Alaric mengetuk meja, tepat di sebelah gelas jusnya. Hari sudah pagi dan mereka sedang sarapan, tapi lelaki itu tidak fokus dengan sarapannya. Dia malah fokus menatap perempuan yang duduk bersama dengan dirinya dan sedang lahap menyantap salad. "Apa ada sesuatu di wajahku?" Pada akhirnya Anna yang bertanya karena merasa terus ditatap. "Aku dengar kau sudah mulai bekerja," Alaric pada akhirnya berbicara juga, lalu menyuap smoothies yang disajikan sebagai makan paginya. "Ya." Anna mengangguk dengan antusias. "Aku masuk sebagai salah satu karyawan di butik Maison de Lux dan itu ternyata cukup menyenangkan." "Cukup menyenangkan?" Darcy langsung mengulang ucapan sang nyonya dengan nada tanya dan mata melotot. "Ya." Anna kembali mengangguk. "Bagiku itu pengalaman yang cukup menyenangkan, karena saat menjadi co-assistant dokter rasanya sangat berbeda." Alaric melirik asisten istrinya yang berdiri di belakang perempuan itu. Darcy terlihat mendengus pelan dan tidak senang, tapi Ala
Alaric melirik ke kiri dan kanan. Dia sudah sampai di gedung yang digunakan untuk partainya dan mereka akan melakukan beberapa rekaman untuk media sosial, tapi kini lelaki itu tiba-tiba saja jadi tidak percaya diri. "Kenapa semua orang menatapku?" bisik Alaric pada asistennya. "Apa ada yang salah dengan penampilanku?" "Sama sekali tidak, Tuan." Caspian menjawab dengan tenang, bahkan tersenyum tipis. "Sebaliknya, aku rasa para perempuan itu menyukai gaya berpakaianmu yang baru ini." "Kau yakin?" Alaric menaikkan sebelas alisnya, sebelum menyapa seorang perempuan yang baru saja menyapanya dengan alis terangkat. "Sangat yakin, karena tatapan para perempuan jadi lebih liar," jawab Caspian yang membukakan pintu ruangan bagi atasannya. "Para lelaki saja ada yang melotot." "Apa ada gay di partai kita?" tanya Alaric dengan mata melotot. "Aku harap tidak, tapi seharusnya memang tidak ada. Lagi pula, Tuan kan ingin membuat undang-undang yang melarang hal seperti itu, jadi kaum merek
"Nyonya, berhentilah menonton video ini berulang kali." "Eh, kenapa dimatikan?" Anna langsung memekik ketika sang asisten menekan tombol pada remot, untuk mematikan televisi. "Itu adalah tontonan yang sama sekali tidak baik untukmu," jawab Darcy, menolak memberikan remotnya kembali. "Aku kan menonton itu karena ada Alaric." Anna meletakkan kedua tangan di pinggang dengan kening berkerut kesal. "Padahal aku hanya ingin mendukung suamiku." "Tapi ada perempuan gila di sana, jadi tidak perlu menonton. Terutama setelah kau baru pulang kerja dalam keadaan lelah." Anna langsung cemberut mendengar omelan asisten yang lebih tua darinya itu. Mungkin hanya berbeda sedikit, tapi rasanya Darcy seperti ibu-ibu yang sedang memarahi anak kecil. "Ya sudah." Kini Anna berbalik untuk masuk ke kamar. "Lagi pula, aku masih punya ponsel yang bisa mengakses internet dan aplikasi video." "Nyonya," ucap Darcy terlihat lelah. "Berhetilah menyakiti diri sendiri." "Kenapa aku menyakiti diri sendi
"Aku ikut ke kantormu?" tanya Anna dengan mata membulat besar. "Ya." Alaric mengangguk tanpa berpikir. "Aku ingin kau mulai bekerja di partai saja dan tentu saja akan mendapat gaji, walau mungkin tidak banyak." "Tapi aku kan baru saja bekerja di tempat Astrid. Mana mungkin aku keluar begitu saja. Nanti bagaimana dengan gajiku?" tanya Anna terlihat tidak begitu senang. "Kau itu istri calon perdana menteri dan masih memikirkan gaji?" Alaric balas bertanya dengan sebelah alis yang terangkat. "Tentu saja." Anna melipat tangan di depan dada. "Biar bagaimana, aku tidak ingin terus-terusan bergantung pada uangmu. Lagi pula, sangat tidak etis kalau aku tiba-tiba saja berhenti. Apalagi ini baru beberapa hari saja." "Sejak kapan kau menjadi dewasa begitu?" tanya sang calon perdana menteri itu secara refleks. "Aku selalu dewasa," balas Anna dengan bibir yang sedikit mencebik dan mata melotot. "Aku ini sudah dua puluh lima dan itu sudah termasuk dewasa." "Katakan itu pada bibir menc
Anna mengedipkan mata beberapa kali, kemudian menatap lelaki di depannya dengan lebih saksama. Dia berusaha membayangkan lelaki itu tanpa kacamata dan riasan dengan sangat serius, bahkan sampai mengerutkan kening. "Maaf." Sayangnya, Anna hanya bisa menggeleng. "Aku hanya tahu kalau kau adalah seorang model." "Ah, begitu." Lelaki tadi mengangguk, sama sekali tidak terlihat tersinggung karena tidak dikenali. Sebaliknya, dia malah tersenyum miring. "Sekali lagi aku minta maaf." Mau tidak mau, Anna sedikit menunduk untuk menunjukkan penyesalannya. "Kau tidak perlu seperti itu." Lelaki tadi tentu saja akan menghalangi Anna menunduk lebih dalam. "Aku tahu tidak semua orang menggemari dunia selebritis, walau kau bekerja di bidang fashion." "Terima kasih atas pengertiannya, tapi apakah kau jadi membeli?" Anna yang merasa dirinya sudah aman, langsung bertanya dengan senyum lebar. "Tentu saja, Anna. Aku akan membeli juga jas yang kau tunjukkan barusan dan mungkin aku bisa mendapatkan
"Jadi, kau mempekerjakan istriku sebagai pegawai toko biasa?" tanya Alaric dengan ponsel yang menempel di telinga. "Hanya untuk sekedar menjaga butik saja?" "Memangnya ada yang salah dengan itu?" Astrid membalas dengan pertanyaan, dari balik sambungan telepon. "Lagi pula, istrimu saja tidak mengeluh. Kenapa kau yang mengeluh?" "Karena dia istriku, dan aku memintamu membantunya bekerja agar tidak bosan." balas Alaric penuh penekanan. "Aku bahkan tidak membuatnya bekerja keras," hardik Astrid terdengar kesal. "Apakah kau tahu kalau menjaga butik adalah pekerjaan yang paling mudah? Itu bahkan nyaris tidak memerlukan skil." "Menurutmu apa yang akan terjadi kalau Anna yang punya gelar dokter umum, malah diminta mengerjakan laporan keuangan?" lanjut Astrid dengan nada tanya yang terdengar tajam. "Yang ada matanya bisa sakit melihat angka." "Kau bisa menempatkannya di HRD mungkin atau bagian administrasi lainnya." "Tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkan posisi yang cocok u
"Hei, kau anak baru." Walau sepertinya dia mendengar sesuatu, tapi Anna memilih untuk tidak menggubris panggilan itu. Lagi pula, panggilannya terlalu ambigu karena Darcy juga anak baru. "Apa kau tuli." Kesal, salah seorang pegawai butik menarik pundak Anna. "Hei, jangan kurang ajar." Tentu saja Darcy akan segera maju, ketika melihat nyonyanya diganggu. "Kenapa kau ikut campur?" tanya pegawai perempuan yang lainnya. "Kami tidak ada urusan denganmu." "Tapi kalian mengganggu Anna, jadi tentu saja aku akan ikut campur. Dia itu ... temanku." Walau sempat hampir salah bicara, tapi Darcy mendorong orang yang berdiri tepat di depannya. "Darcy, jangan kasar." Sayangnya, Anna segera menegur. "Kau dengar itu?" hardik salah seorang dari tiga pegawai yang datang ke ruang ganti untuk mengganggu Anna. "Pacarmu bilang jangan kasar." "Siapa yang kau sebut dengan pacar?" Kali ini Anna, yang melotot marah. "Kami itu sama-sama perempuan dan aku ini masih normal tahu." "Atau mungkin bis
"Jadi bisa kau jelaskan apa yang terjadi?" tanya Astrid dengan mata melotot. Di depan perempuan yang jauh lebih tua dari Alaric itu, berdiri Anna dan Darcy. Mereka berdua masih tampak sedikit berantakan, tapi lebih parah Anna. "Kami hanya membela diri." Darcy yang menjawab mewakili sang nyonya yang sedang cemberut. "Lalu apakah kau tidak punya mulut untuk berbicara?" tanya Astrid, melotot pada iparnya. Sayangnya, Anna tidak langsung menjawab. Dia hanya bisa menatap kakak iparnya dengan bibir mencebik untuk beberapa saat, sebelum keningnya tiba-tiba saja berkerut dan bibir yang tadi mencebik, kini melengkung turun. "Eh, kenapa tiba-tiba menangis?" Astrid langsung panik sendiri dengan kelakuan adik iparnya. "Aku kan hanya bertanya." "Tapi kenapa semua orang bertanya dengan nada menuduh seperti itu?" isak Anna makin terlihat jelek saja. "Padahal aku tidak pernah melakukan hal jahat, tapi kenapa semua orang malah menganggapku genit dan kotor." Kening Astrid tentu saja akan b
"Eh, ketemu dengan teman Papa?" tanya Anna yang kala itu baru menginjak usia delapan belas tahun. "Untuk apa?" "Mereka penasaran denganmu, sekalian saja temani Papa ke tempat pertemuan." Sang ayah berbicara dengan lembut. "Lagi pula, sekarang kau kan sudah lulus." "Benar." Anna mengangguk pelan. "Aku lulus tepat saat baru berumur delapan belas." "Jadi tentu tidak masalah bukan?" tanya sang ayah dengan lembut. "Maksud Papa, kau tidak sedang belajar dan tidak masalah kalau harus begadang selama beberapa hari bukan?" "Tidak masalah sih." Anna kembali mengangguk. "Aku akan pergi menemani Papa." "Anak baik." Sang ayah mengelus pelan kepala sang putri yang kini tersenyum cerah. Anna tentu saja akan senang jika ayahnya senang. Biar bagaimana, sekarang hanya ada mereka berdua saja. Anna pasti akan berusaha untuk melakukan apa pun yang terbaik untuk menyenangkan lelaki yang sudah bersamanya sejak lahir. Kecuali mungkin satu hal. "Maaf, tapi tolong sedikit menjauh." Anna memberita
"Apa maksud berita ini Alaric?" Seseorang memukul meja. "Aku sama sekali tidak mengerti." Sayangnya, Alaric harus menggeleng. Bukan tidak tahu apa-apa, tapi dia sedang berusaha menghindar. "Ini berita tentang istrimu, bagaimana mungkin kau tidak tahu apa-apa?" hardik orang yang lain dan membuat Alaric menghela napas. Pagi ini, Alaric memang buru-buru ke kantor karena menerima tentang berita sang istri. Dia bahkan nyaris saja melewatkan sapaan selamat pagi sang istri yang hari ini bangun sedikit lebih terlambat. Jujur, ini membuatnya sakit kepala. "Dengar." Setelah cukup lama terdiam, Alaric akhirnya berbicara juga. "Apa pun yang kalian baca itu tidak benar. Sekali pun itu benar, aku yakin istriku adalah korbannya. Bahkan selama ini pun dia adalah korban grooming." "Kalau begitu berikan bukti dan cepat klarifikasi." Seseorang memberitahu. "Tidak semua orang bisa menerima kenyataan itu." "Sekarang perempuan akan lebih banyak mendukung sesama perempuan." Levi yang biasanya
"Calon perdana menteri Alaric Bastian Crawford akhirnya memperkenalkan istrinya pada khalayak umum." Anna membaca judul berita yang ada pada layar ponselnya. "Siapakah sebenarnya Nyonya muda Crawford yang terlihat polos bak malaikat." "Oh, yang benar saja." Anna memekik dan nyaris saja melempar ponselnya. "Kenapa bahasanya menjijikkan begini?" "Kata siapa menjijikkan?" Elizabeth langsung melotot ketika mendengar ucapan menantunya. "Lagi pula, kenapa lompat-lompat? Kau menakuti bayinya." "Mom, bayi di dalam dilindungi plasenta." Astrid memberitahu. "Dia tidak akan takut." "Tapi bukan berarti Anna tidak bisa jatuh kan?" hardik Elizabeth dengan mata melotot. "Kalau dia jatuh dengan keras, bayinya bisa kenapa-kenapa." Mendengar ucapan orang tua itu, Anna dan Astrid langsung terdiam. Mereka dengan cepat memperbaiki duduknya, tidak ingin diceramahi lagi. "Tapi kenapa kalian berdua ada di sini?" Anna kembali bersuara, dengan kening berkerut dan melihat dua orang yang duduk di ki
"Bagaimana kalau kita mendengar sepatah atau dua kata dari Nyonya Muda Crawford?" "Ya?" Anna melotot mendengar pertanyaan yang dilemparkan padanya itu. Padahal tadi Alaric bilang dia hanya perlu duduk cantik di studio, bersama dengan ipar dan mertuanya. Katanya paling hanya perlu sedikit menyapa, tapi kenapa sekarang dia ditanyai begini. "Ambil saja mic-nya." Astrid berbisik pada sang ipar, agar tidak terlalu lama terdiam. "Tidak masalah kan kalau kami menanyai istri Pak Alaric yang baru terlihat ini?" Pembawa acara debatnya bertanya. "Untuk yang satu itu, tanyakan saja langsung pada istriku. Dia yang akan kalian tanyai bukan?" Alaric memilih jawaban yang paling aman. "Jika dia tidak mau, tentu saja kau tidak boleh bertanya." "Jadi bagaimana?" Pembawa acara kembali bertanya pada Anna. "Tentu saja bisa." Mau tidak mau, Anna mengangguk. "Tapi aku jadi takut dengan pertanyaannya." "Tenang saja, kami hanya ingin tahu tentang dirimu." Anna menaikkan kedua alis mendengar u
"Kenapa harus pada saat Anna sedang hamil muda?" tanya Elizabeth dengan mata melotot. "Kenapa tidak sebelumnya atau selepas trisemester pertama?" "Aku ingin melindungi Anna dari dekat," balas Alaric dengan tegas. "Dia memang bisa dilindungi dari dunia politik jika terus di dalam rumah, tapi tidak dalam kehidupan sosial dan sehari-hari. Contoh kecilnya saja pada saat Anna bekerja di butik tempo hari." "Itu benar, tapi ...." "Tolong jangan katakan kalau itu bukan hal yang besar." Alaric memotong ucapan sang ibu. "Sekarang mungkin tidak masalah, tapi bukan berarti suatu hari nanti hal ini tidak akan menjadi besar." Padahal Anna baru saja ingin mengatakan kalau kejadian dulu itu bukan apa-apa, tapi dia batal mengatakannya. Apalagi, sang ibu mertua juga tidak lagi bisa berkata apa-apa. Sepertinya, keputusan Alaric sudah bulat. "Kalau begitu, tolong setidaknya kau perhatikan Anna." Pada akhirnya, Elizabeth memilih untuk menyerah saja. "Jaga dia dengan baik, kalau perlu tambah pen
"Biarkan aku menyentuhmu, Anna," bisik Alaric, tepat di telinga sang istri. "Sebentar saja dan aku akan melakukannya dengan pelan tanpa menyakitimu dan anak kita." "Tapi tidak bisa begitu, Al." Anna melenguh pelan, karena merasakan tangan sang suami mulai merajalela. "Kau masih dipengaruhi obat dan mungkin tidak bisa mengendalikan diri." "Aku tahu, tapi aku yakin bisa mengendalikan diri." Sayangnya, Alaric tidak mengindahkan sang istri. "Aku menginginkanmu." Kedua mata Anna yang tadi terpejam, kini membuka. Dia yang baru saja terbangun dari mimpi nakalnya, kemudian melihat ke sisi ranjang yang lain. Di sana, dia bisa melihat sang suami yang tertidur pulas tanpa mengenakan busana. "Oh, sialan!" Anna menyugar rambut panjangnya secara asal. "Padahal aku pikir itu hanya mimpi basah, tapi ternyata sungguhan." Padahal Anna hanya bicara pelan, tapi sang suami menggeliat pelan dan membuka matanya dengan perlahan. Lelaki itu bahkan bangun dari posisi tidurnya, menatap sang istri deng
"Tunggu dulu, Al." Anna mendorong bahu suaminya dengan cukup keras, sambil berusaha merangkak mundur di atas ranjang. "Aku ini sedang hamil muda loh." "Lalu memangnya kenapa kalau sedang hamil muda?" tanya Alaric dengan tatapan menerawang. "Kita masih bisa bercinta kan?" "Menurut yang pernah kupelajari dan yang baru saja kubaca di internet, trisemester awal sangat rentan dan tidak disarankan untuk bercinta. Apalagi dengan keadaanmu yang seperti sekarang." "Kenapa denganku?" Alih-alih mendengarkan, Alaric malah melepas kancing kemejanya satu per satu. "Kau dipengaruhi obat, jadi tidak mungkin bisa melakukannya pelan-pelan." Anna memekik cukup keras. "Aku akan pelan." "Tidak mungkin kau bisa pelan dalam keadaan seperti ini." Tidak tahan lagi, Anna memilih berteriak. Dia makin panik karena kini sang suami mulai membuka celana. "Tuan aku minta maaf." Padahal Alaric sudah setengah jalan membuka celananya, tapi tiba-tiba saja terdengar suara di belakangnya. Setelah itu, dia
"Maafkan aku Nyonya." Tiba-tiba saja, Darcy datang dan membungkuk. "Aku melakukan kesalahan dan pantas dihukum." "Tunggu dulu." Anna yang sedang bersantai sambil mengunyah biskuit, langsung menghentikan aktifitasnya. "Memangnya kau melakukan kesalahan apa?" "Ini tentang pil pencegah kehamilan yang pernah Nyonya minum." Darcy tentu saja akan menjelaskan. "Rupanya itu bukan morning pill, tapi hanya pil KB biasa saja." "Ah, begitu toh." Anna mengangguk paham. "Pantas saja aku tetap hamil walau sudah minum pil, ternyata memang salah ya." "Ya." Darcy ikut mengangguk. "Seharusnya Nyonya meminum morning pill, yang memang diminum sekali saja setelah berhubungan. Kalau pil KB biasa, itu harus diminum rutin baru berfungsi." "Aku juga tahu itu Darcy, tapi terima kasih sudah menjelaskan." Untungnya, Anna sama sekali tidak marah atas keteledoran sang asisten. "Nyonya tidak marah?" "Lalu apa kau sengaja membeli pil yang salah?" Tentu saja Darcy akan menggeleng sebagai jawabannya. It
"Ian? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Marjorie dengan bola mata yang membulat karena terkejut. "Bukankah harusnya itu pertanyaanku?" tanya Caspian dengan senyum lebar. "Kau seharusnya mencari di dalam gedung dan bukan di dalam kamar hotel seperti sekarang." "Oh, soal itu." Marjorie menyelipkan rambut di telinga, berusaha untuk tetap tenang. "Aku tiba-tiba saja merasa tidak enak badan dan perlu untuk segera pulang dan beristirahat." "Tapi kenapa kau tidak memberitahu?" tanya Caspian dengan kedua alis terangkat dan sebelah tangan menahan pintu, sementara yang lainnya bertengger di kusen pintu. "Padahal kita sedang mencari Tuan Alaric yang menghilang loh." "Aku tidak memberitahu?" tanya Marjorie pura-pura bodoh. "Rasanya tadi aku sudah mengirimkan pesan." Sayangnya, Caspian tidak terlihat ingin membalas ucapan perempuan di depannya. Dia justru melihat penampilan Marjorie yang sebenarnya sudah cukup berantakan. Hal yang membuatnya mendengus geli. "Apa kau habis bercinta? K