"Gwen?" tanya Ramdan begitu melihat siapa yang ada di depannya.Wanita yang ditemuinya semalam itu mengangguk seraya mengulas senyum. "Kamu mau ke mana?" tanyanya."Aku harus pergi untuk menemui seseorang."Gwen menelisik Ramdan yang meringis kesakitan sambil memegang lukanya. Namun, saat melihat ada darah yang membasahi baju pria itu, dia membeliak."Tapi lukamu ... oh, tidak! Itu berdarah lagi, aku akan panggilkan dokter."Ramdan hendak menahan wanita itu, tetapi gagal karena nyeri yang makin membebat lukanya. Wajahnya memucat karena lemas yang masih menguasai tubuh. Tepat saat dia hampir ambruk ke lantai, Gwen datang dan menangkapnya. Lalu, seorang perawat pria membantu Gwen memapah Ramdan sebelum mendudukkannya ke kursi roda.Ramdan kembali dibawa ke kamar perawatan sebelum dibaringkan ke ranjang. Setelahnya, perawat pria itu pergi dan datang seorang dokter bersama perawat wanita yang akan memeriksa luka Ramdan. Dokter itu menggeleng lemah saat membuka plester yang menutup luka di
Edrik yang kebetulan melihat Ramdan dibawa oleh dua pria berseragam perawat, menggunakan kursi roda dan melewati pintu samping rumah sakit, mengernyit heran. Dia mengikuti mereka dan terkesiap melihat mobil van hitam. Edrik bergegas menghadang dan segera melayangkan tendangan ke perut salah satu pria yang memegangi Ramdan hingga tersungkur.Melihat temannya tersungkur, pria yang masih memegang kursi roda Ramdan segera mendorongnya, lalu menendang Edrik. Namun, pria paruh baya itu berhasil menghindar dengan membungkuk sambil menahan laju kursi roda Ramdan. Lalu, secepat kilat dia melayangkan tendangan hingga mengenai wajah bagian kanan pria itu hingga tersungkur. Edrik meletakkan tas berisi laptop pesann Ramdan ke pangkuannya sebelum kembali menghajar keduanya.Ketika dia fokus dengan dua pria di depannya, seorang pria lain turun dari balik kemudi dan membawa Ramdan ke mobil. Dia berhasil memasukkan Ramdan ke mobil dan hendak melajukannya. Namun, saat hendak menginjak pedal gas, seseor
Edrik segera bangkit dari duduk dan berlalu meninggalkan Elea yang masih bergeming karena memikirkan sesuatu. Elea berulang kali memikirkan ucapan Edrik sambil menggeleng lemah. Lelah berdebat dengan pikirannya sendiri, Elea bangkit dari duduk dan berlalu ke kamar Ramdan. Dia membuka pintu perlahan dan masuk, kemudian mengikis jarak dan menatapnya lekat."Benarkah yang dibilang Edrik kalau kamu peduli padaku, Ramdan?"Elea masih mematung di tempat sampai melihat Ramdan sedikit bergerak. Dia terkesiap dan memilih berbalik. Namun, saat hendak melangkah meninggalkan tempat, Ramdan memanggilnya lirih. Elea menghentikan langkah dan kembali menatap Ramdan."Ada apa, Ramdan?""Aku haus, Elea. Ambilkan aku air."Elea memutar bola mata malas sebelum beranjak keluar kamar menuju dapur dan kembali sambil membawa gelas berisi air. Lalu, perlahan dia membantu mengangkat kepala Ramdan sebelum meminumkan airnya. Dia meletakkan gelas yang sudah kosong ke nakas setelah membantu Ramdan kembali berbarin
"Berani kamu lakukan itu ke keluargamu sendiri, Elea! Dandi itu kakak kamu, mau kamu keluarga kita menanggung malu di hadapan semua orang!""Kalau itu yang terbaik, Elea akan lakukan! Sekarang katakan di mana dia!"Harsa menggeram kesal, kemudian satu tamparan mendarat mulus di pipi kiri Elea. Wanita itu terhuyung mundur sambil mengusap bagian yang sakit. Lalu, kembali berdiri tegak dan menaikkan dagu melihat ayahnya. Harsa yang masih diperam amarah, mendekat kemudian kembali mencengkeram erat dagu Elea dan mendorongnya. Tak berhenti di situ, dia langsung menjambak rambut sang anak sampai mendongak."Dasar anak tak tahu diri! Berapa lama aku membesarkanmu, hah! Dan inilah balasan yang mau kamu berikan! Menyesal aku membiarkanmu hidup! Harusnya saat ada kesempatan, aku sudah membunuhmu, Elea!""Lakukan apa yang Papa mau! Toh, sejak dulu memang Elea tak pernah dianggap ada, kan? Papa cuma peduli sama Dandi!"Harsa menyeret Elea keluar, kemudian mendorongnya hingga jatuh tersungkur. Den
Elea perlahan mundur dan menunduk. Matanya bergerak liar saat mendengar langkah Ramdan kian mendekat. Melihat sang istri mengabaikan pertanyaannya, pria itu terus mengikis jarak. Lalu, mencengkeram erat dagu Elea dan terkejut melihat luka kebiruan di kedua pipi serta sudut bibir sang istri. Pria itu membeliak dan menatapnya tajam. "Siapa yang berani melukaimu, Elea!"Elea menggeleng lemah dan berusaha menghindari tatapan penuh amarah milik Ramdan. Melihat sang istri bergeming, Ramdan makin mengeratkan cengkeraman."Jawab, Elea! Siapa yang sudah melukaimu!"Elea tetap bungkam dan terus menggeleng, sehingga Ramdan makin dibakar amarah. Dia melepaskan Elea dan menelisiknya dari atas sampai bawah. Sambil menahan sakit, dia menarik baju bagian sang istri dan merobeknya. Elea terkejut dan spontan menutupi tubuh bagian atas dan bawahnya. Namun, Ramdan menarik tangan sang istri dan menatapnya tajam."Berputar!"Elea menggeleng lemah dengan mata mengembun. Ramdan yang masih diperam amarah sege
Elea menelan ludah dengan susah payah sebelum membelakangi Ramdan untuk mulai memakai baju. Setelahnya, dia mendekati meja rias. Ramdan segera bangkit dari duduk dan berlalu ke pintu. Ketika hendak membuka pintu, dia menoleh dan berkata."Jangan lama-lama, aku tunggu di meja makan."Elea mengangguk dan segera mengaplikasikan riasan sederhana ke wajahnya. Selama tinggal di rumah Ramdan, tak pernah sekali pun dia kekurangan. Ramdan selalu memenuhi semua kebutuhannya mulai dari baju, sepatu, aksesoris, hingga produk riasan wajah. Wanita mana yang tak tersanjung setelah dimanjakan oleh suaminya, termasuk juga Elea. Namun, melihat perlakuan kasar yang diterimanya selama ini, Elea ragu dengan alasan Ramdan melakukannya.Tak ingin larut dengan pikiran yang berkecamuk, Elea segera menyelesaikan riasannya. Dia tak mau mendapat perlakuan kasar lagi dari Ramdan. Dia segera keluar kamar dan berjalan tergesa menuju meja makan. Lalu, duduk tenang di sisi kanan pria itu dan bergeming. Tak lama, dua
Dina menggeram kesal. Dia melempar tas berharga ratusan juta ke sofa sebelum mengempaskan tubuhnya. Lalu, bersedekap dan mendengkus kesal, membuang pandangan ke jendela dan mengabaikan pertanyaan yang keluar dari mulut Harsa.Harsa mendengkus kesal sebelum bangkit dari duduk dan mendekati istrinya. Dia duduk di sebelah Dina dan meraih dagunya."Mama kenapa datang malah marah-marah, hem? Bukannya hari ini ada arisan dan katanya Mama dapet. Tapi, kok, malah cemberut mukanya.""Gimana enggak kesel, Pa. Tadi di restoran Mama ketemu Ramdan, tapi penampilannya berbeda. Dia pakai jas, jam tangan sama sepatu branded. Terus Mama katain aja gayanya yang sok kayak bos besar itu, eh, pulangnya tagihan Mama dibayarin. Belagu banget dia! Dapet uang dari mana coba, jangan-jangan dia nyuri di tempat majikan barunya, ya?"Harsa terkekeh mendengar ucapan istrinya. Setelahnya, dia bangkit dan kembali berjalan ke meja kerjanya. Merasa diabaikan, Dina ikut bangkit dan mendekati suaminya."Papa, kok, tangg
Elea segera berlalu ke kamar usai Ramdan melepaskan cengkeramannya. Dia menggigil ketakutan ketika membayangkan kembali sorot mata penuh kemarahan yang menatapnya. Dia menggeleng lemah sebelum beranjak ke balkon dan duduk di salah satu kursi.Sementara di kamar Aleta, Ramdan menatap lekat gadis yang masih terbaring dengan mata terpejam di ranjang. Dia mengusap kepala sang adik sebelum mengecupnya. Setelahnya, dia mengusap lembut pipi Aleta dan memejamkan mata sejenak untuk meredam ketegangan yang ada usai sekelebat bayangan tentang kejadian tadi berputar di kepala. Tanpaenoleh kepada Edrik, dia berkata."Lain kali jangan pernah menyuruh orang lain mengelap Aleta, Ed! Aku enggak mau kejadian tadi terulang lagi!""Maafkan saya, Tuan Muda."Ramdan mendengkus kesal sebelum bangkit dari duduk dan beranjak menuju pintu. Namun, sebelum membuka pintu, suara Edrik terdengar."Maaf, Tuan Muda. Jangan salahkan Mbak Elea atas kejadian tadi, dia tidak sengaja. Asal Tuan Muda tahu selama ini Mbak E