Share

Bab 3 | Tentang Fajar

"Fajar?"

"Nadya?"

"Kalian saling kenal?"

Waktu seakan terhenti. Sosok yang ingin ia lupakan datang lagi. Berdiri tepat di hadapannya—dengan segudang pencapaian. Nadya meringis samar, kepalanya digelengkan. Tidak. Dia harus kuat, sekalipun kekecewaan itu enggan minggat. "Silakan duduk," ujarnya, berusaha profesional.

Pria bernama Fajar itu mengangguk, lalu mengindahkan.

Diikuti wanita cantik yang tak lain adalah sekretaris mantan suami Nadya.

"Maaf, membuat Anda menunggu lama," kata Fajar, memulai obrolan.

Naka menggeleng pelan. "Ah, santai saja." Tersumir senyum tipis di bibirnya. "Justru dengan begitu saya bisa berduaan sama sekretaris saya yang galak ini." Melirik Nadya yang seketika mendelik tajam, Naka sama sekali nggak takut. "Oh ya, Pak Fajar dan Bu Nina mau pesan apa?"

"Apa saja," jawab Fajar.

Segera Nadya memesankan minum untuk partner-nya.

"Sambil menunggu sekretaris saya, kita mulai saja ya?"

Fajar mengangguk.

Dan meeting pun dimulai.

***

Naka terpingkal-pingkal setelah tahu siapa Fajar. Betul-betul definisi CEO nggak ada akhlak. Nadya mendengkus, bola matanya berputar jengah. "Saya lupa kalau kamu pernah nikah." Tawanya mereda, ia tatap Nadya dengan serius. "Ooh, jadi gara-gara itu, kamu susah buka hati?"

"Sebenernya bisa aja saya buka hati, tergantung effort laki-lakinya juga sih."

"Jadi saya kurang effort?" Naka menaikkan sebelah alis.

Memicu decakan Nadya. "Apaan sih, Pak! Jangan bikin saya GR deh!"

"Nad, serius; saya tuh kepo sama kamu. Kok, bisa sih kamu betah menjanda?"

"Mulut Bapak tuh ya!" sungut Nadya, sebal.

"Tapi kalian punya anak nggak sih?" cecar Naka, penasaran.

Nadya menggeleng. Bahkan selama berumah tangga dengan Fajar, pria itu tidak pernah menyentuhnya. Bisa dibilang Nadya ini janda rasa perawan. "Udah deh nggak usah bahas Japar! Muak saya!"

"Fajar, Nad," koreksi Naka. "Jahat banget sih nama mantan suami diganti seenak jidat."

Memilih enggan menanggapi, Nadya kembali melahap bakso pesanannya. Bakso dua mangkuk, ples saus dan sambal! Pelampiasan ketika badmood. Naka sampai geleng-geleng. "Nad, jangan makan banyak-banyak. Ntar kamu kentut terus."

"Diem deh, Pak! Saya lagi ngamuk ini!"

"Baru kamu, Nad, ngamuk koar-koar," ejek Naka.

"Diem!" sentak Nadya, galak.

Ajaibnya, Naka nurut.

Nadya berserdawa usai menghabiskan dua mangkuk bakso dan tiga gelas es teh manis. Tak peduli tatapan Naka sekarang, perempuan itu benar-benar marah! Entah marah pada Fajar yang pernah melukainya atau pada takdir yang kembali mempertemukan mereka. Sungguh, Nadya lupa bagaimana cara memahami diri sendiri.

Amarah menggelapkan nurani serta logika.

"Udah, ngamuknya?" Suara Naka menyadarkan.

"Pak, saya izin ke toilet bentar ya?" izin Nadya, lalu refleks buang gas karena nggak tahan.

Bergegas Naka tutup usia—ck, tutup hidung. "Nad, jorok!"

"Misi, Pak!"

Nadya menghambur ke belakang. Benar kata orang bijak; pikiran kita itu ibarat parasut, hanya berfungsi ketika terbuka. Sama halnya Nadya. Akibat rasa kecewa yang tiba-tiba mencuat, membuatnya hilang kendali, bahkan dengan tidak sopan ia bentak bosnya. Untung Naka bukan tipe cowok kasar.

Untung bosnya pecinta wanita.

Baiklah, agaknya Nadya perlu bersyukur.

Selepas buang hajat, perempuan yang bercita-cita ke Korea untuk menyusul brondongnya alias Na Jaemin itu menghampiri bosnya lagi. Tapi sebelum balik ke sana, ia sempatkan diri untuk membawakan semangkuk bakso—hasil dari racikan tangannya sendiri, kemudian ia hidangkan di meja.

"Untuk Pak Bos paling baek se-Jakarta," ujar Nadya.

Naka mengerutkan alis. "Kamu ni berkepribadian ganda atau gimana sih?"

"Bapak nih ya!" sewot Nadya.

"Abisnya cepet banget berubahnya."

"Asal nggak berubah jadi power rangers, 'kan?" timpal Nadya, "Udah, makan tuh!"

"Heh, saya ini bos kamu! Nyuguhin bakso bosnya kayak ngasih gembel."

Nadya nyengir.

Walau sebal, tetap Naka makan.

"Pak, dua jam lagi ke rumahnya Pak Yudhi ya?"

"Cancel aja, Nad. Bilang saya mendadak diare," ujar Naka yang membuat Nadya kontan menggeram.

"Dadakan amat sih, Pak?!" protesnya, dongkol.

"Nad, bau tangan kamu nempel," kata Naka, tak mengacuhkan Nadya.

Sekretarisnya itu mendengkus. "Terserah!"

"Kalau gini, mending mangkuknya saya beli aja." Naka bangkit.

"Pak?" Nadya terkesiap.

Dan inilah alasan lain yang bikin Nadya migren tiap hari, sampai jadi langganan warung Mbak Yatin—saking seringnya beli obat sakit kepala. Bagaimana tidak? Lihat saja kelakuan bosnya! Benar-benar di luar nalar! Cuma gara-gara bau tangannya Nadya nempel di mangkuk, Naka dengan sisa kewarasannya membeli mangkuk tersebut.

Ya Allah, ya Rabb.

Si penjual mesam-mesem saja.

"Pak, kita mampir ke pskiater bentar ya?" ajak Nadya.

"Pasti kamu mau meriksain kondisi mental saya, 'kan?" tebak Naka, sewaktu dia dan Nadya keluar dari warung bakso. Nadya mengangguk. "Nggak perlu, Nad. Selain wangi tangan kamu, saya suka gambar ayam jago di mangkuk bakso itu."

Nadya cuma bisa istigfar lalu baca surat yasin.

***

"Pak, emang harus banget ya kita sekamar?"

"Emang kamu pengin banget lihat saya tidur?" balik Naka, menaikkan satu alis.

Nadya mendengkus. "Ya enggak lah. Ketemu Bapak tiap hari aja saya berasa kena azab."

"Mana ada azab ketemu bos ganteng kayak saya?" protes Naka.

"Aduh, Pak. Tolong banget ya, tolong ... kecilin dikit tingkat kepercayaan dirinya!"

Naka tertawa. "Nggak ada tombolnya. Nggak bisa." Lolos desauan panjang dari bibir Nadya sebelum Naka berkata, "Kamu bisa tidur di kamar sebelah, tadi udah saya reserve."

"Oke, Pak. Makasih." Nadya segera enyah daripada stroke di usia muda gara-gara bosnya.

"Good night, Nad," ucap Naka ketika Nadya hendak membuka pintu.

"Night too, Pak. Mimpi yang waras," balas Nadya, diikuti senyum penuh ledek.

"Ya makanya kamu samperin saya di mimpi."

"Ogah!"

Menutup pintu, jantung Nadya mendadak disko. Genaka Diwangkara memang bukan tipenya. Ck, ralat! Kecuali kekayaannya. Dan dengan Naka terus-terusan menggodanya seperti ini, Nadya yakin, dia bakal ikut-ikutan gila! Tapi Nadya juga nggak mau kepedean dulu, mengingat bosnya pecinta wanita, alias manis ke semua kaum hawa.

Membuang rasa percaya dirinya jauh-jauh, Nadya melepas high heels-nya lalu ia buang ke sembarang arah. Tubuhnya sudah tidak sabar bersentuhan dengan kasur, merebahkan letih di sana, lalu kelopak matanya terpejam, memasuki alam mimpi.

Tapiiiii ....

Bayangan Fajar kembali menari-nari.

***

Sembilan tahun yang lalu ....

Usianya baru menginjak angka tujuh belas—persis setelah menerima hasil kelulusan, netra hazel Nadya menemukan sang ibu tengah menangis di teras depan sambil memegangi pipi. Sementara itu, di hadapan ibunya, berdiri sang ayah—lengkap dengan wajah marah. Nadya terenyak, langkahnya terjeda.

Planing menyerahkan nilai terbaiknya pupus seketika.

"Kamu bilang nggak ada hubungan apa-apa sama dia, tapi, kenapa ada hasil USG?!" sembur Indra, murka, lantas menendang paha Vina. "Dari awal aku udah curiga dan ternyata bener dugaanku selama ini; kamu selingkuh sama adikku sendiri!"

Vina menggeleng. "Itu bukan punyaku, Mas. Percaya sama aku.'

"Bukan punyamu kamu bilang?"

Masih dengan isak pedihnya, Vina mengangguk. "Iya, Mas. Bukan punyaku."

"Tapi, kenapa ada di kamar kita?" sentak Indra lagi, diikuti tamparan di pipi Vina hingga sudut bibir wanita itu berdarah. Segera Nadya menghampiri ibunya, namun dengan cepat ayahnya menghalangi, dan menariknya ke balik punggung. "Diam, Nadya! Jangan dekati mamamu! Dia perempuan nggak bener."

"Pa, ini mamaku." Serak, suara itu menggema. Air matanya mengalir pilu. "Yang mengandung dan melahirkanku. Nggak mungkin aku jauhi Mama karena—"

Dor! Dorr! Dorrr!

Bunyi tembak bersahut-sahutan. Nadya menoleh panik, wajahnya pucat pasi. Tepat di halaman rumahnya, kakek dari pihak ayahnya berdiri tegap—didampingi beberapa bodyguard yang tak kalah sangar. Nadya mengernyit tidak paham. Tapi sepengetahuannya, pria berumur itu tidak merestui hubungan ayah dan ibunya. Berkali-kali Guntur memintanya agar tinggal di rumah megah pria itu, namun Nadya lebih memilih orang tuanya, terutama ibunya.

Tapi hari ini ....

Nadya memeluk ibunya sambil menitikkan air mata.

"Bawa cucu saya ke mobil!" Titah mutlak itu dilontarkan sang walikota, bergegas para bawahan pria senja itu mengindahkan. Menyeret paksa Nadya dan yang diseret berusaha melepaskan diri, sampai menggigit pergelangan tangan salah seorang bodyguard sang kakek. Tak tanggung-tanggung, Nadya juga menendang aset berharga pria yang kira-kira usianya delapan tahun lebih tua darinya.

Bodo amat.

Nadya nggak peduli.

"Nadya, kamu ikut Kakek," bujuk Indra. "Nanti Papa nyusul."

"Nggak, Pa. Aku nggak mau," tolak Nadya.

"Nadya ...." Suara Indra terdengar tajam di telinga.

"Pa, aku nggak bisa ninggalin Mama." Air mata Nadya terus mengalir.

"Nadya, tolong ... nurut sama Papa ya, Nak?" Indra memohon.

Nadya menggeleng. "Nggak, Pa. Maaf."

Sementara bodyguard yang mengunci kedua tangannya—yang tadi ia lukai fisiknya, kembali bergerak—memaksa Nadya agar ikut dengannya. Dan lagi-lagi Nadya berontak, tapi suara khas laki-laki itu berhasil meluluhkan hatinya. Fajar namanya. Berbisik tepat di telinganya. "Saya tahu kamu nggak mau pisah sama Bu Vina. Karena itu, jangan mempersulit situasi. Saya bakal bantu kamu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status