Share

Bab 6 | Ingatan

Nadya bersumpah akan membuat hidup Naka lebih kacau dari hidupnya!

Menyudahi perdebatan dengan menerima tawaran bosnya—walau amat sangat terpaksa, disinilah Nadya sekarang; di apartemen Naka yang luasnya seolah mengejek kosan yang ia tinggali. Nadya mengesah, iris hazelnya terlempar ke arah Naka yang berdiri di sebelahnya dengan satu tangan dimasukkan ke saku.

"Welcome to my apartment," ujar Naka, memberi sambutan.

"Tapi Bapak nggak tinggal di sini juga, 'kan?" tanya Nadya, memastikan.

"Loh, ya iya dong!" decak Naka, otomatis Nadya melotot. "Kalau saya nggak tinggal di sini, buat apa saya sewa apartemen?"

Nadya makin melotot. "Pak!"

Naka tertawa. "Nad, kamu ini janda rasa perawan ya?"

"Sekali lagi Bapak nyinggung status saya, saya resign dari kantor!" ancam Nadya.

"Eits, konsekuensi untuk kamu; resign dari kantor, berarti nikah sama saya!" timpal Naka yang berhasil menyulut emosi Nadya menjadi berkali-kali lipat. Naka menyeringai menang. "Deal?"

"Bodo amat! Huss, pergi sana!"

"Oke." Naka mengedikkan bahu, lalu balik badan. Tapi sebelumnya pria tiga puluh empat tahun itu melayangkan kiss bye untuk Nadya yang seketika berakting mual. "See you, By."

***

Delapan tahun yang lalu ....

Mengikuti intruksi Fajar, Nadya mengindahkan perintah sang kakek. Namun selama tinggal di sana, dia tidak diperlakukan laiknya keluarga. Bahkan ketika sarapan atau makan malam, neneknya yang gila hormat itu hanya memanggil para sepupu Nadya, sedangkan Nadya ... terserah mau ikut makan atau tidak.

Nggak ada yang peduli.

Kecuali kakeknya.

Selain itu, setiap ada acara penting yang melibatkan seluruh anggota keluarga Adiwangsa, neneknya yang selalu repot memilihkan baju, tak pernah memperhatikan pakaian apa yang akan dikenakan Nadya nantinya. Selalu kakeknya yang turun tangan, mengomel dari A sampai Z dulu, baru orang-orang melirik Nadya, termasuk ayahnya.

Nadya adalah apa yang tak diharapkan orang-orang.

Padahal sebelum pertengkaran hebat antara kedua orang tuanya, hidup Nadya adem-ayem, meskipun Nadya nggak pernah tahu siapa keluarga dari pihak ayah dan ibunya. Yang dia tahu dia punya orang tua utuh yang selalu menyayanginya sepenuh hati. Dia juga tidak pernah mendengar atau melihat ayah dan ibunya bertengkar, sekecil apa pun masalahnya. Nadya merasa hidupnya sudah sangat sempurna.

Walau dulu ayahnya sering pergi dinas ke luar kota, yang ada di kepala Nadya cuma satu; ayahnya bekerja untuk keluarga. Toh, ibunya juga selalu bilang supaya Nadya tidak merecoki ayahnya. Dan Nadya menurut saja.

Kembali pada tokoh Nadya, hampir satu tahun tinggal di sini, Nadya sadar bahwa dirinya betul-betul tak diharapkan, bahkan oleh ayah kandungnya sendiri. Pria yang dulu dia anggap sebagai pahlawan setiap kali mendapat omelan dari sang ibu, yang dia pandang laiknya hero, kini bak orang asing yang kebetulan seatap dengannya.

Membuang napas, Nadya membawa langkahnya ke lantai bawah, bergabung makan malam karena tadi kakeknya sempat menghampirinya ke kamar. Tak enak jika ia menolak. Dan tepat di anak tangga terakhir, Fajar muncul dari arah dapur. Bersitatap dengan iris hazelnya.

Pemuda berusia dua puluh enam tahun itu melengkungkan senyum tipis.

Ah, selain kakeknya, keluarga Fajar pun menerima kehadirannya.

Omong-omong ayah Fajar tangan kanan kakeknya dan Fajar sekeluarga sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga Adiwangsa. Mereka juga diberi tempat tinggal berikut fasilitasnya. Tapi berhubung Fajar dipercaya untuk menghandle salah satu anak perusahaan Adiwangsa Group, jadi laki-laki itu sering mampir ke sini.

Nadya mendekat. "Sibuk nggak?"

"Nggak. Kenapa?"

"Temenin jalan-jalan, bisa?"

Fajar tidak pernah menolak ajakkan Nadya, itulah kenapa Nadya merasa nyaman dan senang. Termasuk permintaannya barusan yang diindahkan Fajar lewat anggukkan. Maka selepas makan malam, Nadya pamit untuk jalan-jalan sebentar. Dan kakeknya mengizinkan.

Seperti biasa, Nadya yang suka keramaian mengajak Fajar ke pasar malam. Berburu rambut nenek dan jajanan ringan lainnya, sambil menikmati suasana malam. Fajar terlihat kaku karena laki-laki itu tidak pandai bersosialisasi dengan cara santai, sesederhana Nadya yang menyapa orang-orang di sekeliling dengan senyum serta anggukkan kecil.

"Kamu kenal mereka?" tanya Fajar, menaikkan sebelah alis.

Menoleh, Nadya menggeleng seraya nyengir kuda. "Enggak."

Mereka duduk di dekat area bianglala.

"Terus kenapa kamu sapa?"

"Asal lo tahu ya, Mas, nyapa orang tuh nggak harus kenal dulu."

"Itu namanya sok kenal!" timpal Fajar, datar.

Bukannya tersinggung, Nadya malah tergelak. Ia geplak lengan Fajar tapi yang digeplak sama sekali nggak peduli, bahkan nggak ngerasa sakit. "Lah, buat apa kenal kalau akhirnya jadi asing lagi?" selorohnya, tak mampu menyentil kebekuan Fajar. "Eh, serius deh, lo dah punya pacar pa belom sih, Mas? Gue perhatiin lo kerja mulu. Emang nggak bosen ya?" singgung Nadya, menyeruput jus alpukat favoritnya.

"Kamu mau nikah sama saya?"

Pertanyaan Fajar sukses bikin Nadya tersedak jus alpukat, hingga tumpah ke celana jinsnya. Bergegas Fajar mengambil sapu tangan dari saku jaketnya, membersihkan paha Nadya. "Maaf ya, saya bersihin."

Nadya tidak menjawab, ia tampak tertegun dengan cara Fajar memperlakukannya. Ck, laki-laki ini memang selalu sopan. Tidak pernah lupa mengucapkan kata tolong, maaf, dan terima kasih. Malah dibanding Nadya, akhlak dan etika Fajar jauh lebih baik.

Selesai membersihkan tumpahan di celana jins Nadya, Fajar kembali menatap gadis itu dan mengulang, "Gimana? Kamu mau nikah sama saya?"

"Tap—"

"Saya cuma butuh jawaban iya atau enggak," potong Fajar, tegas. "Kalau kamu terima saya, besok saya bilang ke ayah dan kakekmu. Tapi kalau enggak, kita jaga jarak."

"Jadi lo nggak tulus deket sama gue?"

"Saya mau hubungan kita pasti."

"Jelas, 'kan? Lo orang kepercayaan—"

"Saya cinta sama kamu," penggal Fajar lagi.

Yang lagi-lagi bikin Nadya sok. "Tapi jarak umur kita lumayan jauh." Mereka beda delapan tahun. Tidak hanya penampilan, secara pola pikir pun mereka kerap berselisih paham, walau pada akhirnya Fajar yang harus banyak-banyak sabar. "Tiap sama lo aja, gue sering dikira ponakan."

"Nanti saya bilang ke orang-orang kalau kamu calon istri saya."

Kali ini Nadya tertawa. Segaring inilah orang kepercayaan kakeknya.

"Jadi?" desak Fajar, menuntut jawaban sekarang juga.

"Ya tapi nggak langsung nikah dong, Mas. Gue aja baru delapan belas tahun."

"Oke, pacaran."

***

Terkilas balik dongeng manisnya bersama Fajar Antariksa. Nadya mendesah panjang. Dulu, Fajar adalah semestanya. Labuhan terbaik di setiap ketakutannya. Bersama laki-laki itu, Nadya merasa nyaman. Ia tidak lagi cemas. Sebab Fajar dan ketepatannya dalam menghadapi situasi, selalu bisa diandalkan. Nadya bersyukur dihadirkan Fajar di hidupnya.

Sayang, setelah pernikahan berlangsung, Nadya tak diperlakukan laiknya istri. Namun, laki-laki itu juga tidak menyakiti fisiknya. Fajar justru menjadi asing baginya. Ia datang dan pergi sesuka hati, bahkan janji untuk mempertemukannya dengan sang ibu pun teringkari.

Fajar hanya mempermainkannya demi saham dari keluarga Adiwangsa.

"Mas, katanya Mas mau nganterin aku ketemu Mama."

"Jangan, Nad. Kalau Mas antar kamu, kamu yang akan kenapa-napa."

"Kenapa?"

"Jangan pokoknya."

Nadya menunduk, kepingan memori silam berputar tanpa jeda.

"Kenapa kamu nekat nemuin ibumu?! Kamu nggak denger apa kata Mas?"

"Sebenernya apa yang Mas rencanain?! Aku cuma pengin lihat kondisi Mama!"

"Nadya, kalau Mas bilang jangan, ya jangan! Ayo, pulang!"

"Tapi, Mas—"

Dor! Dorr! Dorrr!

Suara pistol meledak bersahut-sahutan. Nadya memejam, teringat kakeknya beserta para bodyguard pria itu kala menyusulnya ke rumah sakit. Well, ternyata Vina mengidap leukimia. Salah satu penyesalan terbesar bagi Nadya karena baru tahu kondisi ibunya.

"Tembak perempuan itu, tapi jangan lukai cucu saya!" perintah Guntur.

Dan riuh tembakkan balik menggema, melemparnya pada insiden menyilukan di masa-masa remajanya. Nadya menjatuhkan air mata. Terkenang bagaimana para bodyguard kakeknya dengan brutal berusaha melenyapkan ibunya dan sekuat tenaga, wanita itu berlari menjauh. Lalu tanpa intruksi dari siapa-siapa, tiba-tiba salah seorang anak buah Guntur mengarahkan pistol ke figur Nadya.

Menyadari itu, Fajar langsung menarik Nadya ke dalam dekapan, membelakangi kawan sejawatnya, sebelum ia layangkan balik pistol ke arah laki-laki itu.

"Berani kamu lukai perempuan ini, kamu berurusan sama saya!"

"Apa untungnya kamu ngelindungin dia? Ayahnya aja nggak peduli."

"Dia ... istri saya."

Rasa hangat menjalari sanubari, mengenang pengakuan Fajar. Nadya meringis.

"Istri?"

Pernikahan mereka dilangsungkan secara tertutup dan hanya keluarga inti saja yang tahu. Namun, menikah tak seistimewa yang Nadya bayangkan. Di hari pernikahannya, tak ada yang spesial, kecuali kesungguhan Fajar dan ... air mata haru sang kakek.

Nenek, sepupu, om, tante, dan keluarganya yang lain tampak sangat terpaksa hadir di sana.

Bahkan ayahnya lebih memilih pergi dengan wanita lain.

Menepis getir yang suka seenaknya mampir,  Nadya mengusap air matanya dan mencoba berdiri tegar lagi. Dia harus kuat, tidak boleh mengingat-ingat apa yang seharusnya dia buang jauh-jauh. Toh, ibunya sudah bahagia di surga-Nya. Jika dia terus-terusan mengungkit luka, pasti ibunya tidak akan tenang di sana.

Nadya mengembuskan napas panjang dan berat.

Sesak itu benar-benar terasa.

Lantas, terinterupsi oleh getar ponselnya. Pesan masuk dari Naka.

Mendadak senyum gelinya terukir.

Dasar bos gendeng!

-------

nggak bisa untuk nggak update lagi. wkw. ya udin, mumpung eike lagi rajin, nikmatin aja yah.

next nggak?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status