Ramdan langsung berlari menaiki tangga sebelum sampai di pintu utama begitu sampai di rumah. Dia membuka pintu dan menatap nyalang Edrik yang bergeming sambil menunduk di depan anak tangga. Ramdan mengikis jarak dengan dada uang dipenuhi amarah. Lalu, menarik kerah baju pria paruh baya itu sebelum mengacungkan telapak tangan kanannya ke atas. Namun, saat hendak mendaratkan tamparan di pipi kanan pria itu, Ramdan berhenti seketika. Dia mendengkus kesal sebelum mendorong Edrik."Aaargh!" pekik Ramdan sambil menjambak rambut. "Sialan kamu, Ed! Bukankah sudah aku suruh jangan sampai lolos, kenapa bisa dia kabur! Aaargh!""Maafkan saya, Tuan Muda.""Lalu, ke mana dua penjaga yang seharusnya menjaga penjahat itu, hah!"Dari arah belakang, datang dua pria dengan badan kekar dan langsung berdiri di samping Edrik sambil menunduk dalam. Ramdan yang masih dikuasai amarah langsung menendang perut mereka sampai terjengkang. Lalu, menghampiri meja bundar yang ada di tengah ruangan sebelum mengangka
Ramdan masuk ke rumah usai mendapat telepon dari Aleta. Suara lirih sang adik yang bercampur dengan Isak tangis membuatnya yang masih di luar kota segera pulang. Dia melangkah lebar menaiki anak tangga dan berlari menuju kamar Aleta. Dengan tergesa, dia membuka pintu dan terkejut melihat barang-barang sudah berserak di lantai. Ranjang yang biasanya rapi, mendadak seperti kapal pecah karena seprai dan bantal tak beraturan. Melihat Aleta tak ada di kamar, pikiran berkecamuk langsung menghinggapi kepala Ramdan. Dia bergegas ke kamar mandi mandi. Namun, melihat pintu itu terkunci, dia mengetuk dan memanggil adiknya."Aleta! Buka pintunya! Ini Kakak datang!"Hening. Tak ada sahutan dari dalam makin membuat kalut Ramdan. Dia panik dan bingung di depan kamar mandi selama beberapa detik sebelum menoleh ke arah Edrik."Panggil ambulans, Ed!" seru Ramdan sambil mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu.Ramdan mulai mendobrak pintu. Namun, sebanyak apa pun usahanya untuk mendobrak, pintu i
Melihat tubuh Elea meringkuk dan bergetar pelan, Ramdan perlahan mengulurkan tangannya. Dia terkejut saat mendapati panas menjalari tubuh istrinya."Demam," gumam Ramdan sambil berlalu keluar kamar dan memanggil salah satu pelayan dan meminta diantarkan obat penurun demam.Melihat Edrik yang datang, Ramdan segera menyahut obat yang dibawa dan berlari ke kamar. Dia mendudukkan Elea sebelum memasukkan obat ke mulut dan meminumkan airnya. Setelahnya, dia kembali merebahkan Elea dan menyelimutinya."Panggilkan dua pelayan perempuan ke sini, Ed! Suruh mereka membersihkan tubuh Elea dan memakaikan bajunya!""Siap, Tuan Muda."Edrik segera berlalu sebelum kembali bersama dua orang pelayan yang diminta Ramdan. Edrik segera berlalu usai meletakkan nampan berisi minuman dan makanan hangat. Sementara, dua pelayan tadi sibuk mengelap tubuh Elea dengan air hangat dan memakaikan baju. Mereka juga mengganti seprai dan merapikan ranjang sebelum kembali keluar kamar.Ramdan yang sejak tadi bergeming d
Gwen menghampiri Ramdan dan berjongkok di depannya. "Maafkan aku. Kamu terluka karena sudah menolongku, kan?""Siapa bilang? Aku memang sedang mencari orang tadi."Ramdan mengerang kesakitan karena luka yang terus mengeluarkan darah. Gwen segera bangkit dan merobek baju bagian depannya, kemudian menempelkannya pada luka Ramdan. Dia tekan kuat luka itu sambil menatap Ramdan."Apa kamu kuat berdiri? Aku akan membawamu ke rumah sakit.""Tak perlu, aku sudah memanggil orang untuk menolongku."Tepat saat itulah, datang sedan hitam tepat di depan Ramdan dan Gwen. Lalu, Edrik turun dari mobil dan langsung menghampiri Ramdan."Anda tidak apa-apa, Tuan Muda?" tanya Edrik sambil membantu Ramdan berdiri.Bersama Gwen, Edrik memapah Ramdan menuju mobil, kemudian mendudukkannya di bangku penumpang. Lalu, pria paruh baya itu menelisik Gwen dari atas hingga bawah."Siapa kamu? Ada hubungan apa kamu sama Tuan Muda?"Gwen tersenyum tipis sebelum mulai bercerita awal mula kejadian di kelab malam. "Aku
"Gwen?" tanya Ramdan begitu melihat siapa yang ada di depannya.Wanita yang ditemuinya semalam itu mengangguk seraya mengulas senyum. "Kamu mau ke mana?" tanyanya."Aku harus pergi untuk menemui seseorang."Gwen menelisik Ramdan yang meringis kesakitan sambil memegang lukanya. Namun, saat melihat ada darah yang membasahi baju pria itu, dia membeliak."Tapi lukamu ... oh, tidak! Itu berdarah lagi, aku akan panggilkan dokter."Ramdan hendak menahan wanita itu, tetapi gagal karena nyeri yang makin membebat lukanya. Wajahnya memucat karena lemas yang masih menguasai tubuh. Tepat saat dia hampir ambruk ke lantai, Gwen datang dan menangkapnya. Lalu, seorang perawat pria membantu Gwen memapah Ramdan sebelum mendudukkannya ke kursi roda.Ramdan kembali dibawa ke kamar perawatan sebelum dibaringkan ke ranjang. Setelahnya, perawat pria itu pergi dan datang seorang dokter bersama perawat wanita yang akan memeriksa luka Ramdan. Dokter itu menggeleng lemah saat membuka plester yang menutup luka di
Edrik yang kebetulan melihat Ramdan dibawa oleh dua pria berseragam perawat, menggunakan kursi roda dan melewati pintu samping rumah sakit, mengernyit heran. Dia mengikuti mereka dan terkesiap melihat mobil van hitam. Edrik bergegas menghadang dan segera melayangkan tendangan ke perut salah satu pria yang memegangi Ramdan hingga tersungkur.Melihat temannya tersungkur, pria yang masih memegang kursi roda Ramdan segera mendorongnya, lalu menendang Edrik. Namun, pria paruh baya itu berhasil menghindar dengan membungkuk sambil menahan laju kursi roda Ramdan. Lalu, secepat kilat dia melayangkan tendangan hingga mengenai wajah bagian kanan pria itu hingga tersungkur. Edrik meletakkan tas berisi laptop pesann Ramdan ke pangkuannya sebelum kembali menghajar keduanya.Ketika dia fokus dengan dua pria di depannya, seorang pria lain turun dari balik kemudi dan membawa Ramdan ke mobil. Dia berhasil memasukkan Ramdan ke mobil dan hendak melajukannya. Namun, saat hendak menginjak pedal gas, seseor
Edrik segera bangkit dari duduk dan berlalu meninggalkan Elea yang masih bergeming karena memikirkan sesuatu. Elea berulang kali memikirkan ucapan Edrik sambil menggeleng lemah. Lelah berdebat dengan pikirannya sendiri, Elea bangkit dari duduk dan berlalu ke kamar Ramdan. Dia membuka pintu perlahan dan masuk, kemudian mengikis jarak dan menatapnya lekat."Benarkah yang dibilang Edrik kalau kamu peduli padaku, Ramdan?"Elea masih mematung di tempat sampai melihat Ramdan sedikit bergerak. Dia terkesiap dan memilih berbalik. Namun, saat hendak melangkah meninggalkan tempat, Ramdan memanggilnya lirih. Elea menghentikan langkah dan kembali menatap Ramdan."Ada apa, Ramdan?""Aku haus, Elea. Ambilkan aku air."Elea memutar bola mata malas sebelum beranjak keluar kamar menuju dapur dan kembali sambil membawa gelas berisi air. Lalu, perlahan dia membantu mengangkat kepala Ramdan sebelum meminumkan airnya. Dia meletakkan gelas yang sudah kosong ke nakas setelah membantu Ramdan kembali berbarin
"Berani kamu lakukan itu ke keluargamu sendiri, Elea! Dandi itu kakak kamu, mau kamu keluarga kita menanggung malu di hadapan semua orang!""Kalau itu yang terbaik, Elea akan lakukan! Sekarang katakan di mana dia!"Harsa menggeram kesal, kemudian satu tamparan mendarat mulus di pipi kiri Elea. Wanita itu terhuyung mundur sambil mengusap bagian yang sakit. Lalu, kembali berdiri tegak dan menaikkan dagu melihat ayahnya. Harsa yang masih diperam amarah, mendekat kemudian kembali mencengkeram erat dagu Elea dan mendorongnya. Tak berhenti di situ, dia langsung menjambak rambut sang anak sampai mendongak."Dasar anak tak tahu diri! Berapa lama aku membesarkanmu, hah! Dan inilah balasan yang mau kamu berikan! Menyesal aku membiarkanmu hidup! Harusnya saat ada kesempatan, aku sudah membunuhmu, Elea!""Lakukan apa yang Papa mau! Toh, sejak dulu memang Elea tak pernah dianggap ada, kan? Papa cuma peduli sama Dandi!"Harsa menyeret Elea keluar, kemudian mendorongnya hingga jatuh tersungkur. Den