Angin malam berhembus perlahan......
Menembus pori-pori kulit seorang wanita yang tengah terpekur lama menatap jalanan ibu kota yang cukup ramai.
Langit malam nampak gelap tertutup kabut.
Rembulan yang biasanya menyinari bagian belahan bumi, Kini nampak muram. Cahaya titik bintang yang bertaburan seperti malam-malam sebelumnya, kini tak lagi terlihat.
Menyembunyikan sinar yang sejatinya sangat terang.
Andhini Shakira........
Wanita berusia 20 tahun itu menatap nyalang langit yang demikian gelap nan bermuram durja, Sama dengan hatinya yang bergejolak penuh keraguan dan kekecewaan.
Perlahan namun pasti,
Butiran kristal cair itu tak urung jatuh jua.....
Membawa kepedihan yang mendalam, mendeklarasikan pada dunia bahwa dirinya...... tengah berduka.
Menjadi simpanan seorang pria yang cukup mapan, bukanlah pilihannya.
Ada kehidupan ibu dan adiknya di kampung yang harus ia penuhi. Belum lagi biaya sekolah yang tak bisa di katakan murah.
Ayahnya telah lama berpulang ke pangkuan ilahi. Mewariskan segudang hutang yang harus ia lunasi.
Bukan tanpa alasan....
Penyakit jantung ayahnya demikian akut, hingga membuat keluarganya harus berhutang pada koperasi setempat di kampungnya.
Jumlahnya pun jauh dari kata sedikit.
Dering ponsel demikian nyaring di telinganya.
Ia memandang ponselnya dengan tatapan nanar. Dengan gemetar, salah satu jemarinya terulur untuk mengangkat panggilan dari ibunya.
"Assalamualaikum..."
Suara ibunya mengalun lembut terdengar di telinganya.
Sayangnya, Dhini tak memungkiri bahwa ada kepedihan pada nada suara ibunya kali ini.
"W*'alaikum salam, ibu".
Dhink terisak perlahan.
Air matanya meluruh seiring dengan tangisan sang ibu. Hening beberapa saat hingga suara ibu Dhini kembali terdengar.
"Cukup, nak. Jangan menangis lagi.
Maafkan lah ibu yang tak bisa melindungi mu dan menjadi ibu yang baik untuk anak-anak ibu."
"Tidak, Bu. Dhini yang salah."
"Ssttt..... Jangan menangis lagi, ya.
Ibu janji akan menyusul dan menjemputmu ke kota. Kita pulang ke desa dan kita rawat anakmu bersama-sama.
Hanya satu yang ibu pinta......
Kau tak boleh putus asa.
Kau boleh terluka, tapi jangan sampai menyakiti apalagi melenyapkan darah dagingmu sendiri.
Mengerti?"
Andhini semakin terisak pilu.
"Andhini tak ingin melakukan hal bodoh, Bu.
Mana mungkin Dhini tega menyakiti darah daging Dhini sendiri?
Dan Dhini......
Harus mendatangi mas Akmal.
Bila perlu, Dhini sendiri yang akan bicara dengan istri mas Akmal.
Dhini tak mau di cerai begitu saja karena mas Akmal tak menginginkan bayi ini.
Meski Dhini seorang simpanan, tapi Dhini juga istrinya. Istri yang sah di mata agama"
"Tunggu ibu. Ibu yang akan mendampingimu untuk ke sana".
"Tidak, Bu. Bila memang kisah ini harus berakhir, Dhini sendiri yang akan mengakhirinya. Karna dulu, Dhini lah yang memulai".
Dhini memutuskan panggilan sepihak.
Maka, dengan langkah pasti, dirinya bersiap untuk pergi ke kediaman Akmal.
Biarlah.....
Biarlah hari ini ia mengambil keputusan.
Lima bulan.
Lima bulan bukan waktu yang sebentar untuk Dhini yang di abaikan Akmal.
Saat mengetahui Andhini mengandung dua bulan, Akmal memintanya untuk menggugurkan kandungannya.
Tak sampai di situ. Andhini menolak dengan tegas apa yang di minta Akmal.
Hingga membuat Akmal menjatuhkan talak saat itu juga. Meninggalkan Dhini yang sedang hamil muda. Tanpa peduli akan kehancuran hati yang selama ini mencintainya dengan sepenuh hati.
Dan yang lebih membuat harga diri seorang Andhini luruh, Akmal memberi sejumlah uang untuk biaya aborsi.
Hati wanita mana yang tak hancur?
Mematut dirinya sekali lagi di cermin, Andhini memantapkan niatnya kali ini.
Bayinya akan lahir sekitar dua setengah bulan lagi. Dan andhini tak ingin melahirkan bayi tanpa sosok ayah.
Menghembuskan nafas perlahan, ia kemudian beranjak menuju mobilnya yang terparkir rapi di garasi rumahnya yang minimalis.
Mobil melaju perlahan menuju kediaman Akmal.
Berjuta sakit, kecewa bahkan gundah gulana meneriakkan kepedihan tanpa ukuran.
Andhini harus berjuang demi keadilan yang hendak ia tuntut.
Sekuat hati dirinya untuk tetap kokoh pada pendirian agar ia mengesampingkan luka istri Akmal. Bagaimana, bayinya butuh ayah.
Bukan hanya perihal materi.
Melainkan juga kasih sayang yang tentu akan berpengaruh besar pada pertumbuhan dan perkembangan anaknya kelak.
Sekali lagi, Dhini harus kuat.
Hingga mobilnya tiba di kediaman Akmal.
Memasuki pelataran dengan jantung yang tentu berdegub kencang.
Sekali lagi, Dhini memantapkan hatinya.
Biarlah.....
Mungkin ini adalah ujung dari perjuangannya yang melelahkan. Berjuang menunggu Akmal yang telah tega menghempaskannya ke jurang nestapa.
Kini......
Dhini tak ingin dirinya meragu apa lagi
bimbang.
"Selamat malam, maaf dengan ibu siapa dan ada keperluan apa?".
Seorang security menghampiri dan menyambut nya. Senyumnya ramah dan nampak tulus tanpa di buat-buat.
"Saya.... em saya Dhini, temannya pak Akmal. Apa pak Akmal dan istrinya ada?
Saya ada urusan pribadi dengan beliau".
Begitulah Dhini mengungkapkan.
"Tunggulah di sini sebentar, mbak.
Saya hubungi Nyonya Arini dulu"
Andhini hanya mengangguk, membiarkan dirinya menunggu di dalam mobil.
Semoga saja kedatangannya tak mendapat penolakan.
Ya......
Semoga saja.
"Silahkan, mbak. Bu Arini bersedia menemui, tetapi pak Akmal belum pulang dari kantor.
Mari, saya antar".
Suara security tiba-tiba.
Senyum lega terbit begitu saja dari dari bibir tipis Dhini.
Setelah turun dari mobil, langkah Dhini mengikuti langkah sang security.
Meski gugup melanda, nampak tekad menyala kuat di mata indahnya.
Dhini harus menyelesaikan apa yang belum selesai antar dirinya dan Akmal.
"Ini nyonya, tamu tuan".
"Ya, terima kasih.
Kembalilah ke tempat berjaga".
"Baik, nyonya.".
Sesaat, Dhini meneguk ludahnya sendiri dengan susah payah.
Nyonya Akmal Sanjaya di hadapannya ini memanglah wanita yang cantik dengan lekuk tubuh yang sangat molek.
Lantas, apa kekurangan wanita ini hingga membuat Akmal berpaling padanya?
Pikiran Arini penuh tanya.
Rumahnya juga megah. Kehidupan mereka bisa di katakan sempurna.
Apalagi, Andhini sempat menangkap siluet seorang gadis yang berlarian menuju tangga.
Sepertinya itu putri Akmal.
"Selamat malam, nyonya".
Dhini menyapa dengan lembut. Senyum kaku jelas tercetak di wajahnya.
"Malam. Mari silahkan duduk.
Maaf, dengan siapa ya?".
Andhini dan Arini duduk di sofa ruang tamu.
Senyum Arini nampak cerah dan ramah.
"Saya Andhini Shakira. Ada keperluan penting dengan tuan Akmal".
"Apa anda pekerja di kantornya?".
Andhini menggeleng lemah.
"Saya ingin mengembalikan sesuatu yang tuan Akmal berikan pada saya lima bulan lalu".
Perlahan, Andhini membuka tasnya. Meraih amplop coklat yang berisikan sejumlah uang. Juga dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu kredit dan kartu ATM.
Di letakkan nya kedua kartu dan amplop itu ke meja, hingga menimbulkan raut wajah bingung dari Arini.
"Apa maksudnya ini".
Firasat Arini nampak tak nyaman. Terlebih menatap perut buncit andhini yang menimbulkan banyak spekulasi dalam otaknya.
Andhini menghela nafasnya. Kemudian berkata dengan air mata yang mulai luruh.
"Setahun yang lalu, tuan Akmal menikahi saya. Dan lima bulan yang lalu, beliau menjatuhkan talak pada saya karna saya menolak untuk menggugurkan kandungan saya yang notabenenya adalah bayi kami.
Ini adalah uang yang tuan Akmal berikan pada saya untuk biaya aborsi yang sayangnya, tak saya gunakan sepeser pun.
Saya butuh tuan Akmal sebagai ayah dari calon bayi saya. Dan setelah bayi saya lahir, beliau boleh meninggalkan saya.
Saya hanya ingin anak ini lahir dan legalitasnya di akui negara.
Maka dari itu, saya ingin tuan Akmal menikahi saya secara resmi.
Saya berjanji tak akan menuntut lebih, saya akan pergi setelah bayi ini lahir dan kami bercerai. Jadi saya mohon, nyonya...... Saya tak akan datang kemari andai tuan Akmal tak menjatuhkan talak lima bulan lalu".
**
Seorang pria bertubuh tegap tengah menatap pemandangan jalanan ibu kota di balik jendela mobilnya.Pikirannya melanglang buana entah kemana.Rasa tak nyaman dan firasat buruk tetiba menghinggapinya. Menumbuhkan banyak emosi yang ia simpan rapat-rapat untuk dirinya sendiri.Akmal Sanjaya.Pria berkulit putih bersih dengan tubuh tinggi nan kokoh, adalah pria satu anak bersama Arini Wulan Sanjaya.Tatapan matanya tajam dan mudah mengintimidasi siapapun.Hidungnya mancung dengan alis tebal yang membingkai mata tajamnya.Tulang pipi dan tulang rahangnya demikian kokoh dengan rambut hitam legam yang membingkai wajahnya.Dada bidangnya, menunjukkan kehangatan bagi siapapun yang jatuh dalam dekapannya.Lengan kokohnya menjanjikan berjuta kekuatan untuk wanita manapun yang takluk di bawah kendali permainan nya.Langkah lebarnya, menawarkan kepastian langkah hidup bagi siapapun yang bersedia menjadi pendampingnya.Sa
Sebuah mobil melaju kencang membelah jalanan ibu kota. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi.Seperti di kejar waktu, Akmal melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah sakit terdekat.Jemarinya mencengkeram erat kemudi, Nafasnya memburu karna merasa luar biasa takut, beberapa titik darah menodai kemeja cerahnya dan bagian sudut lengan.Sesal......Sesal mendera ketika ia mendapati Andini tak berdaya di bawah kebrutalan tindakannya yang telah menyiksa Andhini.Di bangku belakang, Andhini nampak kepayahan dengan nafasnya yang mulai tersengal.Air mata bercampur darah di sisi wajahnya, menunjukkan betapa menyedihkannya Dhini saat ini.Di samping Dhini, Arini nampak cemas menggenggam tangan Dhini yang dingin dan berkeringat. Sekedar untuk menepis saja, Dhini sudah tak kuat lagi."Lakukan lebih cepat lagi, mas. Jangan biarkan sesuatu terjadi pada Dhini dan bayinya. Kumohon, jangan buang waktumu. Anakmu dan ibunya butuh pertolongan s
Suara tangisan bayi laki-laki demikian menggema di seluruh ruangan. Tubuh mungilnya telah terlepas dari banyaknya selang dan peralatan medis lainnya. Satu bulan sudah usianya. Akmal setiap hari selalu menyambangi keberadaan putranya itu. Kini, Dhini juga telah di perbolehkan pulang. Hubungan Dhini dan Akmal tak juga menemui kejelasan. Bagi Dhini, Haidar putranya hanya miliknya seorang. Akmal sudah jelas-jelas tak lagi peduli akan keberadaan Haidar semenjak enam bulan lalu. Hari ini, Akmal akan kembali datang ke rumah Dhini dengan mengajak serta ibunya, orang tua Akmal yang masih tersisa. Ayah Akmal telah tiada semenjak sebelas tahun yang lalu, mewariskan sebuah perusahaan pada putra satu-satunya. Beruntung, Akmal dapat mengembangkan perusahaan warisan mendiang ayahnya itu. "Kau benar-benar telah memikirkan hal ini matang-matang, Akmal? Ben
"Kau tak mau keluar sekarang juga? Baiklah, aku tak keberatan untuk menghukummu. Dengar Andhini, aku bisa saja membawa Haidar putra kita untuk pergi jauh darimu. Kau pikir hanya hidupmu yang hancur? Aku bahkan lebih dari sekedar hancur saat itu. Aku juga merasa bersalah dan berulang kali aku merasa berdosa. Bila kau memang tak mau menemuiku, maka Haidar aku pastikan akan jatuh ke tanganku karna aku adalah ayah biologisnya." Dhini membeku mendengarnya. Haidar? Di bawa pergi? Oh ya tuhan.... Pria macam apa si Akmal ini? Tidak bisakah ia memikirkan perasaan Andhini sedikit saja? Setelah Dhini di perlakukan dengan sangat kasar, kini..... Akmal akan membawa paksa bayinya pergi. Lama Dhini termenung dan mencerna kata-kata yang di lontarkan Akmal. Pintu terbuka dengan kasar. Sayangnya......... Terlambat.
Seorang wanita tengah menatap kosong pada hamparan langit yang luas, menikmati indahnya senja tanpa riak emosi, meninggalkan sebagian jiwanya entah kemana.Mungkin karna luruh bersamaan dengan tragedi yang di alaminya selama setahun terakhir ini. Tragedi pertama, karna ia harus kehilangan ayahnya, pria yang paling dekat dengannya. Meninggalkan beban batin yang mendalam beserta luka yang masih membekas hingga kini.Tragedi kedua, ia sungguh sangat terpaksa menerima pinangan lelaki yang usianya dua belas tahun lebih tua darinya, namun tetap terlihat gagah. Tak butuh waktu lama, kepolosan hatinya pun jatuh pada pesona pria yang berstatus suami orang dan telah memiliki seorang putri itu.Tragedi ketiga, dirinya harus di talak dengan cara yang sangat kejam oleh suami tercinta ketika dirinya lebih mempertahankan buah hati mereka daripada harus melakukan aborsi. Sungguh, kenangan itu masih membekas dalam otaknya hingga saat
Hari berganti, Minggu berlalu, bulan Terus berputar. Kini, Dhini telah merealisasikan rencananya dalam mendirikan sebuah booth stand di halaman parkir sebuah pusat perbelanjaan, yang berseberangan dengan wahana wisata.Dengan mengusung konsep rice bowl, dan tempatnya yang memakai bahan dasar bermaterial aluminium, Andhini memulai usahanya dengan tekad kuat dan niat baik demi kelurga.Di bantu adik dan juga ibunya, Andhini kini telah resmi meninggalkan rumah yang dulu Akmal belikan untuknya. Mobil yang dulu juga pemberian Akmal, Andhini tinggal begitu saja di rumah itu. Setelah menimbangnya dengan cukup matang, akhirnya di sinilah Andhini berada. Membuka stand booth bersama adiknya saat waktu menjelang makan siang.Semua itu bermula dari ide Andra, adik Andhini yang masih menduduki bangku SMA di kelas XI, dan benar saja, berbagai macam menu terjual habis dan laku keras.Tanpa terasa, i
Seorang wanita kembali murung dalam diamnya. Hatinya yang semula berusaha tegar, kini tak dapat lagi menepis kepedihan yang kembali mencuat. Hidupnya demikian rapuh bila berurusan dengan pria masa lalunya.Kebetulan, jam makan siang telah lewat dan booth stand sudah sepi pengunjung. Andhini kini tengah berdiam diri di dalam dapur booth stand nya seorang diri. Andra dan ibunya sedang mengantar beberapa pesanan dalam jumlah partai.Ingatan Andhini kembali pada kejadian beberapa waktu lalu ketika Akmal dan Arini datang dengan berselang waktu sebentar saja. Arini menangis di hadapannya. Menangis untuk apa tepatnya, Andin tak tau. Hanya menangis dan tak berkata apapun lagi, kemudian Akmal menuntunnya pergi. Pergi sesuai dengan apa yang Andin mau. Cinta itu masih ada. Cinta itu masih merekat kuat. Cinta itu masih menempel erat. Dan sulit bagi Andini
Siang merambah sore hingga senja kemerahan, terlihat nampak di ufuk barat. Beberapa burung mulai menghias dengan terbang kemana kemari di permukaan sinar senja yang menawan, menciptakan panorama indah selain pelangi.Andhini duduk dengan gelisah di sebuah gedung yang Andin yakini, ini adalah kantor.Siang tadi, seseorang bernama Leon menghampirinya dan mengatakan bahwa majikannya ingin bertemu dan membicarakan sesuatu yang penting bersama Andin. Takut dan resah...... Andin rasakan dalam hatinya. Bagaimana bila majikan yang di maksud pria bernama Leon tadi adalah orang jahat? Andin tak takut pada apapun saat ini. Setelah Haidar di rebut paksa oleh Akmal, separuh jiwa dalam dirinya ikut pergi bersama sang buah hati. Persetan andai nanti Andin di bunuh atau di celakai, bagi Andin bukan hal yang penting lagi bagaimana jalan hidup Andin ke depan. Toh meski Andin hidup hingga saat i
Tak ada yang sanggup mengalikan mood seorang Tristan saat ini. Satu sisi, ia seolah trauma akibat pengkhianatan Celine. Namun, disisi lainnya dirinya seolah berbisik bahwa Andin yang penurut dan mengerti dirinya, harus dipertahankan bagaimana pun caranya. Bisakah Tristan tidak usah memilih saja? Di seluruh penjuru dunia, Tristan percaya pasti ada wanita yang sanggup mencintai dengan ketulusan kadar tinggi. Hanya saja keretakan di hatinya membuat Tristan dilema, seolah tak ada lagi makhluk berjenis wanita yang memiliki setia paling tinggi. Sanggupkah dirinya bertahan dalam pengkhianatan ini? Sanggupkah ia menjalani hari tanpa bayangan pengkhianatan istri tercinta? Sanggupkah ia menutup mata dan telinga agar ia tidak jauh dari Celine? Baiklah, kali ini Tristan mantap untuk berpisah dari Celine. "Leon," panggilnya pada sang Asisten pribadinya itu. "Ya, tuan," jawab Leon datar. "Bawa Andhini ke rumah Mom segera, bawa ia ke rumah utama. Lakukan secepatnya dan urus segalanya!" peri
Sepasang kekasih tengah berperang manja dengan Suara desah menggoda penuh syahwat, dalam kamar sebuah apartemen mewah. Keduanya sudah dibutakan oleh nafsu yang menyesatkan. Hubungan terlarang, seolah tak ada lagi dalam kamus mereka yang menghapus logika sendiri.Jordan dan Celine, bahkan sepasang kekasih itu tak pernah memikirkan seseorang yang saat ini tengah mengintai mereka. Mereka juga tidak menyadari, bahwa gerak-gerik mereka kini telah mulai terbaca oleh Tristan. Jordan yang terbiasa rapi menyembunyikan sesuatu dari apa pun, nyatanya kini lengah.“Ahhh . . . Astagahh . . . Jordan, kau, kau mengapa . . . Kuat sekali.” Celine mendesah tak tahu malu, suaranya mendayu manja menggoda penuh bisikan, membuat Jordan kian terbakar api gairahnya. Sudah lama sekali, Jordan mengidamkan hari ini. Menghabiskan malam dengan ranjang panasnya dengan Celine yang tak punya harga diri itu.“Kau, kau juga . . . Nikmat, Cel. Bodohnya Tristan telah . . . telah menduakanmu.” Jordan meracau tidak jelas
Pukulan demi pukulan batin Akmal terima saat ini. Kehadiran Andhini dan Tristan yang rupanya telah mengakuisisi perusahaannya, membuat Akmal syok luar biasa. Inilah hukumannya. Inilah ganjaran yang Akmal terima tersebab dosanya di masa lalu. Inilah akhir dari nasib mujurnya selama ini. Selain dihadapkan dengan kenyataan Andhini, wanita yang dicintainya telah resmi dimiliki orang lain, kini Akmal juga dihadapkan dengan kehancuran bisnis warisan keluarganya. Tak ada lagi Akmal yang kaya raya dan penuh kesempurnaan, yang ada hanyalah, Akmal yang hidup biasa saja selayaknya masyarakat tingkat menengah ke bawah. Nyalang tatapan Akmal terhadap Andhini, rupanya tak luput dari pandangan Tristan sejak tadi. Bisa Tristan lihat dengan jelas, Akmal masih sangat mencintai Andhini saat ini. Jejak cinta itu terlihat nyata. Meski Akmal tak merayu, ataupun menggoda Andhini, namun tetap saja jejak cinta Akmal itu berhasil menciptakan percikan api cemburu dalam hati Tristan. Niat hati semula yang hany
Ada segurat wajah khawatir bercampur takut pada wajah tampan Akmal yang hingga kini masih tampak jelas. Lelaki itu melepas paksa jarum infus yang melekat erat pada pergelangan tangannya, membuat beberapa tetes darah mengalir begitu saja di pagi buta tadi.Akmal seolah seperti lelaki kesurupan dengan tingkahnya yang demikian brutal memaki para perawat dan dokter yang menangani. Andai Andin dan Tristan tidak membayar lebih dulu semua biaya perawatan Akmal, mungkin dokter akan mengusir Akmal saat itu juga. Toh mereka pikir, Akmal tak ada apa-apanya lagi sekarang.Dokter telah memberi saran agar Akmal istirahat total dulu akibat luka serius yang di derita karena luka tembakan di kaki, serta kondisi tubuhnya yang belum stabil usai koma. Namun Akmal benar-benar marah dan memaki semua perawat dan dokter. Lelaki itu benar-benar tak sabar, apa lagi memikirkan tentang apa yang terjadi pada kantornya yang saat terakhir kali ia tinggal, memiliki masalah serius dan bisa bangkrut kapan saja.Asiste
Si pelayan tadi lantas beralu sembari tergopoh. Ada emosi rumit yang entah, tak bisa Leon telusuri lebih dalam lagi. Pergerakan seperti ini saja, sudah berhasil membuat Leon terpercik curiga. ** Tristan menatap Andhini yang baru saja duduk di hadapannya. Keduanya saat ini tengah mengenakan setelan putih hitam yang sangat serasi. Tak pelak, ini adalah salah satu kesempurnaan sepanjang pernikahan Andhini dan Tristan. Hanya salah satu. Andin, tampak sangat menawan dengan busana kerja yang Pas di tubuhnya. Perut buncitnya, membuat Andin tampak mengeluarkan aura kecantikan dalam diri berkali-kali lipat. Pesonanya tak main-main. “Apa yang membuatmu tak nyaman, Andin? Aku melihat kau seperti wanita yang tengah ketakutan. Apa yang membuatmu takut.” Tristan berkata sambil menatap intens istrinya. Tristan bukanlah tipe lelaki yang suka berbasa-basi, Apa lagi harus bertele-tele. Baginya, waktu adalah segalanya dan harus ia manfaatkan dengan baik. “Takut apa? Aku tak akan takut siapa-siapa,
Pagi menyapa bumi, hari telah tiba dengan berjuta ragam perasaan yang menggelayuti hati seorang Andhini. Entah mengapa, hatinya selalu merasakan emosi yang aneh ketika dekat dengan Tristan. Bersama Tristan, Andhini bisa mendapatkan apa pun yang ia kehendaki.Merebut kembali Haidar, membalaskan sakit hati terhadap Akmal yang telah mempermainkannya dan juga telah mengingkari janji, juga memberikan kemewahan dan menjamin hidup Andin. Apa yang tak Andin dapatkan saat ini?Cinta Tristan.Ya, hanya cinta Tristan yang tak Andin dapatkan sepenuhnya. Jika tentang perhatian, Tristan cukup perhatian dan cukup siaga jika terjadi sesuatu pada Andin. Hanya saja, menurut Andin itu semata hanyalah karena dirinya mengandung darah daging Tristan. Tidak lebih. Pernikahan mereka terjalin hanya karena sebuah kesepakatan dangkal. Selebihnya, mungkin hanya sebatas formalitas atas semua sikap Tristan terhadap Andhini. Tak ada cinta suci, tak ada cinta sejati.Pada akhirnya, Andin harus menerima kenyataan bah
Dini hari kali ini terasa sunyi. Langit seolah tak membiarkan sedikit pun kebahagiaan berpihak pada Hikmah dan Akmal Sanjaya. Hingga saat ini, Akmal tak juga membuka mata, tak juga mampu menatap dunia yang telah mengadilinya. Padahal, Akmal sudah dinyatakan telah melewati masa kritisnya. Selain ada Hikmah, Arini juga masih tetap terjaga dengan mata yang terbuka sayu. Mata wanita mengantuk, namun tidak bisa terlelap dan beristirahat. Penampilannya yang dahulu terlihat sangat sempurna di mata Andin, kini tak lebih dari sekedar babu yang sangat miskin dan kurang pergaulan. Sangat lusuh dan tak pantas dipandang. Hidup memang terkadang sering kali berbanding terbalik. Peribahasa roda terus berputar itu, nyatanya benar adanya. Andin yang dulu Arini anggap sebagai sampah karena merebut Akmal Sanjaya, suaminya, kini justru menjadi ratu yang bahkan Arini sendiri ketinggalan jauh seleranya dengan Andin. Lihatlah, siapa yang tampak seperti sampah sekarang?Hikmah diam-diam meneguk salivanya d
Malam telah larut. Sebagian besar seisi bumi juga sudah terlelap dalam tidur, menari dalam alam mimpi yang indah. Namun entah mengapa, Andhini malam ini tak juga mampu memejamkan mata. Hatinya terasa teriris pilu, saat ia melihat Haidar sedikit rewel. Mungkin karena Haidar merasa asing di rumah barunya. Maklum saja, anak seusia Haidar memang tengah aktif-aktifnya. “Dia sudah tidur?” Tristan menatap istrinya yang tetap menawan meski malam telah larut. Mata Andin juga tampak sayu. “Sudah. Pengasuh sudah menidurkannya. Ia sangat rewel dan menangis saja.” Jawab Andin. “Ya sudah. Tidurlah jika sudah lelah. Jangan kau Bebani kandunganmu dengan kurang tidur, kasihan anak kita. Aku akan ke ruang kerja untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan.” Perintah Tristan. “Tristan, aku ingin bicara. Mari kita ke kamar untuk bicara setelah kau selesai dengan pekerjaanmu.” Ungkap Andini kemudian. Tristan tampak berpikir, mungkin ada baiknya ia meninggalkan pekerjaan malam ini dan dilanjut besok. “Jangan
Di sebuah sudut pinggiran LA, Celine tengah duduk seorang diri sambil menyesap anggur merah di meja di hadapannya. Pikirannya tengah kacau saat ini. Tak seorang pun tahu bahwa batin Celine merana akibat kepergian Tristan yang tak kunjung pulang. Sudah dua pekan berlalu semenjak Jordan menawarkan dirinya untuk bisa menjadi simpanan Jordan. Entah setan apa yang merasuk dalam diri Celine saat ini, namun yang jelas Celine benar-benar hanya ingin ambisinya tercapai, yakni membalas Tristan dan simpanannya. Dan keputusan akhirnya, tentu saja ia bersedia menduakan Tristan dengan Jordan, sahabat Tristan. Celine pikir, memangnya hanya Tristan yang bisa menyakitinya? Tentu saja tidak. Celine bahkan bisa lebih dari sekedar mampu untuk melakukan hal serupa. “Celine, sudah dari tadi kau disini?” Suara Jordan yang khas dan dalam itu, Membuat Celine mengalihkan atensinya. Entah mengapa, Celine belakangan mendadak menjadi paranoid sendiri sejak ia resmi memutuskan untuk menjadi simpanan Jordan. “K