"Tuan, Nyonya Anna sudah tertidur." Darcy menghadap pada lelaki yang menggajinya itu. "Lalu bagaimana? Kalian sudah mencari tahu?" tanya Alaric yang sedang menggoyangkan gelas kaca berisi cairan alkohol berwarna cokelat. "Ya." Kali ini Caspian yang berbicara. "Ayah dari Nyonya bernama Roy dan sejak dulu, dia memang terkenal sebagai lelaki yang suka berganti pacar dan beberapa kali menipu pacarnya demi uang. Anehnya, Nyonya sama sekali tidak tahu ini." "Ini membingungkan," gumam Alaric mengembuskan napas pelan. "Dia ini sebenarnya peduli pada Anna atau tidak sih?" "Menurut saya tidak." Darcy dengan cepat membantah. "Kalau Roy ini memang peduli pada Nyonya, minimal dia akan meminta maaf. Tapi coba lihat apa yang terjadi tadi? Pria tua itu malah meminta uang." "Lalu, aku juga menemukan data ponselnya. Sepertinya si Roy ini menawarkan putrinya ke lebih dari satu orang pria tua," tambah Caspian disertai dengan embusan napas panjang. Alaric mendengus pelan, dengan sebelah bibir t
"BERANI-BERANINYA KALIAN!" Anna refleks memalingkan wajah, ketika mendengar suara keras dari ponsel sang suami. Jangankan dia, dua asisten yang ikut pun memejamkan mata saking kerasnya teriakan yang terdengar itu. "Mom, tolong jangan berteriak seperti itu." Alaric mengembuskan napas pelan. "Kami sedang berada di tempat umum dan sekarang semua menoleh melihat kami." "Menurutmu kenapa aku marah?" hardik Elizaabeth, terlihat sangat marah di layar ponsel putranya. Mereka sedang melakukan sambungan video. "Karena kami tidak memberitahumu tentang kepergian kami?" tanya Alaric tampak begitu tenang, bahkan cenderung terlihat datar. "Tentu saja aku akan marah. Bisa-bisanya kau tidak memberitahu ibumu, sampai aku mengunjungi rumah kalian dan hanya menemui kekosongan di sana." "Sebenarnya, Mom hanya cemburu karena kau tidak mengajaknya." Tiba-tiba saja, Astrid muncul di sebelah sang ibu. "Astrid, apa-apaan kau itu." Elizabeth tentu akan memarahi putrinya. "Aku hanya mengatakan yan
"Bukankah kau mengatakan kalau pria tua yang akan dijodohkan denganmu selalu datang tepat waktu?" tanya Alaric, disertai dengan lirikan mata tajam. "Dia memang mengatakan hal seperti itu tadi." Anna dengan panik mengambil ponselnya, untuk diperlihatkan pada sang suami. "Tapi barusan mengatakan kalau dia mungkin sedikit terlambat, karena ada rapat." "Tidak masuk akal." Alaric yang sudah mulai kesal, memilih untuk berdiri dari tempatnya duduk. "Kalau tahu begini, aku tidak akan menemanimu menemui pria tua itu." Tadi, memang Anna meminta bantuan sang suami agar mereka bisa bersama-sama menemui Pak Fritz. Inginnya sih Anna datang memenuhi undangan pria tua itu demi kesopanan dan untuk menolak dengan cara yang lebih tegas. Siapa sangka malah jadi begini. "Apa aku perlu memesan makan malam lebih dulu?" tanya Anna yang sejujurnya saja agak khawatir. "Kita bisa makan duluan, jika kau sudah lapar." "Aku tidak lapar, tapi hanya ingin segera pulang." Sayangnya Alaric menolak. Lelaki
"ALARIC BASTIAN CRAWFORD, APA LAGI YANG KAU LAKUKAN?" Padahal yang empunya nama baru saja keluar dari restoran, ketika ponselnya berbunyi. Namun, yang menyambut Alaric hanyalah teriakan ibunya yang begitu menggelegar. "Mom, kenapa belakangan ini kau sering sekali berteriak?" tanya Alaric berusaha menenangkan diri. "Tidakkah kau merasa tekanan darahmu semakin naik karena itu?" "Aku tidak akan kena tekanan darah tinggi, jika kau tidak menikahi perempuan itu. Coba lihat apa yang dia lakukan padamu." "Namanya, Anna. Lagi pula, istriku tidak melakukan apa-apa." "Kata siapa? Apa kau tidak lihat berita yang sedang beredar sekarang ini?" Kening Alaric langsung berkerut mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya. Hal yang membuatnya menoleh pada sang asisten yang kebetulan saja, sudah mengutak-atik ponsel untuk mencari tahu. "Sepertinya Tuan ketahuan" ucap Caspian, sembari memperlihatkan ponselnya. Pada layar ponsel, terdapat sebuah artikel dengan foto. Alaric tidak membaca isi a
"Sejak awal, kau yang menjadi alat pembayarannya, Cantik," ucap Fritz dengan senyum lebar, ketika memperlihatkan dokumen di tabletnya. "Bukan uang, tapi kau Anna Gavesha." "Tentu saja aku berharap kau benar-benar seperti yang dikatakan oleh ayahmu. Masih perawan. Sekali pun tidak, aku rasa kau masih bisa menjadi salah satu bonekaku." Anna menarik napas panjang ketika mengingat apa yang dikatakan Fritz kemarin malam. Demi apa pun, dia sama sekali tidak menyangka akan diperlakukan seperti itu oleh orang tuanya sendiri. "Anna, apa kau mendengarku?" "Kenapa?" Mendengar namanya dipanggil, Anna segera menoleh. "Kau itu kenapa?" tanya Alaric dengan kening berkerut. "Aku kenapa?" Bukannya menjawab, Anna malah balas bertanya. "Setelah kemarin kau memohon untuk ditolong, sekarang kau melamun sepanjang hari?" tanya Alaric dengan nada mencemooh. "Apa kau bahkan mendengar apa yang kami perbincangkan?" Anna melirik sekelilingnya dengan gerakan mata yang cukup pelan. Dia bisa meliha
"Pewaris Kaleido Grup, perusahaan yang bergerak dalam berbagai bidang terutama yang berhubungan dengan pariwisata. Pendiri Crescendo Enterprise yang mencakup sekolah musik, studio rekaman, produksi alat musik dan promotor musik." "Anak dari mendiang Alexei Crawford, menteri luar negeri yang paling berbakat. Alaric Bastian Crawford juga pernah menjadi anggota senat, pernah menjabat sebagai menteri sementara dan sedang mencalonkan diri sebagai calon perdana menteri. Jika terpilih, dia akan menjadi perdana menteri termuda di dunia." Anna menjauhkan ponsel dari depan wajahnya dengan ekspresi kesal. Saking kesalnya, hidung perempuan yang tengah berbaring di atas ranjang itu sampai kembang kempis. Anna bahkan kini mendengus. "Sialan!" pekik perempuan yang kini beranjak dari posisi tidurnya di atas ranjang. "Bagaimana bisa aku menikah dengan calon perdana menteri?" Anna masih memekik, sembari memegang sertifikat pernikahannya. "Yang benar saja, Anna!" Perempuan dua puluh lima tahun i
"TIDAK MAU!" Anna berteriak keras, sembari memeluk tiang tangga. Tentu saja tangga bagian bawah, jadi tidak berbahaya. "Nyonya, kita harus keluar." Darcy dengan sekuat tenaga, menarik tangan perempuan yang lebih muda darinya itu. "Kita harus menjalankan rencana Tuan." "Tapi aku tidak mau." Anna menggeleng, tanpa melepas pelukannya. "Aku suka jadi pusat perhatian, tapi tidak mau jadi terkenal. Aku tidak bisa jadi ibu negara." "Ayolah, Nyonya." Darcy memutar bola matanya karena gemas. "Tuan bahkan belum melakukan kampanye, jadi berhentilah memikirkan tentang politik dulu." "Aku tidak mengerti politik." "Karena itu tidak perlu dipikirkan dan jalani saja hidup dengan biasa." "Tapi aku tidak mau keluar kalau masih banyak wartawan. Lagi pula, kenapa dia bisa tahu rumah perdana menteri?" Sayangnya, Anna masih enggan beranjak. "Karena ini adalah rumah dinas," jawab Darcy juga masih belum mau menyerah. "What?" Tiba-tiba saja, Anna melepas pegangannya pada tiang tangga. Itu me
"Apa yang kau lakukan?" hardik Astrid dengan kening berkerut tidak suka. "Berhenti merunduk dan duduklah dengan tegap." "Tapi ada banyak wartawan." Sayangnya, Anna masih belum ingin menegakkan tubuhnya. "Duduk dengan tegap sekarang juga, atau aku akan menyeretmu turun dari mobil dan melemparkanmu pada para wartawan itu," desis Astrid makin kesal saja. Mendengar ancaman, mau tidak mau Anna yang duduk sambil merunduk serendah mungkin, kini pelan-pelan menjadi tegap. Dia sempat melirik sang ipar untuk sesaat, tapi pada akhirnya lebih sibuk untuk menutupi wajah. "Apa kau melihat ada wartawan?" tanya Astrid dalam suara mendesis kesal. "Memangnya tidak ada?" Anna malah balas bertanya. "Makanya berhentilah menutupi wajahmu dan lihatlah sekitar." Kali ini kakak dari Alaric itu memekik cukup keras. "Bagaimana kau bisa hidup kalau kau mengabaikan sekitarmu?" "Aku tidak mengabaikan sekitar." Anna dengan cepat membantah. "Aku hanya merasa tidak ingin dikerubuti oleh wartawan dan har
"Hei, kau mau tidur sampai kapan?" Anna mengerang pelan, ketika mendengar suara disertai rasa sakit di bagian perutnya. Padahal tadi dia sempat tertidur lagi karena benar-benar merasa mengantuk, tapi sekarang perutnya merasakan sakit yang bertubi-tubi. "Hei." Lelaki yang tadi bertanya, kembali berteriak sambil menendang. "Berhenti menendangku," gumam Anna yang matanya sudah sedikit terbuka. "Makanya bangun," hardik lelaki itu dengan kesal. "Walau aku suka menidurimu dalam keadaan pingsan, tapi aku lebih suka kalau kau berteriak di bawahku." "Apa maksud ...." Kalimat yang diucapkan Anna terhenti begitu saja, ketika pada akhirnya dia merasakan hawa dingin. Tidak benar-benar dingin, tapi rasanya Anna bisa merasakan embusan angin di sekujur tubuhnya. Hal yang membuat perempuan itu refleks menutupi area pribadinya dengan dua tangan. "Percuma juga ditutupi sekarang." Lelaki tadi mendengus pelan. "Aku dan yang lainnya sudah melihat semuanya." Anna bisa merasakan napasnya tiba
"Di mana Anna?" Alaric bertanya, setelah dia keluar dari kamar mandi."Dia dibawa oleh perawat untuk melakukan tes," jawab Elizabeth yang merapikan beberapa barang di atas nakas. "Kau sendiri, kenapa terlambat bangun?"Alaric tidak langsung menjawab sang ibu. Dia hanya melihat ke arah sofa ruang tamu yang agak berantakan, karena pekerjaannya. Bukan hanya masalah partai, tapi juga masalah perusahaannya."Jangan membawa pekerjaan ke rumah sakit." Sang ibu menegur. "Anna bisa merasa bersalah kalau melihat kau sibuk dan malah menjaganya di sini. Padahal sudah ada Darcy.""Tapi aku ingin menjaganya," jawab Alaric sembari memukul Caspian yang masih tertidur di sofa. "Lagi pula, lebih baik kalau banyak yang berjaga.""Benar sih, tapi seharusnya kau membangunkan Anna tadi." Sang ibu kembali mengeluh. "Masa dia dibawa ke ruang tes laboratorium dalam keadaan tertidur. Bukankah itu akan membuatnya kebingungan, terutama kalau tiba-tiba terbangun?""Maksud Mom?" Alaric malah bertanya."Tad
"Apakah kau bisa membebaskan aku, kalau aku terjerat kasus pembunuhan?" tanya Lesley dengan kening berkerut dan tatapan tajam. "Kalau kau bersedia melakukan itu, aku dengan senang hati akan membantumu keluar dari jeratan hukum. Minimal, kau akan tinggal di sel paling mewah setara hotel selama beberapa bulan saja." Alaric tanpa ragu mengangguk. "Kenapa kalian malah membicarakan hal mengerikan seperti itu?" tanya Anna dengan ekspresi cemas. "Bukan apa-apa." Lesley yang tadi sempat berwajah masam, langsung tersenyum. "Kami hanya bercanda saja." "Tapi candaan kalian itu agak ... mengerikan." Anna tidak segan mengatakan isi kepalanya. "Kalau begitu, lupakan saja candaan kami." Lesley melambai pelan. "Aku lebih penasaran dengan perasaanmu sekarang ini? Maksudku, setelah apa yang terjadi padamu? Kau tidak keberatan bercerita?" Anna terdiam sejenak. Dia terlihat sedang berpikir, kemudian menatap sang suami dengan kening berkerut. Rasanya, sulit sekali untuk mengatakan apa yang ada
"Tuan, kau tidak bisa seenaknya saja membatalkan kampanye." Caspian dengan cepat menghadang sang tuan yang berjalan cepat di sepanjang koridor rumah sakit. "Lalu apa aku harus membiarkan pria tua kurang ajar itu?" hardik Alaric dengan mata melotot. "Menurutmu, aku akan membiarkan pria itu bersenang-senang di dalam penjara saja?" "Aku mengerti kemarahanmu, Tuan." Caspian pun sedang manahan amarah. "Tapi kita juga perlu mengutamakan kampanye. Ini bukan tentang Tuan dan keluarga saja, tapi tentang ribuan pendukung yang sudah menunggu." "Tapi aku tidak bisa membiarkannya begitu saja, Ian," desis Alaric masih saja melotot. "Karena itu, aku akan mengurusnya. Aku akan mengurus agar pria itu diterbangkan ke sini dan kita akan membereskannya dengan lebih baik." Kening Alaric berkerut mendengar ucapan sang asisten. Dia terlalu marah, sampai tidak memikirkan ide cemerlang yang baru saja disebutkan oleh Caspian. "Lakukan dengan rapi dan tanpa ketahuan," bisik Alaric, kini menatap ke
"Ada apa dengan Anna?" Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Alaric, ketika lelaki itu membuka pintu ruang rawat inap sang istri. "Oh, akhirnya kau datang juga." Elizabeth benar-benar terlihat lega melihat putranya. "Bagaimana Anna?" Alaric kembali bertanya. "Mungkin lebih baik kau lihat saja sendiri." Kali ini Astrid yang berbicara. Kening Alaric berkerut mendengar ucapan sang kakak. Dari tempatnya berdiri, memang Alaric belum bisa melihat ke arah ranjang pasien. Dia harus melewati koridor super pendek, sebelum bisa mencapai ruangan luas dengan ranjang pasien, ranjang penjaga dan ruang tamu lengkap dengan isinya. "Anna?" gumam Alaric ketika melihat buntalan di atas ranjang pasien. "Oh, jangan membuat dia takut." Elizabeth memukuli lengan putranya, ketika melihat sang menantu berjengit dari balik selimut. "Tapi aku hanya memanggil namanya." Alaric tentu saja akan bingung. "Sangat aneh kalau dia merasa kaget." Levi yang mengikuti sepupu sekaligus sahabatnya
"Eh, ketemu dengan teman Papa?" tanya Anna yang kala itu baru menginjak usia delapan belas tahun. "Untuk apa?" "Mereka penasaran denganmu, sekalian saja temani Papa ke tempat pertemuan." Sang ayah berbicara dengan lembut. "Lagi pula, sekarang kau kan sudah lulus." "Benar." Anna mengangguk pelan. "Aku lulus tepat saat baru berumur delapan belas." "Jadi tentu tidak masalah bukan?" tanya sang ayah dengan lembut. "Maksud Papa, kau tidak sedang belajar dan tidak masalah kalau harus begadang selama beberapa hari bukan?" "Tidak masalah sih." Anna kembali mengangguk. "Aku akan pergi menemani Papa." "Anak baik." Sang ayah mengelus pelan kepala sang putri yang kini tersenyum cerah. Anna tentu saja akan senang jika ayahnya senang. Biar bagaimana, sekarang hanya ada mereka berdua saja. Anna pasti akan berusaha untuk melakukan apa pun yang terbaik untuk menyenangkan lelaki yang sudah bersamanya sejak lahir. Kecuali mungkin satu hal. "Maaf, tapi tolong sedikit menjauh." Anna memberitah
"Apa maksud berita ini Alaric?" Seseorang memukul meja. "Aku sama sekali tidak mengerti." Sayangnya, Alaric harus menggeleng. Bukan tidak tahu apa-apa, tapi dia sedang berusaha menghindar. "Ini berita tentang istrimu, bagaimana mungkin kau tidak tahu apa-apa?" hardik orang yang lain dan membuat Alaric menghela napas. Pagi ini, Alaric memang buru-buru ke kantor karena menerima tentang berita sang istri. Dia bahkan nyaris saja melewatkan sapaan selamat pagi sang istri yang hari ini bangun sedikit lebih terlambat. Jujur, ini membuatnya sakit kepala. "Dengar." Setelah cukup lama terdiam, Alaric akhirnya berbicara juga. "Apa pun yang kalian baca itu tidak benar. Sekali pun itu benar, aku yakin istriku adalah korbannya. Bahkan selama ini pun dia adalah korban grooming." "Kalau begitu berikan bukti dan cepat klarifikasi." Seseorang memberitahu. "Tidak semua orang bisa menerima kenyataan itu." "Sekarang perempuan akan lebih banyak mendukung sesama perempuan." Levi yang biasanya
"Calon perdana menteri Alaric Bastian Crawford akhirnya memperkenalkan istrinya pada khalayak umum." Anna membaca judul berita yang ada pada layar ponselnya. "Siapakah sebenarnya Nyonya muda Crawford yang terlihat polos bak malaikat." "Oh, yang benar saja." Anna memekik dan nyaris saja melempar ponselnya. "Kenapa bahasanya menjijikkan begini?" "Kata siapa menjijikkan?" Elizabeth langsung melotot ketika mendengar ucapan menantunya. "Lagi pula, kenapa lompat-lompat? Kau menakuti bayinya." "Mom, bayi di dalam dilindungi plasenta." Astrid memberitahu. "Dia tidak akan takut." "Tapi bukan berarti Anna tidak bisa jatuh kan?" hardik Elizabeth dengan mata melotot. "Kalau dia jatuh dengan keras, bayinya bisa kenapa-kenapa." Mendengar ucapan orang tua itu, Anna dan Astrid langsung terdiam. Mereka dengan cepat memperbaiki duduknya, tidak ingin diceramahi lagi. "Tapi kenapa kalian berdua ada di sini?" Anna kembali bersuara, dengan kening berkerut dan melihat dua orang yang duduk di ki
"Bagaimana kalau kita mendengar sepatah atau dua kata dari Nyonya Muda Crawford?" "Ya?" Anna melotot mendengar pertanyaan yang dilemparkan padanya itu. Padahal tadi Alaric bilang dia hanya perlu duduk cantik di studio, bersama dengan ipar dan mertuanya. Katanya paling hanya perlu sedikit menyapa, tapi kenapa sekarang dia ditanyai begini. "Ambil saja mic-nya." Astrid berbisik pada sang ipar, agar tidak terlalu lama terdiam. "Tidak masalah kan kalau kami menanyai istri Pak Alaric yang baru terlihat ini?" Pembawa acara debatnya bertanya. "Untuk yang satu itu, tanyakan saja langsung pada istriku. Dia yang akan kalian tanyai bukan?" Alaric memilih jawaban yang paling aman. "Jika dia tidak mau, tentu saja kau tidak boleh bertanya." "Jadi bagaimana?" Pembawa acara kembali bertanya pada Anna. "Tentu saja bisa." Mau tidak mau, Anna mengangguk. "Tapi aku jadi takut dengan pertanyaannya." "Tenang saja, kami hanya ingin tahu tentang dirimu." Anna menaikkan kedua alis mendengar u