"Apa kau ingin mempermalukan keluarga kita?" desis Elizabeth dengan mata melotot. "Untuk apa kau membawa perempuan sialan itu datang ke sini?" "Oh, ayolah Mom." Astrid memutar bola mata karena gemas. "Alaric sudah menyatakan pendapatnya, jadi lebih baik kita ikuti saja dulu dia. Nanti pelan-pelan, aku akan mencari tahu apa yang Anna inginkan dari anak kesayanganmu." Elizabeth tidak langsung membalas putrinya dan malah melotot ke arah sang menantu. Padahal yang dilakukan oleh Anna hanya datang bersama Astrid dan menyapa Elizabeth, tapi sang mertua sepertinya sudah amat sangat kesal. "Kalau bukan karena Al menghalangi pencarian kita, aku pasti sudah tahu apa tujuan anak itu tiba-tiba mau menikah dengan perempuan asing." Kini Elizabeth mendengus keras. "Nah, karena kita sudah di salon, bagaimana kalau kita bertiga menikmati fasilitas di sini." Astrid tiba-tiba saja menepukkan kedua tangannya. "Aku juga?" tanya Anna dengan mata melotot tidak percaya. "Tentu saja kau juga," hard
"Kau itu bagaimana sih?" hardik Elizabeth dengan mata melotot. "Kenapa membawa nampan saja tidak tahu?" "Maaf," cicit Anna dengan bibir mencebik. "Tapi aku memang tidak pernah melakukan hal seperti ini." "Astaga! Tidak masuk akal sekali." Elizabeth memutar bola matanya dengan gemas. "Masa menyajikan minuman pada tamu pun tidak pernah kau lakukan sama sekali. Jangan bilang kau juga tidak bisa memasak." "Aku bahkan tidak tahu caranya masak mie instan," jawab Anna dengan jujur. "Tapi aku bisa menyeduh mie instan." "APA KAU WARAS?" teriak Elizabeth dengan mata melotot. "Kau pikir memasak dan menyeduh itu dua hal yang sama?" Anna berjengit pelan ketika mendengar pekikan sang mertua. Padahal tadinya dia pikir bisa segera melarikan diri setelah dari salon, tapi sekarang dia tiba-tiba diminta untuk menjadi pelayan untuk acara minum teh. Untung saja acara minum teh yang dimaksud itu, hanya dihadiri sang mertua dan ipar. Kalau ada banyak orang, bisa-bisa Anna jadi malu. "Anu, Mom
"Aku tidak tahu kau ini bodoh atau apa, tapi kenapa kau mau mengikuti ucapan ibuku?" tanya Alaric sembari memijat pangkal hidungnya dengan cukup keras. "Karena dia ibumu," jawab Anna dengan kepala menunduk. "Lantas kenapa kalau dia ibuku?" hardik Alaric dengan mata yang sedikit melotot. "Apa kau juga akan makan kotoran kalau ibuku menyuruhmu?" "Tidak." Anna dengan cepat menggeleng. "Lantas kenapa kau mau saja saat disuruh berdandan seperti sekarang ini? Mau cosplay atau pesta haloween?" Anna berjengit pelan dengan bibir mencebik. Dia rasanya sudah ingin menangis, karena entah sudah berapa kali mendapat hardikan hari ini. Apalagi, sekarang bisa dibilang dandanannya memang sedikit aneh. Sebenarnya dandanan Anna dengan flapper dress itu tidak benar-benar aneh, tapi jelas tidak normal juga. Apalagi perempuan itu hendak pergi menjemput Alaric dengan pakaian yang sama sekali tidak cocok dengan kantor itu. Belum ditambah dengan riasan yang terlalu tebal. "Ini sama sekali tidak b
"Pihak catatan sipil sudah mengkonfirmasi tentang pernikahan dari calon perdana menteri muda kita, Alaric Bastian Crawford." "Walau kemarin Menteri Keuangan kita tidak menjelaskan secara rinci tentang skandal fotonya, tapi dia juga tidak menampik tentang kedekatan dengan perempuan tertentu. Hari ini adalah hari Menteri Alaric mengajukan cuti, untuk fokus mengikuti pemilihan perdana menteri." "Apakah cuti lebih cepat ini memang hanya untuk fokus pada pemilu, atau mungkin pada acara pernikahan yang dia sembunyikan." Tangan Anna bergerak untuk mengambil remot televisi untuk mematikan benda persegi yang sedang dia tonton pagi ini. Padahal, Anna hanya ingin melihat-lihat acara yang menyenangkan, tapi malah melihat berita tentang suaminya. "Tidak mau lihat yang lain saja?" Sebelum sang nyonya benar-benar mematikan televisi, Darcy memberi saran yang lain. "Apa Nyonya tidak mau melihat wawancara Tuan?" "Memangnya dia mau wawancara apa lagi?" tanya Anna yang pada akhirnya mengikuti s
"Siapa kau?" tanya perempuan yang tadi bersuara. "Tidak mungkin orang seperti kau bisa punya janji dengan Pak Alaric." "Kenapa tidak bisa?" tanya Anna dengan kedua alis terangkat. "Memangnya apa yang salah denganku?" "Kalau ini adalah mal, atau mungkin kantor biasa saja, kau jelas sama sekali tidak bermasalah." Perempuan yang tadi menegur kembali berbicara. "Tapi ini kantor departemen keuangan dan kau meminta bertemu dengan menteri?" "Maaf, Nona." Tidak bisa tinggal diam lagi, Darcy memilih untuk maju. "Kau tidak tahu sedang berurusan dengan siapa, jadi tolong jangan menghalangi. Lagi pula, kami melalui prosedur yang sesuai." "Kalian mengikuti prosedur yang sesuai, tapi tidak mungkin Pak Menteri akan menemui orang seperti kalian. Apa kalian sedang merekam vlog atau mungkin prank?" "Maaf, tapi sejak tadi aku tidak mengerti." Anna kembali berbicara. "Kau selalu mengatakan tidak mungkin Alaric bertemu dengan kami, seolah tidak pantas. Tapi kau tidak pernah menyebutkan kenapa sep
"Apa Anna berbuat keributan?" Alaric bertanya, setelah dia mengantar salah satu tamunya sampai ke pintu utama. Tadi dia menerima tamu di ruangan lain. "Sebenarnya, bukan Nyonya yang membuat keributan." Caspian tentu akan menjelaskan. "Ada seorang karyawan yang tidak membiarkan Nyonya Anna mengikuti prosedur penerimaan tamu." "Prosedur penerimaan tamu?" tanya Alaric dengan kening berkerut, sampai harus menghentikan langkahnya untuk sejenak. "Menurut Darcy, Nyonya yang ingin melakukannya. Katanya biar bagaimana, prosedur adalah prosedur, jadi dia juga harus patuh." Caspian menjelaskan disertai dengan senyuman. "Tapi pada akhirnya dia terkena masalah bukan?" Alaric kembali melanjutkan langkah, walau harus berhenti lagi di depan lift. "Benar juga sih, tapi aku tetap salut dengan sifat Nyonya." Alaric kembali menatap sang asisten dengan kening berkerut. Dia benar-benar merasa bingung, bagaimana bisa seorang Caspian Grey kini menyanjung sang istri. Padahal dulu, lelaki itu yang
"Karena sekarang kau sedang cuti, bagaimana kalau kita pergi untuk mengunjungi Mom?" Pertanyaan dari sang istri, membuat Alaric menaikkan sebelah alisnya. Lelaki yang sedang menyusun program rancangan kerja yang bisa digunakan untuk kampanye itu, merasa apa yang dikatakan oleh sang istri sangatlah tidak masuk akal. "Untuk apa kau mau ke sana?" tanya Alaric segera melihat kembali ke laptop yang dia pakai sejak tadi. "Apa kau tidak takut dikerjai lagi?" "Takut sih, tapi tidak apa-apa. Soalnya, kali ini aku pasti tidak akan disuruh ke kantormu dengan pakaian aneh lagi kan?" Sebelah alis Alaric terangkat melihat ekspresi ceria istrinya yang agak tidak masuk akal, sebelum mengatakan, "Kalau kau mau pergi, pergi sendiri saja." "Eh? Kau tidak mau ikut? Hitung-hitung kau sekalian mengunjungi ibumu dan pulang ke rumah bukan?" tanya Anna dengan kedua alis yang terangkat. "Itu rumah ibuku," jawab Alaric terdengar santai. "Aku memang besar di sana, tapi itu rumah ibuku dan Astrid."
"KELUAR DARI SINI!" Anna nyaris saja terjatuh, ketika sang mertua mendorongnya dengan cukup kasar. Dia benar-benar didorong, seolah Elizabeth sedang mendorong sapi berukuran agak besar dan bukan manusia. "Mom, aku salah apa lagi sih?" tanya Anna dengan kening yang berkerut bingung. "Apa cara mengupas buahku jelek? Lalu barang-barangku masih ada di dalam." "Ambil saja semua barang-barang harammu ini." Elizabeth kembali membuka pintu, untuk melempar barang-barang sang menantu. "Ponsel baruku." Anna dengan cepat menangkap benda pipih yang baru saja dia beli beberapa jam yang lalu. "Aduh, anakku." Anna langsung mengelus ponsel yang berhasil dia tangkap. "Aku bahkan belum benar-benar belajar menggunakan benda ini, jadi tidak boleh rusak." "Padahal ada ponsel yang lebih baik dari itu, tapi kenapa Nyonya sangat menyayanginya?" tanya Darcy dengan helaan napas panjang, setelah memungut tas perempuan yang dia layani. "Bagiku ini sudah sangat bagus, walau kau bilang ini termasuk mu
"Eh, ketemu dengan teman Papa?" tanya Anna yang kala itu baru menginjak usia delapan belas tahun. "Untuk apa?" "Mereka penasaran denganmu, sekalian saja temani Papa ke tempat pertemuan." Sang ayah berbicara dengan lembut. "Lagi pula, sekarang kau kan sudah lulus." "Benar." Anna mengangguk pelan. "Aku lulus tepat saat baru berumur delapan belas." "Jadi tentu tidak masalah bukan?" tanya sang ayah dengan lembut. "Maksud Papa, kau tidak sedang belajar dan tidak masalah kalau harus begadang selama beberapa hari bukan?" "Tidak masalah sih." Anna kembali mengangguk. "Aku akan pergi menemani Papa." "Anak baik." Sang ayah mengelus pelan kepala sang putri yang kini tersenyum cerah. Anna tentu saja akan senang jika ayahnya senang. Biar bagaimana, sekarang hanya ada mereka berdua saja. Anna pasti akan berusaha untuk melakukan apa pun yang terbaik untuk menyenangkan lelaki yang sudah bersamanya sejak lahir. Kecuali mungkin satu hal. "Maaf, tapi tolong sedikit menjauh." Anna memberita
"Apa maksud berita ini Alaric?" Seseorang memukul meja. "Aku sama sekali tidak mengerti." Sayangnya, Alaric harus menggeleng. Bukan tidak tahu apa-apa, tapi dia sedang berusaha menghindar. "Ini berita tentang istrimu, bagaimana mungkin kau tidak tahu apa-apa?" hardik orang yang lain dan membuat Alaric menghela napas. Pagi ini, Alaric memang buru-buru ke kantor karena menerima tentang berita sang istri. Dia bahkan nyaris saja melewatkan sapaan selamat pagi sang istri yang hari ini bangun sedikit lebih terlambat. Jujur, ini membuatnya sakit kepala. "Dengar." Setelah cukup lama terdiam, Alaric akhirnya berbicara juga. "Apa pun yang kalian baca itu tidak benar. Sekali pun itu benar, aku yakin istriku adalah korbannya. Bahkan selama ini pun dia adalah korban grooming." "Kalau begitu berikan bukti dan cepat klarifikasi." Seseorang memberitahu. "Tidak semua orang bisa menerima kenyataan itu." "Sekarang perempuan akan lebih banyak mendukung sesama perempuan." Levi yang biasanya
"Calon perdana menteri Alaric Bastian Crawford akhirnya memperkenalkan istrinya pada khalayak umum." Anna membaca judul berita yang ada pada layar ponselnya. "Siapakah sebenarnya Nyonya muda Crawford yang terlihat polos bak malaikat." "Oh, yang benar saja." Anna memekik dan nyaris saja melempar ponselnya. "Kenapa bahasanya menjijikkan begini?" "Kata siapa menjijikkan?" Elizabeth langsung melotot ketika mendengar ucapan menantunya. "Lagi pula, kenapa lompat-lompat? Kau menakuti bayinya." "Mom, bayi di dalam dilindungi plasenta." Astrid memberitahu. "Dia tidak akan takut." "Tapi bukan berarti Anna tidak bisa jatuh kan?" hardik Elizabeth dengan mata melotot. "Kalau dia jatuh dengan keras, bayinya bisa kenapa-kenapa." Mendengar ucapan orang tua itu, Anna dan Astrid langsung terdiam. Mereka dengan cepat memperbaiki duduknya, tidak ingin diceramahi lagi. "Tapi kenapa kalian berdua ada di sini?" Anna kembali bersuara, dengan kening berkerut dan melihat dua orang yang duduk di ki
"Bagaimana kalau kita mendengar sepatah atau dua kata dari Nyonya Muda Crawford?" "Ya?" Anna melotot mendengar pertanyaan yang dilemparkan padanya itu. Padahal tadi Alaric bilang dia hanya perlu duduk cantik di studio, bersama dengan ipar dan mertuanya. Katanya paling hanya perlu sedikit menyapa, tapi kenapa sekarang dia ditanyai begini. "Ambil saja mic-nya." Astrid berbisik pada sang ipar, agar tidak terlalu lama terdiam. "Tidak masalah kan kalau kami menanyai istri Pak Alaric yang baru terlihat ini?" Pembawa acara debatnya bertanya. "Untuk yang satu itu, tanyakan saja langsung pada istriku. Dia yang akan kalian tanyai bukan?" Alaric memilih jawaban yang paling aman. "Jika dia tidak mau, tentu saja kau tidak boleh bertanya." "Jadi bagaimana?" Pembawa acara kembali bertanya pada Anna. "Tentu saja bisa." Mau tidak mau, Anna mengangguk. "Tapi aku jadi takut dengan pertanyaannya." "Tenang saja, kami hanya ingin tahu tentang dirimu." Anna menaikkan kedua alis mendengar u
"Kenapa harus pada saat Anna sedang hamil muda?" tanya Elizabeth dengan mata melotot. "Kenapa tidak sebelumnya atau selepas trisemester pertama?" "Aku ingin melindungi Anna dari dekat," balas Alaric dengan tegas. "Dia memang bisa dilindungi dari dunia politik jika terus di dalam rumah, tapi tidak dalam kehidupan sosial dan sehari-hari. Contoh kecilnya saja pada saat Anna bekerja di butik tempo hari." "Itu benar, tapi ...." "Tolong jangan katakan kalau itu bukan hal yang besar." Alaric memotong ucapan sang ibu. "Sekarang mungkin tidak masalah, tapi bukan berarti suatu hari nanti hal ini tidak akan menjadi besar." Padahal Anna baru saja ingin mengatakan kalau kejadian dulu itu bukan apa-apa, tapi dia batal mengatakannya. Apalagi, sang ibu mertua juga tidak lagi bisa berkata apa-apa. Sepertinya, keputusan Alaric sudah bulat. "Kalau begitu, tolong setidaknya kau perhatikan Anna." Pada akhirnya, Elizabeth memilih untuk menyerah saja. "Jaga dia dengan baik, kalau perlu tambah pen
"Biarkan aku menyentuhmu, Anna," bisik Alaric, tepat di telinga sang istri. "Sebentar saja dan aku akan melakukannya dengan pelan tanpa menyakitimu dan anak kita." "Tapi tidak bisa begitu, Al." Anna melenguh pelan, karena merasakan tangan sang suami mulai merajalela. "Kau masih dipengaruhi obat dan mungkin tidak bisa mengendalikan diri." "Aku tahu, tapi aku yakin bisa mengendalikan diri." Sayangnya, Alaric tidak mengindahkan sang istri. "Aku menginginkanmu." Kedua mata Anna yang tadi terpejam, kini membuka. Dia yang baru saja terbangun dari mimpi nakalnya, kemudian melihat ke sisi ranjang yang lain. Di sana, dia bisa melihat sang suami yang tertidur pulas tanpa mengenakan busana. "Oh, sialan!" Anna menyugar rambut panjangnya secara asal. "Padahal aku pikir itu hanya mimpi basah, tapi ternyata sungguhan." Padahal Anna hanya bicara pelan, tapi sang suami menggeliat pelan dan membuka matanya dengan perlahan. Lelaki itu bahkan bangun dari posisi tidurnya, menatap sang istri deng
"Tunggu dulu, Al." Anna mendorong bahu suaminya dengan cukup keras, sambil berusaha merangkak mundur di atas ranjang. "Aku ini sedang hamil muda loh." "Lalu memangnya kenapa kalau sedang hamil muda?" tanya Alaric dengan tatapan menerawang. "Kita masih bisa bercinta kan?" "Menurut yang pernah kupelajari dan yang baru saja kubaca di internet, trisemester awal sangat rentan dan tidak disarankan untuk bercinta. Apalagi dengan keadaanmu yang seperti sekarang." "Kenapa denganku?" Alih-alih mendengarkan, Alaric malah melepas kancing kemejanya satu per satu. "Kau dipengaruhi obat, jadi tidak mungkin bisa melakukannya pelan-pelan." Anna memekik cukup keras. "Aku akan pelan." "Tidak mungkin kau bisa pelan dalam keadaan seperti ini." Tidak tahan lagi, Anna memilih berteriak. Dia makin panik karena kini sang suami mulai membuka celana. "Tuan aku minta maaf." Padahal Alaric sudah setengah jalan membuka celananya, tapi tiba-tiba saja terdengar suara di belakangnya. Setelah itu, dia
"Maafkan aku Nyonya." Tiba-tiba saja, Darcy datang dan membungkuk. "Aku melakukan kesalahan dan pantas dihukum." "Tunggu dulu." Anna yang sedang bersantai sambil mengunyah biskuit, langsung menghentikan aktifitasnya. "Memangnya kau melakukan kesalahan apa?" "Ini tentang pil pencegah kehamilan yang pernah Nyonya minum." Darcy tentu saja akan menjelaskan. "Rupanya itu bukan morning pill, tapi hanya pil KB biasa saja." "Ah, begitu toh." Anna mengangguk paham. "Pantas saja aku tetap hamil walau sudah minum pil, ternyata memang salah ya." "Ya." Darcy ikut mengangguk. "Seharusnya Nyonya meminum morning pill, yang memang diminum sekali saja setelah berhubungan. Kalau pil KB biasa, itu harus diminum rutin baru berfungsi." "Aku juga tahu itu Darcy, tapi terima kasih sudah menjelaskan." Untungnya, Anna sama sekali tidak marah atas keteledoran sang asisten. "Nyonya tidak marah?" "Lalu apa kau sengaja membeli pil yang salah?" Tentu saja Darcy akan menggeleng sebagai jawabannya. It
"Ian? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Marjorie dengan bola mata yang membulat karena terkejut. "Bukankah harusnya itu pertanyaanku?" tanya Caspian dengan senyum lebar. "Kau seharusnya mencari di dalam gedung dan bukan di dalam kamar hotel seperti sekarang." "Oh, soal itu." Marjorie menyelipkan rambut di telinga, berusaha untuk tetap tenang. "Aku tiba-tiba saja merasa tidak enak badan dan perlu untuk segera pulang dan beristirahat." "Tapi kenapa kau tidak memberitahu?" tanya Caspian dengan kedua alis terangkat dan sebelah tangan menahan pintu, sementara yang lainnya bertengger di kusen pintu. "Padahal kita sedang mencari Tuan Alaric yang menghilang loh." "Aku tidak memberitahu?" tanya Marjorie pura-pura bodoh. "Rasanya tadi aku sudah mengirimkan pesan." Sayangnya, Caspian tidak terlihat ingin membalas ucapan perempuan di depannya. Dia justru melihat penampilan Marjorie yang sebenarnya sudah cukup berantakan. Hal yang membuatnya mendengus geli. "Apa kau habis bercinta? K