Untuk kesekian kalinya, Ramdan berhasil membuat Elea merasa terhina. Usai menuntaskan hasratnya, pria itu berguling ke samping dan menarik selimut hingga menutupi perutnya. Dia menyeringai sebelum memejamkan mata. Hatinya puas karena telah berhasil melampiaskan semua kekesalan yang bercokol di hati kepada tubuh istrinya.Sementara, Elea meringkuk di belakang Ramdan sambil mendekap erat tubuhnya. Dia terguguk sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya. Berulang kali dia berusaha meluapkan semua kemarahannya dengan berteriak, tetapi selalu tersendat di tenggorokan. Dia tak mau membangunkan Ramdan yang sudah tertidur di sampingnya. Akhirnya, dia hanya bisa memukul ranjang sambil menggigit bibir bawahnya.Lelah menangis, Elea beringsut turun dari ranjang. Dia berjalan tertatih menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun, raga yang rapuh ditambah sakit yang membebat, membuatnya hanya mampu meratap di bawah shower. Dia luruh ke lantai dan kembali mendekap erat tubuhnya. Sekejap mata, ba
Tengah hari, Elea membuka mata terlebih dahulu. Melihat wajah Ramdan ada di depan mata, wanita itu terkejut dan langsung mendorongnya."Pergi! Jangan sentuh aku! Pergiii!"Ramdan membeliak dan berusaha mendekati istrinya. Namun, lagi-lagi penolakan yang didapat. Dia bahkan terkesiap ketika melihat Elea mulai menggosok kedua lengan dan menjambak rambutnya."Aaargh! Aku benci kamu, Ramdan! Aku benci!"Ramdan makin diperam kelesah saat melihat Elea terus menggosok tubuh hingga lukanya melebar. Tak ingin terjadi sesuatu yang membahayakan, Ramdan bergegas mendekat dan memeluk erat istrinya."Lepasin aku, Ramdan! Lepasin!""Enggak sebelum kamu tenang!""Lepas, Ramdan!"Ramdan bergeming saat Elea mulai berontak dengan cara memukul dan mencakar punggungnya. Dia bahkan menahan sakit saat sang istri menggigit lengannya. Dia tak peduli dengan semua rasa sakit yang diberikan Elea. Dia terus memeluk erat tubuh yang berontak itu hingga tak lagi terdengar suaranya.Ramdan perlahan melerai pelukan da
Ramdan bangkit dari tepi ranjang dan berjalan keluar kamar. Dia bergeming sejenak di depan pintu sebelum beranjak ke ruang kerjanya yang terletak di lantai satu. Dia mengempaskan tubuh di sofa dan menyandarkan punggung, kemudian menengadah dan menghela napas panjang sebelum memejamkan mata."Apa yang sudah aku lakukan?"Ramdan kembali menegakkan kepala. Perlahan, dia memijat pangkal hidungnya dan kembali menghela napas panjang. Rasa bersalah kembali menguasai setelah melihat Elea menolaknya. Dia menjambak rambut sebelum bangkit dari duduk dan berjalan ke sudut ruangan. Dia mengambil sebotol anggur merah dan menuangnya ke gelas. Lalu, menenggaknya hingga tandas."Sial!"Ramdan kembali menuang minuman berwarna merah pekat ke gelas sebelum membawanya ke sofa. Dia mengempaskan tubuh ke sofa dan meneguk minuman dalam gelas hingga tandas. Lalu, membuang gelas ke dekat pintu setelah ingatan tentang sikap Elea berkelebat di kepala."Aaargh!"Ramdan bangkit dari duduk dan berjalan ke kamar aya
"Kenapa Elea ada di sini, Ma?" tanya Harsa dengan nada penasaran.Dina bangkit dan menatap sekilas sang anak sebelum beralih melihat suaminya. "Mama juga enggak tahu, Pa. Tiba-tiba aja dia datang. Waktu Mama tanya juga dia diem aja. Mama kesel dan coba buat usir dia, tapi malah begini jadinya. Dia jatuh dari tangga."Harsa menghela napas panjang sebelum mengendurkan dasi dan beranjak menuju kamar. Namun, sebelum membuka pintu, dia menoleh dan berkata kepada istrinya."Urus dia, Ma. Aku capek!"Dina bergeming sebelum mengedikkan bahu dan memanggil asisten rumah tangganya untuk membantu membawa Elea ke sofa. Setelahnya, wanita paruh baya itu mendengkus kesal sebelum beranjak ke kamar menuju suaminya. Melihat Harsa bergeming di depan ranjang sambil bersedekap, dia perlahan mendekat dan mengusap punggungnya."Kenapa, Pa? Ada sesuatu yang terjadi di kantor? Kok, pulang-pulang murung?"Harsa mendengkus kesal sebelum meraup wajahnya kasar. Lalu, dia menoleh dan menatap tajam sang istri sebel
Elea terjaga dari tidur saat merasakan cahaya yang menyilaukan matanya. Dia mengedarkan pandangan dan melihat Dina mengikis jarak sambil membawa map berwarna merah. Dia mengernyit heran dan berusaha beringsut duduk. Namun, sakit di sekujur tubuh membuatnya mengerang kesakitan sebelum memilih berbaring kembali."Enggak usah dipaksakan kalau memang masih sakit, Elea. Mama ke sini cuma mau ngasih ini."Dina mengangsurkan berkas di tangannya kepada Elea. Tanpa menunggu reaksi sang anak, wanita paruh baya itu segera berlalu. "Apa ini, Ma? Perjanjian kerja sama?"Dina yang sudah sampai di pintu bergeming ketika mendengar suara Elea. Dia berbalik dan menatap sang anak sambil tersenyum tipis."Iya, Elea. Bujuk Ramdan agar mau menyetujui perjanjian itu biar perusahaan kita bisa terus berjalan.""Tapi, Ma. Elea ....""Ini saatnya kamu berbakti kepada kami, Elea. Kamu hanya membujuk Ramdan saja, setelahnya biar Papa yang urus.""Ma, ini bukan soal itu ... ini soal Elea yang ....""Mama yakin ka
Ramdan membeliak mendengar ucapan Elea. Dia mengacak-acak rambut sambil tersenyum canggung sebelum menatap lekat wanita yang berbaring di depannya. Dia menghela napas panjang sebelum membuka kata."Hanya itu?" Elea mengangguk lemah menanggapi pertanyaan Ramdan. Dia tersenyum tipis dan berkata. "Iya, hanya itu yang aku mau sekarang, Ramdan. Kamu minta maaf dengan tulus dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatanmu."Ramdan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengangguk lemah. Dia menyugar rambut dan meraup wajah sebelum menatap lekat wanita yang berbaring di depannya."Oke, aku minta maaf atas semua kesalahanku, Elea. Aku janji enggak akan mengulanginya lagi, kecuali ... terpaksa."Elea membeliak mendengar ucapan Ramdan. Dia mencebik sebelum membuang pandangan ke luar jendela. Sementara, Ramdan terkekeh sebelum kembali berkata."Iya-iya, aku janji enggak akan kasar lagi. Tapi ... kalau khilaf, ya, maafkan."Elea melirik sekilas Ramdan sambil mendengkus kes
Ramdan berlari menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Elea. Dia abaikan tubuh yang lengket karena belum terguyur air sejak kemarin. Baginya yang terpenting adalah mengetahui keadaan sang istri, Elea. Setibanya di depan kamar perawatan, dia bergeming sejenak untuk mengatur napas sebelum menatap tajam kedua penjaga yang menunduk di depannya. Dia mendengkus kesal sebelum menarik kerah baju salah satu dari mereka."Kenapa kalian bisa lengah, hah!""Maaf, Bos. Kami ....""Aaargh!" seru Ramdan sambil melepas tangannya dari kerah baju sang penjaga dengan sedikit menyentak. Dia menggeram kesal dan segera berlalu ke dalam kamar perawatan.Ramdan mengikis jarak sambil menatap Elea yang berbaring menghadap jendela. Dia menghela napas panjang saat mengetahui wanita itu sedang terpejam. Dia berkacak pinggang sambil menyugar rambut sebelum mengempaskan tubuh di kursi samping ranjang."Ramdan ...," panggil Elea sambil memutar tubuh menjadi menghadap suaminya."Hem. Aku kira kamu tidur,
Ramdan memegang kedua lengan Elea dan menatapnya lekat. Dia mengguncang tubuh sang istri sambil menatapnya tajam. Sementara, Elea menggeleng berulang kali dengan mata mengembun. Dia melepas tangan pria itu dan mundur sejengkal sebelum membekap dirinya sendiri dan menunduk dalam.Ramdan kembali mendekat, tetapi Elea menggeleng sebelum mundur. Akhirnya, pria itu perlahan mendekat dengan tangan terulur, kemudian memegang jemari sang istri sebelum memeluknya erat. Dia mengusap lembut punggung Elea dan melirik lukanya sekilas. Lalu, satu helaan napas panjang lolos dari mulut pria itu."Maafkan aku, Elea. Aku tak akan memaksamu lagi."Ramdan mengeratkan pelukan dan membiarkan Elea terguguk di dadanya. Usai tangisan Elea reda, Ramdan melerai pelukan dan menghapus air matanya. Dengan perlahan, dia membawa sang istri ke dalam dan mendudukkannya di ranjang. Dia berlalu ke lemari dan mengambil baju tidur sebelum menyerahkannya kepada Elea."Pakai dan tidurlah sekarang, Elea! Aku ada di ruang ker
Elea bergeming sesaat begitu tiba di depan area pemakaman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Ramdan."Kamu mau temani aku lagi, kan, Ramdan?""Kamu mau bertemu siapa di tempat seperti ini, Elea?"Elea tersenyum sekilas sebelum mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas selempangnya. Lalu, menyerahkan foto itu kepada Ramdan. Pria itu mengernyit heran sebelum menatap istrinya."Ini siapa, Elea?""Dialah ibu kandungku, Ramdan. Kumala Permatasari, wanita kedua yang hadir dalam pernikahan Papa dan Mama. Aku tahu Ibu dimakamkan di sini setelah membaca buku Mama. Aku juga menemukan foto itu dalam bukunya."Elea menunduk dalam sambil menghela napas panjang. Lalu, kembali menatap Ramdan dan melanjutkan ucapannya. "Benar kata Mama, wajahku sama dengan Ibu. Makanya Mama sangat membenciku karena selalu mengingatkannya pada Ibu."Ramdan mengusap lembut bahu sang istri sebelum merengkuh dan mengecup keningnya. "Semuanya sudah berlalu, Elea. Yang terpenting sekarang
"Ada apa, Ramdan? Kenapa kamu menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Berondongan pertanyaan dari Elea membuat Ramdan kelu. Dia membelokkan mobil dan kembali menuju kediaman Ramlan."Tunggu di sini, Elea. Biar aku titipkan Aldrin sebentar ke Mama.""Tapi, ada apa, Ramdan? Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"Ramdan bungkam dan segera mengambil Aldrin sebelum membawanya masuk ke rumah. Usai menyerahkan sang anak kepada Alina dan menceritakan apa yang terjadi, Ramdan kembali menuju mobil. Lalu, tergesa melajukannya menuju suatu tempat. Selama perjalanan, dia hanya bungkam meskipun Elea terus mendesaknya untuk berbicara.Mobil berhenti di depan bangunan yang mengingatkan Elea dengan kepergian Dina. Dia mematung di tempat duduk sebelum menatap Ramdan penuh tanya. "Sebenarnya ini ada apa, Ramdan? Kenapa kamu bawa aku ke sini? Siapa yang sakit?"Ramdan menghela napas panjang sebelum menggenggam erat jemari sang istri. Dia kembali menghela napas dan memegang kedua lengan Elea sebe
Elea mematut diri di cermin. Dia mengulas senyum sambil menelisik penampilan dirinya. Gaun hitam berlengan pendek dengan rok sedikit mengembang sebatas lutut itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dia berbalik dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.Sementara itu, Ramdan yang sejak tadi menatap dari sofa sambil memangku Aldrin hanya mampu menggeleng lemah melihat sikap istrinya."Mau sampai kapan kamu berdiri di depan cermin, Elea? Kita sudah hampir telat.""Maafkan aku, Ramdan. Aku cuma tidak pede bertemu dengan keluargamu. Makanya aku harus totalitas dan mempersiapkan semuanya.Ramdan terkekeh sambil bangkit dari duduk. Dia mendekati Elea dan memeluk pinggangnya. Lalu, menyematkan kecupan di pipinya sebelum menatap Aldrin yang melihatnya."Lihat, Nak. Mama kamu sekarang jadi genit. Haruskah Papa memberinya hukuman nanti?"Aldrin tersenyum tipis sehingga membuat Ramdan dan Elea tergelak. Elea berbalik dan merapatkan tubuhnya kepada sang suami, kemudian membisikkan kalimat."Aku
Teruntuk Elea, Satu nama yang sangat aku sayang, tetapi juga sangat aku benci. Setiap kali melihat wajahnya, aku selalu teringat akan sosok Kumala Permatasari, wanita lugu dan polos yang aku kenal baik, tetapi malah menusukku dari belakang. Aku membencinya sama seperti membenci ibunya.Ingin rasanya memutar waktu dan menolak kehadiran Kumala di dekat Harsa, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi saat pria tua itu memintaku untuk merawat anak mereka. Ingin berontak, tapi aku bisa apa?Namanya Elea. Dia sebenarnya anak yang cantik dan baik, tapi entah mengapa setiap kali dekat dengannya, hanya ada kebencian dalam dada. Perlahan aku menutup mata atas semua perbuatannya. Aku tak peduli dengannya sehingga membuatnya jadi seorang pembangkang hanya untuk menarik perhatian. Amarah dan kecewa sudah terlanjur tertanam dalam dada, sehingga aku memutuskan untuk pergi dari rumah.Elea, maafkan Mama. Pernah pada satu titik, di mana kamu terjatuh dari tangga tempo hari. Mama
Elea gelisah duduk di samping kemudi. Dia meremas kuat jemarinya sebelum melirik Ramdan. Berita yang dibawa pria itu mau tidak mau menyentak hatinya. Dia makin gelisah di tempat duduk saat melihat jalanan yang padat."Bisakah kita cari jalan lain, Ramdan?""Tenang, Elea. Mereka pasti menunggu kita.""Tapi aku tak akan bisa tenang sebelum melihatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ramdan?"Ramdan meraih jemari Elea dan menggenggamnya erat, kemudian mengecupnya. Dia menoleh dan mengusap kepala sang istri, berusaha untuk menenangkannya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, jalanan mulai terurai. Ramdan menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Setibanya di sana, Elea segera turun dan berlari menyusuri lorong sebelum tiba di suatu ruangan.Elea bergeming sesaat ketika menatap ruangan di depannya. Sepi yang melingkupi ruangan itu makin menambah hawa dingin yang terasa. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian tangannya terulur untuk
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua
Ramdan menatap lekat Aleta yang berdiri di ujung anak tangga teratas dengan dipapah Alina. Sedetik kemudian, Ramdan mendesah lirih dan memilih keluar rumah, mengabaikan kalimat permohonan yang dilontarkan sang adik. Dia meneruskan langkah menuju mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, kalimat Aleta terus terngiang di kepala."Aku akan datang untuk bersaksi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah menyuruhku untuk berhenti, setelah memintaku untuk memulainya."Ramdan kembali mengulang ucapan itu sambil sesekali memijat pelan pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih setelah mengetahui maksud dari perkataan Aleta. Tak ingin ambil pusing dengan permintaan sang adik, Ramdan menggeleng kuat dan segera melajukan mobilnya menuju kediaman Harsa. Ramdan bergegas turun dari mobil dan berjalan tergesa memasuki rumah. Dia segera menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Aldrin terdengar. Saat membuka pintu, dia hanya mendapati sang anak yang menangis di ranjang, sedangkan
Ramdan melajukan mobilnya keluar dari rumah Harsa. Dia mengumbar senyum sepanjang perjalanan saat membayangkan orang tuanya mengetahui bahwa sang cucu yang diketahui sudah meninggal, ternyata masih hidup. Ramdan menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumahnya.Ramdan bergegas memasuki rumah saat melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi. Dia menaiki tangga dengan tergesa saat mendengar sayup suara dari lantai atas. Langkah membawanya menuju kamar Aleta, tetapi dia bergeming di depan pintu saat mendengar percakapan ketiganya. Ramdan menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang dibicaraka Aleta dan orang tuanya."Papa dengar kasus kamu mau dibuka kembali, Aleta. Sekarang saatnya kamu untuk beberkan semua fakta karena pasti Akhtar tak main-main dengan bukti yang dia kumpulkan selama ini."Aleta menoleh ke arah Ramlan sebelum menggeleng lemah. "Enggak, Pa. Aleta enggak sanggup beberkan semua cerita pilu itu.""Tapi, ini harus, Sayang. Mau sampai kapan kamu begini terus
Ramdan bergeming saat melihat bayi berusia sekitar 3 bulan ada dalam gendongan seorang wanita. Ramdan mengerjap pelan sebelum menoleh kepada Elea. Namun, belum sempat membuka kata, wanita itu masuk. Lalu, menghampiri ranjang dan menyerahkan sang bayi kepada Elea.Ramdan masih bergeming. Namun, dia segera tersadar dan bergegas menghampiri Elea. Dia menggeleng lemah dan mendesah lirih saat tangan bayi itu dicium Elea. Ramdan mengernyit heran dan mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menatap lekat bayi itu sebelum beralih menatap istrinya."Dia ....""Aldrin Elraja Alaydrus."Ramdan menatap tak percaya Elea yang tersenyum kepadanya. Tangannya terulur mengusap kepala bayi yang ada di gendongan sang istri. Seulas senyum tipis tersemat di bibirnya."Benarkah dia ...."Ramdan menunjuk dirinya sendiri. Dia tak sanggup meneruskan ucapannya karena rasa haru yang menyeruak. Tiga bulan yang lalu saat mendengar sang anak akhirnya meninggal, hatinya hancur. Dunia runtuh bahkan nyaris hilang ka