"Istri katamu?" tanya Anna dengan sebelah alis terangkat. "Mungkin tidak banyak yang tahu karena ini belum jadi konsumsi publik, tapi ya. Namaku Marjorie Jackson dan aku istrinya Alaric Bastian Crawford yang kau cari." "Istri ya?" Anna kembali bersuara dengan nada tanya. "Aku tidak tahu apa kau itu tuli atau apa, tapi aku sudah menyebutkannya sebanyak dua kali." Kedua alis Marjorie sedikit terangkat karena kesal. "Masalahnya, aku tidak percaya padamu," balas Anna dengan kening berkerut. "Apalagi aku mengenali istri Alaric yang sebenarnya." "Oh, benarkah?" Marjorie mengerutkan keningnya, tapi bukan karena merasa terkejut. Dia sedang bingung. "Bagaimana mungkin kau bisa mengenali istri seorang ...." "NYONYA." Belum juga ucapan Marjorie selesai, suara teriakan terdengar. Langkah tergesa Caspian terdengar setelahnya, setidaknya sampai lelaki itu berhenti tepat di depan tiga orang perempuan dan seorang petugas keamanan yang kebingungan. "Kebetulan sekali kau datang." Marjori
"Jadi? Siapa Marjorie Jackson ini?" tanya Anna dengan pupil mata yang melebar, bahkan wajahnya cukup dekat dengan sang asisten. "Maaf, Nyonya. Aku juga tidak begitu tahu." Darcy hanya bisa berusaha menjauhkan diri, walau itu sulit. Mereka ada di dalam mobil. "Tapi setidaknya kau tahu sesuatu kan?" Anna masih terus mencecar asistennya. "Setidaknya, beritahu aku apa hubungan perempuan itu dengan Alaric." "Maaf, Nyonya." Hanya itu saja yang bisa Darcy ucapkan secara terus menerus. Bahkan sudah empat kali dia mengatakannya. Anna mengembuskan napas pelan. Padahal, dia hanya ingin tahu siapa sebenarnya Marjorie Jackson itu, tapi tidak ada yang bisa dia dapatkan. Tentu saja Anna bisa mencari lewat media sosial, tapi tidak banyak yang bisa didapatkan di sana. Semua yang dia temukan, hanya informasi umum saja. "Bahkan tidak ada satu pun foto Alaric di sini," gumam Anna sembari menggulir ratusan foto dengan gerakan yang cukup cepat. "Lantas kenapa dia mengaku sebagai istri suamiku?
"Mana Anna?" Alaric bertanya dengan kening berkerut, ketika dia sudah sampai di rumahnya yang terasa sepi. Biasanya, sang istri akan selalu menyambut Alaric jika dia pulang tidak terlalu larut. Tapi hari ini, dia sama sekali tidak melihat batang hidung Anna, padahal jam makan malam baru saja berlalu. "Itu Tuan." Darcy menjawab dengan ragu-ragu. "Nyonya Anna mengurung diri di kamar tamu dan juga mogok makan." "Mengurung diri?" Sebelah alis Alaric tentu saja terangkat. "Aku melarangnya untuk pergi mencari pekerjaan." "Pekerjaan? Pekerjaan apa maksudnya?" "Karena merasa bosan di rumah saja, Nyonya ingin melakukan pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Katanya, dia merasa tidak enak kalau terus menggunakan uang Tuan. Apalagi, tidak banyak yang bisa dia lakukan sebagai istrimu." Tentu saja Darcy akan menjelaskan. Penjelasan itu jelas saja akan membuat Alaric makin menaikkan sebelah alisnya. Bahkan Caspian saja merasa heran mendengar penjelasan dari rekan kerjanya itu. Bagi mer
"Kau baru saja bilang apa?" tanya Astrid dengan kedua mata membulat, dengan ponsel yang menempel di telinga. "Aku meminta kau memberi pekerjaan pada istriku," jawab Alaric dengan tenang. "Hanya kau yang bisa aku mintai tolong untuk sekarang ini, jadi jaga istriku dengan baik." "Tapi kau sendiri kan punya perusahaan, kenapa .... Halo? Alaric?" Astrid menatap ponselnya yang sudah kembali berwarna hitam, tanda panggilan telepon itu sudah dimatikan secara sepihak. Hal itu jelas saja akan membuat Astrid mendesis kesal. "Maaf, tapi apakah aku tidak bisa bekerja di sini?" Kepala Astrid langsung berputar untuk menoleh dan melihat perempuan yang baru saja berbicara itu. Dia melihat adik iparnya dengan kedua alis terangkat dan bibir mengatup sangat rapat. "Boleh aku tahu kenapa kau harus bekerja?" tanya Astrid masih melotot. "Aku tidak ingin menjadi beban untuk Alaric," jawab Anna dengan senyum lebar. "Bukan berarti aku tidak mendapat uang saku, tapi aku hanya ingin punya penghas
"Hei, kau anak baru. Coba bersihkan kamar ganti dan jangan lupa juga merapikan gudang." "Baik." Anna langsung menjawab dengan ceria. Tapi baru juga dia ingin beranjak, pundaknya diremas pelan. "Kau tidak perlu melakukannya." Darcy maju untuk melindungi sang nyonya. "Bukankah bagian itu sudah dijadwalkan untuk orang lain?" "Tapi kalian itu anak baru," hardik salah seorang karyawan butik yang berseragam abu-abu. "Di sini, karyawan baru yang mengerjakan bagian bersih-bersih, menyetrika dan mengurusi gudang." "Mana ada peraturan yang begitu?" Darcy tentu saja tidak mau kalah. "Bawakan peraturan yang mencantumkan hal itu." "Apa kau bodoh?" tanya salah satu pegawai yang lain. "Di setiap tempat kerja itu, pasti ada saja peraturan tidak tertulisnya. Kau tidak pernah bekerja ya?" "Mereka itu rakyat jelata yang baru menginjakkan kaki di toko mewah, jadi maklumi saja." Satu lagi pegawai menyebalkan bersuara. "Kalian
"Aku memanggil mereka untuk melayaniku, tapi kenapa mereka tidak banyak bergerak ya?" tanya Marjorie menatap dua orang yang sejak tadi dia lihat. "Maaf, Nyonya." Manajer butik hanya bisa menunduk. "Mereka masih anak baru dan belum tahu banyak hal." "Tapi kalau hanya sekedar mengambil barang, memegang baju dan membawa camilan pasti bisa kan?" tanya Marjorie tanpa mengalihkan perhatiannya. Sang manajer kemudian menatap dua orang yang dimaksud. Awalnya dia merasa ragu, tapi pada akhirnya memanggil Anna dan Darcy. Toh, tamunya sendiri yang meminta untuk dilayani dua orang itu. "Kalian bantu Nyonya ini." Sang manajer berbisik. "Kalau ada yang tidak dimengerti, kalian segera kabari saja aku. Aku akan menunggu di sana dan mungkin akan keluar sebentar." "Tinggalkan saja kami." Tiba-tiba saja Marjorie bersuara. "Aku kebetulan mengenal dua orang ini dan ingin sekalian mengobrol." Si manajer menatap pelanggannya untuk sesaat, sebelum beralih pada dua anak barunya. "Kalau ada masalah,
"Kau barusan bilang apa?" tanya Astrid dengan mata melotot. "Ada laporan kalau kartu member VIP atas nama Pak Alaric baru saja digunakan di butik yang baru dibuka itu." Seseorang melaporkan. "Yang datang seorang perempuan yang mengaku sebagai Pearl." "Maksudmu, butik tempat dua anak baru itu bekerja sekarang ini?" tanya Astrid masih dengan mata yang melotot. "Tepat sekali." "Sialan! Perempuan gila itu benar-benar cari masalah." Kini Astrid beranjak dari kursi kerjanya. "Sekarang, antar aku pergi ke butik yang dimaksud. Mereka belum boleh bertemu." *** Anna hanya tersenyum menatap perempuan tinggi yang berjalan mondar-mandir di depannya, dengan ponsel di tangan. Dia menanti dengan setia ketika Marjorie sedang berusaha untuk menelepon Alaric. "Sialan!" umpat Marjorie menekan ponselnya dengan kuat. "Apakah tidak diangkat?" Darcy ikut tersenyum melihat apa yang terjadi. "Aku yakin Tuan Alaric pasti sangat sibuk." "Ya, benar." Marjorie mengangguk. "Dia itu orang sibuk, jad
"Alaric anak durhaka ini!" "Mom, bisakah kau tidak memaki?" Alaric menarik dasinya yang terasa sesak. "Rasanya belakangan ini kau sering sekali berteriak. Aku datang ke sini karena kau memanggil dan tidak mengharapkan teriakan." "Kau pantas dimaki dan diteriaki." Bukannya merasa bersalah, Elizabeth malah makin menjadi. "Bagaimana mungkin kau bisa memasukkan mantanmu ke dalam partai?" Alaric langsung menoleh ketika mendengar ucapan sang ibu. Dari tatapannya saja, terlihat jelas kalau lelaki itu tidak senang dengan apa yang didengarnya. "Dari mana kau tahu hal seperti itu?" tanya Alaric dengan tatapan tajam yang tidak dia sembunyikan sama sekali. "Menurutmu dari mana lagi kalau bukan dari istrimu." "Anna?" Alaric yang sedikit terkejut, menaikkan kedua alisnya. "Anak itu melapor pada Mom?" "Kenapa?" hardik Elizabeth malah makin terlihat kesal. "Kau tidak senang kalau istrimu melapor? Apa kau waras?" "Sekali pun aku ini tidak suka pada istrimu, tapi aku lebih tidak suka l
"Eh, ketemu dengan teman Papa?" tanya Anna yang kala itu baru menginjak usia delapan belas tahun. "Untuk apa?" "Mereka penasaran denganmu, sekalian saja temani Papa ke tempat pertemuan." Sang ayah berbicara dengan lembut. "Lagi pula, sekarang kau kan sudah lulus." "Benar." Anna mengangguk pelan. "Aku lulus tepat saat baru berumur delapan belas." "Jadi tentu tidak masalah bukan?" tanya sang ayah dengan lembut. "Maksud Papa, kau tidak sedang belajar dan tidak masalah kalau harus begadang selama beberapa hari bukan?" "Tidak masalah sih." Anna kembali mengangguk. "Aku akan pergi menemani Papa." "Anak baik." Sang ayah mengelus pelan kepala sang putri yang kini tersenyum cerah. Anna tentu saja akan senang jika ayahnya senang. Biar bagaimana, sekarang hanya ada mereka berdua saja. Anna pasti akan berusaha untuk melakukan apa pun yang terbaik untuk menyenangkan lelaki yang sudah bersamanya sejak lahir. Kecuali mungkin satu hal. "Maaf, tapi tolong sedikit menjauh." Anna memberita
"Apa maksud berita ini Alaric?" Seseorang memukul meja. "Aku sama sekali tidak mengerti." Sayangnya, Alaric harus menggeleng. Bukan tidak tahu apa-apa, tapi dia sedang berusaha menghindar. "Ini berita tentang istrimu, bagaimana mungkin kau tidak tahu apa-apa?" hardik orang yang lain dan membuat Alaric menghela napas. Pagi ini, Alaric memang buru-buru ke kantor karena menerima tentang berita sang istri. Dia bahkan nyaris saja melewatkan sapaan selamat pagi sang istri yang hari ini bangun sedikit lebih terlambat. Jujur, ini membuatnya sakit kepala. "Dengar." Setelah cukup lama terdiam, Alaric akhirnya berbicara juga. "Apa pun yang kalian baca itu tidak benar. Sekali pun itu benar, aku yakin istriku adalah korbannya. Bahkan selama ini pun dia adalah korban grooming." "Kalau begitu berikan bukti dan cepat klarifikasi." Seseorang memberitahu. "Tidak semua orang bisa menerima kenyataan itu." "Sekarang perempuan akan lebih banyak mendukung sesama perempuan." Levi yang biasanya
"Calon perdana menteri Alaric Bastian Crawford akhirnya memperkenalkan istrinya pada khalayak umum." Anna membaca judul berita yang ada pada layar ponselnya. "Siapakah sebenarnya Nyonya muda Crawford yang terlihat polos bak malaikat." "Oh, yang benar saja." Anna memekik dan nyaris saja melempar ponselnya. "Kenapa bahasanya menjijikkan begini?" "Kata siapa menjijikkan?" Elizabeth langsung melotot ketika mendengar ucapan menantunya. "Lagi pula, kenapa lompat-lompat? Kau menakuti bayinya." "Mom, bayi di dalam dilindungi plasenta." Astrid memberitahu. "Dia tidak akan takut." "Tapi bukan berarti Anna tidak bisa jatuh kan?" hardik Elizabeth dengan mata melotot. "Kalau dia jatuh dengan keras, bayinya bisa kenapa-kenapa." Mendengar ucapan orang tua itu, Anna dan Astrid langsung terdiam. Mereka dengan cepat memperbaiki duduknya, tidak ingin diceramahi lagi. "Tapi kenapa kalian berdua ada di sini?" Anna kembali bersuara, dengan kening berkerut dan melihat dua orang yang duduk di ki
"Bagaimana kalau kita mendengar sepatah atau dua kata dari Nyonya Muda Crawford?" "Ya?" Anna melotot mendengar pertanyaan yang dilemparkan padanya itu. Padahal tadi Alaric bilang dia hanya perlu duduk cantik di studio, bersama dengan ipar dan mertuanya. Katanya paling hanya perlu sedikit menyapa, tapi kenapa sekarang dia ditanyai begini. "Ambil saja mic-nya." Astrid berbisik pada sang ipar, agar tidak terlalu lama terdiam. "Tidak masalah kan kalau kami menanyai istri Pak Alaric yang baru terlihat ini?" Pembawa acara debatnya bertanya. "Untuk yang satu itu, tanyakan saja langsung pada istriku. Dia yang akan kalian tanyai bukan?" Alaric memilih jawaban yang paling aman. "Jika dia tidak mau, tentu saja kau tidak boleh bertanya." "Jadi bagaimana?" Pembawa acara kembali bertanya pada Anna. "Tentu saja bisa." Mau tidak mau, Anna mengangguk. "Tapi aku jadi takut dengan pertanyaannya." "Tenang saja, kami hanya ingin tahu tentang dirimu." Anna menaikkan kedua alis mendengar u
"Kenapa harus pada saat Anna sedang hamil muda?" tanya Elizabeth dengan mata melotot. "Kenapa tidak sebelumnya atau selepas trisemester pertama?" "Aku ingin melindungi Anna dari dekat," balas Alaric dengan tegas. "Dia memang bisa dilindungi dari dunia politik jika terus di dalam rumah, tapi tidak dalam kehidupan sosial dan sehari-hari. Contoh kecilnya saja pada saat Anna bekerja di butik tempo hari." "Itu benar, tapi ...." "Tolong jangan katakan kalau itu bukan hal yang besar." Alaric memotong ucapan sang ibu. "Sekarang mungkin tidak masalah, tapi bukan berarti suatu hari nanti hal ini tidak akan menjadi besar." Padahal Anna baru saja ingin mengatakan kalau kejadian dulu itu bukan apa-apa, tapi dia batal mengatakannya. Apalagi, sang ibu mertua juga tidak lagi bisa berkata apa-apa. Sepertinya, keputusan Alaric sudah bulat. "Kalau begitu, tolong setidaknya kau perhatikan Anna." Pada akhirnya, Elizabeth memilih untuk menyerah saja. "Jaga dia dengan baik, kalau perlu tambah pen
"Biarkan aku menyentuhmu, Anna," bisik Alaric, tepat di telinga sang istri. "Sebentar saja dan aku akan melakukannya dengan pelan tanpa menyakitimu dan anak kita." "Tapi tidak bisa begitu, Al." Anna melenguh pelan, karena merasakan tangan sang suami mulai merajalela. "Kau masih dipengaruhi obat dan mungkin tidak bisa mengendalikan diri." "Aku tahu, tapi aku yakin bisa mengendalikan diri." Sayangnya, Alaric tidak mengindahkan sang istri. "Aku menginginkanmu." Kedua mata Anna yang tadi terpejam, kini membuka. Dia yang baru saja terbangun dari mimpi nakalnya, kemudian melihat ke sisi ranjang yang lain. Di sana, dia bisa melihat sang suami yang tertidur pulas tanpa mengenakan busana. "Oh, sialan!" Anna menyugar rambut panjangnya secara asal. "Padahal aku pikir itu hanya mimpi basah, tapi ternyata sungguhan." Padahal Anna hanya bicara pelan, tapi sang suami menggeliat pelan dan membuka matanya dengan perlahan. Lelaki itu bahkan bangun dari posisi tidurnya, menatap sang istri deng
"Tunggu dulu, Al." Anna mendorong bahu suaminya dengan cukup keras, sambil berusaha merangkak mundur di atas ranjang. "Aku ini sedang hamil muda loh." "Lalu memangnya kenapa kalau sedang hamil muda?" tanya Alaric dengan tatapan menerawang. "Kita masih bisa bercinta kan?" "Menurut yang pernah kupelajari dan yang baru saja kubaca di internet, trisemester awal sangat rentan dan tidak disarankan untuk bercinta. Apalagi dengan keadaanmu yang seperti sekarang." "Kenapa denganku?" Alih-alih mendengarkan, Alaric malah melepas kancing kemejanya satu per satu. "Kau dipengaruhi obat, jadi tidak mungkin bisa melakukannya pelan-pelan." Anna memekik cukup keras. "Aku akan pelan." "Tidak mungkin kau bisa pelan dalam keadaan seperti ini." Tidak tahan lagi, Anna memilih berteriak. Dia makin panik karena kini sang suami mulai membuka celana. "Tuan aku minta maaf." Padahal Alaric sudah setengah jalan membuka celananya, tapi tiba-tiba saja terdengar suara di belakangnya. Setelah itu, dia
"Maafkan aku Nyonya." Tiba-tiba saja, Darcy datang dan membungkuk. "Aku melakukan kesalahan dan pantas dihukum." "Tunggu dulu." Anna yang sedang bersantai sambil mengunyah biskuit, langsung menghentikan aktifitasnya. "Memangnya kau melakukan kesalahan apa?" "Ini tentang pil pencegah kehamilan yang pernah Nyonya minum." Darcy tentu saja akan menjelaskan. "Rupanya itu bukan morning pill, tapi hanya pil KB biasa saja." "Ah, begitu toh." Anna mengangguk paham. "Pantas saja aku tetap hamil walau sudah minum pil, ternyata memang salah ya." "Ya." Darcy ikut mengangguk. "Seharusnya Nyonya meminum morning pill, yang memang diminum sekali saja setelah berhubungan. Kalau pil KB biasa, itu harus diminum rutin baru berfungsi." "Aku juga tahu itu Darcy, tapi terima kasih sudah menjelaskan." Untungnya, Anna sama sekali tidak marah atas keteledoran sang asisten. "Nyonya tidak marah?" "Lalu apa kau sengaja membeli pil yang salah?" Tentu saja Darcy akan menggeleng sebagai jawabannya. It
"Ian? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Marjorie dengan bola mata yang membulat karena terkejut. "Bukankah harusnya itu pertanyaanku?" tanya Caspian dengan senyum lebar. "Kau seharusnya mencari di dalam gedung dan bukan di dalam kamar hotel seperti sekarang." "Oh, soal itu." Marjorie menyelipkan rambut di telinga, berusaha untuk tetap tenang. "Aku tiba-tiba saja merasa tidak enak badan dan perlu untuk segera pulang dan beristirahat." "Tapi kenapa kau tidak memberitahu?" tanya Caspian dengan kedua alis terangkat dan sebelah tangan menahan pintu, sementara yang lainnya bertengger di kusen pintu. "Padahal kita sedang mencari Tuan Alaric yang menghilang loh." "Aku tidak memberitahu?" tanya Marjorie pura-pura bodoh. "Rasanya tadi aku sudah mengirimkan pesan." Sayangnya, Caspian tidak terlihat ingin membalas ucapan perempuan di depannya. Dia justru melihat penampilan Marjorie yang sebenarnya sudah cukup berantakan. Hal yang membuatnya mendengus geli. "Apa kau habis bercinta? K