Kalau ada orang kaya yang butuh anak perempuan, Nadya siap mendaftar paling depan! Sungguh, perpisahan kedua orang tuanya tidak hanya meninggalkan patah, tetapi juga serentetan tagihan. Serius, Nadya pengin cosplay jadi Vicky Prasetyo waktu ngelamar Angel Lelga. Terjun dari pesawat tanpa pengaman. Biar mati sekalian!
Hari masih terlalu pagi ketika pintu kamar kosnya diketuk dengan tidak beradab. Nadya mendesah. Ada dua jawaban; kalau nggak Ibu Kos yang nagih uang bulanan, ya rentenir atau debt collector. Tapi ternyata dugaannya salah. Yang datang cowok ganteng berpenampilan ala CEO yang sering Nadya baca di novel.Alamak, bosnya!"Bapak ngapain ke sini?" tanya Nadya.Naka menaikkan sebelah alis. "Mau mandiin kamu, biar nggak telat.""Eh?" Nadya melotot."Kamu lupa?" Naka melipat kedua tangannya di depan dada, "Hari ini kita ada schedule ke Malang untuk proyek baru."Bego!Nadya menepuk jidat. "Oh, iya! Aduh, Pak, maaf. Bapak nunggu di luar ya? Saya mau mandi, terus siap-siap. Janji nggak nyampe setengah jam." Naka memutar mata. "Bentar ya, Pak Bosku yang paling cakep sekantor!" Nadya menutup pintu. Kebetulan kamar mandinya ada di dalam. Cepat-cepat ia mandi, gosok gigi, ganti pakaian kantor, dan memoles wajah seperlunya.Setelah dirasa penampilannya cukup, Nadya segera menghampiri bosnya. "Oke, Pak. Sa—" Netra hazelnya mengerjap. Tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Sejurus kemudian ponselnya mendetingkan pesan masuk. Ternyata dari bosnya.Pak Bos:Saya tunggu di mobilNadya mendengkus. Nggak sabaran amat sih!***Selama menghandle perusahaan, baru kali ini Naka mendapat sekretaris super ngeselin dan seenaknya. Tapi anehnya, Naka enggan menggantinya dengan yang lain. Padahal ayahnya sudah mencarikan beberapa kandidat, bahkan lebih menarik dan disiplin daripada Nadya. Tapi lagi-lagi ini soal kenyamanan.Ah, nyaman ya?Naka mendengkus geli.Tidak, ia hanya terhibur.Tak lama pintu belakang terbuka. Nadya muncul—lengkap dengan cengiran lucunya. "Pagi, Pak.""Hm.""Bapak tumben amat nyamperin saya? Biasanya ngomel di grup yang isinya cuma kita berdua," sindir Nadya, lalu nyengir lagi. Perempuan itu sudah duduk di samping Naka. Dan perlahan mobil melaju.Naka memutar mata. "Itu grup juga kamu yang bikin. Aneh!""Soalnya, Pak, kalau saya chat personal, Bapak lama banget jawabnya! Kan gebetan-gebetan Bapak lebih penting." Benar-benar definisi sekretaris nggak ada akhlak. Berani-beraninya perempuan itu menyindir Genaka lagi. "Makanya saya bikin grup dengan judul Panggilan Maut.""Kamu seneng ya tinggal di kosan jelek kayak gitu?" Alih-alih menanggapi gerutuan Nadya, Naka justru menyentil mentalnya. "Saya yang cuma berdiri sampe depan aja langsung alergi. Apalagi denger ibu-ibu tadi."Nadya tertawa pendek. "Beda kasta, Pak.""Mulai hari ini kamu tinggal di apartemen saya aja. Nanti biar saya suruh orang angkutin barang-barangmu," ujar Naka yang membuat Nadya kontan terkesiap."Pak?""Iya, Nadya Sayang, kamu tinggal di apartemen saya.""Ih, Pak, nggak perlu!" tolak Nadya, "Kalau saya numpang di apartemen Bapak, ntar gaji saya abis cuma buat ngontrak doang." Bergidik, lantas meneruskan, "Nggak deh, Pak, makasih. Lagian—""Gratis, Nadya. Saya tahu kamu miskin!" potong Naka, sombong.Dihadiahi pelototan Nadya, lalu lepas decakan dari bibirnya ketika bola matanya berputar dongkol. "Iyaaa, yang anak orang kaya. Dipuja sana-sini. Apalah artinya aku yang sebatang kara.""Drama!""Tapi serius deh, Pak—" Nadya menggantung kalimatnya, "Bapak lagi bercanda, 'kan?""Emang tampang saya kelihatan bercanda?"Terbit ringisan di bibir Nadya, kepalanya menggeleng."Ya udah, berarti deal."Nadya mengesah panjang, kemudian membelokkan topik. "Omong-omong, Pak, pacar Bapak yang kemaren apa kabar? Kalian udah baikan?""Kami putus," kata Naka, santai."Lagi?" pekik Nadya, tak percaya. Anggukkan Naka merespons. Pria itu nengeluarkan tablet dan mengotak-atik benda berbentuk persegi tersebut. "Ya Allah, Pak!" Ia gelengkan kepala, "Bapak nih ganti pacar kayak isi ulang galon ya?" cibirnya."Nanti pesan satu kamar aja," kata Naka, mengabaikan celotehan Nadya.Perempuan berusia dua puluh enam tahun itu melotot. "Lah? Terus saya tidur di mana, Pak?""Sekamar sama saya lah. Biar saya gampang nyuruh-nyuruh kamu.'Bahu Nadya sontak merosot. "Pak," desahnya, merana."Kenapa?" tanya Naka, mengangkat satu alis."Kita bukan mahram.""Oh, jadi kamu pengin saya nikahi dulu biar bisa sekamar?" Alis tebal Naka kian terangkat.Nadya mencebik. "Cukup jadi sekretaris Bapak aja deh. Gini doang udah pusing, apalagi nikah sama Bapak, yang ada saya nggak bisa tidur. Kan Bapak rajin olahraga tiap malem."Lolos kekehan geli dari bibir Naka. Ia sentil kening sekretarisnya itu. "Huss!""Iya, 'kan?""Iya sih." Naka akhirnya membenarkan. Kepalanya manggut-manggut, sedang iris abunya menyorot intens figur Nadya. "Tapi saya penasaran deh, gimana rasanya olahraga bareng kamu.""Coy!" seru Nadya, panik.Otomatis Naka tergelak. "Tapi nggak, ah. Kurang pas di genggaman.""Pak!" Nadya menghantamkan map dalam dekapannya ke lengan Naka.Yang digeplak terbahak-bahak. "Kamu ini ya ... baru juga digoda, udah ketakutan aja.""Ya Bapak godain perawan!" sewot Nadya."Emang begitu ya kalau perawan digoda pria mapan?"Nadya tidak menjawab, ekspresinya berubah kikuk. Malu rupanya.*Tapi saya kepo deh; kamu udah punya pacar apa belom sih?""Gimana saya mau punya pacar?" sembur Nadya, jengkel. "Baru nyampe rumah aja, saya dapet perintah lagi dari Bapak. Yang disuruh boking restoran buat kencan lah, telepon pacar Bapak yang ke sekian buat ngabarin untuk nggak usah ganggu lah, dan nyenyenye!" Nadya memutar mata muak. Bikin Naka makin tergelak. "Emang Bapak tuh nggak bisa ya pacaran secara mandiri? Jangan dikit-dikit nyuruh saya gitu loh. Kan kerjaan saya nggak cuma ngurusin Bapak doang.""Tapi saya penginnya diurusin kamu. Gimana dong?" balas Naka.Memancing decakan Nadya. "Bahkan mau dibayar berapapun, saya nggak akan tertarik, Pak. Capek banget soalnya.""Kalau bayarannya diganti sama nafkah, gimana?"Mereka tiba di bandara tepat pukul sembilan pagi. Tapi kepala Nadya terus dipenuhi kalimat nyeleneh bosnya. Entahlah. Kadang perempuan bersurai hitam sebahu itu ingin memiliki teman untuk berbagi. Bukan teman yang datang dan pergi sesuka hati. Tapi masalahnya, dia masih trauma dengan laki-laki.Membuang napas, kepalanya ditolehkan ke sisi. Naka sibuk mematikan panggilan dari beberapa perempuan yang pernah ia kencani. Nadya mengernyit heran. "Kenapa dimatiin, Pak?""Nggak penting.""Kasihan tahu, Pak. Apalagi kemaren Mbak Jessy dateng nangis-nangis, gara-gara chat-nya Bapak anggurin," beber Nadya yang sejujurnya udah pusing banget ngadepin para mantan pacar bosnya—yang tiba-tiba datang ke kantor dan curhat macam-macam. "Terus Mbak Anisa—""Diem!" potong Naka, "Saya cipok kamu!""Pak!" Nadya melotot."Lagian, saya udah nggak butuh mereka. Bisa abis duit saya," gumam Naka. "Soalnya kalau dipikir-pikir, daripada traktir mereka barang-barang brandit, mending nafkahin kamu aja nggak sih?" Nadya tambah melotot. Naka enggan peduli. "Kalau kamu terima saya, saya taubat main cewek.""Pak Bos Genaka Diwangkara-ku Sayang ..." Nadya menahan gemas, "Tolong jangan bikin sekretarismu ini baper ya?""Jangankan bikin kamu baper, bikin anak sama kamu aja, saya ayo!""Pak!" seru Nadya, mendelik jengkel.Naka tertawa. "Omong-omong, kenapa kamu ngekos? Emang orang tua kamu di mana?""Neraka."Sejak kedua orang tuanya berpisah, Nadya memutuskan hidup mandiri. Toh, nggak ada yang bisa diandalkan juga. Dan pula, perempuan yang menghiasi netranya dengan kacamata itu sudah nyaman dengan kesendiriannya, walau sesekali ia butuh sosok lain untuk berbagi. Yeah, beginilah hidup; tak ubahnya cuaca yang sulit diprediksi.Setibanya di hotel, Nadya memesan satu kamar sesuai perintah bos sintingnya itu. Naka tersenyum lebar ketika Nadya melempar tatapan galak ke arahnya. Lalu dengan entengnya pria itu berkata kepada resepsionis. "Emang gini, Mbak, kalau kerja bareng istri."Istri istri matamu itu!Nadya bersungut dalam hati.Mereka memasuki kamar hotel. Nadya agak ragu sebenarnya, mengingat reputasi Naka yang jago main di ranjang. Perempuan itu bergidik ngeri membayangkan dirinya sekamar dengan Naka. "Pak," panggilnya kemudian. Naka yang baru saja melepas kacamata menoleh. "Saya tidur di mobil aja deh.""Mobil siapa?" tanya Naka, menaikkan sebelah alis.Sontak Nadya menepuk jidat kala me
"Fajar?""Nadya?""Kalian saling kenal?"Waktu seakan terhenti. Sosok yang ingin ia lupakan datang lagi. Berdiri tepat di hadapannya—dengan segudang pencapaian. Nadya meringis samar, kepalanya digelengkan. Tidak. Dia harus kuat, sekalipun kekecewaan itu enggan minggat. "Silakan duduk," ujarnya, berusaha profesional.Pria bernama Fajar itu mengangguk, lalu mengindahkan.Diikuti wanita cantik yang tak lain adalah sekretaris mantan suami Nadya."Maaf, membuat Anda menunggu lama," kata Fajar, memulai obrolan.Naka menggeleng pelan. "Ah, santai saja." Tersumir senyum tipis di bibirnya. "Justru dengan begitu saya bisa berduaan sama sekretaris saya yang galak ini." Melirik Nadya yang seketika mendelik tajam, Naka sama sekali nggak takut. "Oh ya, Pak Fajar dan Bu Nina mau pesan apa?""Apa saja," jawab Fajar.Segera Nadya memesankan minum untuk partner-nya."Sambil menunggu sekretaris saya, kita mulai saja ya?"Fajar mengangguk.Dan meeting pun dimulai.***Naka terpingkal-pingkal setelah tahu
"Iya, Pak?""Hari ini kita ada schedule ketemu mantan suami kamu."Nadya memutar mata selagi tangannya sibuk memakai heels dan mengapit ponsel diantara bahu dan telinga. "Iya, Pak. Saya tahu.""Nad, mending kita tuker posisi. Kamu bosnya, saya sekretarisnya."Terbit ringisan di bibir Nadya. Sadar bahwa dirinya tidak profesional. "Maaf, Pak.""Kamu ini minta maaf mulu, belom juga lebaran."Nadya bangkit seraya meraih tas brandit pemberian Naka dua bulan lalu. Berjalan keluar. "Lah, daripada saya minta dipecat, ntar Bapak repot lagi. Kan yang tahan sama Bapak cuma saya." Terdengar tawa dari seberang. Nadya mendesah begitu membuka pintu dan menemukan bosnya berdiri di depan pintu. Nadya menarik ponselnya dari telinga, lalu mematikan panggilan. Iris hazelnya memindai penampilan Naka yang tampak santai. Kaos hitam polos dipadu celana jins dengan warna senada. Mirip orang lagi healing. Padahal Nadya berpakaian rapi ala.sekretaris pada umumnya. "Astagfirullah, Pak. Bapak mau piknik atau kerj
"Ma, aku udah nyampe Bandara. Mama posisinya di mana?""Telat! Mama udah dijembut Chava," sahut Mala yang sengaja diloudspeaker Naka agar Nadya bisa mendengar.Naka mengernyit bingung. "Chava?" ulangnya."Iyaaa, Chava. Masa lupa sama adek sendiri. Gimana sih kamu ini?!""Mama di Palembang?""Hm.""Ngapain minta jemput aku, Mama?!" Naka mulai naik pitam, sedang Nadya di sampingnya tampak menahan tawa. "Malang ke Palembang jauh loh, Ma!""Loh, kamu di Malang?""Lih, kimi di Miling?" tiru Naka dengan nada mencibir.Terdengar gelak tawa dari seberang. "Ya maap. Mama kira kamu tugas ke Palembang, makanya Mama nyusul, sekalian jenguk adekmu.""Mama tahu nggak? Mama memangkas tiga puluh menit waktu kencanku!""Biarin!" balas Mala, meledek.Naka mendengkus. "Ya udah, aku matiin ya?""Eh, eh, bentar!" tahan Mala."Apa lagi sih, Ma?!" decak Naka."Kasihin hape kamu yang lebih murah dari hape Mama itu ke Nadya," titah Mala. Dengan malas, Naka mengindahkan. Nadya menerima ponsel tersebut lalu men
Nadya bersumpah akan membuat hidup Naka lebih kacau dari hidupnya!Menyudahi perdebatan dengan menerima tawaran bosnya—walau amat sangat terpaksa, disinilah Nadya sekarang; di apartemen Naka yang luasnya seolah mengejek kosan yang ia tinggali. Nadya mengesah, iris hazelnya terlempar ke arah Naka yang berdiri di sebelahnya dengan satu tangan dimasukkan ke saku."Welcome to my apartment," ujar Naka, memberi sambutan."Tapi Bapak nggak tinggal di sini juga, 'kan?" tanya Nadya, memastikan."Loh, ya iya dong!" decak Naka, otomatis Nadya melotot. "Kalau saya nggak tinggal di sini, buat apa saya sewa apartemen?"Nadya makin melotot. "Pak!"Naka tertawa. "Nad, kamu ini janda rasa perawan ya?""Sekali lagi Bapak nyinggung status saya, saya resign dari kantor!" ancam Nadya."Eits, konsekuensi untuk kamu; resign dari kantor, berarti nikah sama saya!" timpal Naka yang berhasil menyulut emosi Nadya menjadi berkali-kali lipat. Naka menyeringai menang. "Deal?""Bodo amat! Huss, pergi sana!""Oke." N
Nadya bersumpah akan membuat hidup Naka lebih kacau dari hidupnya!Menyudahi perdebatan dengan menerima tawaran bosnya—walau amat sangat terpaksa, disinilah Nadya sekarang; di apartemen Naka yang luasnya seolah mengejek kosan yang ia tinggali. Nadya mengesah, iris hazelnya terlempar ke arah Naka yang berdiri di sebelahnya dengan satu tangan dimasukkan ke saku."Welcome to my apartment," ujar Naka, memberi sambutan."Tapi Bapak nggak tinggal di sini juga, 'kan?" tanya Nadya, memastikan."Loh, ya iya dong!" decak Naka, otomatis Nadya melotot. "Kalau saya nggak tinggal di sini, buat apa saya sewa apartemen?"Nadya makin melotot. "Pak!"Naka tertawa. "Nad, kamu ini janda rasa perawan ya?""Sekali lagi Bapak nyinggung status saya, saya resign dari kantor!" ancam Nadya."Eits, konsekuensi untuk kamu; resign dari kantor, berarti nikah sama saya!" timpal Naka yang berhasil menyulut emosi Nadya menjadi berkali-kali lipat. Naka menyeringai menang. "Deal?""Bodo amat! Huss, pergi sana!""Oke." N
"Ma, aku udah nyampe Bandara. Mama posisinya di mana?""Telat! Mama udah dijembut Chava," sahut Mala yang sengaja diloudspeaker Naka agar Nadya bisa mendengar.Naka mengernyit bingung. "Chava?" ulangnya."Iyaaa, Chava. Masa lupa sama adek sendiri. Gimana sih kamu ini?!""Mama di Palembang?""Hm.""Ngapain minta jemput aku, Mama?!" Naka mulai naik pitam, sedang Nadya di sampingnya tampak menahan tawa. "Malang ke Palembang jauh loh, Ma!""Loh, kamu di Malang?""Lih, kimi di Miling?" tiru Naka dengan nada mencibir.Terdengar gelak tawa dari seberang. "Ya maap. Mama kira kamu tugas ke Palembang, makanya Mama nyusul, sekalian jenguk adekmu.""Mama tahu nggak? Mama memangkas tiga puluh menit waktu kencanku!""Biarin!" balas Mala, meledek.Naka mendengkus. "Ya udah, aku matiin ya?""Eh, eh, bentar!" tahan Mala."Apa lagi sih, Ma?!" decak Naka."Kasihin hape kamu yang lebih murah dari hape Mama itu ke Nadya," titah Mala. Dengan malas, Naka mengindahkan. Nadya menerima ponsel tersebut lalu men
"Iya, Pak?""Hari ini kita ada schedule ketemu mantan suami kamu."Nadya memutar mata selagi tangannya sibuk memakai heels dan mengapit ponsel diantara bahu dan telinga. "Iya, Pak. Saya tahu.""Nad, mending kita tuker posisi. Kamu bosnya, saya sekretarisnya."Terbit ringisan di bibir Nadya. Sadar bahwa dirinya tidak profesional. "Maaf, Pak.""Kamu ini minta maaf mulu, belom juga lebaran."Nadya bangkit seraya meraih tas brandit pemberian Naka dua bulan lalu. Berjalan keluar. "Lah, daripada saya minta dipecat, ntar Bapak repot lagi. Kan yang tahan sama Bapak cuma saya." Terdengar tawa dari seberang. Nadya mendesah begitu membuka pintu dan menemukan bosnya berdiri di depan pintu. Nadya menarik ponselnya dari telinga, lalu mematikan panggilan. Iris hazelnya memindai penampilan Naka yang tampak santai. Kaos hitam polos dipadu celana jins dengan warna senada. Mirip orang lagi healing. Padahal Nadya berpakaian rapi ala.sekretaris pada umumnya. "Astagfirullah, Pak. Bapak mau piknik atau kerj
"Fajar?""Nadya?""Kalian saling kenal?"Waktu seakan terhenti. Sosok yang ingin ia lupakan datang lagi. Berdiri tepat di hadapannya—dengan segudang pencapaian. Nadya meringis samar, kepalanya digelengkan. Tidak. Dia harus kuat, sekalipun kekecewaan itu enggan minggat. "Silakan duduk," ujarnya, berusaha profesional.Pria bernama Fajar itu mengangguk, lalu mengindahkan.Diikuti wanita cantik yang tak lain adalah sekretaris mantan suami Nadya."Maaf, membuat Anda menunggu lama," kata Fajar, memulai obrolan.Naka menggeleng pelan. "Ah, santai saja." Tersumir senyum tipis di bibirnya. "Justru dengan begitu saya bisa berduaan sama sekretaris saya yang galak ini." Melirik Nadya yang seketika mendelik tajam, Naka sama sekali nggak takut. "Oh ya, Pak Fajar dan Bu Nina mau pesan apa?""Apa saja," jawab Fajar.Segera Nadya memesankan minum untuk partner-nya."Sambil menunggu sekretaris saya, kita mulai saja ya?"Fajar mengangguk.Dan meeting pun dimulai.***Naka terpingkal-pingkal setelah tahu
Sejak kedua orang tuanya berpisah, Nadya memutuskan hidup mandiri. Toh, nggak ada yang bisa diandalkan juga. Dan pula, perempuan yang menghiasi netranya dengan kacamata itu sudah nyaman dengan kesendiriannya, walau sesekali ia butuh sosok lain untuk berbagi. Yeah, beginilah hidup; tak ubahnya cuaca yang sulit diprediksi.Setibanya di hotel, Nadya memesan satu kamar sesuai perintah bos sintingnya itu. Naka tersenyum lebar ketika Nadya melempar tatapan galak ke arahnya. Lalu dengan entengnya pria itu berkata kepada resepsionis. "Emang gini, Mbak, kalau kerja bareng istri."Istri istri matamu itu!Nadya bersungut dalam hati.Mereka memasuki kamar hotel. Nadya agak ragu sebenarnya, mengingat reputasi Naka yang jago main di ranjang. Perempuan itu bergidik ngeri membayangkan dirinya sekamar dengan Naka. "Pak," panggilnya kemudian. Naka yang baru saja melepas kacamata menoleh. "Saya tidur di mobil aja deh.""Mobil siapa?" tanya Naka, menaikkan sebelah alis.Sontak Nadya menepuk jidat kala me
Kalau ada orang kaya yang butuh anak perempuan, Nadya siap mendaftar paling depan! Sungguh, perpisahan kedua orang tuanya tidak hanya meninggalkan patah, tetapi juga serentetan tagihan. Serius, Nadya pengin cosplay jadi Vicky Prasetyo waktu ngelamar Angel Lelga. Terjun dari pesawat tanpa pengaman. Biar mati sekalian!Hari masih terlalu pagi ketika pintu kamar kosnya diketuk dengan tidak beradab. Nadya mendesah. Ada dua jawaban; kalau nggak Ibu Kos yang nagih uang bulanan, ya rentenir atau debt collector. Tapi ternyata dugaannya salah. Yang datang cowok ganteng berpenampilan ala CEO yang sering Nadya baca di novel.Alamak, bosnya!"Bapak ngapain ke sini?" tanya Nadya.Naka menaikkan sebelah alis. "Mau mandiin kamu, biar nggak telat.""Eh?" Nadya melotot."Kamu lupa?" Naka melipat kedua tangannya di depan dada, "Hari ini kita ada schedule ke Malang untuk proyek baru."Bego!Nadya menepuk jidat. "Oh, iya! Aduh, Pak, maaf. Bapak nunggu di luar ya? Saya mau mandi, terus siap-siap. Janji ng