Gwen menghampiri Ramdan dan berjongkok di depannya. "Maafkan aku. Kamu terluka karena sudah menolongku, kan?""Siapa bilang? Aku memang sedang mencari orang tadi."Ramdan mengerang kesakitan karena luka yang terus mengeluarkan darah. Gwen segera bangkit dan merobek baju bagian depannya, kemudian menempelkannya pada luka Ramdan. Dia tekan kuat luka itu sambil menatap Ramdan."Apa kamu kuat berdiri? Aku akan membawamu ke rumah sakit.""Tak perlu, aku sudah memanggil orang untuk menolongku."Tepat saat itulah, datang sedan hitam tepat di depan Ramdan dan Gwen. Lalu, Edrik turun dari mobil dan langsung menghampiri Ramdan."Anda tidak apa-apa, Tuan Muda?" tanya Edrik sambil membantu Ramdan berdiri.Bersama Gwen, Edrik memapah Ramdan menuju mobil, kemudian mendudukkannya di bangku penumpang. Lalu, pria paruh baya itu menelisik Gwen dari atas hingga bawah."Siapa kamu? Ada hubungan apa kamu sama Tuan Muda?"Gwen tersenyum tipis sebelum mulai bercerita awal mula kejadian di kelab malam. "Aku
"Gwen?" tanya Ramdan begitu melihat siapa yang ada di depannya.Wanita yang ditemuinya semalam itu mengangguk seraya mengulas senyum. "Kamu mau ke mana?" tanyanya."Aku harus pergi untuk menemui seseorang."Gwen menelisik Ramdan yang meringis kesakitan sambil memegang lukanya. Namun, saat melihat ada darah yang membasahi baju pria itu, dia membeliak."Tapi lukamu ... oh, tidak! Itu berdarah lagi, aku akan panggilkan dokter."Ramdan hendak menahan wanita itu, tetapi gagal karena nyeri yang makin membebat lukanya. Wajahnya memucat karena lemas yang masih menguasai tubuh. Tepat saat dia hampir ambruk ke lantai, Gwen datang dan menangkapnya. Lalu, seorang perawat pria membantu Gwen memapah Ramdan sebelum mendudukkannya ke kursi roda.Ramdan kembali dibawa ke kamar perawatan sebelum dibaringkan ke ranjang. Setelahnya, perawat pria itu pergi dan datang seorang dokter bersama perawat wanita yang akan memeriksa luka Ramdan. Dokter itu menggeleng lemah saat membuka plester yang menutup luka di
Edrik yang kebetulan melihat Ramdan dibawa oleh dua pria berseragam perawat, menggunakan kursi roda dan melewati pintu samping rumah sakit, mengernyit heran. Dia mengikuti mereka dan terkesiap melihat mobil van hitam. Edrik bergegas menghadang dan segera melayangkan tendangan ke perut salah satu pria yang memegangi Ramdan hingga tersungkur.Melihat temannya tersungkur, pria yang masih memegang kursi roda Ramdan segera mendorongnya, lalu menendang Edrik. Namun, pria paruh baya itu berhasil menghindar dengan membungkuk sambil menahan laju kursi roda Ramdan. Lalu, secepat kilat dia melayangkan tendangan hingga mengenai wajah bagian kanan pria itu hingga tersungkur. Edrik meletakkan tas berisi laptop pesann Ramdan ke pangkuannya sebelum kembali menghajar keduanya.Ketika dia fokus dengan dua pria di depannya, seorang pria lain turun dari balik kemudi dan membawa Ramdan ke mobil. Dia berhasil memasukkan Ramdan ke mobil dan hendak melajukannya. Namun, saat hendak menginjak pedal gas, seseor
Edrik segera bangkit dari duduk dan berlalu meninggalkan Elea yang masih bergeming karena memikirkan sesuatu. Elea berulang kali memikirkan ucapan Edrik sambil menggeleng lemah. Lelah berdebat dengan pikirannya sendiri, Elea bangkit dari duduk dan berlalu ke kamar Ramdan. Dia membuka pintu perlahan dan masuk, kemudian mengikis jarak dan menatapnya lekat."Benarkah yang dibilang Edrik kalau kamu peduli padaku, Ramdan?"Elea masih mematung di tempat sampai melihat Ramdan sedikit bergerak. Dia terkesiap dan memilih berbalik. Namun, saat hendak melangkah meninggalkan tempat, Ramdan memanggilnya lirih. Elea menghentikan langkah dan kembali menatap Ramdan."Ada apa, Ramdan?""Aku haus, Elea. Ambilkan aku air."Elea memutar bola mata malas sebelum beranjak keluar kamar menuju dapur dan kembali sambil membawa gelas berisi air. Lalu, perlahan dia membantu mengangkat kepala Ramdan sebelum meminumkan airnya. Dia meletakkan gelas yang sudah kosong ke nakas setelah membantu Ramdan kembali berbarin
"Berani kamu lakukan itu ke keluargamu sendiri, Elea! Dandi itu kakak kamu, mau kamu keluarga kita menanggung malu di hadapan semua orang!""Kalau itu yang terbaik, Elea akan lakukan! Sekarang katakan di mana dia!"Harsa menggeram kesal, kemudian satu tamparan mendarat mulus di pipi kiri Elea. Wanita itu terhuyung mundur sambil mengusap bagian yang sakit. Lalu, kembali berdiri tegak dan menaikkan dagu melihat ayahnya. Harsa yang masih diperam amarah, mendekat kemudian kembali mencengkeram erat dagu Elea dan mendorongnya. Tak berhenti di situ, dia langsung menjambak rambut sang anak sampai mendongak."Dasar anak tak tahu diri! Berapa lama aku membesarkanmu, hah! Dan inilah balasan yang mau kamu berikan! Menyesal aku membiarkanmu hidup! Harusnya saat ada kesempatan, aku sudah membunuhmu, Elea!""Lakukan apa yang Papa mau! Toh, sejak dulu memang Elea tak pernah dianggap ada, kan? Papa cuma peduli sama Dandi!"Harsa menyeret Elea keluar, kemudian mendorongnya hingga jatuh tersungkur. Den
Elea perlahan mundur dan menunduk. Matanya bergerak liar saat mendengar langkah Ramdan kian mendekat. Melihat sang istri mengabaikan pertanyaannya, pria itu terus mengikis jarak. Lalu, mencengkeram erat dagu Elea dan terkejut melihat luka kebiruan di kedua pipi serta sudut bibir sang istri. Pria itu membeliak dan menatapnya tajam. "Siapa yang berani melukaimu, Elea!"Elea menggeleng lemah dan berusaha menghindari tatapan penuh amarah milik Ramdan. Melihat sang istri bergeming, Ramdan makin mengeratkan cengkeraman."Jawab, Elea! Siapa yang sudah melukaimu!"Elea tetap bungkam dan terus menggeleng, sehingga Ramdan makin dibakar amarah. Dia melepaskan Elea dan menelisiknya dari atas sampai bawah. Sambil menahan sakit, dia menarik baju bagian sang istri dan merobeknya. Elea terkejut dan spontan menutupi tubuh bagian atas dan bawahnya. Namun, Ramdan menarik tangan sang istri dan menatapnya tajam."Berputar!"Elea menggeleng lemah dengan mata mengembun. Ramdan yang masih diperam amarah sege
Elea menelan ludah dengan susah payah sebelum membelakangi Ramdan untuk mulai memakai baju. Setelahnya, dia mendekati meja rias. Ramdan segera bangkit dari duduk dan berlalu ke pintu. Ketika hendak membuka pintu, dia menoleh dan berkata."Jangan lama-lama, aku tunggu di meja makan."Elea mengangguk dan segera mengaplikasikan riasan sederhana ke wajahnya. Selama tinggal di rumah Ramdan, tak pernah sekali pun dia kekurangan. Ramdan selalu memenuhi semua kebutuhannya mulai dari baju, sepatu, aksesoris, hingga produk riasan wajah. Wanita mana yang tak tersanjung setelah dimanjakan oleh suaminya, termasuk juga Elea. Namun, melihat perlakuan kasar yang diterimanya selama ini, Elea ragu dengan alasan Ramdan melakukannya.Tak ingin larut dengan pikiran yang berkecamuk, Elea segera menyelesaikan riasannya. Dia tak mau mendapat perlakuan kasar lagi dari Ramdan. Dia segera keluar kamar dan berjalan tergesa menuju meja makan. Lalu, duduk tenang di sisi kanan pria itu dan bergeming. Tak lama, dua
Dina menggeram kesal. Dia melempar tas berharga ratusan juta ke sofa sebelum mengempaskan tubuhnya. Lalu, bersedekap dan mendengkus kesal, membuang pandangan ke jendela dan mengabaikan pertanyaan yang keluar dari mulut Harsa.Harsa mendengkus kesal sebelum bangkit dari duduk dan mendekati istrinya. Dia duduk di sebelah Dina dan meraih dagunya."Mama kenapa datang malah marah-marah, hem? Bukannya hari ini ada arisan dan katanya Mama dapet. Tapi, kok, malah cemberut mukanya.""Gimana enggak kesel, Pa. Tadi di restoran Mama ketemu Ramdan, tapi penampilannya berbeda. Dia pakai jas, jam tangan sama sepatu branded. Terus Mama katain aja gayanya yang sok kayak bos besar itu, eh, pulangnya tagihan Mama dibayarin. Belagu banget dia! Dapet uang dari mana coba, jangan-jangan dia nyuri di tempat majikan barunya, ya?"Harsa terkekeh mendengar ucapan istrinya. Setelahnya, dia bangkit dan kembali berjalan ke meja kerjanya. Merasa diabaikan, Dina ikut bangkit dan mendekati suaminya."Papa, kok, tangg
Elea bergeming sesaat begitu tiba di depan area pemakaman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Ramdan."Kamu mau temani aku lagi, kan, Ramdan?""Kamu mau bertemu siapa di tempat seperti ini, Elea?"Elea tersenyum sekilas sebelum mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas selempangnya. Lalu, menyerahkan foto itu kepada Ramdan. Pria itu mengernyit heran sebelum menatap istrinya."Ini siapa, Elea?""Dialah ibu kandungku, Ramdan. Kumala Permatasari, wanita kedua yang hadir dalam pernikahan Papa dan Mama. Aku tahu Ibu dimakamkan di sini setelah membaca buku Mama. Aku juga menemukan foto itu dalam bukunya."Elea menunduk dalam sambil menghela napas panjang. Lalu, kembali menatap Ramdan dan melanjutkan ucapannya. "Benar kata Mama, wajahku sama dengan Ibu. Makanya Mama sangat membenciku karena selalu mengingatkannya pada Ibu."Ramdan mengusap lembut bahu sang istri sebelum merengkuh dan mengecup keningnya. "Semuanya sudah berlalu, Elea. Yang terpenting sekarang
"Ada apa, Ramdan? Kenapa kamu menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Berondongan pertanyaan dari Elea membuat Ramdan kelu. Dia membelokkan mobil dan kembali menuju kediaman Ramlan."Tunggu di sini, Elea. Biar aku titipkan Aldrin sebentar ke Mama.""Tapi, ada apa, Ramdan? Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"Ramdan bungkam dan segera mengambil Aldrin sebelum membawanya masuk ke rumah. Usai menyerahkan sang anak kepada Alina dan menceritakan apa yang terjadi, Ramdan kembali menuju mobil. Lalu, tergesa melajukannya menuju suatu tempat. Selama perjalanan, dia hanya bungkam meskipun Elea terus mendesaknya untuk berbicara.Mobil berhenti di depan bangunan yang mengingatkan Elea dengan kepergian Dina. Dia mematung di tempat duduk sebelum menatap Ramdan penuh tanya. "Sebenarnya ini ada apa, Ramdan? Kenapa kamu bawa aku ke sini? Siapa yang sakit?"Ramdan menghela napas panjang sebelum menggenggam erat jemari sang istri. Dia kembali menghela napas dan memegang kedua lengan Elea sebe
Elea mematut diri di cermin. Dia mengulas senyum sambil menelisik penampilan dirinya. Gaun hitam berlengan pendek dengan rok sedikit mengembang sebatas lutut itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dia berbalik dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.Sementara itu, Ramdan yang sejak tadi menatap dari sofa sambil memangku Aldrin hanya mampu menggeleng lemah melihat sikap istrinya."Mau sampai kapan kamu berdiri di depan cermin, Elea? Kita sudah hampir telat.""Maafkan aku, Ramdan. Aku cuma tidak pede bertemu dengan keluargamu. Makanya aku harus totalitas dan mempersiapkan semuanya.Ramdan terkekeh sambil bangkit dari duduk. Dia mendekati Elea dan memeluk pinggangnya. Lalu, menyematkan kecupan di pipinya sebelum menatap Aldrin yang melihatnya."Lihat, Nak. Mama kamu sekarang jadi genit. Haruskah Papa memberinya hukuman nanti?"Aldrin tersenyum tipis sehingga membuat Ramdan dan Elea tergelak. Elea berbalik dan merapatkan tubuhnya kepada sang suami, kemudian membisikkan kalimat."Aku
Teruntuk Elea, Satu nama yang sangat aku sayang, tetapi juga sangat aku benci. Setiap kali melihat wajahnya, aku selalu teringat akan sosok Kumala Permatasari, wanita lugu dan polos yang aku kenal baik, tetapi malah menusukku dari belakang. Aku membencinya sama seperti membenci ibunya.Ingin rasanya memutar waktu dan menolak kehadiran Kumala di dekat Harsa, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi saat pria tua itu memintaku untuk merawat anak mereka. Ingin berontak, tapi aku bisa apa?Namanya Elea. Dia sebenarnya anak yang cantik dan baik, tapi entah mengapa setiap kali dekat dengannya, hanya ada kebencian dalam dada. Perlahan aku menutup mata atas semua perbuatannya. Aku tak peduli dengannya sehingga membuatnya jadi seorang pembangkang hanya untuk menarik perhatian. Amarah dan kecewa sudah terlanjur tertanam dalam dada, sehingga aku memutuskan untuk pergi dari rumah.Elea, maafkan Mama. Pernah pada satu titik, di mana kamu terjatuh dari tangga tempo hari. Mama
Elea gelisah duduk di samping kemudi. Dia meremas kuat jemarinya sebelum melirik Ramdan. Berita yang dibawa pria itu mau tidak mau menyentak hatinya. Dia makin gelisah di tempat duduk saat melihat jalanan yang padat."Bisakah kita cari jalan lain, Ramdan?""Tenang, Elea. Mereka pasti menunggu kita.""Tapi aku tak akan bisa tenang sebelum melihatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ramdan?"Ramdan meraih jemari Elea dan menggenggamnya erat, kemudian mengecupnya. Dia menoleh dan mengusap kepala sang istri, berusaha untuk menenangkannya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, jalanan mulai terurai. Ramdan menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Setibanya di sana, Elea segera turun dan berlari menyusuri lorong sebelum tiba di suatu ruangan.Elea bergeming sesaat ketika menatap ruangan di depannya. Sepi yang melingkupi ruangan itu makin menambah hawa dingin yang terasa. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian tangannya terulur untuk
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua
Ramdan menatap lekat Aleta yang berdiri di ujung anak tangga teratas dengan dipapah Alina. Sedetik kemudian, Ramdan mendesah lirih dan memilih keluar rumah, mengabaikan kalimat permohonan yang dilontarkan sang adik. Dia meneruskan langkah menuju mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, kalimat Aleta terus terngiang di kepala."Aku akan datang untuk bersaksi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah menyuruhku untuk berhenti, setelah memintaku untuk memulainya."Ramdan kembali mengulang ucapan itu sambil sesekali memijat pelan pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih setelah mengetahui maksud dari perkataan Aleta. Tak ingin ambil pusing dengan permintaan sang adik, Ramdan menggeleng kuat dan segera melajukan mobilnya menuju kediaman Harsa. Ramdan bergegas turun dari mobil dan berjalan tergesa memasuki rumah. Dia segera menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Aldrin terdengar. Saat membuka pintu, dia hanya mendapati sang anak yang menangis di ranjang, sedangkan
Ramdan melajukan mobilnya keluar dari rumah Harsa. Dia mengumbar senyum sepanjang perjalanan saat membayangkan orang tuanya mengetahui bahwa sang cucu yang diketahui sudah meninggal, ternyata masih hidup. Ramdan menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumahnya.Ramdan bergegas memasuki rumah saat melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi. Dia menaiki tangga dengan tergesa saat mendengar sayup suara dari lantai atas. Langkah membawanya menuju kamar Aleta, tetapi dia bergeming di depan pintu saat mendengar percakapan ketiganya. Ramdan menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang dibicaraka Aleta dan orang tuanya."Papa dengar kasus kamu mau dibuka kembali, Aleta. Sekarang saatnya kamu untuk beberkan semua fakta karena pasti Akhtar tak main-main dengan bukti yang dia kumpulkan selama ini."Aleta menoleh ke arah Ramlan sebelum menggeleng lemah. "Enggak, Pa. Aleta enggak sanggup beberkan semua cerita pilu itu.""Tapi, ini harus, Sayang. Mau sampai kapan kamu begini terus
Ramdan bergeming saat melihat bayi berusia sekitar 3 bulan ada dalam gendongan seorang wanita. Ramdan mengerjap pelan sebelum menoleh kepada Elea. Namun, belum sempat membuka kata, wanita itu masuk. Lalu, menghampiri ranjang dan menyerahkan sang bayi kepada Elea.Ramdan masih bergeming. Namun, dia segera tersadar dan bergegas menghampiri Elea. Dia menggeleng lemah dan mendesah lirih saat tangan bayi itu dicium Elea. Ramdan mengernyit heran dan mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menatap lekat bayi itu sebelum beralih menatap istrinya."Dia ....""Aldrin Elraja Alaydrus."Ramdan menatap tak percaya Elea yang tersenyum kepadanya. Tangannya terulur mengusap kepala bayi yang ada di gendongan sang istri. Seulas senyum tipis tersemat di bibirnya."Benarkah dia ...."Ramdan menunjuk dirinya sendiri. Dia tak sanggup meneruskan ucapannya karena rasa haru yang menyeruak. Tiga bulan yang lalu saat mendengar sang anak akhirnya meninggal, hatinya hancur. Dunia runtuh bahkan nyaris hilang ka