Wah, saingan datang
Anna menatap lembaran kertas yang ditaruh di atas meja, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Lembaran kertas itu berbentuk persegi panjang, dengan tulisan yang tercetak rapi di atasnya, disertai dengan tanda tangan. "Darcy," panggil Anna masih dengan ekspresi dan posisi tubuh yang sama. "Ini yang dinamakan dengan cek kosong bukan?" "Itu kurang tepat, Nyonya," jawab perempuan berambut pendek yang berdiri di belakang si penanya. "Lalu ini disebut apa?" "Mungkin bisa disebut dengan cek yang belum diisi nominalnya." Sebagai asisten, tentu saja Darcy tidak akan keberatan untuk menjelaskan. "Sementara kalau cek kosong itu adalah cek yang tidak memiliki saldo di dalam rekeningnya." "Jadi, apa maksud Mom memberiku cek yang belum ditulisi nominalnya ini?" Anna kembali bertanya, tanpa banyak mengubah ekspresi dan posisi. Embusan napas pelan terdengar dari bibir Darcy. Dia yakin sang nyonya sudah tahu maksud dari cek itu,
"Halo, selamat pagi. Aku Marjorie Jackson." Seorang perempuan cantik yang berdiri di depan ruangan menyapa. "Terima kasih karena sudah menerimaku masuk ke partai ini, walau waktunya sangat tidak tepat." "Ucapkan terima kasih itu pada calon perdana menteri kita." Seseorang memberitahu. "Kalau bukan karena dia, mungkin kau akan ditendang." "Terima kasih Pak Alaric," ucap perempuan yang tadi memperkenalkan diri dengan senyum lebar. "Jadi begini saja?" Alih-alih menjawab ucapan tadi, Alaric malah bertanya. "Kalian memintaku datang hanya untuk ini?" "Oh, maaf." Seseorang mengucap maaf. "Kami pikir akan baik kalau Pak Alaric juga mengenal anggota baru kita. Kebetulan, dia menyumbang cukup banyak untuk partai kita." "Terima kasih atas sambungannya." Alaric mengatakan itu, sembari beranjak dari tempat duduknya. "Aku harap, kau bisa berkontribusi hal lainnya juga selain uang." Setelah mengatakan hal itu, Alaric melangkah pergi. Asistennya bahkan sedikit terkejut, bahkan perlu berja
"Istri katamu?" tanya Anna dengan sebelah alis terangkat. "Mungkin tidak banyak yang tahu karena ini belum jadi konsumsi publik, tapi ya. Namaku Marjorie Jackson dan aku istrinya Alaric Bastian Crawford yang kau cari." "Istri ya?" Anna kembali bersuara dengan nada tanya. "Aku tidak tahu apa kau itu tuli atau apa, tapi aku sudah menyebutkannya sebanyak dua kali." Kedua alis Marjorie sedikit terangkat karena kesal. "Masalahnya, aku tidak percaya padamu," balas Anna dengan kening berkerut. "Apalagi aku mengenali istri Alaric yang sebenarnya." "Oh, benarkah?" Marjorie mengerutkan keningnya, tapi bukan karena merasa terkejut. Dia sedang bingung. "Bagaimana mungkin kau bisa mengenali istri seorang ...." "NYONYA." Belum juga ucapan Marjorie selesai, suara teriakan terdengar. Langkah tergesa Caspian terdengar setelahnya, setidaknya sampai lelaki itu berhenti tepat di depan tiga orang perempuan dan seorang petugas keamanan yang kebingungan. "Kebetulan sekali kau datang." Marjori
"Jadi? Siapa Marjorie Jackson ini?" tanya Anna dengan pupil mata yang melebar, bahkan wajahnya cukup dekat dengan sang asisten. "Maaf, Nyonya. Aku juga tidak begitu tahu." Darcy hanya bisa berusaha menjauhkan diri, walau itu sulit. Mereka ada di dalam mobil. "Tapi setidaknya kau tahu sesuatu kan?" Anna masih terus mencecar asistennya. "Setidaknya, beritahu aku apa hubungan perempuan itu dengan Alaric." "Maaf, Nyonya." Hanya itu saja yang bisa Darcy ucapkan secara terus menerus. Bahkan sudah empat kali dia mengatakannya. Anna mengembuskan napas pelan. Padahal, dia hanya ingin tahu siapa sebenarnya Marjorie Jackson itu, tapi tidak ada yang bisa dia dapatkan. Tentu saja Anna bisa mencari lewat media sosial, tapi tidak banyak yang bisa didapatkan di sana. Semua yang dia temukan, hanya informasi umum saja. "Bahkan tidak ada satu pun foto Alaric di sini," gumam Anna sembari menggulir ratusan foto dengan gerakan yang cukup cepat. "Lantas kenapa dia mengaku sebagai istri suamiku?
"Mana Anna?" Alaric bertanya dengan kening berkerut, ketika dia sudah sampai di rumahnya yang terasa sepi. Biasanya, sang istri akan selalu menyambut Alaric jika dia pulang tidak terlalu larut. Tapi hari ini, dia sama sekali tidak melihat batang hidung Anna, padahal jam makan malam baru saja berlalu. "Itu Tuan." Darcy menjawab dengan ragu-ragu. "Nyonya Anna mengurung diri di kamar tamu dan juga mogok makan." "Mengurung diri?" Sebelah alis Alaric tentu saja terangkat. "Aku melarangnya untuk pergi mencari pekerjaan." "Pekerjaan? Pekerjaan apa maksudnya?" "Karena merasa bosan di rumah saja, Nyonya ingin melakukan pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Katanya, dia merasa tidak enak kalau terus menggunakan uang Tuan. Apalagi, tidak banyak yang bisa dia lakukan sebagai istrimu." Tentu saja Darcy akan menjelaskan. Penjelasan itu jelas saja akan membuat Alaric makin menaikkan sebelah alisnya. Bahkan Caspian saja merasa heran mendengar penjelasan dari rekan kerjanya itu. Bagi mer
"Kau baru saja bilang apa?" tanya Astrid dengan kedua mata membulat, dengan ponsel yang menempel di telinga. "Aku meminta kau memberi pekerjaan pada istriku," jawab Alaric dengan tenang. "Hanya kau yang bisa aku mintai tolong untuk sekarang ini, jadi jaga istriku dengan baik." "Tapi kau sendiri kan punya perusahaan, kenapa .... Halo? Alaric?" Astrid menatap ponselnya yang sudah kembali berwarna hitam, tanda panggilan telepon itu sudah dimatikan secara sepihak. Hal itu jelas saja akan membuat Astrid mendesis kesal. "Maaf, tapi apakah aku tidak bisa bekerja di sini?" Kepala Astrid langsung berputar untuk menoleh dan melihat perempuan yang baru saja berbicara itu. Dia melihat adik iparnya dengan kedua alis terangkat dan bibir mengatup sangat rapat. "Boleh aku tahu kenapa kau harus bekerja?" tanya Astrid masih melotot. "Aku tidak ingin menjadi beban untuk Alaric," jawab Anna dengan senyum lebar. "Bukan berarti aku tidak mendapat uang saku, tapi aku hanya ingin punya penghas
"Hei, kau anak baru. Coba bersihkan kamar ganti dan jangan lupa juga merapikan gudang." "Baik." Anna langsung menjawab dengan ceria. Tapi baru juga dia ingin beranjak, pundaknya diremas pelan. "Kau tidak perlu melakukannya." Darcy maju untuk melindungi sang nyonya. "Bukankah bagian itu sudah dijadwalkan untuk orang lain?" "Tapi kalian itu anak baru," hardik salah seorang karyawan butik yang berseragam abu-abu. "Di sini, karyawan baru yang mengerjakan bagian bersih-bersih, menyetrika dan mengurusi gudang." "Mana ada peraturan yang begitu?" Darcy tentu saja tidak mau kalah. "Bawakan peraturan yang mencantumkan hal itu." "Apa kau bodoh?" tanya salah satu pegawai yang lain. "Di setiap tempat kerja itu, pasti ada saja peraturan tidak tertulisnya. Kau tidak pernah bekerja ya?" "Mereka itu rakyat jelata yang baru menginjakkan kaki di toko mewah, jadi maklumi saja." Satu lagi pegawai menyebalkan bersuara. "Kalian
"Aku memanggil mereka untuk melayaniku, tapi kenapa mereka tidak banyak bergerak ya?" tanya Marjorie menatap dua orang yang sejak tadi dia lihat. "Maaf, Nyonya." Manajer butik hanya bisa menunduk. "Mereka masih anak baru dan belum tahu banyak hal." "Tapi kalau hanya sekedar mengambil barang, memegang baju dan membawa camilan pasti bisa kan?" tanya Marjorie tanpa mengalihkan perhatiannya. Sang manajer kemudian menatap dua orang yang dimaksud. Awalnya dia merasa ragu, tapi pada akhirnya memanggil Anna dan Darcy. Toh, tamunya sendiri yang meminta untuk dilayani dua orang itu. "Kalian bantu Nyonya ini." Sang manajer berbisik. "Kalau ada yang tidak dimengerti, kalian segera kabari saja aku. Aku akan menunggu di sana dan mungkin akan keluar sebentar." "Tinggalkan saja kami." Tiba-tiba saja Marjorie bersuara. "Aku kebetulan mengenal dua orang ini dan ingin sekalian mengobrol." Si manajer menatap pelanggannya untuk sesaat, sebelum beralih pada dua anak barunya. "Kalau ada masalah,
"Tuan, CCTV di daerah koridor ruang rawat inap Nyonya mengalami kerusakan." Caspian melapor dengan nada takut-takut."Bagaimana itu bisa terjadi?" tanya Alaric dengan mata melotot. "Memangnya bagaimana cara rumah sakit ini memantau CCTV mereka? Masa ada kamera yang mati, tapi tidak ada yang tahu.""Maafkan kami." Pihak keamanan rumah sakit langsung membungkuk. "Kami tahu ini merupakan sebuah kesalahan, jadi kami akan membantu pencarian Nyonya.""Tentu saja kalian harus melakukan itu." Alaric makin melotot saja. "Kau pikir, untuk apa aku membayar mahal dan membiarkan istriku dirawat di sini?"Tidak ada lagi yang bisa dikatakan oleh pihak rumah sakit selain terus membungkuk dan meminta maaf. Ini bisa dibilang kesalahan mereka, karena tidak hati-hati. Yah, walau pihak keluarga juga sedikit bersalah karena sedikit kebobolan."Aku juga meminta maaf." Tentu Caspian dan Darcy pun akan membungkuk."Seharusnya tadi pagi aku tidak perlu pergi membeli makanan ke kantin," sambung Darcy ben
"Hei, kau mau tidur sampai kapan?" Anna mengerang pelan, ketika mendengar suara disertai rasa sakit di bagian perutnya. Padahal tadi dia sempat tertidur lagi karena benar-benar merasa mengantuk, tapi sekarang perutnya merasakan sakit yang bertubi-tubi. "Hei." Lelaki yang tadi bertanya, kembali berteriak sambil menendang. "Berhenti menendangku," gumam Anna yang matanya sudah sedikit terbuka. "Makanya bangun," hardik lelaki itu dengan kesal. "Walau aku suka menidurimu dalam keadaan pingsan, tapi aku lebih suka kalau kau berteriak di bawahku." "Apa maksud ...." Kalimat yang diucapkan Anna terhenti begitu saja, ketika pada akhirnya dia merasakan hawa dingin. Tidak benar-benar dingin, tapi rasanya Anna bisa merasakan embusan angin di sekujur tubuhnya. Hal yang membuat perempuan itu refleks menutupi area pribadinya dengan dua tangan. "Percuma juga ditutupi sekarang." Lelaki tadi mendengus pelan. "Aku dan yang lainnya sudah melihat semuanya." Anna bisa merasakan napasnya tiba
"Di mana Anna?" Alaric bertanya, setelah dia keluar dari kamar mandi."Dia dibawa oleh perawat untuk melakukan tes," jawab Elizabeth yang merapikan beberapa barang di atas nakas. "Kau sendiri, kenapa terlambat bangun?"Alaric tidak langsung menjawab sang ibu. Dia hanya melihat ke arah sofa ruang tamu yang agak berantakan, karena pekerjaannya. Bukan hanya masalah partai, tapi juga masalah perusahaannya."Jangan membawa pekerjaan ke rumah sakit." Sang ibu menegur. "Anna bisa merasa bersalah kalau melihat kau sibuk dan malah menjaganya di sini. Padahal sudah ada Darcy.""Tapi aku ingin menjaganya," jawab Alaric sembari memukul Caspian yang masih tertidur di sofa. "Lagi pula, lebih baik kalau banyak yang berjaga.""Benar sih, tapi seharusnya kau membangunkan Anna tadi." Sang ibu kembali mengeluh. "Masa dia dibawa ke ruang tes laboratorium dalam keadaan tertidur. Bukankah itu akan membuatnya kebingungan, terutama kalau tiba-tiba terbangun?""Maksud Mom?" Alaric malah bertanya."Tad
"Apakah kau bisa membebaskan aku, kalau aku terjerat kasus pembunuhan?" tanya Lesley dengan kening berkerut dan tatapan tajam. "Kalau kau bersedia melakukan itu, aku dengan senang hati akan membantumu keluar dari jeratan hukum. Minimal, kau akan tinggal di sel paling mewah setara hotel selama beberapa bulan saja." Alaric tanpa ragu mengangguk. "Kenapa kalian malah membicarakan hal mengerikan seperti itu?" tanya Anna dengan ekspresi cemas. "Bukan apa-apa." Lesley yang tadi sempat berwajah masam, langsung tersenyum. "Kami hanya bercanda saja." "Tapi candaan kalian itu agak ... mengerikan." Anna tidak segan mengatakan isi kepalanya. "Kalau begitu, lupakan saja candaan kami." Lesley melambai pelan. "Aku lebih penasaran dengan perasaanmu sekarang ini? Maksudku, setelah apa yang terjadi padamu? Kau tidak keberatan bercerita?" Anna terdiam sejenak. Dia terlihat sedang berpikir, kemudian menatap sang suami dengan kening berkerut. Rasanya, sulit sekali untuk mengatakan apa yang ada
"Tuan, kau tidak bisa seenaknya saja membatalkan kampanye." Caspian dengan cepat menghadang sang tuan yang berjalan cepat di sepanjang koridor rumah sakit. "Lalu apa aku harus membiarkan pria tua kurang ajar itu?" hardik Alaric dengan mata melotot. "Menurutmu, aku akan membiarkan pria itu bersenang-senang di dalam penjara saja?" "Aku mengerti kemarahanmu, Tuan." Caspian pun sedang manahan amarah. "Tapi kita juga perlu mengutamakan kampanye. Ini bukan tentang Tuan dan keluarga saja, tapi tentang ribuan pendukung yang sudah menunggu." "Tapi aku tidak bisa membiarkannya begitu saja, Ian," desis Alaric masih saja melotot. "Karena itu, aku akan mengurusnya. Aku akan mengurus agar pria itu diterbangkan ke sini dan kita akan membereskannya dengan lebih baik." Kening Alaric berkerut mendengar ucapan sang asisten. Dia terlalu marah, sampai tidak memikirkan ide cemerlang yang baru saja disebutkan oleh Caspian. "Lakukan dengan rapi dan tanpa ketahuan," bisik Alaric, kini menatap ke
"Ada apa dengan Anna?" Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Alaric, ketika lelaki itu membuka pintu ruang rawat inap sang istri. "Oh, akhirnya kau datang juga." Elizabeth benar-benar terlihat lega melihat putranya. "Bagaimana Anna?" Alaric kembali bertanya. "Mungkin lebih baik kau lihat saja sendiri." Kali ini Astrid yang berbicara. Kening Alaric berkerut mendengar ucapan sang kakak. Dari tempatnya berdiri, memang Alaric belum bisa melihat ke arah ranjang pasien. Dia harus melewati koridor super pendek, sebelum bisa mencapai ruangan luas dengan ranjang pasien, ranjang penjaga dan ruang tamu lengkap dengan isinya. "Anna?" gumam Alaric ketika melihat buntalan di atas ranjang pasien. "Oh, jangan membuat dia takut." Elizabeth memukuli lengan putranya, ketika melihat sang menantu berjengit dari balik selimut. "Tapi aku hanya memanggil namanya." Alaric tentu saja akan bingung. "Sangat aneh kalau dia merasa kaget." Levi yang mengikuti sepupu sekaligus sahabatnya
"Eh, ketemu dengan teman Papa?" tanya Anna yang kala itu baru menginjak usia delapan belas tahun. "Untuk apa?" "Mereka penasaran denganmu, sekalian saja temani Papa ke tempat pertemuan." Sang ayah berbicara dengan lembut. "Lagi pula, sekarang kau kan sudah lulus." "Benar." Anna mengangguk pelan. "Aku lulus tepat saat baru berumur delapan belas." "Jadi tentu tidak masalah bukan?" tanya sang ayah dengan lembut. "Maksud Papa, kau tidak sedang belajar dan tidak masalah kalau harus begadang selama beberapa hari bukan?" "Tidak masalah sih." Anna kembali mengangguk. "Aku akan pergi menemani Papa." "Anak baik." Sang ayah mengelus pelan kepala sang putri yang kini tersenyum cerah. Anna tentu saja akan senang jika ayahnya senang. Biar bagaimana, sekarang hanya ada mereka berdua saja. Anna pasti akan berusaha untuk melakukan apa pun yang terbaik untuk menyenangkan lelaki yang sudah bersamanya sejak lahir. Kecuali mungkin satu hal. "Maaf, tapi tolong sedikit menjauh." Anna memberitah
"Apa maksud berita ini Alaric?" Seseorang memukul meja. "Aku sama sekali tidak mengerti." Sayangnya, Alaric harus menggeleng. Bukan tidak tahu apa-apa, tapi dia sedang berusaha menghindar. "Ini berita tentang istrimu, bagaimana mungkin kau tidak tahu apa-apa?" hardik orang yang lain dan membuat Alaric menghela napas. Pagi ini, Alaric memang buru-buru ke kantor karena menerima tentang berita sang istri. Dia bahkan nyaris saja melewatkan sapaan selamat pagi sang istri yang hari ini bangun sedikit lebih terlambat. Jujur, ini membuatnya sakit kepala. "Dengar." Setelah cukup lama terdiam, Alaric akhirnya berbicara juga. "Apa pun yang kalian baca itu tidak benar. Sekali pun itu benar, aku yakin istriku adalah korbannya. Bahkan selama ini pun dia adalah korban grooming." "Kalau begitu berikan bukti dan cepat klarifikasi." Seseorang memberitahu. "Tidak semua orang bisa menerima kenyataan itu." "Sekarang perempuan akan lebih banyak mendukung sesama perempuan." Levi yang biasanya
"Calon perdana menteri Alaric Bastian Crawford akhirnya memperkenalkan istrinya pada khalayak umum." Anna membaca judul berita yang ada pada layar ponselnya. "Siapakah sebenarnya Nyonya muda Crawford yang terlihat polos bak malaikat." "Oh, yang benar saja." Anna memekik dan nyaris saja melempar ponselnya. "Kenapa bahasanya menjijikkan begini?" "Kata siapa menjijikkan?" Elizabeth langsung melotot ketika mendengar ucapan menantunya. "Lagi pula, kenapa lompat-lompat? Kau menakuti bayinya." "Mom, bayi di dalam dilindungi plasenta." Astrid memberitahu. "Dia tidak akan takut." "Tapi bukan berarti Anna tidak bisa jatuh kan?" hardik Elizabeth dengan mata melotot. "Kalau dia jatuh dengan keras, bayinya bisa kenapa-kenapa." Mendengar ucapan orang tua itu, Anna dan Astrid langsung terdiam. Mereka dengan cepat memperbaiki duduknya, tidak ingin diceramahi lagi. "Tapi kenapa kalian berdua ada di sini?" Anna kembali bersuara, dengan kening berkerut dan melihat dua orang yang duduk di ki