Ramdan mendekat. Tangannya terulur untuk menyentuh lengan Elea, tetapi segera ditarik kembali. Namun, melihat Elea makin kesakitan, dia segera membopongnya ke mobil. Lalu, memutari mobil dan duduk di balik kemudi sebelum melajukan mobil. Sesekali dia melirik dan melihat wajah Elea makin memucat dengan keringat yang membanjiri dahinya.“Kita ke rumah sakit, Mbak?”“Bawa aku pulang, Ramdan! Aku tak mau ke rumah sakit!”Ramdan sedikit menambah kecepatan agar segera sampai di rumah. Setibanya di sana, dia kembali membopong Elea ke kamar dan membaringkannya. Lalu, berlari ke dapur dan kembali sambil membawa air hangat dalam gelas.“Minum dulu, Mbak.”Elea segera meraih gelas itu dan mengambil obat pereda nyeri sebelum menenggaknya. Setelahnya, dia meringkuk di balik selimut dengan posisi membelakangi Ramdan.Ramdan menghela napas panjang sebelum berlalu ke dapur sambil membawa botol kaca yang tadi digunakan sebagai kompres. Dia buang airnya, kemudian mengisinya kembali sebelum membaw
Ramdan menghela napas panjang sebelum menggeleng lemah menatap Elea yang beranjak menuju kamar. Setelahnya, dia bergegas keluar rumah dan melajukan motornya menyusuri jalanan menuju kediamannya. Tak berselang lama, dia sampai di rumah mewahnya.Ramdan segera menaiki tangga usai memarkir motor. Lalu, melepas baju begitu masuk rumah dan melemparnya kepada Edrik yang berjalan mendekat.“Siapkan makanan untukku dan bawa ke ruang kerja, Ed!”“Siap, Tuan Muda.”Ramdan melangkah ke ruang kerja, kemudian mengempaskan tubuhnya ke kursi yang ada di balik meja kerja. Dia mengambil semua berkas yang ada di meja dan memeriksanya satu per satu sebelum membubuhkan tanda tangan. Dia mendongak sekilas saat mendengar pintu diketuk.“Masuk!” titah Ramdan. Lalu, kembali menekuri berkas di depannya saat Edrik masuk sambil membawa nampan berisi nasi dan lauk yang masih mengepul.“Makannya, Tuan Muda.”“Hem. Buatkan aku kopi juga, Ed! Sepertinya aku harus terjaga malam ini.”“Siap, Tuan Muda.”Edri
Ramdan mengernyit mendengar suara lirih Elea di ujung telepon. Namun, belum sempat bertanya, telepon terputus. Dia kembali mencoba menghubungi wanita itu, tetapi hanya suara operator yang terdengar. Dia bergegas keluar rumah dan melajukan mobil tanpa tujuan. Dalam perjalanan, dia kembali menghubungi Elea dan beruntungnya panggilannya dijawab. Namun, bukan suara wanita itu yang terdengar, melainkan suara seorang pria."Siapa kamu? Mana Elea?" Bukan jawaban yang diterima Ramdan, melainkan suara gelak tawa. Dia membelokkan mobil dan berhenti di pinggir jalan. Lalu, menajamkan telinga sambil mengernyit heran sebelum berkata."Siapa kamu!""Ha-ha-ha! Coba tebak! Elea sedang tak bisa menjawab panggilan kamu. Dasar sopir sialan!"Ramdan membeliak mendengar suara bernada ancaman. Dia hendak bicara, tetapi panggilannya keburu ditutup. Dia meramas kuat ponsel di tangannya sebelum memukul kemudi. Lalu, menekan kontak seseorang dan segera memberikan perintah."Cari keberadaan Evan, sekarang!"Te
"Mbak," panggil Ramdan.Elea berbalik dan terkesiap melihat Ramdan tampak berbeda setelah mengenakan jas yang diberikannya. Dia bangkit dari duduk dan mendekati pria itu. Lalu, memutari Ramdan sambil menelisiknya dari atas sampai bawah."Enggak sia-sia aku sewa jas itu buat kamu, Ramdan. Ternyata kamu bisa diandalkan."Elea makin mendekati Ramdan. Dia melingkarkan kedua tangan ke leher pria itu sambil tersenyum tipis. "Jadi, maukah kamu bermain sandiwara bersamaku, Ramdan?"Ramdan bergeming saat Elea melepaskan tangannya. Dia memaku pandangan pada wanita itu saat beranjak ke meja rias dan kembali sambil membawa parfum mahal. Lalu, menyemprotkannya ke leher dan tubuh Ramdan. Setelahnya, dia menghidu aroma parfum itu sambil memejamkan mata sebelum menatap Ramdan."Ayo, kita keluar, Ramdan! Jangan lupa tunjukkan senyum terbaikmu di hadapan semua orang."Ramdan menurut saat Elea menggamit lengannya mesra. Lalu, berjalan keluar kamar dengan memakai topeng kebahagiaan bernama senyuman. Pria
Ramdan hanya bergeming. Dia menatap Elea yang mulai mengambil gelas kedua dan ketiga, lantas menenggaknya sekaligus. Tangannya terulur untuk menahan Elea saat hendak menenggak gelas keempat, tetapi segera ditepis kasar. Elea kembali menenggak gelas keempat dan mengambil lagi satu gelas minuman beralkohol. Lalu, meneguknya hingga tandas. Wanita itu menarik kerah baju Ramdan sambil tersenyum tipis. Aroma alkohol langsung menguar menusuk indra penciuman Ramdan."Menyedihkan sekali jadi aku, Ramdan. Orang kita aku bahagia selama ini, tapi mereka salah. Aku terlihat baik-baik saja, tapi aslinya aku rapuh! Aku hancur! Aku terluka!"Ramdan mengedarkan pandangan sebelum menatap ketidaksukaan yang dipancarkan Harsa dan Dina. Dia mulai menarik memegangi kedua lengan Elea, tetapi kembali ditepis kasar."Apa? Kamu takut aku beberkan semua masalah yang ada di dalam keluarga Hadiwilaga, hah! Kamu sama aja kayak Mama sama Papa, hobi menutupi kebusukan!"Dan apa yang ditakutkan Ramdan pun menjadi ken
Ramdan berusaha menarik Elea yang tergantung di pagar balkon. Tanpa kesulitan, dia menarik wanita itu ke atas. Sekejap mata, Ramdan terkejut saat Elea memeluknya erat. Tangan pria itu sudah terangkat hendak mengusap punggung sang istri yang bergetar, tetapi segera diturunkan kembali. Akhirnya, Ramdan membiarkan Elea menumpahkan segala lara di dadanya. Usai tangisannya reda, Elea melerai pelukan dan menatap lekat pria yang ada di depannya."Bawa aku pergi dari sini, Ramdan. Aku enggak mau tingg di sini lagi."Ramdan mengangguk sekilas sebelum meraih tangan Elea dan membawanya pergi. Dia terus menggandeng wanita itu keluar rumah dan menaiki motor. Lalu, melajukan kuda besinya menyusuri jalanan. Ramdan bergeming ketika Elea perlahan menyandarkan kepala di punggungnya. Dia juga membiarkan kala wanita itu terguguk.Ramdan memutuskan menyusuri jalanan tanpa tujuan, berputar-putar hingga akhirnya berhenti di suatu taman yang menghadap ke danau. Dia berhenti dan memarkir motor sebelum turun,
Ramdan menulikan telinga mendengar semua ucapan Harsa. Dia hanya fokus menatap jalanan sambil mencengkeram erat kemudi. Tak berselang lama, mobil yang dikemudikannya sudah sampai di bandara. Dia memaku pandangan kepada sang majikan yang membentang jarak dengan tergesa. Setelahnya, dia kembali duduk di balik kemudi dan menghubungi seseorang."Harsa sudah di bandara, sekarang ikuti ke mana pun dia pergi. Laporkan apa saja yang dia lakukan, juga dengan siapa dia bertemu!""Siap, Bos."Telpon terputus. Ramdan menyeringai sebelum kembali melajukan mobil menuju kediaman Hadiwilaga. Setibanya di sana, dia segera mencuci mobil dan memasukkannya ke garasi, kemudian menaiki motor hendak pulang. Namun, saat sampai di gerbang, ponselnya berdering nyaring. Dia segera merogoh saku celana dan mengambil ponsel. Setelah melihat nama yang tertera di layar, dia segera menjawab panggilan."Ada apa, Den?""Maaf, Pak Akhtar. Bisa ke kantor sekarang? Ada masalah di cabang yang butuh penanganan Bapak segera.
Ramdan menyeringai di kursi kebesarannya. Dia menautkan kedua jemari dan menatap tajam tembok di depannya. Lalu, memejamkan mata sejenak dan membiarkan pikiran liarnya bekerja. Dia membayangkan orang yang selama ini dicari sudah ada di depan mata. Lalu, tanpa ampun dia membalaskan semua sakit hatinya sebelum melihat penjahat itu mati perlahan.Ramdan kembali membuka mata saat mendengar pintu diketuk. Dia menoleh dan mempersilakan orang di belakang pintu masuk. Melihat Deni yang datang, Ramdan segera menyuruhnya duduk."Hem. Ada apa?""Maaf, Pak. Ada telepon dari Pak Harsa. Katanya mau membahas tentang isi perjanjian yang harus direvisi."Ramdan menerima ponsel yang disodorkan Deni, lantas menjawab panggilan. "Selamat siang, Pak Harsa. Ada yang bisa saya bantu?""Siang juga, Pak Akhtar. Maaf, kapan Bapak ada waktu? Saya mau membahas soal isi perjanjian yang Bapak coret tempo hari?""Dalam waktu dekat ini saya tidak bisa bertemu orang dulu. Nanti konsultasi sama wakil saya saja.""Tapi,