Dina menggeram kesal. Dia melempar tas berharga ratusan juta ke sofa sebelum mengempaskan tubuhnya. Lalu, bersedekap dan mendengkus kesal, membuang pandangan ke jendela dan mengabaikan pertanyaan yang keluar dari mulut Harsa.Harsa mendengkus kesal sebelum bangkit dari duduk dan mendekati istrinya. Dia duduk di sebelah Dina dan meraih dagunya."Mama kenapa datang malah marah-marah, hem? Bukannya hari ini ada arisan dan katanya Mama dapet. Tapi, kok, malah cemberut mukanya.""Gimana enggak kesel, Pa. Tadi di restoran Mama ketemu Ramdan, tapi penampilannya berbeda. Dia pakai jas, jam tangan sama sepatu branded. Terus Mama katain aja gayanya yang sok kayak bos besar itu, eh, pulangnya tagihan Mama dibayarin. Belagu banget dia! Dapet uang dari mana coba, jangan-jangan dia nyuri di tempat majikan barunya, ya?"Harsa terkekeh mendengar ucapan istrinya. Setelahnya, dia bangkit dan kembali berjalan ke meja kerjanya. Merasa diabaikan, Dina ikut bangkit dan mendekati suaminya."Papa, kok, tangg
Elea segera berlalu ke kamar usai Ramdan melepaskan cengkeramannya. Dia menggigil ketakutan ketika membayangkan kembali sorot mata penuh kemarahan yang menatapnya. Dia menggeleng lemah sebelum beranjak ke balkon dan duduk di salah satu kursi.Sementara di kamar Aleta, Ramdan menatap lekat gadis yang masih terbaring dengan mata terpejam di ranjang. Dia mengusap kepala sang adik sebelum mengecupnya. Setelahnya, dia mengusap lembut pipi Aleta dan memejamkan mata sejenak untuk meredam ketegangan yang ada usai sekelebat bayangan tentang kejadian tadi berputar di kepala. Tanpaenoleh kepada Edrik, dia berkata."Lain kali jangan pernah menyuruh orang lain mengelap Aleta, Ed! Aku enggak mau kejadian tadi terulang lagi!""Maafkan saya, Tuan Muda."Ramdan mendengkus kesal sebelum bangkit dari duduk dan beranjak menuju pintu. Namun, sebelum membuka pintu, suara Edrik terdengar."Maaf, Tuan Muda. Jangan salahkan Mbak Elea atas kejadian tadi, dia tidak sengaja. Asal Tuan Muda tahu selama ini Mbak E
Untuk kesekian kalinya, Ramdan berhasil membuat Elea merasa terhina. Usai menuntaskan hasratnya, pria itu berguling ke samping dan menarik selimut hingga menutupi perutnya. Dia menyeringai sebelum memejamkan mata. Hatinya puas karena telah berhasil melampiaskan semua kekesalan yang bercokol di hati kepada tubuh istrinya.Sementara, Elea meringkuk di belakang Ramdan sambil mendekap erat tubuhnya. Dia terguguk sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya. Berulang kali dia berusaha meluapkan semua kemarahannya dengan berteriak, tetapi selalu tersendat di tenggorokan. Dia tak mau membangunkan Ramdan yang sudah tertidur di sampingnya. Akhirnya, dia hanya bisa memukul ranjang sambil menggigit bibir bawahnya.Lelah menangis, Elea beringsut turun dari ranjang. Dia berjalan tertatih menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun, raga yang rapuh ditambah sakit yang membebat, membuatnya hanya mampu meratap di bawah shower. Dia luruh ke lantai dan kembali mendekap erat tubuhnya. Sekejap mata, ba
Tengah hari, Elea membuka mata terlebih dahulu. Melihat wajah Ramdan ada di depan mata, wanita itu terkejut dan langsung mendorongnya."Pergi! Jangan sentuh aku! Pergiii!"Ramdan membeliak dan berusaha mendekati istrinya. Namun, lagi-lagi penolakan yang didapat. Dia bahkan terkesiap ketika melihat Elea mulai menggosok kedua lengan dan menjambak rambutnya."Aaargh! Aku benci kamu, Ramdan! Aku benci!"Ramdan makin diperam kelesah saat melihat Elea terus menggosok tubuh hingga lukanya melebar. Tak ingin terjadi sesuatu yang membahayakan, Ramdan bergegas mendekat dan memeluk erat istrinya."Lepasin aku, Ramdan! Lepasin!""Enggak sebelum kamu tenang!""Lepas, Ramdan!"Ramdan bergeming saat Elea mulai berontak dengan cara memukul dan mencakar punggungnya. Dia bahkan menahan sakit saat sang istri menggigit lengannya. Dia tak peduli dengan semua rasa sakit yang diberikan Elea. Dia terus memeluk erat tubuh yang berontak itu hingga tak lagi terdengar suaranya.Ramdan perlahan melerai pelukan da
Ramdan bangkit dari tepi ranjang dan berjalan keluar kamar. Dia bergeming sejenak di depan pintu sebelum beranjak ke ruang kerjanya yang terletak di lantai satu. Dia mengempaskan tubuh di sofa dan menyandarkan punggung, kemudian menengadah dan menghela napas panjang sebelum memejamkan mata."Apa yang sudah aku lakukan?"Ramdan kembali menegakkan kepala. Perlahan, dia memijat pangkal hidungnya dan kembali menghela napas panjang. Rasa bersalah kembali menguasai setelah melihat Elea menolaknya. Dia menjambak rambut sebelum bangkit dari duduk dan berjalan ke sudut ruangan. Dia mengambil sebotol anggur merah dan menuangnya ke gelas. Lalu, menenggaknya hingga tandas."Sial!"Ramdan kembali menuang minuman berwarna merah pekat ke gelas sebelum membawanya ke sofa. Dia mengempaskan tubuh ke sofa dan meneguk minuman dalam gelas hingga tandas. Lalu, membuang gelas ke dekat pintu setelah ingatan tentang sikap Elea berkelebat di kepala."Aaargh!"Ramdan bangkit dari duduk dan berjalan ke kamar aya
"Kenapa Elea ada di sini, Ma?" tanya Harsa dengan nada penasaran.Dina bangkit dan menatap sekilas sang anak sebelum beralih melihat suaminya. "Mama juga enggak tahu, Pa. Tiba-tiba aja dia datang. Waktu Mama tanya juga dia diem aja. Mama kesel dan coba buat usir dia, tapi malah begini jadinya. Dia jatuh dari tangga."Harsa menghela napas panjang sebelum mengendurkan dasi dan beranjak menuju kamar. Namun, sebelum membuka pintu, dia menoleh dan berkata kepada istrinya."Urus dia, Ma. Aku capek!"Dina bergeming sebelum mengedikkan bahu dan memanggil asisten rumah tangganya untuk membantu membawa Elea ke sofa. Setelahnya, wanita paruh baya itu mendengkus kesal sebelum beranjak ke kamar menuju suaminya. Melihat Harsa bergeming di depan ranjang sambil bersedekap, dia perlahan mendekat dan mengusap punggungnya."Kenapa, Pa? Ada sesuatu yang terjadi di kantor? Kok, pulang-pulang murung?"Harsa mendengkus kesal sebelum meraup wajahnya kasar. Lalu, dia menoleh dan menatap tajam sang istri sebel
Elea terjaga dari tidur saat merasakan cahaya yang menyilaukan matanya. Dia mengedarkan pandangan dan melihat Dina mengikis jarak sambil membawa map berwarna merah. Dia mengernyit heran dan berusaha beringsut duduk. Namun, sakit di sekujur tubuh membuatnya mengerang kesakitan sebelum memilih berbaring kembali."Enggak usah dipaksakan kalau memang masih sakit, Elea. Mama ke sini cuma mau ngasih ini."Dina mengangsurkan berkas di tangannya kepada Elea. Tanpa menunggu reaksi sang anak, wanita paruh baya itu segera berlalu. "Apa ini, Ma? Perjanjian kerja sama?"Dina yang sudah sampai di pintu bergeming ketika mendengar suara Elea. Dia berbalik dan menatap sang anak sambil tersenyum tipis."Iya, Elea. Bujuk Ramdan agar mau menyetujui perjanjian itu biar perusahaan kita bisa terus berjalan.""Tapi, Ma. Elea ....""Ini saatnya kamu berbakti kepada kami, Elea. Kamu hanya membujuk Ramdan saja, setelahnya biar Papa yang urus.""Ma, ini bukan soal itu ... ini soal Elea yang ....""Mama yakin ka
Ramdan membeliak mendengar ucapan Elea. Dia mengacak-acak rambut sambil tersenyum canggung sebelum menatap lekat wanita yang berbaring di depannya. Dia menghela napas panjang sebelum membuka kata."Hanya itu?" Elea mengangguk lemah menanggapi pertanyaan Ramdan. Dia tersenyum tipis dan berkata. "Iya, hanya itu yang aku mau sekarang, Ramdan. Kamu minta maaf dengan tulus dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatanmu."Ramdan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengangguk lemah. Dia menyugar rambut dan meraup wajah sebelum menatap lekat wanita yang berbaring di depannya."Oke, aku minta maaf atas semua kesalahanku, Elea. Aku janji enggak akan mengulanginya lagi, kecuali ... terpaksa."Elea membeliak mendengar ucapan Ramdan. Dia mencebik sebelum membuang pandangan ke luar jendela. Sementara, Ramdan terkekeh sebelum kembali berkata."Iya-iya, aku janji enggak akan kasar lagi. Tapi ... kalau khilaf, ya, maafkan."Elea melirik sekilas Ramdan sambil mendengkus kes