Ramdan hanya bergeming. Dia menatap Elea yang mulai mengambil gelas kedua dan ketiga, lantas menenggaknya sekaligus. Tangannya terulur untuk menahan Elea saat hendak menenggak gelas keempat, tetapi segera ditepis kasar. Elea kembali menenggak gelas keempat dan mengambil lagi satu gelas minuman beralkohol. Lalu, meneguknya hingga tandas. Wanita itu menarik kerah baju Ramdan sambil tersenyum tipis. Aroma alkohol langsung menguar menusuk indra penciuman Ramdan."Menyedihkan sekali jadi aku, Ramdan. Orang kita aku bahagia selama ini, tapi mereka salah. Aku terlihat baik-baik saja, tapi aslinya aku rapuh! Aku hancur! Aku terluka!"Ramdan mengedarkan pandangan sebelum menatap ketidaksukaan yang dipancarkan Harsa dan Dina. Dia mulai menarik memegangi kedua lengan Elea, tetapi kembali ditepis kasar."Apa? Kamu takut aku beberkan semua masalah yang ada di dalam keluarga Hadiwilaga, hah! Kamu sama aja kayak Mama sama Papa, hobi menutupi kebusukan!"Dan apa yang ditakutkan Ramdan pun menjadi ken
Ramdan berusaha menarik Elea yang tergantung di pagar balkon. Tanpa kesulitan, dia menarik wanita itu ke atas. Sekejap mata, Ramdan terkejut saat Elea memeluknya erat. Tangan pria itu sudah terangkat hendak mengusap punggung sang istri yang bergetar, tetapi segera diturunkan kembali. Akhirnya, Ramdan membiarkan Elea menumpahkan segala lara di dadanya. Usai tangisannya reda, Elea melerai pelukan dan menatap lekat pria yang ada di depannya."Bawa aku pergi dari sini, Ramdan. Aku enggak mau tingg di sini lagi."Ramdan mengangguk sekilas sebelum meraih tangan Elea dan membawanya pergi. Dia terus menggandeng wanita itu keluar rumah dan menaiki motor. Lalu, melajukan kuda besinya menyusuri jalanan. Ramdan bergeming ketika Elea perlahan menyandarkan kepala di punggungnya. Dia juga membiarkan kala wanita itu terguguk.Ramdan memutuskan menyusuri jalanan tanpa tujuan, berputar-putar hingga akhirnya berhenti di suatu taman yang menghadap ke danau. Dia berhenti dan memarkir motor sebelum turun,
Ramdan menulikan telinga mendengar semua ucapan Harsa. Dia hanya fokus menatap jalanan sambil mencengkeram erat kemudi. Tak berselang lama, mobil yang dikemudikannya sudah sampai di bandara. Dia memaku pandangan kepada sang majikan yang membentang jarak dengan tergesa. Setelahnya, dia kembali duduk di balik kemudi dan menghubungi seseorang."Harsa sudah di bandara, sekarang ikuti ke mana pun dia pergi. Laporkan apa saja yang dia lakukan, juga dengan siapa dia bertemu!""Siap, Bos."Telpon terputus. Ramdan menyeringai sebelum kembali melajukan mobil menuju kediaman Hadiwilaga. Setibanya di sana, dia segera mencuci mobil dan memasukkannya ke garasi, kemudian menaiki motor hendak pulang. Namun, saat sampai di gerbang, ponselnya berdering nyaring. Dia segera merogoh saku celana dan mengambil ponsel. Setelah melihat nama yang tertera di layar, dia segera menjawab panggilan."Ada apa, Den?""Maaf, Pak Akhtar. Bisa ke kantor sekarang? Ada masalah di cabang yang butuh penanganan Bapak segera.
Ramdan menyeringai di kursi kebesarannya. Dia menautkan kedua jemari dan menatap tajam tembok di depannya. Lalu, memejamkan mata sejenak dan membiarkan pikiran liarnya bekerja. Dia membayangkan orang yang selama ini dicari sudah ada di depan mata. Lalu, tanpa ampun dia membalaskan semua sakit hatinya sebelum melihat penjahat itu mati perlahan.Ramdan kembali membuka mata saat mendengar pintu diketuk. Dia menoleh dan mempersilakan orang di belakang pintu masuk. Melihat Deni yang datang, Ramdan segera menyuruhnya duduk."Hem. Ada apa?""Maaf, Pak. Ada telepon dari Pak Harsa. Katanya mau membahas tentang isi perjanjian yang harus direvisi."Ramdan menerima ponsel yang disodorkan Deni, lantas menjawab panggilan. "Selamat siang, Pak Harsa. Ada yang bisa saya bantu?""Siang juga, Pak Akhtar. Maaf, kapan Bapak ada waktu? Saya mau membahas soal isi perjanjian yang Bapak coret tempo hari?""Dalam waktu dekat ini saya tidak bisa bertemu orang dulu. Nanti konsultasi sama wakil saya saja.""Tapi,
"Sampai suatu ketika aku melihat Dandi menyeret seorang gadis ke kamar dan menodainya. Aku berusaha mencegah dan mengancam akan melaporkannya ke Papa. Tapi, apa yang aku dapat, Ramdan? Dia malah semakin di atas awan karena Papa membelanya."Ramdan menggeram kesal mendengar ucapan Elea. Dia mengepalkan tangan dengan tatapan tajam tepat mengarah kepada sang istri. Namun, melihat wajah lelah wanita yang ada di depannya, Ramdan menghela napas panjang, berusaha menetralisir amarah yang sempat membuncah. Sementara di ranjang, Elea kembali menghapus air mata yang sempat luruh membasahi pipi."Sekarang aku tak peduli dengan risiko yang harus aku tanggung, Ramdan. Aku sudah muak dengan semua perintah konyol Papa. Aku hidup selama ini dengan menyimpan luka dan ketakutan. Wajah gadis yang menangis di bawah kaki Dandi terus saja menghantuiku. Aku sangat bersalah kepadanya, Ramdan."Elea menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Dia terguguk dengan bahu yang bergetar hebat, merasakan sesak ya
Ramdan mengulas senyum sambil menatap hamparan hijau di depannya. Lalu, menghidu teh yang ada di tangannya sebelum menyesap perlahan. Dia puas setelah kerja sama dengan perusahaan milik Stefan kembali terjadi. Saat sedangenikmati kesendiriannya, Edrik mendekat sambil membawa ponsel milik Ramdan."Maaf mengganggu, Tuan Muda. Ada telepon dari rumah sakit. Katanya Mbak Elea sudah boleh pulang karena kondisinya membaik."Ramdan mendengkus kesal sebelum meletakkan cangkir di meja. Dia menoleh ke arah Edrik dan menadahkan tangan, bermaksud meminta ponselnya. Usai mendapatkan benda itu, dia menempelkannya ke telinga."Iya? Baik, satu jam lagi saya ke sana. Terima kasih."Ramdan bangkit dari duduk dan memegang ponselnya sebelum berjalan ke kamar. Tak lama, dia menuruni tangga sambil mengancingkan kemejanya. Melihat Edrik yang berdiri di ujung tangga, dia melirik sekilas sebelum berkata."Sebentar lagi aku akan berhenti merendahkan diri di hadapan Harsa, Ed. Penjahat itu sudah ditemukan, itu a
Ramdan membeliak ketika Elea melumat bibirnya. Dia berusaha untuk menolak dengan memegang kedua lengan wanita itu. Namun, Elea malah mengalungkan kedua tangannya ke leher Ramdan dan memperdalam ciuman. Ramdan menahan napas sejenak sebelum menangkup wajah wanita itu dan menjauhkannya."Mbak ... kita enggak se--" Ucapan Ramdan terputus karena Elea melepaskan tangan Ramdan dan kembali menciumnya. Wanita itu sama sekali tidak memberikan kesempatan Ramdan untuk berbicara. Untuk sesaat, pria itu tergoda dan mulai membalas melumat bibir sang istri. Lalu, saat mulai kehabisan napas karena nafsu yang membuncah, Ramdan bergegas melepaskan Elea."Maaf, Mbak."Ramdan segera berlalu ke kamar dengan perasaan berkecamuk. Perasaan bersalah langsung menguasai dirinya ketika mengingat kejadian barusan. Dia berjalan mendekati ranjang sambil menjambak rambut karena frustasi. Memang tak ada salahnyawncium istri sendiri. Namun, akan beda rasanya jika tak ada cinta yang hadir, melainkan hanya nafsu semata.
Elea masih berusaha menghilangkan panas dari wajahnya dengan membasuh wajah menggunakan air di wastafel. Namun, berapa kali pun dia berusaha, hasilnya tetap sama. Dia mengdengkus sebelum beralih ke lemari pendingin dan mengambil es batu. Lalu, mengusapnya perlahan ke wajah. Memang panasnya akan berkurang, tetapi jika dia hentika kegiatan itu pasti akan kembali terasa panas."Akh, panas!" seru Elea sambil mengipasi wajah dengan kedua tangannya. "Gimana lagi biar panas ini pergi!"Ramdan yang sejak tadi bergeming di meja makan sambil menatap layar ponsel segera mendekati istrinya. Dia duduk di samping wanita itu dan mulai mengipasi wajahnya menggunakan kertas koran."Maaf."Satu kata yang sanggup diucapkan Ramdan. Dia bingung harus berbuat apa agar panas akibat perbuatannya mengelap wajah Elea menggunakan lap bekas sambal tadi hilang. Melihat pria yang duduk di sampingnya sambil terus mengipasi wajahnya, Elea mencebik."Dimaafin. Tapi, syaratnya kamu harus turuti semua permintaanku, Ram