Ramdan menyeringai di kursi kebesarannya. Dia menautkan kedua jemari dan menatap tajam tembok di depannya. Lalu, memejamkan mata sejenak dan membiarkan pikiran liarnya bekerja. Dia membayangkan orang yang selama ini dicari sudah ada di depan mata. Lalu, tanpa ampun dia membalaskan semua sakit hatinya sebelum melihat penjahat itu mati perlahan.Ramdan kembali membuka mata saat mendengar pintu diketuk. Dia menoleh dan mempersilakan orang di belakang pintu masuk. Melihat Deni yang datang, Ramdan segera menyuruhnya duduk."Hem. Ada apa?""Maaf, Pak. Ada telepon dari Pak Harsa. Katanya mau membahas tentang isi perjanjian yang harus direvisi."Ramdan menerima ponsel yang disodorkan Deni, lantas menjawab panggilan. "Selamat siang, Pak Harsa. Ada yang bisa saya bantu?""Siang juga, Pak Akhtar. Maaf, kapan Bapak ada waktu? Saya mau membahas soal isi perjanjian yang Bapak coret tempo hari?""Dalam waktu dekat ini saya tidak bisa bertemu orang dulu. Nanti konsultasi sama wakil saya saja.""Tapi,
"Sampai suatu ketika aku melihat Dandi menyeret seorang gadis ke kamar dan menodainya. Aku berusaha mencegah dan mengancam akan melaporkannya ke Papa. Tapi, apa yang aku dapat, Ramdan? Dia malah semakin di atas awan karena Papa membelanya."Ramdan menggeram kesal mendengar ucapan Elea. Dia mengepalkan tangan dengan tatapan tajam tepat mengarah kepada sang istri. Namun, melihat wajah lelah wanita yang ada di depannya, Ramdan menghela napas panjang, berusaha menetralisir amarah yang sempat membuncah. Sementara di ranjang, Elea kembali menghapus air mata yang sempat luruh membasahi pipi."Sekarang aku tak peduli dengan risiko yang harus aku tanggung, Ramdan. Aku sudah muak dengan semua perintah konyol Papa. Aku hidup selama ini dengan menyimpan luka dan ketakutan. Wajah gadis yang menangis di bawah kaki Dandi terus saja menghantuiku. Aku sangat bersalah kepadanya, Ramdan."Elea menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Dia terguguk dengan bahu yang bergetar hebat, merasakan sesak ya
Ramdan mengulas senyum sambil menatap hamparan hijau di depannya. Lalu, menghidu teh yang ada di tangannya sebelum menyesap perlahan. Dia puas setelah kerja sama dengan perusahaan milik Stefan kembali terjadi. Saat sedangenikmati kesendiriannya, Edrik mendekat sambil membawa ponsel milik Ramdan."Maaf mengganggu, Tuan Muda. Ada telepon dari rumah sakit. Katanya Mbak Elea sudah boleh pulang karena kondisinya membaik."Ramdan mendengkus kesal sebelum meletakkan cangkir di meja. Dia menoleh ke arah Edrik dan menadahkan tangan, bermaksud meminta ponselnya. Usai mendapatkan benda itu, dia menempelkannya ke telinga."Iya? Baik, satu jam lagi saya ke sana. Terima kasih."Ramdan bangkit dari duduk dan memegang ponselnya sebelum berjalan ke kamar. Tak lama, dia menuruni tangga sambil mengancingkan kemejanya. Melihat Edrik yang berdiri di ujung tangga, dia melirik sekilas sebelum berkata."Sebentar lagi aku akan berhenti merendahkan diri di hadapan Harsa, Ed. Penjahat itu sudah ditemukan, itu a
Ramdan membeliak ketika Elea melumat bibirnya. Dia berusaha untuk menolak dengan memegang kedua lengan wanita itu. Namun, Elea malah mengalungkan kedua tangannya ke leher Ramdan dan memperdalam ciuman. Ramdan menahan napas sejenak sebelum menangkup wajah wanita itu dan menjauhkannya."Mbak ... kita enggak se--" Ucapan Ramdan terputus karena Elea melepaskan tangan Ramdan dan kembali menciumnya. Wanita itu sama sekali tidak memberikan kesempatan Ramdan untuk berbicara. Untuk sesaat, pria itu tergoda dan mulai membalas melumat bibir sang istri. Lalu, saat mulai kehabisan napas karena nafsu yang membuncah, Ramdan bergegas melepaskan Elea."Maaf, Mbak."Ramdan segera berlalu ke kamar dengan perasaan berkecamuk. Perasaan bersalah langsung menguasai dirinya ketika mengingat kejadian barusan. Dia berjalan mendekati ranjang sambil menjambak rambut karena frustasi. Memang tak ada salahnyawncium istri sendiri. Namun, akan beda rasanya jika tak ada cinta yang hadir, melainkan hanya nafsu semata.
Elea masih berusaha menghilangkan panas dari wajahnya dengan membasuh wajah menggunakan air di wastafel. Namun, berapa kali pun dia berusaha, hasilnya tetap sama. Dia mengdengkus sebelum beralih ke lemari pendingin dan mengambil es batu. Lalu, mengusapnya perlahan ke wajah. Memang panasnya akan berkurang, tetapi jika dia hentika kegiatan itu pasti akan kembali terasa panas."Akh, panas!" seru Elea sambil mengipasi wajah dengan kedua tangannya. "Gimana lagi biar panas ini pergi!"Ramdan yang sejak tadi bergeming di meja makan sambil menatap layar ponsel segera mendekati istrinya. Dia duduk di samping wanita itu dan mulai mengipasi wajahnya menggunakan kertas koran."Maaf."Satu kata yang sanggup diucapkan Ramdan. Dia bingung harus berbuat apa agar panas akibat perbuatannya mengelap wajah Elea menggunakan lap bekas sambal tadi hilang. Melihat pria yang duduk di sampingnya sambil terus mengipasi wajahnya, Elea mencebik."Dimaafin. Tapi, syaratnya kamu harus turuti semua permintaanku, Ram
Ramdan kembali ke bandara untuk menjemput seseorang sesuai arahan Harsa. Dia menunggu di pintu kedatangan dan mengedarkan pandangan. Tak lama berselang, muncul seorang pria dengan postur tinggi besar yang memakai kacamata hitam. Kaos putih serta celana jins hitam membungkus tubuhnya yang kekar. Untuk sejenak, dia menatap lekat pria itu sebelum memberanikan diri untuk mendekat."Bapak Dandi Hadiwilaga?" tanya Ramdan. "Saya Ramdan. Orang yang ditugaskan Pak Harsa untuk menjemput."Dandi menelisik Ramdan dari ujung kepala sampai ujung kaki, kemudian menyeringai. Lalu, menyerahkan koper yang dibawanya kepada Ramdan sebelum berjalan lebih dulu. Ramdan mendengkus kesal sebelum mengekor sampai ke mobil dan segera membukakan pintu untuk Dandi. Setelahnya, dia memasukkan koper ke bagasi dan berlari memutari mobil sebelum duduk di balik kemudi."Bawa aku ke kafe yang ada di dekat kantor Papa.""Siap, Pak."Dandi tersenyum tipis sebelum menatap keluar jendela. Dia menikmati perjalanan sambil ses
"Itu, Pak. Maksud saya Dani, teman saya. Dia punya utang sama saya, tapi selalu mangkir setiap kali ditagih. Saya jadi kesal.""Hah, cepetan jalan! Bawa aku pulang, Ramdan! Badanku lengket semua!""Siap, Pak."Ramdan melajukan mobil menyusuri jalanan menuju kediaman Hadiwilaga. Setibanya di sana, dia segera membukakan pintu, kemudian memarkir mobil sebelum berlalu ke dalam. Dia berjalan mengelilingi rumah sambil mengedarkan pandangan. Namun, keberadaan Dandi di rumah itu tak kunjung diketemukan. Dia menggeram kesal sambil menyugar rambut untuk meluapkan kekesalannya."Aaargh! Ke mana dia pergi!"Ramdan menghela napas panjang sebelum berbalik dan melangkah menuju garasi. Setelahnya, dia menaiki motor dan melajukannya ke rumah. Amarah yang membuncah membuatnya enggan untuk pulang. Dia membelokkan motor menuju kelab malam. Setibanya di sana, dia langsung menuju meja bar dan memesan satu gelas minuman beralkohol."Sialan! Ke mana larinya penjahat itu! Aaargh!" seru Ramdan sambil menggebra
Ramdan membuka mata saat merasa ingin berkemih. Dia menggeliat sebelum terkejut saat melihat Elea yang terpejam sambil memeluknya erat. Dengan perlahan, dia melepaskan tangan Elea yang melingkari perutnya. Lalu, menggeser tubuhnya perlahan sebelum turun dari kursi."Kamu sudah bangun, Ramdan?" tanya Elea sambil menguap dan beringsut duduk.Ramdan tak menggubris pertanyaan sang istri dan terus berlalu menuju kamar mandi untuk berkemih. Setelahnya, dia membuka baju dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Sejuknya air yang membasahi sedikit mengurangi kalut dalam hatinya. Dia menyudahi mandi dan terkejut saat lupa tak membawa handuk. Dia menggeram kesal sebelum memberanikan diri untuk memanggil istrinya. Ramdan membuka sedikit pintu kamar mandi dan melongok keluar. Melihat Elea masih bergeming di kursi tamu, dia menghela napas panjang sebelum memanggilnya."Ehm, Elea! Bisakah ambilkan handuk saya!"Elea menoleh dan segera menuruti perintah Ramdan. Saat membawa handuk dan berjalan mend