Ramdan kembali ke bandara untuk menjemput seseorang sesuai arahan Harsa. Dia menunggu di pintu kedatangan dan mengedarkan pandangan. Tak lama berselang, muncul seorang pria dengan postur tinggi besar yang memakai kacamata hitam. Kaos putih serta celana jins hitam membungkus tubuhnya yang kekar. Untuk sejenak, dia menatap lekat pria itu sebelum memberanikan diri untuk mendekat."Bapak Dandi Hadiwilaga?" tanya Ramdan. "Saya Ramdan. Orang yang ditugaskan Pak Harsa untuk menjemput."Dandi menelisik Ramdan dari ujung kepala sampai ujung kaki, kemudian menyeringai. Lalu, menyerahkan koper yang dibawanya kepada Ramdan sebelum berjalan lebih dulu. Ramdan mendengkus kesal sebelum mengekor sampai ke mobil dan segera membukakan pintu untuk Dandi. Setelahnya, dia memasukkan koper ke bagasi dan berlari memutari mobil sebelum duduk di balik kemudi."Bawa aku ke kafe yang ada di dekat kantor Papa.""Siap, Pak."Dandi tersenyum tipis sebelum menatap keluar jendela. Dia menikmati perjalanan sambil ses
"Itu, Pak. Maksud saya Dani, teman saya. Dia punya utang sama saya, tapi selalu mangkir setiap kali ditagih. Saya jadi kesal.""Hah, cepetan jalan! Bawa aku pulang, Ramdan! Badanku lengket semua!""Siap, Pak."Ramdan melajukan mobil menyusuri jalanan menuju kediaman Hadiwilaga. Setibanya di sana, dia segera membukakan pintu, kemudian memarkir mobil sebelum berlalu ke dalam. Dia berjalan mengelilingi rumah sambil mengedarkan pandangan. Namun, keberadaan Dandi di rumah itu tak kunjung diketemukan. Dia menggeram kesal sambil menyugar rambut untuk meluapkan kekesalannya."Aaargh! Ke mana dia pergi!"Ramdan menghela napas panjang sebelum berbalik dan melangkah menuju garasi. Setelahnya, dia menaiki motor dan melajukannya ke rumah. Amarah yang membuncah membuatnya enggan untuk pulang. Dia membelokkan motor menuju kelab malam. Setibanya di sana, dia langsung menuju meja bar dan memesan satu gelas minuman beralkohol."Sialan! Ke mana larinya penjahat itu! Aaargh!" seru Ramdan sambil menggebra
Ramdan membuka mata saat merasa ingin berkemih. Dia menggeliat sebelum terkejut saat melihat Elea yang terpejam sambil memeluknya erat. Dengan perlahan, dia melepaskan tangan Elea yang melingkari perutnya. Lalu, menggeser tubuhnya perlahan sebelum turun dari kursi."Kamu sudah bangun, Ramdan?" tanya Elea sambil menguap dan beringsut duduk.Ramdan tak menggubris pertanyaan sang istri dan terus berlalu menuju kamar mandi untuk berkemih. Setelahnya, dia membuka baju dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Sejuknya air yang membasahi sedikit mengurangi kalut dalam hatinya. Dia menyudahi mandi dan terkejut saat lupa tak membawa handuk. Dia menggeram kesal sebelum memberanikan diri untuk memanggil istrinya. Ramdan membuka sedikit pintu kamar mandi dan melongok keluar. Melihat Elea masih bergeming di kursi tamu, dia menghela napas panjang sebelum memanggilnya."Ehm, Elea! Bisakah ambilkan handuk saya!"Elea menoleh dan segera menuruti perintah Ramdan. Saat membawa handuk dan berjalan mend
Elea membawa langkah beratnya menuju kamar Ramdan. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian membuka pintu dan mengedarkan pandangan. Sesaat dia tertegun melihat betapa rapinya kamar orang yang selama ini menjadi sopir pribadi ayahnya itu. Elea terus membawa masuk langkahnya menuju meja kecil yang terletak di samping ranjang Ramdan. Dia membuka setiap laci perlahan sambil sesekali menoleh ke arah pintu. Memastikan Ramdan tak muncul mendadak dan mengacaukan penyelidikannya.Saat masih mencari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk, mendadak deru motor Ramdan terdengar. Wanita itu terkesiap dan segera keluar kamar. Namun, dia membeliak ketika melihat Ramdan menatapnya tajam saat keluar dari kamar.Ramdan mendengkus kesal sambil mengikis jarak. Amarahnya membuncah saat melihat gelagat tak biasa yang dipancarkan istrinya. Dia langsung menarik tengkuk Elea dan menatapnya tajam."Apa yang kamu lakukan di kamarku, Elea!""A-aku ... aku cuma beresin kamar kamu aja."
Ramdan menyeringai sebelum menepuk agak keras pipi Dandi. "Lihai juga kamu bersembunyi selama ini, Dandi. Pantas saja anak buahku tak pernah menemukanmu, ternyata kamu ubah identitas dan penampilanmu.""Siapa kamu, hah! Beraninya main keroyokan! Kalau berani satu lawan satu! Tapi lepaskan aku dulu!" teriak Dandi karena matanya ditutup kain.Ramdan tergelak sebelum mendirikan kursi berserta Dandi yang duduk di atasnya. Setelahnya, dia membuka penutup mata Dandi dan berdiri tepat di depannya."Woala! Masih ingat aku, Dandi?" tanya Ramdan sambil mendekatkan wajahnya, kemudian mencengkeram erat dagunya. "Kenali wajahku dengan baik, karena malam ini adalah terakhir kamu melihat dunia!"Dandi membeliak melihat Ramdan. "Kamu ... kamu sopir Papa, kan!"Ramdan tergelak sebelum kembali menepuk pipi Dandi agak keras. "Bagus, ingatanmu boleh juga, Dandi. Lalu, apakah kamu masih ingat kejadian tiga tahun lalu, hah!"Dandi bergeming. Dia mengernyit heran mendengar ucapan pria yang kini mencengkeram
Ramdan tak menjawab pertanyaan Elea. Dia masuk dan terus melangkah, manaiki tangga hingga sampai di kamar Aleta. Dengan perlahan, dia membuka pintu dan masuk. Dia melirik Elea sekilas sebelum melangkah masuk dan menyalakan lampu. Sejenak, Elea tertegun melihat seorang gadis yang terbaring di ranjang dengan sejumlah selang menempel di tubuhnya."Siapa dia, Ramdan?" tanya Elea sambil mengikis jarak dengan ranjang."Dia ... Aleta Ilmira."Elea membeliak mendengar ucapan Ramdan. Dia membekap mulut dan menggeleng lemah sambil menatap Aleta. "Enggak mungkin. Enggak mungkin itu Aleta. Dia, kan ...."Ramdan menghela napas panjang sebelum menatap lekat istrinya. "Aleta begini karena perbuatan Dandi. Dia tertekan karena hujatan semua orang yang menganggap semua adalah salahnya. Dia gelap mata dan berusaha melukai dirinya sendiri."Elea makin terkejut mendengar ucapan Ramdan. Dia tidak menyangka akan melihat hasil perbuatan kejam keluarganya kepada Aleta. Dia bahkan merasa bersalah karena sempat
Elea membeliak mendengar suara Ramdan. Dia bergegas membuka pintu. Namun, belum sampai pintu terbuka, dia menjerit kesakitan kala Ramdan menjambak rambutnya."Kamu enggak akan bisa semudah itu kabur dariku, Elea! Karena kamu harus merasakan sakitnya menjadi Aleta!""Ampun, Ramdan! Lepaskan aku!"Ramdan tak menggubris ucapan Elea. Dia terus menarik rambut wanita itu sebelum membantingnya ke ranjang. Lalu, berlari ke wardrobe untuk mengambil dasi dan kemejanya sebelum kembali menemui istrinya."Pakai itu!" seru Ramdan sambil melempar kemejanya ke tubuh sang istri.Dengan tubuh gemetar ketakutan ditambah sakit yang menjalari sekujur tubuh, Elea meraih kemeja dan memakainya secepat yang dia bisa. Lalu, terkesiap saat sang suami memegangi tangan dan mengikatnya ke kaki ranjang."Untuk sementara, kamu diam di sini, Elea."Ramdan menepuk pelan pipi sang istri sebelum beranjak meninggalkan kamar. Dia menatap sekilas Elea sebelum menutup pintu. Lalu, menuruni tangga dan berlalu ke ruang kerjany
Ramdan menyeringai usai menuntaskan hasratnya. Dia segera turun dari ranjang dan memakai celana pendek sebelum membuka pintu balkon. Namun, saat hendak keluar mendadak dia merasakan ada yang mengenai punggungnya. Dia menoleh dan melihat sebuah bantal teronggok di dekat kakinya. Setelahnya, dia melihat menatap Elea yang memendam amarah sambil mendekap erat selimut agar menutupi tubuhnya yang polos."Teganya kamu lakukan ini kepadaku, Ramdan! Apa mau kamu sebenarnya, hah!"Ramdan terkekeh sebelum berbalik dan langsung mendekati Elea. Dia mencengkeram erat dagu wanita itu dan menatapnya tajam. "Kamu mau tahu apa mauku, Elea? Aku mau keluarga Hadiwilaga hancur, terlebih Harsa!"Ramdan melepaskan cengkeramannya sebelum kembali menuju balkon. Dia mengempaskan kasar tubuhnya ke kursi sebelum mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya. Lalu, menyulut lintingan nikotin dan mengisapnya dalam. Dia menyeringai sambil mengembuskan asap ke udara. Puas, hanya itu yang dirasakannya sekarang. Terleb