Selamat hari sabtu guys.
"Apa Anna berbuat keributan?" Alaric bertanya, setelah dia mengantar salah satu tamunya sampai ke pintu utama. Tadi dia menerima tamu di ruangan lain. "Sebenarnya, bukan Nyonya yang membuat keributan." Caspian tentu akan menjelaskan. "Ada seorang karyawan yang tidak membiarkan Nyonya Anna mengikuti prosedur penerimaan tamu." "Prosedur penerimaan tamu?" tanya Alaric dengan kening berkerut, sampai harus menghentikan langkahnya untuk sejenak. "Menurut Darcy, Nyonya yang ingin melakukannya. Katanya biar bagaimana, prosedur adalah prosedur, jadi dia juga harus patuh." Caspian menjelaskan disertai dengan senyuman. "Tapi pada akhirnya dia terkena masalah bukan?" Alaric kembali melanjutkan langkah, walau harus berhenti lagi di depan lift. "Benar juga sih, tapi aku tetap salut dengan sifat Nyonya." Alaric kembali menatap sang asisten dengan kening berkerut. Dia benar-benar merasa bingung, bagaimana bisa seorang Caspian Grey kini menyanjung sang istri. Padahal dulu, lelaki itu yang
"Karena sekarang kau sedang cuti, bagaimana kalau kita pergi untuk mengunjungi Mom?" Pertanyaan dari sang istri, membuat Alaric menaikkan sebelah alisnya. Lelaki yang sedang menyusun program rancangan kerja yang bisa digunakan untuk kampanye itu, merasa apa yang dikatakan oleh sang istri sangatlah tidak masuk akal. "Untuk apa kau mau ke sana?" tanya Alaric segera melihat kembali ke laptop yang dia pakai sejak tadi. "Apa kau tidak takut dikerjai lagi?" "Takut sih, tapi tidak apa-apa. Soalnya, kali ini aku pasti tidak akan disuruh ke kantormu dengan pakaian aneh lagi kan?" Sebelah alis Alaric terangkat melihat ekspresi ceria istrinya yang agak tidak masuk akal, sebelum mengatakan, "Kalau kau mau pergi, pergi sendiri saja." "Eh? Kau tidak mau ikut? Hitung-hitung kau sekalian mengunjungi ibumu dan pulang ke rumah bukan?" tanya Anna dengan kedua alis yang terangkat. "Itu rumah ibuku," jawab Alaric terdengar santai. "Aku memang besar di sana, tapi itu rumah ibuku dan Astrid."
"KELUAR DARI SINI!" Anna nyaris saja terjatuh, ketika sang mertua mendorongnya dengan cukup kasar. Dia benar-benar didorong, seolah Elizabeth sedang mendorong sapi berukuran agak besar dan bukan manusia. "Mom, aku salah apa lagi sih?" tanya Anna dengan kening yang berkerut bingung. "Apa cara mengupas buahku jelek? Lalu barang-barangku masih ada di dalam." "Ambil saja semua barang-barang harammu ini." Elizabeth kembali membuka pintu, untuk melempar barang-barang sang menantu. "Ponsel baruku." Anna dengan cepat menangkap benda pipih yang baru saja dia beli beberapa jam yang lalu. "Aduh, anakku." Anna langsung mengelus ponsel yang berhasil dia tangkap. "Aku bahkan belum benar-benar belajar menggunakan benda ini, jadi tidak boleh rusak." "Padahal ada ponsel yang lebih baik dari itu, tapi kenapa Nyonya sangat menyayanginya?" tanya Darcy dengan helaan napas panjang, setelah memungut tas perempuan yang dia layani. "Bagiku ini sudah sangat bagus, walau kau bilang ini termasuk mu
Mata Alaric melotot, ketika melihat perempuan yang terbaring di sebelahnya. Itu adalah Anna yang tertidur dan terlihat tidak mengenakan apa pun di balik selimut hangat yang menutupi tubuh mungilnya. "Aku sudah gila," bisik Alaric menggosok wajahnya dengan kasar menggunakan kedua tangan. "Benar-benar sudah gila." Dengan gerakan yang cukup cepat, Alaric menarik selimut dan segera turun dari ranjang dalam keadaan telanjang. Toh, tidak ada yang melihatnya, karena Anna masih terlihat sangat lelap dengan wajah sembap. Lagi pula, dia juga akan berpakaian. "Tuan? Akhirnya kau bangun juga." Caspian mengembuskan napas lega melihat lelaki yang sudah dia tunggu sejak tadi. "Nyonya Elizabeth berniat untuk datang." "Biarkan saja dia menunggu." Alaric mengatakan itu, sambil terus berjalan ke kamar sebelah. "Lalu kau Darcy." "Ya, Tuan." Yang dipanggil langsung menjawab. Kebetulan Darcy juga menunggu bersama dengan Caspian di depan pintu kamar. "Berikan obat ... apa lagi itu namanya." Alar
"Ayolah, Darcy. Ceritakan padaku tentang si Pearl ini." Anna merajuk, bahkan mengejar asistennya itu. "Aku ingin tahu." "Maaf, Nyonya." Sayangnya, Darcy harus menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu, apalagi aku tidak mengenal yang namanya Pearl." "Tapi kenapa kau terdengar seperti tahu sesuatu?" tanya Anna masih berusaha untuk membujuk. "Kalau tidak kenal, kenapa kau menghindar? Kau kan bisa langsung bilang tidak tahu saja." Darcy sudah membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi dia batal melakukannya. Wajah cemberut dan mata melotot sang nyonya muda, membuatnya tidak ingin membantah. "Aku memang tahu sesuatu, tapi kejadian itu terjadi sebelum aku bekerja dengan Tuan." Pada akhirnya, Darcy menceritakan sedikit. "Tapi aku juga tidak bisa bercerita, karena itu bukan kapasitasku dan aku juga tidak tahu benar apa yang terjadi." "Berikan bocoran sedikit saja." Anna terus mendesak. "Aku hanya ingin tahu siapa dia." "Siapa yang kau maksud?" Anna nyaris saja tersentak ket
"Apa yang membuatmu terlihat murung?" Seseorang bertanya, setelah mengetuk pintu ruangan Alaric. "Tidak ada." Yang empunya ruangan hanya bisa menggeleng saja. "Kau yakin tidak ada?" tanya lelaki berambut pirang yang baru saja masuk itu, kemudian menatap asisten yang empunya ruangan. "Apa dia baru saja bertengkar dengan istrinya atau apa?" "Aku juga tidak tahu." Sayangnya, Caspian harus menggeleng. "Soalnya mereka menghabiskan malam panjang bersama, tapi saat pagi wajahnya sudah jelek." "Oh, ini sungguh mengejutkan." Lelaki tadi tertawa, sebelum memilih duduk di depan meja pemilik ruangan. "Masih pengantin baru dan sudah bertengkar di atas ranjang?" "Sebaiknya kau menutup mulut, Levi," desis Alaric makin merasa kesal saja. "Aku sedang tidak ada mood untuk bercanda denganmu." "Memangnya sejak kapan kau senang bercanda?" tanya lelaki yang dipanggil Levi dengan kening berkerut. "Apa kau tidak lihat bagaimana rupa Ian sekarang? Dia jadi jutek hanya karena terlalu lama bekerja de
Anna menatap lembaran kertas yang ditaruh di atas meja, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Lembaran kertas itu berbentuk persegi panjang, dengan tulisan yang tercetak rapi di atasnya, disertai dengan tanda tangan. "Darcy," panggil Anna masih dengan ekspresi dan posisi tubuh yang sama. "Ini yang dinamakan dengan cek kosong bukan?" "Itu kurang tepat, Nyonya," jawab perempuan berambut pendek yang berdiri di belakang si penanya. "Lalu ini disebut apa?" "Mungkin bisa disebut dengan cek yang belum diisi nominalnya." Sebagai asisten, tentu saja Darcy tidak akan keberatan untuk menjelaskan. "Sementara kalau cek kosong itu adalah cek yang tidak memiliki saldo di dalam rekeningnya." "Jadi, apa maksud Mom memberiku cek yang belum ditulisi nominalnya ini?" Anna kembali bertanya, tanpa banyak mengubah ekspresi dan posisi. Embusan napas pelan terdengar dari bibir Darcy. Dia yakin sang nyonya sudah tahu maksud dari cek itu,
"Halo, selamat pagi. Aku Marjorie Jackson." Seorang perempuan cantik yang berdiri di depan ruangan menyapa. "Terima kasih karena sudah menerimaku masuk ke partai ini, walau waktunya sangat tidak tepat." "Ucapkan terima kasih itu pada calon perdana menteri kita." Seseorang memberitahu. "Kalau bukan karena dia, mungkin kau akan ditendang." "Terima kasih Pak Alaric," ucap perempuan yang tadi memperkenalkan diri dengan senyum lebar. "Jadi begini saja?" Alih-alih menjawab ucapan tadi, Alaric malah bertanya. "Kalian memintaku datang hanya untuk ini?" "Oh, maaf." Seseorang mengucap maaf. "Kami pikir akan baik kalau Pak Alaric juga mengenal anggota baru kita. Kebetulan, dia menyumbang cukup banyak untuk partai kita." "Terima kasih atas sambungannya." Alaric mengatakan itu, sembari beranjak dari tempat duduknya. "Aku harap, kau bisa berkontribusi hal lainnya juga selain uang." Setelah mengatakan hal itu, Alaric melangkah pergi. Asistennya bahkan sedikit terkejut, bahkan perlu berja
"Astaga Anna!" Yang empunya nama, memukul kepalanya sendiri. "Bagaimana kau bisa membayangkan hal mesum, setelah mendengar ucapan Alaric? Sadarlah, Anna." Sesungguhnya, Anna tadi mendengarkan ucapan Alaric tentang mandi bersama dengan sangat jelas. Dia hanya berpura-pura tidak mendengar karena merasa malu. "Tenang Anna," ucapnya menarik napas dan mengembuskan dengan pelan dan suara air mengalir yang menjadi latar belakang. "Kau harus tenang dan jalankan saja tugasmu sebagai seorang istri, setidaknya sampai kau muak." "Tapi, kenapa rasanya rokku basah ya?" tanya Anna dengan kening berkerut, sebelum akhirnya dia sedikit menunduk. Tanpa Anna sadari, air di bathtub rupanya sudah meluap. Padahal, rasanya dia hanya menyalakan air dengan aliran kecil saja. Siapa yang sangka kalau sekarang isi bathtub-nya sudah meluap sampai ke lantai. "Astaga, Anna." Yang empunya nama berteriak cukup keras. "Apa yang kau lakukan?" Tentu saja Anna segera mengulurkan tangan untuk mematikan kran air
"Pemeriksaan kesehatan?" tanya Fiona dengan sebelah alis yang terangkat. "Ya." Darcy mengangguk pelan. "Semua orang akan mendapatkan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh. Ini untuk kebaikan bersama juga, apalagi ada kejadian yang tidak mengenakkan terjadi baru-baru ini." "Kejadian apa?" Seorang rekan pengawal perempuan yang lain bertanya. "Apa tentang kasus Marjorie itu? Tapi apa hubungannya?" "Marjorie ternyata penderita AIDS," jawab Darcy dengan tenang. "Jadi Tuan ingin kita semua memeriksakan diri, karena siapa tahu saja ada yang tidak sengaja tertular. Berhubung kita juga pernah memantau dia cukup lama, jadi siapa tahu kan?" "Tuan, Nyonya dan keluarga lainnya pun sudah memeriksakan diri," lanjut Darcy menatap satu per satu rekannya. "Aku dan Caspian juga sudah, jadi sekarang giliran kalian." Semua orang saling menatap dengan ekspresi beragam. Ada yang terlihat kaget dan ada juga yang terlihat cemas. Yang jelas mereka semua terlihat tidak nyaman dengan berita yang bar
"Bagaimana dia bisa tahu kalau ada pembunuh di rumahku?" ucap Elizabeth dengan mata melotot. "Mom, st." Anna menempelkan jari telunjuk di bibirnya. "Jangan terlalu keras, siapa tahu ada yang menguping di depan pintu. Atau mungkin ada yang memasang alat penyadap." "Oh, aku rasa aku harus memeriksa ruangan ini terlebih dulu." Caspian langsung bergerak, diikuti dengan Darcy. Semua orang yang sedang berada di dalam ruang baca itu menatap dua orang asisten sekaligus pengawal pribadi yang menggeledah ruangan dengan seksama. Mereka jelas saja akan merasa cemas, karena bisa saja mereka ketahuan. "Tidak ada penyadap atau kamera yang ditemukan." Untungnya Darcy menggeleng. "Ruangan ini juga dilapisi karpet, jadi seharusnya akan lebih kedap suara," lanjut Caspian menjelaskan. "Maaf harus menanyakan ini, tapi kalian berdua bisa dipercaya kan?" Tiba-tiba saja Astrid bertanya. "Mereka aman." Anna dengan tenangnya memberitahu. "Soalnya, Bastian mengatakan akan bertemu teman di rumah, p
"Kami akan menantikan teman yang dimaksud bocah itu." Polisi yang menangani kasus ini, tersenyum menatap pasangan di depannya. "Aku pasti akan mencari bedebah itu sampai ketemu dan mungkin bisa memotong lidahnya?" Alaric malah mengatakan hal yang tidak-tidak, bahkan sampai melotot. "Al." Sebagai istri yang baik, tentu saja Anna akan menegur sang suami. "Kau punya istri yang baik." Si polisi berdecak pelan. "Setidaknya dia tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam saja." "Terima kasih karena sudah memuji istriku, tapi dia tidak akan melirikmu hanya karena itu," balas Alaric dengan senyum lebar. "Asal kau tahu, aku melihatmu menatap istriku terus-terusan dan jika kasus ini selesai dengan baik, kau akan tahu akibatnya." Si polisi langsung terdiam dan tiba-tiba saja menjadi gugup. Siapa yang sangka kalau dia ketahuan seperti itu, bahkan diancam dan dipermalukan di depan umum. Bahkan ada polisi lain yang mendengar hal itu. "Kau tidak perlu seperti itu," gumam Anna terlihat
"Jadi Bastian, maukah kau berbicara sedikit?" tanya seorang perempuan berwajah lembut, dengan suara yang sama lembutnya. Sayang sekali, Bastian malah menggeleng dengan keras. Dia bahkan membuang muka dan lebih memilih untuk memeluk boneka kelinci yang baru-baru ini menjadi mainan kesayangannya. "Bonekanya sangat menggemaskan, dari mana kau mendapatkannya?" Tidak berhasil saat bertanya secara langsung, perempuan paruh baya tadi memilih untuk bertanya hal lain lebih dulu. "Bibi," jawab Bastian tanpa ragu. "Hadiah." "Aku dengar baru-baru ini kau ulang tahu. Apa ini hadiah ulang tahunmu?" Bastian kali ini mengangguk dengan sangat antusias, dia bahkan tersenyum. Tentu saja ini hal yang bagus untuk semua orang. "Bibi yang mana yang memberimu ini?" Perempuan paruh baya tadi ingin menyentuh bonekanya, tapi si bocah langsung memeluknya dengan lebih erat lagi. "Aku tidak akan mengambil bonekamu." Perempuan yang sejak tadi bertanya, hanya bisa tertawa. "Apakah tidak boleh aku tahu
"Kau sudah melihat berita terbaru?""Yeah, katanya pasangan Crawford akan membiayai bocah malang yang ibunya menjadi korban pembunuhan itu.""Tapi apa kau tahu, mereka mengatakan itu ide dari istrinya Alaric Crawford.""Aku rasa dia merasa bersalah karena ibu anak itu meninggal. Maksudku, belum tentu dia pelakunya, tapi dia katanya baru kehilangan bayi kan? Mungkin naluri ibunya tersentuh.""Rasanya aku tidak percaya kalau orang sebaik itu adalah tersangka. Aku rasa mereka hanya kebetulan saja tersangkut kasus ini."Telinga Anna rasanya gatal sekali mendengar apa yang diucapkan oleh orang-orang di sekitarnya. Padahal, tadinya Anna hanya ingin keluar sebentar untuk berbelanja di minimarket, tapi malah dia mendengar semua orang membicarakannya dan Alaric."Aku rasa taktikmu berhasil, Nyonya," bisik Darcy yang selalu mengikuti ke mana-mana."Ini bukan taktik, Darcy." Anna melotot mendengar asistennya itu. "Aku murni melakukan ini, karena aku merasa kasihan pada Bastian.""Tentu
"Aku tidak salah dengar kan?" tanya ayah Marjorie dengan mata melotot. "Kau ingin membiayai Bastian?" "Hanya pendidikannya saja," balas Anna dengan senyum tipis, sembari bermain dengan anak yang dimaksud. "Lagi pula, Alaric yang akan membayar semuanya. Bukan aku." Walau agak tidak sesuai jadwal, Anna dan Alaric pada akhirnya pergi mengunjungi Bastian. Hanya berselang dua hari sejak janji yang diucapkan sang calon perdana menteri, tapi mereka berhasil berkunjung di tengah kesibukan. "Kau sedang tidak sedang mabuk kan?" tanya sang ayah dengan kening berkerut. "Sama sekali tidak, tapi kalau ingin berterima kasih jangan padaku." Alaric menjelaskan, sebelum diminta. "Aku memang yang akan mengeluarkan uang, tapi ini ide Anna." "Lalu kau menerimanya begitu saja?" "Aku menerima ide itu karena istriku yang meminta. Lalu, ini juga bisa membuat suaraku yang sempat turun, kembali naik." "Al." Anna tentu saja akan menegur sang suami yang terlalu jujur. "Aku hanya mengatakan kenyata
"Sudah mati pun dia masih bikin susah." "Mom, jangan ngomong gitu dong." Anna segera menegur mertuanya. "Tidak baik membicarakan orang yang sudah meninggal seperti itu." Anna yang duduk di sebelah sang mertua, segera memeluk lengan Elizabeth. Niatnya sih untuk menghentikan perempuan tua itu, terutama saat mereka sekeluarga sedang berkumpul di rumah Elizabeth. "Tapi itu kenyataannya." Sayangnya, Elizabeth enggan berhenti, bahkan sampai melotot saking marahnya. "Gara-gara dia, kita semua harus melakukan tes darah." "Sebenarnya, kita tidak perlu melakukan tes darah." Alaric mengembuskan napas lelah. "Tidak satu pun dari kita yang pernah kontak langsung dengan darah Marjorie, apalagi kotoran dan hal lainnya." "Siapa yang bisa menjamin?" tanya Elizabeth makin melotot saja. "Dia itu sangat pendendam, bisa saja dia dengan sengaja meneteskan darahnya ke dalam kopimu atau minuman Anna. Atau bisa saja dia menyuruh orang lain melakukan itu." "Mom, aku mohon." Tidak tahan mendengarnya
"Apakah Bastian tidak ikut?" Itu adalah hal pertama yang diucapkan oleh Anna, ketika disambut oleh ayah Marjorie. "Dia tentu saja datang dan sedang bersama ayahnya di sana." Anna menoleh dan menatap ke arah yang ditunjuk lelaki paruh baya di depannya. Dari tempatnya, dia bisa melihat anak yang dia cari sedang menatap peti mati dengan bibir mencebik. Tentu saja dalam gendongan Landon. "Bolehkah aku pamit untuk bertemu Bastian dulu?" tanya Anna demi sopan santun. "Tentu saja, tapi aku sarankan kau tidak menemui Landon berdua saja." Ayah Marjorie malah memberi nasihat. "Kadang ada orang jahat yang akan menebar gosip, walau dalam keadaan berduka sekali pun." "Terima kasih banyak atas sarannya." Anna membalas dengan senyum tipis dan segera mengajak dua orang yang datang bersamanya untuk berpindah tempat. "Aku senang kalian masih mau dan menyempatkan diri untuk datang." Landon segera menyambut dengan senyuman. "Seharusnya itu kalimat yang ditujukan untukmu." Kali ini Astrid y