"Pewaris Kaleido Grup, perusahaan yang bergerak dalam berbagai bidang terutama yang berhubungan dengan pariwisata. Pendiri Crescendo Enterprise yang mencakup sekolah musik, studio rekaman, produksi alat musik dan promotor musik." "Anak dari mendiang Alexei Crawford, menteri luar negeri yang paling berbakat. Alaric Bastian Crawford juga pernah menjadi anggota senat, pernah menjabat sebagai menteri sementara dan sedang mencalonkan diri sebagai calon perdana menteri. Jika terpilih, dia akan menjadi perdana menteri termuda di dunia." Anna menjauhkan ponsel dari depan wajahnya dengan ekspresi kesal. Saking kesalnya, hidung perempuan yang tengah berbaring di atas ranjang itu sampai kembang kempis. Anna bahkan kini mendengus. "Sialan!" pekik perempuan yang kini beranjak dari posisi tidurnya di atas ranjang. "Bagaimana bisa aku menikah dengan calon perdana menteri?" Anna masih memekik, sembari memegang sertifikat pernikahannya. "Yang benar saja, Anna!" Perempuan dua puluh lima tahun i
"TIDAK MAU!" Anna berteriak keras, sembari memeluk tiang tangga. Tentu saja tangga bagian bawah, jadi tidak berbahaya. "Nyonya, kita harus keluar." Darcy dengan sekuat tenaga, menarik tangan perempuan yang lebih muda darinya itu. "Kita harus menjalankan rencana Tuan." "Tapi aku tidak mau." Anna menggeleng, tanpa melepas pelukannya. "Aku suka jadi pusat perhatian, tapi tidak mau jadi terkenal. Aku tidak bisa jadi ibu negara." "Ayolah, Nyonya." Darcy memutar bola matanya karena gemas. "Tuan bahkan belum melakukan kampanye, jadi berhentilah memikirkan tentang politik dulu." "Aku tidak mengerti politik." "Karena itu tidak perlu dipikirkan dan jalani saja hidup dengan biasa." "Tapi aku tidak mau keluar kalau masih banyak wartawan. Lagi pula, kenapa dia bisa tahu rumah perdana menteri?" Sayangnya, Anna masih enggan beranjak. "Karena ini adalah rumah dinas," jawab Darcy juga masih belum mau menyerah. "What?" Tiba-tiba saja, Anna melepas pegangannya pada tiang tangga. Itu me
"Apa yang kau lakukan?" hardik Astrid dengan kening berkerut tidak suka. "Berhenti merunduk dan duduklah dengan tegap." "Tapi ada banyak wartawan." Sayangnya, Anna masih belum ingin menegakkan tubuhnya. "Duduk dengan tegap sekarang juga, atau aku akan menyeretmu turun dari mobil dan melemparkanmu pada para wartawan itu," desis Astrid makin kesal saja. Mendengar ancaman, mau tidak mau Anna yang duduk sambil merunduk serendah mungkin, kini pelan-pelan menjadi tegap. Dia sempat melirik sang ipar untuk sesaat, tapi pada akhirnya lebih sibuk untuk menutupi wajah. "Apa kau melihat ada wartawan?" tanya Astrid dalam suara mendesis kesal. "Memangnya tidak ada?" Anna malah balas bertanya. "Makanya berhentilah menutupi wajahmu dan lihatlah sekitar." Kali ini kakak dari Alaric itu memekik cukup keras. "Bagaimana kau bisa hidup kalau kau mengabaikan sekitarmu?" "Aku tidak mengabaikan sekitar." Anna dengan cepat membantah. "Aku hanya merasa tidak ingin dikerubuti oleh wartawan dan har
"Apa kau ingin mempermalukan keluarga kita?" desis Elizabeth dengan mata melotot. "Untuk apa kau membawa perempuan sialan itu datang ke sini?" "Oh, ayolah Mom." Astrid memutar bola mata karena gemas. "Alaric sudah menyatakan pendapatnya, jadi lebih baik kita ikuti saja dulu dia. Nanti pelan-pelan, aku akan mencari tahu apa yang Anna inginkan dari anak kesayanganmu." Elizabeth tidak langsung membalas putrinya dan malah melotot ke arah sang menantu. Padahal yang dilakukan oleh Anna hanya datang bersama Astrid dan menyapa Elizabeth, tapi sang mertua sepertinya sudah amat sangat kesal. "Kalau bukan karena Al menghalangi pencarian kita, aku pasti sudah tahu apa tujuan anak itu tiba-tiba mau menikah dengan perempuan asing." Kini Elizabeth mendengus keras. "Nah, karena kita sudah di salon, bagaimana kalau kita bertiga menikmati fasilitas di sini." Astrid tiba-tiba saja menepukkan kedua tangannya. "Aku juga?" tanya Anna dengan mata melotot tidak percaya. "Tentu saja kau juga," hard
"Kau itu bagaimana sih?" hardik Elizabeth dengan mata melotot. "Kenapa membawa nampan saja tidak tahu?" "Maaf," cicit Anna dengan bibir mencebik. "Tapi aku memang tidak pernah melakukan hal seperti ini." "Astaga! Tidak masuk akal sekali." Elizabeth memutar bola matanya dengan gemas. "Masa menyajikan minuman pada tamu pun tidak pernah kau lakukan sama sekali. Jangan bilang kau juga tidak bisa memasak." "Aku bahkan tidak tahu caranya masak mie instan," jawab Anna dengan jujur. "Tapi aku bisa menyeduh mie instan." "APA KAU WARAS?" teriak Elizabeth dengan mata melotot. "Kau pikir memasak dan menyeduh itu dua hal yang sama?" Anna berjengit pelan ketika mendengar pekikan sang mertua. Padahal tadinya dia pikir bisa segera melarikan diri setelah dari salon, tapi sekarang dia tiba-tiba diminta untuk menjadi pelayan untuk acara minum teh. Untung saja acara minum teh yang dimaksud itu, hanya dihadiri sang mertua dan ipar. Kalau ada banyak orang, bisa-bisa Anna jadi malu. "Anu, Mom
"Aku tidak tahu kau ini bodoh atau apa, tapi kenapa kau mau mengikuti ucapan ibuku?" tanya Alaric sembari memijat pangkal hidungnya dengan cukup keras. "Karena dia ibumu," jawab Anna dengan kepala menunduk. "Lantas kenapa kalau dia ibuku?" hardik Alaric dengan mata yang sedikit melotot. "Apa kau juga akan makan kotoran kalau ibuku menyuruhmu?" "Tidak." Anna dengan cepat menggeleng. "Lantas kenapa kau mau saja saat disuruh berdandan seperti sekarang ini? Mau cosplay atau pesta haloween?" Anna berjengit pelan dengan bibir mencebik. Dia rasanya sudah ingin menangis, karena entah sudah berapa kali mendapat hardikan hari ini. Apalagi, sekarang bisa dibilang dandanannya memang sedikit aneh. Sebenarnya dandanan Anna dengan flapper dress itu tidak benar-benar aneh, tapi jelas tidak normal juga. Apalagi perempuan itu hendak pergi menjemput Alaric dengan pakaian yang sama sekali tidak cocok dengan kantor itu. Belum ditambah dengan riasan yang terlalu tebal. "Ini sama sekali tidak b
"Pihak catatan sipil sudah mengkonfirmasi tentang pernikahan dari calon perdana menteri muda kita, Alaric Bastian Crawford." "Walau kemarin Menteri Keuangan kita tidak menjelaskan secara rinci tentang skandal fotonya, tapi dia juga tidak menampik tentang kedekatan dengan perempuan tertentu. Hari ini adalah hari Menteri Alaric mengajukan cuti, untuk fokus mengikuti pemilihan perdana menteri." "Apakah cuti lebih cepat ini memang hanya untuk fokus pada pemilu, atau mungkin pada acara pernikahan yang dia sembunyikan." Tangan Anna bergerak untuk mengambil remot televisi untuk mematikan benda persegi yang sedang dia tonton pagi ini. Padahal, Anna hanya ingin melihat-lihat acara yang menyenangkan, tapi malah melihat berita tentang suaminya. "Tidak mau lihat yang lain saja?" Sebelum sang nyonya benar-benar mematikan televisi, Darcy memberi saran yang lain. "Apa Nyonya tidak mau melihat wawancara Tuan?" "Memangnya dia mau wawancara apa lagi?" tanya Anna yang pada akhirnya mengikuti s
"Siapa kau?" tanya perempuan yang tadi bersuara. "Tidak mungkin orang seperti kau bisa punya janji dengan Pak Alaric." "Kenapa tidak bisa?" tanya Anna dengan kedua alis terangkat. "Memangnya apa yang salah denganku?" "Kalau ini adalah mal, atau mungkin kantor biasa saja, kau jelas sama sekali tidak bermasalah." Perempuan yang tadi menegur kembali berbicara. "Tapi ini kantor departemen keuangan dan kau meminta bertemu dengan menteri?" "Maaf, Nona." Tidak bisa tinggal diam lagi, Darcy memilih untuk maju. "Kau tidak tahu sedang berurusan dengan siapa, jadi tolong jangan menghalangi. Lagi pula, kami melalui prosedur yang sesuai." "Kalian mengikuti prosedur yang sesuai, tapi tidak mungkin Pak Menteri akan menemui orang seperti kalian. Apa kalian sedang merekam vlog atau mungkin prank?" "Maaf, tapi sejak tadi aku tidak mengerti." Anna kembali berbicara. "Kau selalu mengatakan tidak mungkin Alaric bertemu dengan kami, seolah tidak pantas. Tapi kau tidak pernah menyebutkan kenapa sep
"Astaga Anna!" Yang empunya nama, memukul kepalanya sendiri. "Bagaimana kau bisa membayangkan hal mesum, setelah mendengar ucapan Alaric? Sadarlah, Anna." Sesungguhnya, Anna tadi mendengarkan ucapan Alaric tentang mandi bersama dengan sangat jelas. Dia hanya berpura-pura tidak mendengar karena merasa malu. "Tenang Anna," ucapnya menarik napas dan mengembuskan dengan pelan dan suara air mengalir yang menjadi latar belakang. "Kau harus tenang dan jalankan saja tugasmu sebagai seorang istri, setidaknya sampai kau muak." "Tapi, kenapa rasanya rokku basah ya?" tanya Anna dengan kening berkerut, sebelum akhirnya dia sedikit menunduk. Tanpa Anna sadari, air di bathtub rupanya sudah meluap. Padahal, rasanya dia hanya menyalakan air dengan aliran kecil saja. Siapa yang sangka kalau sekarang isi bathtub-nya sudah meluap sampai ke lantai. "Astaga, Anna." Yang empunya nama berteriak cukup keras. "Apa yang kau lakukan?" Tentu saja Anna segera mengulurkan tangan untuk mematikan kran air
"Pemeriksaan kesehatan?" tanya Fiona dengan sebelah alis yang terangkat. "Ya." Darcy mengangguk pelan. "Semua orang akan mendapatkan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh. Ini untuk kebaikan bersama juga, apalagi ada kejadian yang tidak mengenakkan terjadi baru-baru ini." "Kejadian apa?" Seorang rekan pengawal perempuan yang lain bertanya. "Apa tentang kasus Marjorie itu? Tapi apa hubungannya?" "Marjorie ternyata penderita AIDS," jawab Darcy dengan tenang. "Jadi Tuan ingin kita semua memeriksakan diri, karena siapa tahu saja ada yang tidak sengaja tertular. Berhubung kita juga pernah memantau dia cukup lama, jadi siapa tahu kan?" "Tuan, Nyonya dan keluarga lainnya pun sudah memeriksakan diri," lanjut Darcy menatap satu per satu rekannya. "Aku dan Caspian juga sudah, jadi sekarang giliran kalian." Semua orang saling menatap dengan ekspresi beragam. Ada yang terlihat kaget dan ada juga yang terlihat cemas. Yang jelas mereka semua terlihat tidak nyaman dengan berita yang bar
"Bagaimana dia bisa tahu kalau ada pembunuh di rumahku?" ucap Elizabeth dengan mata melotot. "Mom, st." Anna menempelkan jari telunjuk di bibirnya. "Jangan terlalu keras, siapa tahu ada yang menguping di depan pintu. Atau mungkin ada yang memasang alat penyadap." "Oh, aku rasa aku harus memeriksa ruangan ini terlebih dulu." Caspian langsung bergerak, diikuti dengan Darcy. Semua orang yang sedang berada di dalam ruang baca itu menatap dua orang asisten sekaligus pengawal pribadi yang menggeledah ruangan dengan seksama. Mereka jelas saja akan merasa cemas, karena bisa saja mereka ketahuan. "Tidak ada penyadap atau kamera yang ditemukan." Untungnya Darcy menggeleng. "Ruangan ini juga dilapisi karpet, jadi seharusnya akan lebih kedap suara," lanjut Caspian menjelaskan. "Maaf harus menanyakan ini, tapi kalian berdua bisa dipercaya kan?" Tiba-tiba saja Astrid bertanya. "Mereka aman." Anna dengan tenangnya memberitahu. "Soalnya, Bastian mengatakan akan bertemu teman di rumah, p
"Kami akan menantikan teman yang dimaksud bocah itu." Polisi yang menangani kasus ini, tersenyum menatap pasangan di depannya. "Aku pasti akan mencari bedebah itu sampai ketemu dan mungkin bisa memotong lidahnya?" Alaric malah mengatakan hal yang tidak-tidak, bahkan sampai melotot. "Al." Sebagai istri yang baik, tentu saja Anna akan menegur sang suami. "Kau punya istri yang baik." Si polisi berdecak pelan. "Setidaknya dia tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam saja." "Terima kasih karena sudah memuji istriku, tapi dia tidak akan melirikmu hanya karena itu," balas Alaric dengan senyum lebar. "Asal kau tahu, aku melihatmu menatap istriku terus-terusan dan jika kasus ini selesai dengan baik, kau akan tahu akibatnya." Si polisi langsung terdiam dan tiba-tiba saja menjadi gugup. Siapa yang sangka kalau dia ketahuan seperti itu, bahkan diancam dan dipermalukan di depan umum. Bahkan ada polisi lain yang mendengar hal itu. "Kau tidak perlu seperti itu," gumam Anna terlihat
"Jadi Bastian, maukah kau berbicara sedikit?" tanya seorang perempuan berwajah lembut, dengan suara yang sama lembutnya. Sayang sekali, Bastian malah menggeleng dengan keras. Dia bahkan membuang muka dan lebih memilih untuk memeluk boneka kelinci yang baru-baru ini menjadi mainan kesayangannya. "Bonekanya sangat menggemaskan, dari mana kau mendapatkannya?" Tidak berhasil saat bertanya secara langsung, perempuan paruh baya tadi memilih untuk bertanya hal lain lebih dulu. "Bibi," jawab Bastian tanpa ragu. "Hadiah." "Aku dengar baru-baru ini kau ulang tahu. Apa ini hadiah ulang tahunmu?" Bastian kali ini mengangguk dengan sangat antusias, dia bahkan tersenyum. Tentu saja ini hal yang bagus untuk semua orang. "Bibi yang mana yang memberimu ini?" Perempuan paruh baya tadi ingin menyentuh bonekanya, tapi si bocah langsung memeluknya dengan lebih erat lagi. "Aku tidak akan mengambil bonekamu." Perempuan yang sejak tadi bertanya, hanya bisa tertawa. "Apakah tidak boleh aku tahu
"Kau sudah melihat berita terbaru?""Yeah, katanya pasangan Crawford akan membiayai bocah malang yang ibunya menjadi korban pembunuhan itu.""Tapi apa kau tahu, mereka mengatakan itu ide dari istrinya Alaric Crawford.""Aku rasa dia merasa bersalah karena ibu anak itu meninggal. Maksudku, belum tentu dia pelakunya, tapi dia katanya baru kehilangan bayi kan? Mungkin naluri ibunya tersentuh.""Rasanya aku tidak percaya kalau orang sebaik itu adalah tersangka. Aku rasa mereka hanya kebetulan saja tersangkut kasus ini."Telinga Anna rasanya gatal sekali mendengar apa yang diucapkan oleh orang-orang di sekitarnya. Padahal, tadinya Anna hanya ingin keluar sebentar untuk berbelanja di minimarket, tapi malah dia mendengar semua orang membicarakannya dan Alaric."Aku rasa taktikmu berhasil, Nyonya," bisik Darcy yang selalu mengikuti ke mana-mana."Ini bukan taktik, Darcy." Anna melotot mendengar asistennya itu. "Aku murni melakukan ini, karena aku merasa kasihan pada Bastian.""Tentu
"Aku tidak salah dengar kan?" tanya ayah Marjorie dengan mata melotot. "Kau ingin membiayai Bastian?" "Hanya pendidikannya saja," balas Anna dengan senyum tipis, sembari bermain dengan anak yang dimaksud. "Lagi pula, Alaric yang akan membayar semuanya. Bukan aku." Walau agak tidak sesuai jadwal, Anna dan Alaric pada akhirnya pergi mengunjungi Bastian. Hanya berselang dua hari sejak janji yang diucapkan sang calon perdana menteri, tapi mereka berhasil berkunjung di tengah kesibukan. "Kau sedang tidak sedang mabuk kan?" tanya sang ayah dengan kening berkerut. "Sama sekali tidak, tapi kalau ingin berterima kasih jangan padaku." Alaric menjelaskan, sebelum diminta. "Aku memang yang akan mengeluarkan uang, tapi ini ide Anna." "Lalu kau menerimanya begitu saja?" "Aku menerima ide itu karena istriku yang meminta. Lalu, ini juga bisa membuat suaraku yang sempat turun, kembali naik." "Al." Anna tentu saja akan menegur sang suami yang terlalu jujur. "Aku hanya mengatakan kenyata
"Sudah mati pun dia masih bikin susah." "Mom, jangan ngomong gitu dong." Anna segera menegur mertuanya. "Tidak baik membicarakan orang yang sudah meninggal seperti itu." Anna yang duduk di sebelah sang mertua, segera memeluk lengan Elizabeth. Niatnya sih untuk menghentikan perempuan tua itu, terutama saat mereka sekeluarga sedang berkumpul di rumah Elizabeth. "Tapi itu kenyataannya." Sayangnya, Elizabeth enggan berhenti, bahkan sampai melotot saking marahnya. "Gara-gara dia, kita semua harus melakukan tes darah." "Sebenarnya, kita tidak perlu melakukan tes darah." Alaric mengembuskan napas lelah. "Tidak satu pun dari kita yang pernah kontak langsung dengan darah Marjorie, apalagi kotoran dan hal lainnya." "Siapa yang bisa menjamin?" tanya Elizabeth makin melotot saja. "Dia itu sangat pendendam, bisa saja dia dengan sengaja meneteskan darahnya ke dalam kopimu atau minuman Anna. Atau bisa saja dia menyuruh orang lain melakukan itu." "Mom, aku mohon." Tidak tahan mendengarnya
"Apakah Bastian tidak ikut?" Itu adalah hal pertama yang diucapkan oleh Anna, ketika disambut oleh ayah Marjorie. "Dia tentu saja datang dan sedang bersama ayahnya di sana." Anna menoleh dan menatap ke arah yang ditunjuk lelaki paruh baya di depannya. Dari tempatnya, dia bisa melihat anak yang dia cari sedang menatap peti mati dengan bibir mencebik. Tentu saja dalam gendongan Landon. "Bolehkah aku pamit untuk bertemu Bastian dulu?" tanya Anna demi sopan santun. "Tentu saja, tapi aku sarankan kau tidak menemui Landon berdua saja." Ayah Marjorie malah memberi nasihat. "Kadang ada orang jahat yang akan menebar gosip, walau dalam keadaan berduka sekali pun." "Terima kasih banyak atas sarannya." Anna membalas dengan senyum tipis dan segera mengajak dua orang yang datang bersamanya untuk berpindah tempat. "Aku senang kalian masih mau dan menyempatkan diri untuk datang." Landon segera menyambut dengan senyuman. "Seharusnya itu kalimat yang ditujukan untukmu." Kali ini Astrid y