"Ma, aku udah nyampe Bandara. Mama posisinya di mana?"
"Telat! Mama udah dijembut Chava," sahut Mala yang sengaja diloudspeaker Naka agar Nadya bisa mendengar.Naka mengernyit bingung. "Chava?" ulangnya."Iyaaa, Chava. Masa lupa sama adek sendiri. Gimana sih kamu ini?!""Mama di Palembang?""Hm.""Ngapain minta jemput aku, Mama?!" Naka mulai naik pitam, sedang Nadya di sampingnya tampak menahan tawa. "Malang ke Palembang jauh loh, Ma!""Loh, kamu di Malang?""Lih, kimi di Miling?" tiru Naka dengan nada mencibir.Terdengar gelak tawa dari seberang. "Ya maap. Mama kira kamu tugas ke Palembang, makanya Mama nyusul, sekalian jenguk adekmu.""Mama tahu nggak? Mama memangkas tiga puluh menit waktu kencanku!""Biarin!" balas Mala, meledek.Naka mendengkus. "Ya udah, aku matiin ya?""Eh, eh, bentar!" tahan Mala."Apa lagi sih, Ma?!" decak Naka."Kasihin hape kamu yang lebih murah dari hape Mama itu ke Nadya," titah Mala. Dengan malas, Naka mengindahkan. Nadya menerima ponsel tersebut lalu menyapa ibu dari bosnya tanpa ditempelkan ke telinga. "Nad, Tante nitip anak Tante ya? Jewer aja ginjelnya kalau genit-genit ama cewek.""Ya elah, Ma, aku genitnya cuma sama Nadya kali!"Nadya melotot—memperingati.Sayang, bosnya enggan peduli."Pokoknya kalau bosmu itu pecicilan di sana, viralin aja. Biar digebukkin orang-orang Malang."Nadya tidak mampu membendung tawa gelinya."Ya udah, itu aja. Makasih, Nad.""Sama-sama, Tan." Begitu panggilan terputus, Nadya mengembalikan benda pipih berlogo apel tergigit tersebut ke sang pemiliknya. Diterima Naka. "Tuh, denger 'kan apa kata ibunya Bapak!""Ck! Orangnya nggak tahu ini," abai Naka. "Sekarang kamu temenin saya ketemu Felice ya?""Gebetan baru?""Iya dong." Naka mengedipkan sebelah mata genit.Dan Nadya cuma bisa mendesah pasrah.***Ada dua hal yang paling Nadya benci; menunggu dan ditinggalkan. Apalagi nungguin bosnya kencan. Ingin rasanya Nadya cosplay jadi cupang, biar nggak sakit mata saben hari lihat bosnya sayang-sayangan macem ABG yang lagi puber.Nadya memutar mata, ia duduk di bangku seberang, mendengar ocehan Naka dan pacarnya."Jadi, kapan kamu kenalin aku ke orang tuamu?" tagih wanita berwajah bule dengan rambut pirang yang membuat Nadya serasa kebanting, karena kalah cantik. "Meskipun baru dua minggu kita pacaran, tapi aku udah klik sama kamu. Aku ngerasa kamu lebih bisa manjain aku."Cih!Nadya mendecih. Jelas bosnya berani keluar duit berapapun. Tu cewek nggak tahu aja kalau di belakangnya, diam-diam Genaka juga sering ngeluarin sesuatu demi kenikmatan. Nadya mendengkus geli, kepalanya menggeleng tak habis pikir. Serusak itulah bosnya. Kebetulan aja ketutup sama ketampanan dan kekayaan yang melimpah ruah."Nggak sekarang.""Terus kapan?"Naka mendesah, melirik Nadya yang dengan raut nengejek menyeruput jus alpukat favoritnya."Sayang!" seru Felice, sebal, ketika menyadari arah pandang Naka yang lagi-lagi tertuju ke arah Nadya. "Kamu kenapa sih madep sekretarismu terus? Emang aku kurang apa?""Kurang seksi! Jadi, kita putus aja," tukas Naka, lalu bangkit, dan menghampiri Nadya. Pria itu menarik tangan sekretarisnya, otomatis yang ditarik bangkit. Naka peluk pinggang Nadya dengan posesif. "Oh ya—" Menoleh ke Felice, "—sebenernya aku nemuin kamu karena mau bilang; aku mau nikah sama Nadya."Setelah itu, tepat di depan mata Felice, Naka mencium bibir Nadya sekilas.Iya, mencium!Nadya melotot."Ayo, By!" ajak Naka, membawa sekretarisnya pergi dari hadapan Felice yang seketika termangu syok. Hingga langkah mereka tiba di parkiran kafe, Nadya dengan sekuat tenaga menyikut perut Naka, praktis pelukan pria itu terhela. Bibirnya mengaduh. "Barbar banget sih kamu!""Bapak ngapain coba bilang kayak gitu?" protes Nadya, tidak terima."Malah tadi saya mau bilang kalau kamu lagi hamil anak saya," kata Naka, memegangi perut yang barusan kena sikut. Nadya melotot—lagi. "Udah dong, jangan galak-galak sama saya. Lagian, di dalam kamus percintaan saya; pacaran tidak boleh lebih dari dua minggu. Kalau perempuan itu bertahan sama saya selama lebih dari dua minggu, konsekuensinya dia harus jadi istri saya." Jeda, ia sejajari wajah Nadya, lalu menghampiri telinga perempuan itu dan berbisik, "Dan berlaku juga buat perempuan yang selalu nemenin saya.""Maksudnya saya?" pekik Nadya.Bibir Naka melengkungkan senyum nakal. "Yes."Nadya membulatkan mata, kepalanya menggeleng panik. "Ogah! Amit-amit!"Naka tertawa ketika Nadya melangkah menjauh sambil merapalkan doa. Setelahnya, ia susul sekretarisnya itu. "Di luar sana emang banyak cewek cantik dan seksi yang jago muasin saya di ranjang, tapi.cewek galak dan jijik sama saya cuma kamu, Nad. Dan nggak tahu kenapa, itu justru bikin saya tertarik."***Akhirnya mereka tiba di Jakarta.Tapiiii ... Nadya kembali dibuat sakit kepala oleh bos sintingnya itu. Naka tidak main-main meminta Nadya tinggal di apartemennya. Sebab sesampainya di kosan, Budhe Ratih alias pemilik kosan, menyambutnya dengan senyum ceria seraya berkata, "Kamu tu beruntung banget lho, Nad, punya calon suami tajir kayak Pak Naka.""Maksudnya, Budhe?""Ihh, pura-pura nggak tahu deh!" cebik Budhe Ratih.Nadya makin bingung karena emang betulan nggak tahu."Kemaren orang-orang suruhannya Pak Naka ambil barang-barangmu. Katanya, kamu mau nikah ya sama bosmu itu?" Penjelasan Budhe Ratih diakhiri dengan tanya. Nadya sudah menyiapkan mantra untuk mengutuk Naka. "Selamat ya. Tapi omong-omong, kamu nggak main ilmu hitam, 'kan?""Makasih, Budhe. Permisi," pungkas Nadya, pamit.Genaka Diwangkara, playboy kelas buaya yang akhir-akhir ini membuat hidup Nadya makin nggak keruan. Selain kerjaan yang tambah-tambah, ni buaya atu juga mulai mengusik ketenangan hidup Nadya Aurora. Padahal Nadya sengaja hidup sederhana agar tidak lagi dikait-kaitkan dengan kakeknya yang bergelut di bidang politik, juga ayahnya yang kini menjabat sebagai gubernur. Nadya ingin lepas dari bayang-bayang nama Adiwangsa.Sekelompok orang-orang jahat yang sialnya sedarah dengannya.Nadya benci takdir.Kenapa dia harus digariskan sebagai bagian dari Adiwangsa?Membuang napas dengan gusar, kakinya diayun meninggalkan area kosan. Perempuan itu meluncur menuju apartemen bosnya. Tapi baru sampai depan gang, netra hazelnya menemukan Naka berdiri tegap di sana dengan sebelah tangan disembunyikan ke saku celana."Gimana? Udah siap?""Mau Bapak tuh apa sih?!" sembur Nadya, jengkel."Kamu—" Satu tangan Naka yang nganggur menunjuk Nadya, "—tinggal di apartemen saya. Simpel, 'kan?""Pak, saya ini cuma sekretaris. Nggak seharusnya Bapak berlebihan kayak gini.""Oh, enggak," elak Naka, menggelengkan kepala. Tangan yang semula menunjuk Nadya, turut dimasukkan ke saku sebelah. "Saya minta kamu tinggal di apartemen saya, biar kamu nggak perlu bayar uang kosan.""Terus saya bayar tumpangan apartemen Bapak dengan apa? Jadi budak Bapak selamanya?""Kalau kamu nggak keberatan, why not?" timpal Naka, enteng.Nadya mendengkus. "Sayangnya saya keberatan.""Ya udah, kalau gitu anggap aja tumpangan dari saya sebagai bentuk apresiasi.""Tapi saya nggak percaya sama Bapak!" tandas Nadya, ketus."Ya, ya, ya." Naka manggut-manggut, sama sekali nggak tersinggung."Sekarang saya mau ambil barang-barang saya!""Barang yang sudah masuk ke apartemen saya, tidak bisa diambil lagi."Nadya melotot. Ni buaya satu emang minta diviralin!Nadya bersumpah akan membuat hidup Naka lebih kacau dari hidupnya!Menyudahi perdebatan dengan menerima tawaran bosnya—walau amat sangat terpaksa, disinilah Nadya sekarang; di apartemen Naka yang luasnya seolah mengejek kosan yang ia tinggali. Nadya mengesah, iris hazelnya terlempar ke arah Naka yang berdiri di sebelahnya dengan satu tangan dimasukkan ke saku."Welcome to my apartment," ujar Naka, memberi sambutan."Tapi Bapak nggak tinggal di sini juga, 'kan?" tanya Nadya, memastikan."Loh, ya iya dong!" decak Naka, otomatis Nadya melotot. "Kalau saya nggak tinggal di sini, buat apa saya sewa apartemen?"Nadya makin melotot. "Pak!"Naka tertawa. "Nad, kamu ini janda rasa perawan ya?""Sekali lagi Bapak nyinggung status saya, saya resign dari kantor!" ancam Nadya."Eits, konsekuensi untuk kamu; resign dari kantor, berarti nikah sama saya!" timpal Naka yang berhasil menyulut emosi Nadya menjadi berkali-kali lipat. Naka menyeringai menang. "Deal?""Bodo amat! Huss, pergi sana!""Oke." N
Kalau ada orang kaya yang butuh anak perempuan, Nadya siap mendaftar paling depan! Sungguh, perpisahan kedua orang tuanya tidak hanya meninggalkan patah, tetapi juga serentetan tagihan. Serius, Nadya pengin cosplay jadi Vicky Prasetyo waktu ngelamar Angel Lelga. Terjun dari pesawat tanpa pengaman. Biar mati sekalian!Hari masih terlalu pagi ketika pintu kamar kosnya diketuk dengan tidak beradab. Nadya mendesah. Ada dua jawaban; kalau nggak Ibu Kos yang nagih uang bulanan, ya rentenir atau debt collector. Tapi ternyata dugaannya salah. Yang datang cowok ganteng berpenampilan ala CEO yang sering Nadya baca di novel.Alamak, bosnya!"Bapak ngapain ke sini?" tanya Nadya.Naka menaikkan sebelah alis. "Mau mandiin kamu, biar nggak telat.""Eh?" Nadya melotot."Kamu lupa?" Naka melipat kedua tangannya di depan dada, "Hari ini kita ada schedule ke Malang untuk proyek baru."Bego!Nadya menepuk jidat. "Oh, iya! Aduh, Pak, maaf. Bapak nunggu di luar ya? Saya mau mandi, terus siap-siap. Janji ng
Sejak kedua orang tuanya berpisah, Nadya memutuskan hidup mandiri. Toh, nggak ada yang bisa diandalkan juga. Dan pula, perempuan yang menghiasi netranya dengan kacamata itu sudah nyaman dengan kesendiriannya, walau sesekali ia butuh sosok lain untuk berbagi. Yeah, beginilah hidup; tak ubahnya cuaca yang sulit diprediksi.Setibanya di hotel, Nadya memesan satu kamar sesuai perintah bos sintingnya itu. Naka tersenyum lebar ketika Nadya melempar tatapan galak ke arahnya. Lalu dengan entengnya pria itu berkata kepada resepsionis. "Emang gini, Mbak, kalau kerja bareng istri."Istri istri matamu itu!Nadya bersungut dalam hati.Mereka memasuki kamar hotel. Nadya agak ragu sebenarnya, mengingat reputasi Naka yang jago main di ranjang. Perempuan itu bergidik ngeri membayangkan dirinya sekamar dengan Naka. "Pak," panggilnya kemudian. Naka yang baru saja melepas kacamata menoleh. "Saya tidur di mobil aja deh.""Mobil siapa?" tanya Naka, menaikkan sebelah alis.Sontak Nadya menepuk jidat kala me
"Fajar?""Nadya?""Kalian saling kenal?"Waktu seakan terhenti. Sosok yang ingin ia lupakan datang lagi. Berdiri tepat di hadapannya—dengan segudang pencapaian. Nadya meringis samar, kepalanya digelengkan. Tidak. Dia harus kuat, sekalipun kekecewaan itu enggan minggat. "Silakan duduk," ujarnya, berusaha profesional.Pria bernama Fajar itu mengangguk, lalu mengindahkan.Diikuti wanita cantik yang tak lain adalah sekretaris mantan suami Nadya."Maaf, membuat Anda menunggu lama," kata Fajar, memulai obrolan.Naka menggeleng pelan. "Ah, santai saja." Tersumir senyum tipis di bibirnya. "Justru dengan begitu saya bisa berduaan sama sekretaris saya yang galak ini." Melirik Nadya yang seketika mendelik tajam, Naka sama sekali nggak takut. "Oh ya, Pak Fajar dan Bu Nina mau pesan apa?""Apa saja," jawab Fajar.Segera Nadya memesankan minum untuk partner-nya."Sambil menunggu sekretaris saya, kita mulai saja ya?"Fajar mengangguk.Dan meeting pun dimulai.***Naka terpingkal-pingkal setelah tahu
"Iya, Pak?""Hari ini kita ada schedule ketemu mantan suami kamu."Nadya memutar mata selagi tangannya sibuk memakai heels dan mengapit ponsel diantara bahu dan telinga. "Iya, Pak. Saya tahu.""Nad, mending kita tuker posisi. Kamu bosnya, saya sekretarisnya."Terbit ringisan di bibir Nadya. Sadar bahwa dirinya tidak profesional. "Maaf, Pak.""Kamu ini minta maaf mulu, belom juga lebaran."Nadya bangkit seraya meraih tas brandit pemberian Naka dua bulan lalu. Berjalan keluar. "Lah, daripada saya minta dipecat, ntar Bapak repot lagi. Kan yang tahan sama Bapak cuma saya." Terdengar tawa dari seberang. Nadya mendesah begitu membuka pintu dan menemukan bosnya berdiri di depan pintu. Nadya menarik ponselnya dari telinga, lalu mematikan panggilan. Iris hazelnya memindai penampilan Naka yang tampak santai. Kaos hitam polos dipadu celana jins dengan warna senada. Mirip orang lagi healing. Padahal Nadya berpakaian rapi ala.sekretaris pada umumnya. "Astagfirullah, Pak. Bapak mau piknik atau kerj