Share

Bab 2 | Bukan Pria Idaman

Sejak kedua orang tuanya berpisah, Nadya memutuskan hidup mandiri. Toh, nggak ada yang bisa diandalkan juga. Dan pula, perempuan yang menghiasi netranya dengan kacamata itu sudah nyaman dengan kesendiriannya, walau sesekali ia butuh sosok lain untuk berbagi. Yeah, beginilah hidup; tak ubahnya cuaca yang sulit diprediksi.

Setibanya di hotel, Nadya memesan satu kamar sesuai perintah bos sintingnya itu. Naka tersenyum lebar ketika Nadya melempar tatapan galak ke arahnya. Lalu dengan entengnya pria itu berkata kepada resepsionis. "Emang gini, Mbak, kalau kerja bareng istri."

Istri istri matamu itu!

Nadya bersungut dalam hati.

Mereka memasuki kamar hotel. Nadya agak ragu sebenarnya, mengingat reputasi Naka yang jago main di ranjang. Perempuan itu bergidik ngeri membayangkan dirinya sekamar dengan Naka. "Pak," panggilnya kemudian. Naka yang baru saja melepas kacamata menoleh. "Saya tidur di mobil aja deh."

"Mobil siapa?" tanya Naka, menaikkan sebelah alis.

Sontak Nadya menepuk jidat kala mengingat sesuatu. Bego! Kan kita ke sininya naik taksi.

"Kamu mau tidur sama bapak-bapak tadi di taksi?" sindir Naka, menyeringai usil.

Nadya mendengkus. "Nggak lucu deh lawakan Bapak."

"Emang saya bukan pelawak," pungkas Naka, memutar tumit, dan berderap menuju kamar mandi hotel. "Nad, tolong pesenin makan. Saya laper," perintahnya setelah menutup pintu. "Oh iya, sekalian sama kamu ya, biar kuat."

Mendelik panik, tas di tangannya luruh. Nadya menggeleng takut. Apa ini?

"Pak, saya bisa bakar hotel ini kalau Bapak macem-macem," ancam Nadya.

Terdengar gelak tawa Naka, diikuti riuh gemericik air. "Bercanda, Nad. Galak banget sih kamu. Padahal udah hampir tiga tahun lho kerja sama saya. Tapi nggak apa-apa, deng. Saya suka cewek barbar kayak kamu. Lebih menantang."

"Genaka Mesum Diwangkara!"

***

Teman-teman perempuan Nadya yang tahu siapa bosnya, sering banget nitip salam bahkan makanan. Padahal Nadya yang bertahun-tahun kerja ama ni buaya satu, pengin banget resign dari PT. Diwangkara. Soalnya kerjaan Nadya nggak cuma ngurusin jadwal Naka doang, tapi juga nge-handle para sugar baby bosnya.

Tapi ....

Ada tapi-nya yang bikin Nadya terpaksa harus tahan dengan segala keberengsekan Naka, yaitu gaji yang ditawarkan. Ya, cuma Naka satu-satunya orang gila yang berani membayar tenaga Nadya sepuluh kali lipat dari gaji yang ia dapat sebelum-sebelumnya.

"Saya tuh heran sama kamu," celetuk Naka yang berjalan di samping Nadya.

Mereka memasuki lift untuk turun ke lantai dasar.

Nadya menoleh. "Heran kenapa, Pak?"

"Gaji kamu 'kan banyak, tapi, kenapa pilih tinggal di kosan jelek?"

Tidak segera menjawab dengan kalimat, namun senyum masam Nadya menjelaskan betapa terlukanya perempuan itu kala disinggung perihal tempat tinggal. Sayang, si buaya nggak peka. "Mungkin buat Bapak itu jelek, tapi bagi saya cukup. Karena rumah yang sebenarnya adalah tempat dimana kita merasa nyaman."

"Ya iya." Naka manggut-manggut, "Maksudnya, kenapa harus di sana? Saya yakin kamu nggak akan betah kalau sehari aja libur dan nggak ketemu saya."

Kali ini Nadya tertawa, tapi kepalanya mengangguk membenarkan. "Iya sih, nggak ada yang saya omelin."

"Emang kamu tuh kurang ajar!" timpal Naka, ikut tertawa.

Mereka keluar dari lift.

"Ck, enggak dong, Pak! Saya tuh berusaha tegas," dalih Nadya.

"Mana ada?" sewot Naka, "Malah kata mama saya, kamu tuh mirip istri yang hobi ngebawelin suaminya." Nadya langsung berakting mual. Naka tertawa. "Hati-hati, ntar ujungnya bucin ke saya."

"Ish, daripada saya bucin ke Bapak, mending saya nyari sugar daddy sekelas Om Dirgantara."

"Wah, ternyata selera kamu om-om ya?" cibir Naka.

"Kalau omnya sekelas Om Dirgantara, why not?" cengir Nadya, alih-alih tersinggung.

"Om Dirgantara siapa sih?" tanya Naka, dengan satu alis terangkat.

"Ck, makanya Bapak tuh jangan terlalu sibuk bercinta, sampe nggak tahu om-om pemersatu bangsa," cela Nadya yang emang ceplas-ceplos, sekalipun sama bosnya. "Lagian, Bapak nggak pengin nikah aja gitu? Daripada gonta-ganti temen kencan dan ngeluarin banyak duit, mending buat nafkahin istri Bapak. Lebih barokah."

"Kan tadi saya udah bilang gitu ke kamu."

"Ya tapi nggak saya juga dong, Pak!"

"Terus siapa? Mbak-mbak resepsionis itu?" Naka menunjuk resepsionis tadi dengan dagu.

Nadya mengikuti arah dagu Naka kemudian mengangguk. "Boleh juga."

"Tapi saya yang nggak mau."

Setelahnya obrolan terjeda. Nadya memesan taksi online. Sebenarnya bisa saja Naka meminta anak buahnya untuk menyiapkan mobil, tapi Naka lebih memilih merepotkan Nadya supaya sekretarisnya itu banyak kerja dan nggak bawel mulu.

Tak lama taksi pun mendarat tepat di hadapan mereka.

Naka membuka pintu belakang, mempersilakan Nadya.

Perempuan itu nyengir. "Makasih lho, Pak."

"Kurang baik apa saya sama kamu?" Naka masuk, duduk di samping Nadya.

Taksi melaju.

"Iyaaa, Bapak emang bos paling baek se-Jakarta."

"Oh iya, nanti tolong sampein ke mama, untuk nggak usah nyusul. Saya males dikenal-kenalin sama anak temennya," pesan Naka, disambut tawa geli Nadya. Pria itu mencebik. "Nggak usah ketawa. Gini-gini saya pemilih."

"Bukannya semua cewek Bapak pilih ya?"

"Termasuk kamu?" Naka menaikkan sebelah alis.

"Mulai!" dengkus Nadya, lalu mengoper topik. "Setelah meeting dengan Pak Fajar, kita ada janji makan malam dengan Pak Yudhi, bupati Malang," ujarnya, menjelaskan schedule Naka hari ini. "Bapak sanggup, 'kan?"

"Asal ditemenin kamu, gas aja!"

***

Genaka Diwangkara, pewaris tunggal PT. Diwangkara. Pria berusia tiga puluh empat tahun yang sampai hari ini masih menyandang status sebagai playboy itu, belum berniat melepas masa lajang karena dulu ia sempat mencintai satu perempuan dengan sepenuh hati, tapi ternyata perempuan itu malah mengkhianati. Lalu Naka menganggap semua perempuan sama dan menjadikan mereka sebagai mainan, kecuali Nadya Aurora.

Perempuan itu sama sekali tak tertarik dengannya!

Malah hobi sekali mengomelinya.

Heran.

Naka tersenyum, menatap Nadya yang sibuk menyeruput jus. "Cantik."

"Hm?" Perhatian Nadya tertuju pada Naka.

"Itu ... lampunya cantik," dalih Naka, mengedikkan dagu ke arah lampu warna-warni yang menghiasi kafe. Nadya manggut-manggut, lanjut menyeruput jus. "Kamu beneran belom punya pacar ya, Nad?" Fokus Nadya kembali pada Naka, kepalanya mengangguk. "Makanya kamu tu jangan galak-galak. Cowok jadi takut 'kan ngedeketin kamu."

"Ya kalau cowoknya kayak Bapak wajib banget digalakin lah!" timpal Nadya, sewot.

Naka tertawa. "Tuh, 'kan."

"Lagian ya, Pak, di umur saya yang segini udah nggak ada waktu buat pacar-pacaran. Ribet dan merepotkan," cerocos Nadya. "Bayangin aja, tiap ketiduran, besoknya harus jelasin; kenapa chat-nya nggak dibales, terus mesti minta maaf segala. Aduh, nggak deh." Bergidik, bibirnya melanjutkan, "Enak sendiri. Bebas. Sekali nemu pasangan, langsung gas ke pelaminan."

"Emang tipe kamu yang kayak gimana sih?" pancing Naka.

"Yang pasti nggak kayak Bapak," jawab Nadya.

"Saya lagi yang kena!" dengkus Naka.

Memancing tawa Nadya. "Soalnya Bapak tuh apa yang nggak saya harapkan."

Naka hendak membalas, tapi vokal berat seseorang keburu menginterupsi. Dengan kompak, sepasang bos dan sekretaris itu bangkit. Berniat menyalami sang partner, namun sosok tampan yang menghiasi pandangan, justru membuat Nadya mematung seketika. "Fajar?"

"Nadya?"

"Kalian saling kenal?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status