Ramdan menyeringai sebelum menepuk agak keras pipi Dandi. "Lihai juga kamu bersembunyi selama ini, Dandi. Pantas saja anak buahku tak pernah menemukanmu, ternyata kamu ubah identitas dan penampilanmu.""Siapa kamu, hah! Beraninya main keroyokan! Kalau berani satu lawan satu! Tapi lepaskan aku dulu!" teriak Dandi karena matanya ditutup kain.Ramdan tergelak sebelum mendirikan kursi berserta Dandi yang duduk di atasnya. Setelahnya, dia membuka penutup mata Dandi dan berdiri tepat di depannya."Woala! Masih ingat aku, Dandi?" tanya Ramdan sambil mendekatkan wajahnya, kemudian mencengkeram erat dagunya. "Kenali wajahku dengan baik, karena malam ini adalah terakhir kamu melihat dunia!"Dandi membeliak melihat Ramdan. "Kamu ... kamu sopir Papa, kan!"Ramdan tergelak sebelum kembali menepuk pipi Dandi agak keras. "Bagus, ingatanmu boleh juga, Dandi. Lalu, apakah kamu masih ingat kejadian tiga tahun lalu, hah!"Dandi bergeming. Dia mengernyit heran mendengar ucapan pria yang kini mencengkeram
Ramdan tak menjawab pertanyaan Elea. Dia masuk dan terus melangkah, manaiki tangga hingga sampai di kamar Aleta. Dengan perlahan, dia membuka pintu dan masuk. Dia melirik Elea sekilas sebelum melangkah masuk dan menyalakan lampu. Sejenak, Elea tertegun melihat seorang gadis yang terbaring di ranjang dengan sejumlah selang menempel di tubuhnya."Siapa dia, Ramdan?" tanya Elea sambil mengikis jarak dengan ranjang."Dia ... Aleta Ilmira."Elea membeliak mendengar ucapan Ramdan. Dia membekap mulut dan menggeleng lemah sambil menatap Aleta. "Enggak mungkin. Enggak mungkin itu Aleta. Dia, kan ...."Ramdan menghela napas panjang sebelum menatap lekat istrinya. "Aleta begini karena perbuatan Dandi. Dia tertekan karena hujatan semua orang yang menganggap semua adalah salahnya. Dia gelap mata dan berusaha melukai dirinya sendiri."Elea makin terkejut mendengar ucapan Ramdan. Dia tidak menyangka akan melihat hasil perbuatan kejam keluarganya kepada Aleta. Dia bahkan merasa bersalah karena sempat
Elea membeliak mendengar suara Ramdan. Dia bergegas membuka pintu. Namun, belum sampai pintu terbuka, dia menjerit kesakitan kala Ramdan menjambak rambutnya."Kamu enggak akan bisa semudah itu kabur dariku, Elea! Karena kamu harus merasakan sakitnya menjadi Aleta!""Ampun, Ramdan! Lepaskan aku!"Ramdan tak menggubris ucapan Elea. Dia terus menarik rambut wanita itu sebelum membantingnya ke ranjang. Lalu, berlari ke wardrobe untuk mengambil dasi dan kemejanya sebelum kembali menemui istrinya."Pakai itu!" seru Ramdan sambil melempar kemejanya ke tubuh sang istri.Dengan tubuh gemetar ketakutan ditambah sakit yang menjalari sekujur tubuh, Elea meraih kemeja dan memakainya secepat yang dia bisa. Lalu, terkesiap saat sang suami memegangi tangan dan mengikatnya ke kaki ranjang."Untuk sementara, kamu diam di sini, Elea."Ramdan menepuk pelan pipi sang istri sebelum beranjak meninggalkan kamar. Dia menatap sekilas Elea sebelum menutup pintu. Lalu, menuruni tangga dan berlalu ke ruang kerjany
Ramdan menyeringai usai menuntaskan hasratnya. Dia segera turun dari ranjang dan memakai celana pendek sebelum membuka pintu balkon. Namun, saat hendak keluar mendadak dia merasakan ada yang mengenai punggungnya. Dia menoleh dan melihat sebuah bantal teronggok di dekat kakinya. Setelahnya, dia melihat menatap Elea yang memendam amarah sambil mendekap erat selimut agar menutupi tubuhnya yang polos."Teganya kamu lakukan ini kepadaku, Ramdan! Apa mau kamu sebenarnya, hah!"Ramdan terkekeh sebelum berbalik dan langsung mendekati Elea. Dia mencengkeram erat dagu wanita itu dan menatapnya tajam. "Kamu mau tahu apa mauku, Elea? Aku mau keluarga Hadiwilaga hancur, terlebih Harsa!"Ramdan melepaskan cengkeramannya sebelum kembali menuju balkon. Dia mengempaskan kasar tubuhnya ke kursi sebelum mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya. Lalu, menyulut lintingan nikotin dan mengisapnya dalam. Dia menyeringai sambil mengembuskan asap ke udara. Puas, hanya itu yang dirasakannya sekarang. Terleb
Ramdan langsung berlari menaiki tangga sebelum sampai di pintu utama begitu sampai di rumah. Dia membuka pintu dan menatap nyalang Edrik yang bergeming sambil menunduk di depan anak tangga. Ramdan mengikis jarak dengan dada uang dipenuhi amarah. Lalu, menarik kerah baju pria paruh baya itu sebelum mengacungkan telapak tangan kanannya ke atas. Namun, saat hendak mendaratkan tamparan di pipi kanan pria itu, Ramdan berhenti seketika. Dia mendengkus kesal sebelum mendorong Edrik."Aaargh!" pekik Ramdan sambil menjambak rambut. "Sialan kamu, Ed! Bukankah sudah aku suruh jangan sampai lolos, kenapa bisa dia kabur! Aaargh!""Maafkan saya, Tuan Muda.""Lalu, ke mana dua penjaga yang seharusnya menjaga penjahat itu, hah!"Dari arah belakang, datang dua pria dengan badan kekar dan langsung berdiri di samping Edrik sambil menunduk dalam. Ramdan yang masih dikuasai amarah langsung menendang perut mereka sampai terjengkang. Lalu, menghampiri meja bundar yang ada di tengah ruangan sebelum mengangka
Ramdan masuk ke rumah usai mendapat telepon dari Aleta. Suara lirih sang adik yang bercampur dengan Isak tangis membuatnya yang masih di luar kota segera pulang. Dia melangkah lebar menaiki anak tangga dan berlari menuju kamar Aleta. Dengan tergesa, dia membuka pintu dan terkejut melihat barang-barang sudah berserak di lantai. Ranjang yang biasanya rapi, mendadak seperti kapal pecah karena seprai dan bantal tak beraturan. Melihat Aleta tak ada di kamar, pikiran berkecamuk langsung menghinggapi kepala Ramdan. Dia bergegas ke kamar mandi mandi. Namun, melihat pintu itu terkunci, dia mengetuk dan memanggil adiknya."Aleta! Buka pintunya! Ini Kakak datang!"Hening. Tak ada sahutan dari dalam makin membuat kalut Ramdan. Dia panik dan bingung di depan kamar mandi selama beberapa detik sebelum menoleh ke arah Edrik."Panggil ambulans, Ed!" seru Ramdan sambil mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu.Ramdan mulai mendobrak pintu. Namun, sebanyak apa pun usahanya untuk mendobrak, pintu i
Melihat tubuh Elea meringkuk dan bergetar pelan, Ramdan perlahan mengulurkan tangannya. Dia terkejut saat mendapati panas menjalari tubuh istrinya."Demam," gumam Ramdan sambil berlalu keluar kamar dan memanggil salah satu pelayan dan meminta diantarkan obat penurun demam.Melihat Edrik yang datang, Ramdan segera menyahut obat yang dibawa dan berlari ke kamar. Dia mendudukkan Elea sebelum memasukkan obat ke mulut dan meminumkan airnya. Setelahnya, dia kembali merebahkan Elea dan menyelimutinya."Panggilkan dua pelayan perempuan ke sini, Ed! Suruh mereka membersihkan tubuh Elea dan memakaikan bajunya!""Siap, Tuan Muda."Edrik segera berlalu sebelum kembali bersama dua orang pelayan yang diminta Ramdan. Edrik segera berlalu usai meletakkan nampan berisi minuman dan makanan hangat. Sementara, dua pelayan tadi sibuk mengelap tubuh Elea dengan air hangat dan memakaikan baju. Mereka juga mengganti seprai dan merapikan ranjang sebelum kembali keluar kamar.Ramdan yang sejak tadi bergeming d
Gwen menghampiri Ramdan dan berjongkok di depannya. "Maafkan aku. Kamu terluka karena sudah menolongku, kan?""Siapa bilang? Aku memang sedang mencari orang tadi."Ramdan mengerang kesakitan karena luka yang terus mengeluarkan darah. Gwen segera bangkit dan merobek baju bagian depannya, kemudian menempelkannya pada luka Ramdan. Dia tekan kuat luka itu sambil menatap Ramdan."Apa kamu kuat berdiri? Aku akan membawamu ke rumah sakit.""Tak perlu, aku sudah memanggil orang untuk menolongku."Tepat saat itulah, datang sedan hitam tepat di depan Ramdan dan Gwen. Lalu, Edrik turun dari mobil dan langsung menghampiri Ramdan."Anda tidak apa-apa, Tuan Muda?" tanya Edrik sambil membantu Ramdan berdiri.Bersama Gwen, Edrik memapah Ramdan menuju mobil, kemudian mendudukkannya di bangku penumpang. Lalu, pria paruh baya itu menelisik Gwen dari atas hingga bawah."Siapa kamu? Ada hubungan apa kamu sama Tuan Muda?"Gwen tersenyum tipis sebelum mulai bercerita awal mula kejadian di kelab malam. "Aku