduk di balik kemudi. Lalu, perlahan melajukan kendaraan menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Ramdan terus menatap jalanan, menghindari tatapan tajam istrinya yang meminta penjelasan. Keadaan itu terus terjadi sampai tiba di parkiran rumah sakit. Ramdan bergegas turun dan membantu Elea masuk untuk bertemu dokter kandungan. Hening yang meningkahi keduanya, membuat Elea gemas dan mamilih mencubit lengan
Ramdan menggeram kesal sambil menggebrak meja memikirkan nama yang disebutkan pemilik mobil tadi. Dia menyandarkan punggung sebelum memijat pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih sambil memejamkan mata sebelum menoleh ketika mendengar pintu diketuk."Masuk!" titahnya kepada orang di balik pintu. Ramdan berbalik dan melihat sekretarisnya mendekat sambil membawa sebuah berkas."Ada karyawan baru yang harus Bapak wawancara," ucap sang sekretaris sambil menyerahkan berkas di tangannya kepada Ramdan. "Dia sudah menunggu di depan, Pak.""Suruh masuk!"Sekretaris Ramdan segera berlalu dan kembali sambil membawa seorang wanita yang memakai kemeja putih dan celana panjang hitam. Ramdan yang membuka berkas dan membacanya sedikit mengernyit saat membaca nama yang tertera."Gwen Karisma?""Iya, itu nama saya, Pak."Ramdan langsung emndongak dan melihat Gwen yang dulu pernah membantu sudah berdiri di hadapannya. Mereka berserobok sesaat sebelum Ramdan mempersilakan Gwen untuk duduk. Setelahnya henin
Ramdan menatap lekat wajah Elea yang terpejam dalam dekapannya. Dia menyibak anak rambut yang menutupi dahi sang istri sebelum mengecup keningnya. Setelahnya, dia makin mengeratkan pelukan dan bergumam."Terima kasih atas maaf yang kamu berikan, Elea. Aku janji akan memberikan hatiku hanya untukmu."Ramdan tersenyum tipis sebelum memejamkan mata. Sementara itu, Elea perlahan membuka mata. Dia mendongak dan tersenyum melihat wajah damai suaminya. Tangannya terulur untuk mengusap lembut pipi sang suami sebelum berkata lirih."Terima kasih karena mencintaiku dengan caramu, Ramdan. Aku janji akan selalu ada di dekatmu, mendukungmu, dan menopangmu di saat jatuh."Elea kembali tersenyum sebelum menelusup ke dada suaminya. Dia menghela napas panjang dan menghidu aroma tubuh Ramdan sebelum memejamkan mata.Keesokan harinya, Ramdan terjaga lebih dulu. Dia menatap lekat wajah sang istri yang masih terpejam dalam dekapannya sebelum mengecup keningnya."Morning, my beautiful wife?"Elea perlahan
Ramdan melajukan mobilnya dengan kecepatan kuda agar cepat sampai di rumah. Ucapan Edrik sukses memecah konsentrasinya. Beberapa kali, dia hampir saja menabrak pengguna jalan lainnya. Tak ingin terjadi sesuatu yang membahayakan, dia menepikan mobil dan bergeming sejenak.Ramdan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sambil mencengkeram erat kemudi. Setelahnya, dia mengambil ponsel dan kembali menghubungi Elea. Kali ini panggilannya diangkat."Elea, apa kamu baik-baik saja? Kata Edrik kamu ....""Aku tidak apa-apa, Ramdan. Perutku sedikit keram tadi, tapi sekarang sudah tidak lagi. Kata dokter aku disuruh rileks dan atur napas saja kalau keramnya datang lagi."Satu helaan napas panjang lolos dari mulut Ramdan. Dia meraup wajah dan terkekeh sebelum mengantuk-antukkan kepala ke sandaran kursi mobil."Ramdan, kamu masih di situ? Memangnya ada apa?"Ramdan kembali terkekeh sebelum menyeka keringat yang membanjiri dahinya karena pikiran buruk tentang sang istri. Dia menggeleng l
"Kamu kenapa, Elea?" tanya Ramdan sambil mengempaskan tubuh di tepi ranjang.Elea langsung memeluk erat Ramdan. Raut ketakutan tampak jelas di wajahnya. Melihat itu, Ramdan mengusap pelan punggung istrinya. Usai tenang, Elea melerai pelukan dan menatap suaminya."Maaf, aku ... aku mimpi buruk tadi. Aku benar-benar ketakutan, soalnya ... soalnya ....""Sudah, Elea. Itu hanya mimpi buruk, tak akan pernah jadi kenyataan. Sebaiknya kamu bangun dan cuci muka. Kita mau makan malam."Elea mengangguk sekilas sebelum turun dari ranjang dan keluar kamar Alina. Ketika hendak berjalan menuju tangga, Ramdan menyusul dan memegangi pinggangnya."Sepertinya kita harus pindah ke lantai bawah agar kamu tidak naik turun tangga begini. Aku takut kalau meninggalkanmu sendiri.""Sepertinya ide yang bagus.""Oke, aku akan bilang Edrik untuk menyiapkan kamar di dekat kolam renang."Elea tersenyum tipis sebelum meneruskan langkah menuju kamar. Setelahnya, dia beranjak ke kamar mandi untuk membasuh muka, kemud
Ramdan hendak mendekati Gwen, tetapi suara klakson segera menyadarkannya bahwa ada seseorang yang menunggu di dalam mobil. Dia segera membuka pintu dan menatap Elea sebelum berkata."Tunggu sebentar. Aku harus menolong seseorang."Ramdan kembali menutup pintu sebelum mendekat dan menyeruak kerumunan. Melihat Gwen tergeletak dengan kaki dan kepala berdarah, Ramdan segera berjongkok."Tolong bantu saya bawa dia ke mobil."Seorang pria berbaju hijau mengangguk sebelum membantu Ramdan membopong Gwen menuju mobil. Setelah mengucapkan terima kasih, Ramdan bergegas melajukan mobil menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, kabin mobil hanya diisi dengan hening. Elea sesekali melirik Ramdan yang fokus menatap jalanan dengan wajah mengeras. Ada banyak pertanyaan yang bercokol di tempurung kepalanya, tetapi tak berani mengatakannya karena takut Ramdan akan marah.Sesampainya di rumah sakit, Ramdan memanggil petugas medis agar membawa Gwen ke ruang UGD. Usai mendengar penjelasan dari dokter, dia
Keesokan harinya, Ramdan terjaga lebih dulu. Dia tersenyum tipis sebelum mengecup kening istrinya. Lalu, beringsut turun dari ranjang dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, dia keluar dan terkejut melihat istrinya sudah tidak ada di ranjang. Usai memakai baju, dia keluar kamar dan melihat Elea menangis sambil memeluk Alina. Ramdan bergegas mendekat dan mengambil pelukan Elea sambil menatap ibunya."Mau berangkat sekarang, Ma?""Ya, penerbangannya masih dua jam lagi. Tapi, kamu tahu sendiri jalanan seperti apa di jam sibuk seperti ini.""Jangan pergi, Ma. Elea masih mau tidur sambil dengar cerita Mama."Alina mengusap lembut pipi Elea sambil tersenyum tipis. "Mama pasti akan pulang setelah semua urusan di sana selesai, Sayang. Semua tugas Mama biar diambil alih Akhtar, ya?""Tapi Ramdan terlalu sibuk dengan kerjaannya.""Itu tidak akan terjadi sekarang. Mama janji Akhtar pasti akan berubah memprioritaskan kamu, Sayang. Bukan begitu, Akhtar?"Alina menatap taja