"Eh, ketemu dengan teman Papa?" tanya Anna yang kala itu baru menginjak usia delapan belas tahun. "Untuk apa?" "Mereka penasaran denganmu, sekalian saja temani Papa ke tempat pertemuan." Sang ayah berbicara dengan lembut. "Lagi pula, sekarang kau kan sudah lulus." "Benar." Anna mengangguk pelan. "Aku lulus tepat saat baru berumur delapan belas." "Jadi tentu tidak masalah bukan?" tanya sang ayah dengan lembut. "Maksud Papa, kau tidak sedang belajar dan tidak masalah kalau harus begadang selama beberapa hari bukan?" "Tidak masalah sih." Anna kembali mengangguk. "Aku akan pergi menemani Papa." "Anak baik." Sang ayah mengelus pelan kepala sang putri yang kini tersenyum cerah. Anna tentu saja akan senang jika ayahnya senang. Biar bagaimana, sekarang hanya ada mereka berdua saja. Anna pasti akan berusaha untuk melakukan apa pun yang terbaik untuk menyenangkan lelaki yang sudah bersamanya sejak lahir. Kecuali mungkin satu hal. "Maaf, tapi tolong sedikit menjauh." Anna memberitah
"Ada apa dengan Anna?" Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Alaric, ketika lelaki itu membuka pintu ruang rawat inap sang istri. "Oh, akhirnya kau datang juga." Elizabeth benar-benar terlihat lega melihat putranya. "Bagaimana Anna?" Alaric kembali bertanya. "Mungkin lebih baik kau lihat saja sendiri." Kali ini Astrid yang berbicara. Kening Alaric berkerut mendengar ucapan sang kakak. Dari tempatnya berdiri, memang Alaric belum bisa melihat ke arah ranjang pasien. Dia harus melewati koridor super pendek, sebelum bisa mencapai ruangan luas dengan ranjang pasien, ranjang penjaga dan ruang tamu lengkap dengan isinya. "Anna?" gumam Alaric ketika melihat buntalan di atas ranjang pasien. "Oh, jangan membuat dia takut." Elizabeth memukuli lengan putranya, ketika melihat sang menantu berjengit dari balik selimut. "Tapi aku hanya memanggil namanya." Alaric tentu saja akan bingung. "Sangat aneh kalau dia merasa kaget." Levi yang mengikuti sepupu sekaligus sahabatnya
"Tuan, kau tidak bisa seenaknya saja membatalkan kampanye." Caspian dengan cepat menghadang sang tuan yang berjalan cepat di sepanjang koridor rumah sakit. "Lalu apa aku harus membiarkan pria tua kurang ajar itu?" hardik Alaric dengan mata melotot. "Menurutmu, aku akan membiarkan pria itu bersenang-senang di dalam penjara saja?" "Aku mengerti kemarahanmu, Tuan." Caspian pun sedang manahan amarah. "Tapi kita juga perlu mengutamakan kampanye. Ini bukan tentang Tuan dan keluarga saja, tapi tentang ribuan pendukung yang sudah menunggu." "Tapi aku tidak bisa membiarkannya begitu saja, Ian," desis Alaric masih saja melotot. "Karena itu, aku akan mengurusnya. Aku akan mengurus agar pria itu diterbangkan ke sini dan kita akan membereskannya dengan lebih baik." Kening Alaric berkerut mendengar ucapan sang asisten. Dia terlalu marah, sampai tidak memikirkan ide cemerlang yang baru saja disebutkan oleh Caspian. "Lakukan dengan rapi dan tanpa ketahuan," bisik Alaric, kini menatap ke
"Apakah kau bisa membebaskan aku, kalau aku terjerat kasus pembunuhan?" tanya Lesley dengan kening berkerut dan tatapan tajam. "Kalau kau bersedia melakukan itu, aku dengan senang hati akan membantumu keluar dari jeratan hukum. Minimal, kau akan tinggal di sel paling mewah setara hotel selama beberapa bulan saja." Alaric tanpa ragu mengangguk. "Kenapa kalian malah membicarakan hal mengerikan seperti itu?" tanya Anna dengan ekspresi cemas. "Bukan apa-apa." Lesley yang tadi sempat berwajah masam, langsung tersenyum. "Kami hanya bercanda saja." "Tapi candaan kalian itu agak ... mengerikan." Anna tidak segan mengatakan isi kepalanya. "Kalau begitu, lupakan saja candaan kami." Lesley melambai pelan. "Aku lebih penasaran dengan perasaanmu sekarang ini? Maksudku, setelah apa yang terjadi padamu? Kau tidak keberatan bercerita?" Anna terdiam sejenak. Dia terlihat sedang berpikir, kemudian menatap sang suami dengan kening berkerut. Rasanya, sulit sekali untuk mengatakan apa yang ada
"Di mana Anna?" Alaric bertanya, setelah dia keluar dari kamar mandi."Dia dibawa oleh perawat untuk melakukan tes," jawab Elizabeth yang merapikan beberapa barang di atas nakas. "Kau sendiri, kenapa terlambat bangun?"Alaric tidak langsung menjawab sang ibu. Dia hanya melihat ke arah sofa ruang tamu yang agak berantakan, karena pekerjaannya. Bukan hanya masalah partai, tapi juga masalah perusahaannya."Jangan membawa pekerjaan ke rumah sakit." Sang ibu menegur. "Anna bisa merasa bersalah kalau melihat kau sibuk dan malah menjaganya di sini. Padahal sudah ada Darcy.""Tapi aku ingin menjaganya," jawab Alaric sembari memukul Caspian yang masih tertidur di sofa. "Lagi pula, lebih baik kalau banyak yang berjaga.""Benar sih, tapi seharusnya kau membangunkan Anna tadi." Sang ibu kembali mengeluh. "Masa dia dibawa ke ruang tes laboratorium dalam keadaan tertidur. Bukankah itu akan membuatnya kebingungan, terutama kalau tiba-tiba terbangun?""Maksud Mom?" Alaric malah bertanya."Tad
"Hei, kau mau tidur sampai kapan?" Anna mengerang pelan, ketika mendengar suara disertai rasa sakit di bagian perutnya. Padahal tadi dia sempat tertidur lagi karena benar-benar merasa mengantuk, tapi sekarang perutnya merasakan sakit yang bertubi-tubi. "Hei." Lelaki yang tadi bertanya, kembali berteriak sambil menendang. "Berhenti menendangku," gumam Anna yang matanya sudah sedikit terbuka. "Makanya bangun," hardik lelaki itu dengan kesal. "Walau aku suka menidurimu dalam keadaan pingsan, tapi aku lebih suka kalau kau berteriak di bawahku." "Apa maksud ...." Kalimat yang diucapkan Anna terhenti begitu saja, ketika pada akhirnya dia merasakan hawa dingin. Tidak benar-benar dingin, tapi rasanya Anna bisa merasakan embusan angin di sekujur tubuhnya. Hal yang membuat perempuan itu refleks menutupi area pribadinya dengan dua tangan. "Percuma juga ditutupi sekarang." Lelaki tadi mendengus pelan. "Aku dan yang lainnya sudah melihat semuanya." Anna bisa merasakan napasnya tiba
"Tuan, CCTV di daerah koridor ruang rawat inap Nyonya mengalami kerusakan." Caspian melapor dengan nada takut-takut."Bagaimana itu bisa terjadi?" tanya Alaric dengan mata melotot. "Memangnya bagaimana cara rumah sakit ini memantau CCTV mereka? Masa ada kamera yang mati, tapi tidak ada yang tahu.""Maafkan kami." Pihak keamanan rumah sakit langsung membungkuk. "Kami tahu ini merupakan sebuah kesalahan, jadi kami akan membantu pencarian Nyonya.""Tentu saja kalian harus melakukan itu." Alaric makin melotot saja. "Kau pikir, untuk apa aku membayar mahal dan membiarkan istriku dirawat di sini?"Tidak ada lagi yang bisa dikatakan oleh pihak rumah sakit selain terus membungkuk dan meminta maaf. Ini bisa dibilang kesalahan mereka, karena tidak hati-hati. Yah, walau pihak keluarga juga sedikit bersalah karena sedikit kebobolan."Aku juga meminta maaf." Tentu Caspian dan Darcy pun akan membungkuk."Seharusnya tadi pagi aku tidak perlu pergi membeli makanan ke kantin," sambung Darcy ben
"Saat ini, aku sedang mengalami sedikit kesulitan," ucap Alaric berusaha untuk tenang. "Aku sedang berkampanye, tapi juga mendapat musibah pada saat yang sama. Jadi, aku mohon agar kalian semua bisa memaklumi jika dalam aku mungkin tidak akan hadir secara langsung pada kampanye berikutnya." Marjorie melempar ponsel yang dia pegang, ke arah kaca meja rias yang ada di dalam ruangannya. Hal itu, tentu membuat putranya yang juga berada di dalam kamar jadi tersentak dan menangis. "Ada apa ini?" Seorang lelaki paruh baya muncul dari balik pintu. "Ambil anak sialan itu." Alih-alih memberikan penjelasan, Marjorie malah marah dan menunjuki putranya. "Kau yang sialan," hardik lelaki yang tadi masuk, tentu saja sambil menggendong anak kecil yang menangis. "Pantas saja Landon dan Alaric tidak tahan denganmu." "Alaric akan kembali padaku," pekik Marjorie dengan mata melotot. "Dengan kelakuan seperti sekarang, dia jelas tidak akan mau. Coba lihat saja sekarang bagaimana dia mencari istri
"Kenapa aku tidak boleh berjalan-jalan keluar?" tanya Anna dengan kening berkerut. "Di dalam kamar terus menerus, akan membuatku bosan.""Untuk sementara ini, berasabarlah sedikit." Elizabeth hanya bisa lengan menantunya. "Kau akan dipindahkan ke rumah sakit lain menggunakan ambulans, jadi ....""Aku baik-baik saja, Mom." Merasa keberatan, Anna memotong kalimat mertuanya dengan berani. "Kata dokter pun aku sudah baik-baik saja, walau memang masih harus dirawat lagi," lanjut Anna mencoba untuk tetap sopan. "Jadi kenapa harus pindah rumah sakit? Di sini pun tidak apa-apa, walau ini hanya rumah sakit kecil di pinggir kota.""Ini bukan soal rumah sakitnya, Anna." Astrid yang sedang melipat selimut dan jaket sang ipar bersuara. "Ada wartawan yang sudah berkumpul di depan sana dan kau mungkin akan jadi incaran. Di sini berbahaya."Anna membentuk huruf o dengan bibirnya tanpa mengeluarkan suara. Dia tidak berkata apa-apa lagi dan hanya melihat dua orang yang sedang beres-beres untukny
"Aku terkejut kau mengambil cuti." Alaric baru sampai di kantor partainya, ketika mendengar sapaan menyebalkan itu. Rasanya, ingin sekali dia menghardik orang yang berbicara seperti itu. Sayang sekali yang berbicara barusan adalah Marjorie dan dia perempuan. Alaric tidak memukul perempuan. "Al, apa kau tidak mendengarku?" tanya Marjorie yang kini mengejar lelaki yang dia panggil, karena Alaric memilih untuk terus melangkah. "Aku mendengarmu," balas Alaric dengan santainya. "Jadi kenapa tidak menjawab." Langkah Alaric terhenti, diikuti dengan langkah asistennya. Dia kemudian berbalik menatap Marjorie dengan sebelah alis yang terangkat. "Kenapa aku baru sadar sekarang ya?" gumam Alaric dengan nada tanya. "Kau baru sadar kalau aku lebih baik dari istrimu?" tanya Marjorie dengan senyum lebar. "Terlambat sekali, tapi tidak masalah." "Bukan." Tentu saja Alaric akan membantah. "Aku baru sadar kalau kau itu ternyata sangat menyeramkan." Caspian langsung mendengus keras menden
"Maaf, Tuan." Caspian dan beberapa orang menunduk dalam. "Orang-orang itu keracunan, sepertinya ada orang yang menginginkan kematian mereka." Alaric mengembuskan napas pelan. Padahal dia sedang lelah karena tidak bisa tidur sepanjang malam, tapi pagi ini malah mendapatkan berita yang sangat tidak menyenangkan. Sangat tidak menyenangkan. "Bagaimana bisa itu terjadi?" tanya Alaric yang memijat pelan pangkal hidungnya, sambil bersandar ke dinding salah satu ruangan kosong yang dia pinjam. "Saat aku masuk kemarin malam, mereka masih baik-baik saja." Seorang perempuan menjawab. "Tapi kali berikutnya teman lain yang masuk, mereka sudah lemas." "Sepertinya ada penggunaan obat." Caspian menjelaskan. "Belum dipastikan, tapi sepertinya memang itu yang paling masuk akal." "Kalau begitu, siapa namamu?" Alih-alih membalas sang asisten, Alaric malah bertanya pada perempuan yang tadi berbicara. "Fiona, Tuan." "Tuliskan laporan dengan terperinci," perintah Alaric mengembuskan napas lela
"Al." Elizabeth menyambut anaknya dengan tangisan pelan. "Mom? Bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Alaric yang baru saja datang dalam keadaan bersih. "Itu karena Mom mendengar percakapanku dengan Darcy di telepon." Astrid langsung mengaku. "Dia memaksa untuk datang dan melihat Anna." "Apa yang terjadi?" tanya Elizabeth dengan linangan air mata. "Aku juga belum tahu, Mom." Alaric dengan terpaksa menggeleng. "Aku datang setelah membersihkan diri dan belum mendengar apa pun dari dokter." "Kami sudah mendengar penjelasan dari dokter." Astrid yang membalas dengan wajah muram, bahkan harus menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis. "Mereka sudah menjelaskan garis besarnya." "Anaknya selamat?" tanya Alaric refleks saja mengeluarkan kalimat itu dari mulutnya, disertai dengan tatapan yang menerawang. Sayangnya, Astrid hanya bisa menggeleng. Hal itu sudah cukup membuat Alaric menelan liurnya dan jatuh berlutut di atas lantai begitu saja. Siapa sangka berita yang sebenarnya
"Tolong ampuni kami." Salah seorang terisak keras. Wajahnya tidak terlihat karena lelaki itu tersungkur dengan wajah menghadap ke bawah. "Setelah kau melakukan banyak hal pada istriku, sekarang kau berharap aku akan berbaik hati?" tanya Alaric dengan mata melotot. "Sangat lucu sekali." "Kami bersalah." Lelaki ketiga yang terduduk lemas, dengan wajah babak belur. "Kami memang melakukan kesalahan, jadi silakan hukum saja." "Apa kau berpikir akan lolos kalau mengaku seperti itu?" Kini Alaric berjalan mendekati lelaki yang baru saja bicara itu. "Kalian sudah membunuh anakku dan meniduri istriku. Apa kalian tidak tahu dengan siapa kalian berurusan?" "Kami tidak tahu." Lelaki kedua yang tergeletak tidak jauh dari yang ketiga, mulai bernyanyi. "Perempuan yang menyuruh kami tidak mengatakan apa pun. Dia bahkan meyakinkan tidak akan ada masalah yang berarti." "Perempuan?" tanya Alaric dengan sebelah alis yang terangkat. Sekarang, dia mulai tertarik. "Ada seorang perempuan yang tiba
"Menyingkir." Darcy menghalau orang-orang yang menghalangi jalan, ketika dia mengawal brankar rumah sakit yang sedang dibawa menuju ke mobil. "Maaf, tapi bisakah kau tidak semena-mena?" Seorang perawat bertanya, sambil berlari mendorong brankar. "Sebaiknya kau tutup mulut mulai detik ini sampai seterusnya," desis Darcy jelas terlihat sangat marah, sambil membuka pintu mobil. Namun, kemarahan itu segera pudar ketika melihat keadaan sang nyonya yang digendong oleh Alaric. Warna merah terlihat dengan sangat jelas mewarnai kain yang menutupi tubuh Anna, pun dengan sebagian besar dari pakaian Alaric. "Apa yang terjadi?" Tentu saja si perawat yang tadi sempat menegur Darcy akan bertanya. "Kenapa dia seperti ini?" "Aku juga tidak tahu jelasnya, tapi kemungkinan besar dia mengalami pendarahan. Istriku sedang hamil muda." Alaric menjelaskan seadanya, sambil membaringkan sang istri. "Bagaimana mungkin kau tidak tahu ...." Si perawat baru akan mengomel, tapi batal melakukannya. "Oh,
"Arahnya sudah benar." Darcy memberitahu lewat panggilan telepon. "Di sana memang ada rumah besar terbengkalai dan sering dijadikan tempat uji nyali di musim panas." "Syukurlah sekarang sudah masuk musim gugur," ucap Caspian yang baru turun dari mobil. "Itu sama sekali bukan sesuatu yang harus disyukuri, Ian." Alaric mendengus pelan. "Itu malah membuat pelakunya jadi lebih leluasa melakukan hal-hal buruk, jadi ayo." Alaric yang kini hanya memakai kemeja tanpa jas, berjalan dengan hati-hati. Bukan karena dia takut akan lokasi yang menyeramkan, tapi lebih berhati-hati agar langkahnya tidak menimbulkan suara. Yah, walau bunyi mobil pastinya terdengar. Sekali pun mobil Astrid adalah mobil mahal dengan bunyi mesin yang halus, setidaknya tetap ada suara, apalagi di tengah malam yang sepi bukan? "Ada jejak ban mobil," ucap Caspian menatap tanah di sekitarnya. "Tanah di sini kering, tapi masih ada sedikit jejak yang terlihat." "Mengarah ke mana?" tanya Alaric dengan kening berkeru
"Tuan, kita sudah menemukan mobil yang dimaksud." Caspian berteriak, dari sisi lain ruangan yang penuh berisi monitor. "Di mana dia?" tanya Alaric yang segera mendekat. "Kalau dilihat dari arahnya, sepertinya dia akan menuju luar kota." Petugas pemeriksa rekaman CCTV yang memberitahu. "Bagus." Alaric mengangguk, sebelum beranjak. "Darcy kau terus pantau di sini dan beritahu aku kalau sudah menemukan titik pastinya. Ian, kau ikut aku. Kita akan menuju ke lokasi." "Tuan sendiri yang akan pergi ke sana?" tanya Caspian dengan mata melotot, walau tetap mengikuti sang majikan. "Memangnya siapa lagi yang akan pergi?" tanya Alaric sambil terus berjalan dengan cepat. "Aku ingin menghajar siapa pun itu pelakunya." "Tapi ini bisa saja berbahaya," ucap Caspian tentu saja akan terus menghalangi sang tuan. "Lagi pula, pelakunya mungkin lebih dari satu orang." "Pelakunya memang lebih dari satu orang, Ian." Alaric mengoreksi, kini berlari turun melewati tangga karena lift yang ditunggu m
"Hei, permintaan perempuan ini agak aneh." Anna mengedipkan matanya dengan pelan, ketika salah satu lelaki yang mengerjainya berbicara. Dia sudah tidak punya tenaga sama sekali, sehingga yang bisa dia lakukan hanyalah mendengar saja. Apalagi, perutnya juga makin sakit saja. "Dia meminta kita membunuh pelacur ini?" Lelaki kedua berbicara. "Ini gila." Lelaki ketiga menggeleng keras. "Aku tidak mau melakukannya." "Kenapa tidak?" Lelaki kedua kembali berbicara. "Kita bisa mendapat banyak uang, apalagi kalau kita menjual barang-barang perempuan ini," lanjutnya menunjuk Anna yang terbaring lemah. "Kau lupa? Kita menculik dia di rumah sakit." Lelaki ketiga mengingatkan. "Tidak ada barang berharga yang sempat kita ambil." "Tapi dia menggunakan kalung dan anting." Lelaki kedua mengingatkan. "Aku yakin kalau dua benda itu adalah barang mahal yang bisa kita jual. Kamar rawat inapnya saja suite." Dua lelaki yang lain, saling bertatapan. Sepertinya mereka terlihat sangat ragu dan mas