"Berani kamu lakukan itu ke keluargamu sendiri, Elea! Dandi itu kakak kamu, mau kamu keluarga kita menanggung malu di hadapan semua orang!""Kalau itu yang terbaik, Elea akan lakukan! Sekarang katakan di mana dia!"Harsa menggeram kesal, kemudian satu tamparan mendarat mulus di pipi kiri Elea. Wanita itu terhuyung mundur sambil mengusap bagian yang sakit. Lalu, kembali berdiri tegak dan menaikkan dagu melihat ayahnya. Harsa yang masih diperam amarah, mendekat kemudian kembali mencengkeram erat dagu Elea dan mendorongnya. Tak berhenti di situ, dia langsung menjambak rambut sang anak sampai mendongak."Dasar anak tak tahu diri! Berapa lama aku membesarkanmu, hah! Dan inilah balasan yang mau kamu berikan! Menyesal aku membiarkanmu hidup! Harusnya saat ada kesempatan, aku sudah membunuhmu, Elea!""Lakukan apa yang Papa mau! Toh, sejak dulu memang Elea tak pernah dianggap ada, kan? Papa cuma peduli sama Dandi!"Harsa menyeret Elea keluar, kemudian mendorongnya hingga jatuh tersungkur. Den
Elea perlahan mundur dan menunduk. Matanya bergerak liar saat mendengar langkah Ramdan kian mendekat. Melihat sang istri mengabaikan pertanyaannya, pria itu terus mengikis jarak. Lalu, mencengkeram erat dagu Elea dan terkejut melihat luka kebiruan di kedua pipi serta sudut bibir sang istri. Pria itu membeliak dan menatapnya tajam. "Siapa yang berani melukaimu, Elea!"Elea menggeleng lemah dan berusaha menghindari tatapan penuh amarah milik Ramdan. Melihat sang istri bergeming, Ramdan makin mengeratkan cengkeraman."Jawab, Elea! Siapa yang sudah melukaimu!"Elea tetap bungkam dan terus menggeleng, sehingga Ramdan makin dibakar amarah. Dia melepaskan Elea dan menelisiknya dari atas sampai bawah. Sambil menahan sakit, dia menarik baju bagian sang istri dan merobeknya. Elea terkejut dan spontan menutupi tubuh bagian atas dan bawahnya. Namun, Ramdan menarik tangan sang istri dan menatapnya tajam."Berputar!"Elea menggeleng lemah dengan mata mengembun. Ramdan yang masih diperam amarah sege
Elea menelan ludah dengan susah payah sebelum membelakangi Ramdan untuk mulai memakai baju. Setelahnya, dia mendekati meja rias. Ramdan segera bangkit dari duduk dan berlalu ke pintu. Ketika hendak membuka pintu, dia menoleh dan berkata."Jangan lama-lama, aku tunggu di meja makan."Elea mengangguk dan segera mengaplikasikan riasan sederhana ke wajahnya. Selama tinggal di rumah Ramdan, tak pernah sekali pun dia kekurangan. Ramdan selalu memenuhi semua kebutuhannya mulai dari baju, sepatu, aksesoris, hingga produk riasan wajah. Wanita mana yang tak tersanjung setelah dimanjakan oleh suaminya, termasuk juga Elea. Namun, melihat perlakuan kasar yang diterimanya selama ini, Elea ragu dengan alasan Ramdan melakukannya.Tak ingin larut dengan pikiran yang berkecamuk, Elea segera menyelesaikan riasannya. Dia tak mau mendapat perlakuan kasar lagi dari Ramdan. Dia segera keluar kamar dan berjalan tergesa menuju meja makan. Lalu, duduk tenang di sisi kanan pria itu dan bergeming. Tak lama, dua
Dina menggeram kesal. Dia melempar tas berharga ratusan juta ke sofa sebelum mengempaskan tubuhnya. Lalu, bersedekap dan mendengkus kesal, membuang pandangan ke jendela dan mengabaikan pertanyaan yang keluar dari mulut Harsa.Harsa mendengkus kesal sebelum bangkit dari duduk dan mendekati istrinya. Dia duduk di sebelah Dina dan meraih dagunya."Mama kenapa datang malah marah-marah, hem? Bukannya hari ini ada arisan dan katanya Mama dapet. Tapi, kok, malah cemberut mukanya.""Gimana enggak kesel, Pa. Tadi di restoran Mama ketemu Ramdan, tapi penampilannya berbeda. Dia pakai jas, jam tangan sama sepatu branded. Terus Mama katain aja gayanya yang sok kayak bos besar itu, eh, pulangnya tagihan Mama dibayarin. Belagu banget dia! Dapet uang dari mana coba, jangan-jangan dia nyuri di tempat majikan barunya, ya?"Harsa terkekeh mendengar ucapan istrinya. Setelahnya, dia bangkit dan kembali berjalan ke meja kerjanya. Merasa diabaikan, Dina ikut bangkit dan mendekati suaminya."Papa, kok, tangg
Elea segera berlalu ke kamar usai Ramdan melepaskan cengkeramannya. Dia menggigil ketakutan ketika membayangkan kembali sorot mata penuh kemarahan yang menatapnya. Dia menggeleng lemah sebelum beranjak ke balkon dan duduk di salah satu kursi.Sementara di kamar Aleta, Ramdan menatap lekat gadis yang masih terbaring dengan mata terpejam di ranjang. Dia mengusap kepala sang adik sebelum mengecupnya. Setelahnya, dia mengusap lembut pipi Aleta dan memejamkan mata sejenak untuk meredam ketegangan yang ada usai sekelebat bayangan tentang kejadian tadi berputar di kepala. Tanpaenoleh kepada Edrik, dia berkata."Lain kali jangan pernah menyuruh orang lain mengelap Aleta, Ed! Aku enggak mau kejadian tadi terulang lagi!""Maafkan saya, Tuan Muda."Ramdan mendengkus kesal sebelum bangkit dari duduk dan beranjak menuju pintu. Namun, sebelum membuka pintu, suara Edrik terdengar."Maaf, Tuan Muda. Jangan salahkan Mbak Elea atas kejadian tadi, dia tidak sengaja. Asal Tuan Muda tahu selama ini Mbak E
Untuk kesekian kalinya, Ramdan berhasil membuat Elea merasa terhina. Usai menuntaskan hasratnya, pria itu berguling ke samping dan menarik selimut hingga menutupi perutnya. Dia menyeringai sebelum memejamkan mata. Hatinya puas karena telah berhasil melampiaskan semua kekesalan yang bercokol di hati kepada tubuh istrinya.Sementara, Elea meringkuk di belakang Ramdan sambil mendekap erat tubuhnya. Dia terguguk sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya. Berulang kali dia berusaha meluapkan semua kemarahannya dengan berteriak, tetapi selalu tersendat di tenggorokan. Dia tak mau membangunkan Ramdan yang sudah tertidur di sampingnya. Akhirnya, dia hanya bisa memukul ranjang sambil menggigit bibir bawahnya.Lelah menangis, Elea beringsut turun dari ranjang. Dia berjalan tertatih menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun, raga yang rapuh ditambah sakit yang membebat, membuatnya hanya mampu meratap di bawah shower. Dia luruh ke lantai dan kembali mendekap erat tubuhnya. Sekejap mata, ba
Tengah hari, Elea membuka mata terlebih dahulu. Melihat wajah Ramdan ada di depan mata, wanita itu terkejut dan langsung mendorongnya."Pergi! Jangan sentuh aku! Pergiii!"Ramdan membeliak dan berusaha mendekati istrinya. Namun, lagi-lagi penolakan yang didapat. Dia bahkan terkesiap ketika melihat Elea mulai menggosok kedua lengan dan menjambak rambutnya."Aaargh! Aku benci kamu, Ramdan! Aku benci!"Ramdan makin diperam kelesah saat melihat Elea terus menggosok tubuh hingga lukanya melebar. Tak ingin terjadi sesuatu yang membahayakan, Ramdan bergegas mendekat dan memeluk erat istrinya."Lepasin aku, Ramdan! Lepasin!""Enggak sebelum kamu tenang!""Lepas, Ramdan!"Ramdan bergeming saat Elea mulai berontak dengan cara memukul dan mencakar punggungnya. Dia bahkan menahan sakit saat sang istri menggigit lengannya. Dia tak peduli dengan semua rasa sakit yang diberikan Elea. Dia terus memeluk erat tubuh yang berontak itu hingga tak lagi terdengar suaranya.Ramdan perlahan melerai pelukan da
Ramdan bangkit dari tepi ranjang dan berjalan keluar kamar. Dia bergeming sejenak di depan pintu sebelum beranjak ke ruang kerjanya yang terletak di lantai satu. Dia mengempaskan tubuh di sofa dan menyandarkan punggung, kemudian menengadah dan menghela napas panjang sebelum memejamkan mata."Apa yang sudah aku lakukan?"Ramdan kembali menegakkan kepala. Perlahan, dia memijat pangkal hidungnya dan kembali menghela napas panjang. Rasa bersalah kembali menguasai setelah melihat Elea menolaknya. Dia menjambak rambut sebelum bangkit dari duduk dan berjalan ke sudut ruangan. Dia mengambil sebotol anggur merah dan menuangnya ke gelas. Lalu, menenggaknya hingga tandas."Sial!"Ramdan kembali menuang minuman berwarna merah pekat ke gelas sebelum membawanya ke sofa. Dia mengempaskan tubuh ke sofa dan meneguk minuman dalam gelas hingga tandas. Lalu, membuang gelas ke dekat pintu setelah ingatan tentang sikap Elea berkelebat di kepala."Aaargh!"Ramdan bangkit dari duduk dan berjalan ke kamar aya