Beranda / Urban / Pesona Sang CEO / Bab 2. Nestapa

Share

Bab 2. Nestapa

Penulis: Zedanzee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Devi sampai di halaman rumah Namy, ibunya. Tubuhnya lemas tak berdaya di ambang pintu. Tangganya terus mengetuk pintu dengan kasar.

“Ibu bangun! Tolong bangun Ibu!” jerit Devi.

Terdengar dari dalam suara kunci pintu dibuka, wanita tua dengan tubuh sedikit berisi keluar dengan panik, tangannya gementar membuka pintu. Tahu benar suara dari luar adalah suara jerit putri semata wayangnya.

“Kamu sa—sama siapa?” tanya Namy.

Devi tak menjawab. Yang ada hanya isak tangis dari mulutnya. Kedua tangganya membungkam mulutnya. Perlahan Namy meraih pundak Devi membimbingnya masuk dan duduk di kursi kayu jati di ruang tamu.

           

“Kenapa menangis tengah malam begini?” tanya Namy sangat kuatir.

Mulut Namy terus bertanya kamu kenapa, dengan siapa kemari dan banyak hal yang ia sudah lontarkan tapi tak ada jawaban apa pun. Akirnya Namy membiarkan Devi menangis di pelukkannya. Membelai lembut rambut dan mengusap-usap punggung putri kesayanganya.

           

“Ibu Devi ingin istirahat, aku masuk kamar dulu!” Suara serak sedikit pilu keluar dari tenggorokan Devi sesaat setelah satu jam ia menangis.

           

“Iya sudah tidurlah!” Tangan tua yang keriput membelai rambut lurus Devi.

Devi hanya mengangguk pelan tanpa mengeluarkan satu patah kata pun, lalu berdiri melangkah kekamarnya. Sudut bibirnya terangkat, rasa haru menyelimuti hatinya yang sedang hancur tak berbentuk, pandanganya berputar ke setiap sudut kamarnya.

Ukuran kamatnya tidak terlalu besar, tiga kali emat. Dengan candela kecil, tempat tidur kecil, meja dan kursi. Perlahan Devi mendekati meja belajar yang sudah tua usianya tapi masih kokoh berdiri. Itu dulu meja dan kursi buatan Bapak waktu Devi mau masuk sekolah menengah dasar.

Kini ia meraih pigura foto waktu ijab qabul dengan Devan, dengan kebaya putih dan rambut di sanggul dengan konde di belakang, dirinya di sebelah Devan yang sedang menjabat seorang laki-laki (wali nikah) mengucapkan ikrar suci perkawinan. 

Air matanya kembali menetes, lalu ia meletakakan kembali pigura itu dengan keadaan menghadap meja, sambil menghapus air mata yang membasahi pipinya.

Perlahan Ia duduk di atas ranjang, pandanganya kembali ke sekelilingnya. Tidak ada satu debu, apa lagi jaring laba-laba yang menempel. Sudah pasti Namy membersihkan kamarnya meskipun, setelah menikah jarang tidur di sana.

           

“Kamarmu selalu ibu bersihkan, siapa tau kamu pulang terus nginep.” Suara Namy tiba-tiba melintas dipikiranya. Kata-kata yang diucapkan lewat udara beberap bulan lalu.

Dan kini benar, Devi kembali tidur di kamarnya waktu masih sendiri, dan kini ia sendiri lagi.

Perlahan ia merebahkan diri, tidur terlentang. Satu tangan di atas kening. Sesaat ia berbalik badan, beberapa menit berubah lagi posisi tubuhnya kekanan dan kiri. Pikiranya resah, ia terus saja memikirkan Devan, sesaat suara desahan itu melintasi pikiranya.

Terlintas Devi kecewa dengan dirinya sendiri yang tak punya nyali untuk sekedar mengetuk pintu kamar itu, menampar pipi Devan atau hanya sekedar mengumpat di hadapanya. Entah apa yang di pikirnya memilih pergi begitu saja membiarkan binatang jalang di dalam rumahnya.

Jika dengan bawahannya Devi mampu bertindak tegas, tapi entah mengapa tadi malam ia begitu kesulitan untuk meluapkan emosinya.

Apakah ini karma dari Tuhan? Kata-kata itu terus berputar-putar di pikirannya walapun Devi sudah berkali-kali menepisnya.

Malam ini Devi hanya tidur kurang dari dua jam dengan kualitas tidur sangat buruk, matanya terpejam tapi pikiranya terus menari-nari teringat Devan bersama Si Ular Berbisa kadang diberganti dengan ingatan buruk tentang kejadian beberapa minggu lalu di Surabaya.

Ke dua bola matanya terbuka sekilas melihat jam bulat di dinding, waktu menunjukan pukul lima lebih sepuluh menit. Saat ini badannya berasa pecah. Perjalanan Surabaya ke Solo menyetir mobil seorang diri demi memberi kejuatan Devan, yang di dapatkan hanya duri yang membuat luka di seluruh tubuhnya.

Kini suara ayam berkokoh saling bersautan, burung-burung berkicau riang menyambut pagi. Terdengar pintu kamarnya di buka. Namy membawa nasi goreng kesukanan Devi ke dalam kamar. Sekilas matanya melihat ke arah pigura yang berubah posisi, lalu ia menarik nafas dalam hatinya penuh tanda tanya dalam dan merubah pandangnya pada putrinya yang sedikit tengkurap.

“Ayo sarapan!” bujuk Namy sambil menyentuh lembut pundak Devi yang membelakanginya.

“Ini masih terlalu pagi buat sarapan Bu,” jawab Devi dengan lesu, badannya yang masih merinkuk.

"Ngak apa-apa, biasanya kamu sarapan pagi-pagi buta. Nasi gorengnya enak loh!" pinta Namy.

Perut Devi tiba–tiba mual, rasanya isi dalam perutnya ingin di keluarkan semuanya. Devi dengan cepat bangun dan berlari ke kamar mandi. Namy dengan langkah tertatih-tatih mengikuti dari belakang.

Dimuntahkan isi dalam perutnya, aroma tak sedap menusuk tajam hidungnya. Membuat perutnya seperti diaduk-aduk. Seketika itu badanya terasa lemas. Perlahan ia melangkah keluar.

“Kamu nyidam?” tanya Namy berbinar saat Devi kelur dari kamar mandi.

“Iya bu," jawab Devi dengan senyum tipis, wajah suram.

“Allhamdullilah, berapa bulan?”

“Belum tahu Bu, belum ke dokter baru kemarin Devi tes sendiri.”

“Suamimu sudah tahu?” tanya Namy.

Devi mengelengkan kepala. Air matanya jatuh kembali mendengar nama Devan di sebut. Lalu melangkah duduk di kursi ruang tamu, Namy masih mengikuti dari belakang sambil membawa segelas air putih lalu diberikan pada Devi. Hatinya begitu miris melihat putrinya menangis dari semalam, sejak ia datang.

“Ada apa dari semalam kamu nangis terus? Kamu ada masalah sama Devan?” tanya Namy, sambil duduk di sebelah Devi.

Devi yang baru meneguk air putih itu lalu mengangguk pelan. Bibirnya tak mampu mengelurkan sepatah kata pun.

“Ada masalah apa? Jangan bikin tambah binggung ibu!” Wajah Namy begitu cemas, kini jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

“Devan selingkuh Bu.” Bibir Devi keluh tak mampu mengeluarkan kata–kata lebih panjang lagi. Tangisnya semakin kencang, satu telapak tanganya menutupi kedua matanya.

Badan tua Namy bergetar, sepertinya dia tak percaya menantunya berbuat keji kepada putri semata wayangnya. “Kamu tahu dari mana?”

“Aku lihat dia bersama wanita di rumah Bu!” Devi memeluk Namy dengan sangat erat. Rasanya sulit sekali bebicara jika mengingat suaminya semalam bersama wanita lain. “Dia tidur dengan wanita lain Bu.”

Kini Namy ikut terguncang. Badannya lemas. Bibirnya keluh, tak mampuh berkata apa pun.

Seharusnya hari ini jadi hari bahagia untuknya, mendengar kabar dia akan memiliki cucu pertama. Tapi, kabar itu juga beriringan dengan kabar duka.

“Bu, Devi bantu! Jangan bilang ke Devan kalo aku hamil,” pinta Devi, sambil menatap sendu Namy.

Namy tak mampuh menjawab apa pun. Dia tahu betul apa yang  dirasakan putri semata wayangnya ini.

“Aku akan tinggal sama Ibu, mau—kan?” Devi melanjutkan ucapanya.

Namy membelai rambut halus Devi. “Ini rumahmu kapan pun kamu bisa tinggal di sini.”

Fajarnya di ujuk timur dengan langit warna oren telihat indah, suara burung mulai berkicau riang di pohon mangga menari-nari riang. Udara pagi yang dingin terasa di permukaan kulit Devi, perlahan tubuhnya jatuh di pelukan Namy.

Tangan wanita tua yang perlahan membelai rambut Devi yang panjangnya sebahu, diulangnya beberapa kali. Kini matanya mulai berembun.

“Ibu mau ikut bersamaku ke Surabaya, sementara kita tinggal di sana?” Devi mendongak, matanya memandang Namy.

*

Di lain tempat pasangan haram seolah-olah sedang bermalam di surga yang mereka ciptakan sendiri. Dua bola mata warna coklat terbuka perlahan, memandang laki-laki di sebelahnya yang bertelanjang dada berselimut kain tebal.

“Sayang bangun! Kamu mau kerja atau terus menerus di kamar ini?” tanya Dewi dengan manja.

“Aku ingin selalu bersamamu saya!” satu ciuman mendarat di leher Dewi.

Dewi membalas dengan kecupan mesra di bibir Devan. Satu demi satu sentuhan yang sama-sama diinginkan berlalu begitu saja, mematahkan akal sehat dua sejoli, otak yang di mabuk asmara lupa akan segalanya. Seolah–olah mereka pasangan paling bahagia. Saling menuntaskan hasratnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Arief Mixagrip
nah bagus ternyata
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Pesona Sang CEO   Bab 3. Kepergian Devi

    Pagi semakin terang, fajar mulai semakin percaya diri menampakan cahayanya. Dua sejoli berjalan terburu-buru masuk kedalam mobil, lalu tancap gas meninggalkan pekarangan rumah, seolah-olah sedang dikejar babi hutan. “Kenapa sih harus terburu-buru? Masih pagi juga!” Mulut Dewi monyong sambil merilik Devan yang sedang sibuk memutar stir mobil. “Bukan begitu, kalo kesiangan dikit nanti tetangga tahu kamu di rumah. Kamu mau mereka lihat kamu?” tanya Devan santai. Dewi mengeleng pelan, wajahnya sedikit kusut karena kecewa. Memang sial nasib seorang wanita simpanan. Ia harus bersembunyi seperti pencuri, walapun sama-sama suka. Sebenarnya Dewi sudah muak dengan semua ini, tapi apa daya perasaan yang sudah terlanjur dalam, sulit untuk menjauh dari Devan, sedetik pun. “Sudah jangan cemberut! Nanti aku kasih uang buat ke salon ya!” Devan menoleh kea rah Dewi sambil tersenyum mempesona.

  • Pesona Sang CEO   Bab 4. Menghapus Kenangan

    Hay pembaca yang baik hati, saya Zedan Zee sebagai penulis mengucapkan terimakasi telah menikmati tulisan saya. Oh ya… kalian dapat mengomentari setiap paragaf yang kalian baca, dengan klik paragaf yang ingin kalian beri komentar, lalu klik icon komentar. Dan saya harap kalian meluangkan waktu untuk memberikan bintang lima untuk karya saya!Memberi bintang lima itu gratis dan saya akan bahagia jika kalian melakukanya. Ingat! Membahagikan orang lain itu pahalanya banyak, maukan dapat pahala yang banyak? Selamat membaca!*Tepat hari ini Devi terakir di kantor, sekilas itu termenung memandang ruangan kerja yang selama ini menjadi tempat ternyaman setelah rumah, yang sekarang sudah menjadi neraka. Pikiranya terus menari-nari tak menentu, kecerdasan otaknya saat ini rasanya benar-benar menghilang. Nyaris ia frustasi dengan garis takdirnya.“Tuhan, aku harus bagaimana?” keluh Devi

  • Pesona Sang CEO   Bab 5. Secerca Harapan

    Mario memasukkan kedua tanggannya ke dalam saku celana, kedua bola matanya memandang pemandangan sedih. Devi memeluk rekan-rekanya di kantor satu persatu. Semua jajaran staf dan manajer sudah berusaha untuk mengurungkan niatnya, tapi pecuma. Devi tetap ingin mengundurkan diri.Setiap rekannya bertanya alasan ia mengundurkan diri, hanya satu kata yang terlontar “bosan”. Jawaban bohong dan tak masuk akal. Hanya Mario-lah yang tahu persis alasan Devi mengapa ia berhenti berkerja.Devi memang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala, ucapanya tegas dan singkat. Tidak bisa di ganggu gugat. Ya… oleh itu ia terkenal manajer paling angkuh, jangan sampai membuat kesalahan kalo tidak mau dicerca sampai tengah malam. Tapi di dalam dirinya memancarkan karisma, mungkin kalo laki-laki ia begitu berwibawa.Dia juga terkenal baik kepada semua rekan kerja, dari jabatan office boy sampai CEO sekalipun. Tidak pel

  • Pesona Sang CEO   Bab 6. Mantra

    Udara malam di musim kering terasa dingin, kalo orang Jawa bilang musim bedidih. Tak heran jika siang panas seperti membakar kulit, jika menjelang malam udara seperti di puncak gunung. Dingin sekali.Seorang wanita usia hampir kepala tiga narik nafas panjang sambil memandang langit, luas tak terbatas, kedua lengan tanganya menyila di depan dadanya merasakan hawa dingin menyapu kulitnya.Masih sama seperti dulu di saat merasakan gundah gulana, Devi akan selalu menatap langit. Sambil mengucapkan sesuatu dalam hatinya“Masalahku kecil, di banding nikmat yang Kuasa.” Kalimat itu yang selalu terbesit jika ia merasa resah. Semacam matra ajaib yang selalu ia ulang-ulang dalam hatinya.Semua berawal dari Ayah Devi sewaktu kecil, ketika dirinya mengeluh saat kesulitan mengerjakan PR atau hal apa pun yang membuatnya tak suka. Hingga dirinya menjelang dewasa selalu terucap dari bibir Ayah.

  • Pesona Sang CEO   Bab 7. Sembilan Bulan Mengandung

    Cuaca panas menyengat setiap kulit yang telanjang, saat waktu masih menunjukan pukul sembilan pagi. Devi membuka pintu mobil, buru-buru melangkah sekilas menoleh mengisaratkan Tarjo untuk meninggalkanya.Tanganya mendorong hendle pintu, memasuki salon yang berdiri di jajaran ruko dua lantai.“Pagi Bu Devi!”Seru dua orang pegawai salon yang sedang merapikan majalah di atas meja.Seperti biasa Devi tak menjawab, hanya mengangguk pelan dan melanjutkan langkahnya melewati beberapa kursi yang biasa untuk pengunjung potong rambut.Di sudut ruangan paling belakang sebelahan dengan tangga tampak meja sederhana, di atasnya terdapat beberapa alat tulis, buku motifasi, buku seputar mengandung dan leptop. Perlahan Devi duduk, sambil tangannya menyalakan leptop di hadapnya.Perlahan lapak tangannya membelai halus perut yang mulai buncit.

  • Pesona Sang CEO   Bab 8. Sulitnya Ibu Melahirkan

    Tak pernah terbayangkah sebelumnya jika proses menyusui begitu menyakitkan. Tidak sekedar mengeluarkan tetek di balik baju lalu dekatkan di mulut bayi. Tak sesederhana itu bagi ibu baru, termasuk Devi.Ketika mulut mungil warna kebiruan dengan lahap berusaha menghisap tonjolan di dada Devi. Rasanya luar biasa perih, sakit seperti diiris dengan sebilah pisau. Rasa itu semakin menyakitkan ketika si mungil Jessy tiba-tiba menangis setelah satu menit menghisab tonjolan di dada Devi.Tak ada air berwarna putih yang keluar dari tubuh Devi, yang ada cairan kental berwarna kuning . Itu pun keluar saat Devi menekan keras bagian ujung putingnya. Bukan hanya buah dadanya saja yang sakit, tapi hatinya juga ikut merasakan ngilu. Ibu mana yang tak merana jika air kehidupan tak kunjung keluar?Namy terus mendesak untuk memberikan susu formula pada bayi Jessy, kuatir dengan cucu kesayangnya telah menguning sebab ku

  • Pesona Sang CEO   Bab 9. Dokter Susy

    Tiga bulan yang lalu, sebelum Jessy lahir Devi sudah merasakan beban berat soal uang. Empat orang yang berkerja untuknya. Tarjo, Mbok Min dan dua pegawai salon semua harus di gaji. Uang tabungan hampir terkuras habis untuk modal, sedangkan salon Devi belum seberapa ramai walapun setiap harinya selalu ada peningkat pengunjung.Keuntungan salon cukup untuk membayar dua pegawai dan membeli kebutuhan salon. Perkiraan satu tahun baru berjalan normal, syukur-syukur semakin meningkat.Dengan sangat terpaksa Devi berniat memperhentikan Tarjo, berkurangnya satu pegawai bisa mengurangi beban pikirnya. Toh dirinya bisa mengendari mobil sendiri.Uang warna merah empat puluh lembar sudah siap di amplop, Devi berniat menghampiri Tarjo yang sedang duduk di teras. Siapa sangka orang tua itu sedang berbicara di telefon.Devi tidak tahu persis Tarjo bicara dengan siapa yang jelas menganggil

  • Pesona Sang CEO   Bab 10. Pria di Pusaran Makam

    Waktu berlalu begitu cepat tak terasa proses mengandung, melahirkan hingga menyusui telah terlewati dengan susah payah. Tiga tahun penuh perjuangan. Bukan hanya soal merawat anak dan mendidiknya tapi proses pemulihan luka yang terus saja dicoba dan dicoba lagi namun tak kunjung sembuh dengan sempurna. Tidak semua kesakitan melahirkan nestapa. Kadang kesakitan melahirkan kekuatan bagi mereka yang mau berjuang Devi memang gagal dalam urusan cinta tapi untuk hal lain dirinya pemenangnya. Patah hati tidak menghancurkan seluruh hidupnya. Luka yang masih membara setiap kali melihat pelupuk mata gadis kecil yang kini berusia dua tahun, dua bola mata itu mengingatkan pada sosok bajingan, sosok lelaki yang pernah Devi cinta dan selalu dibanggakan. Tapi hanya gadis kecil itu yang menjadi semangat hidup Devi, ambisinya besar untuk memberikan semua hal yang istimewa. Termasuk

Bab terbaru

  • Pesona Sang CEO   Tamat

    “Bekerja di bidang apa Bu?” tanya Max sangat kaku.“Jangan panggil Bu. Terlalu formal. Panggil saya Devi,” pungkas Devi tegas.Max menelan ludah. Dia salah lagi. “Oh maaf Devi. Kamu bekerja di bidang apa?”“Salon kecantikan. Kamu?”“Kontruksi. Pantas saja.” Max tersenyum lebar ke arah Devi sambil mengendalikan kemudi.Kening Devi sedikit mengkerut. “Pantas apa?”“Cantik.”Devi tersenyum lalu melihat ke arah jalan raya yang semakin padat. Dia tidak terlalu tertarik dengan jawaban Max, menurutnya terlalu berlebihan.Entah angin dari mana, ucapan Susi kembali mengema. Seperti kaset yang diputar berulang dengan kalimat yang sama. “Cobalah dekat dengan pria dan lunakan hatimu.”Max tidak terlalu buruk. Di usia yang sama dengan Devi yang telah memasuki kepala empat tubuhnya masih segar bugar dan tampan. Bicaranya juga sopan, memiliki anak seusia Jessy. Dia pasti juga pengalaman menjadi orang tua. Pasti cukup nyambung untuk sekedar bicara dan ngobrol lebih jauh.Devi mulai berpresepsi tentan

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 19. Max, Si Pria Kekar

    Devi berjalan terburu-buru setelah memarkirkan mobilnya di halaman sekolah Jessy. Dia terlambat lima menit menghadiri rapat pengambilan rapot Jessy.Akan tetapi langkah kaki itu terhenti ketika sebuah mobil sedan warna hitam melintas tepat di hadapnya kemudian berbelok hendak parkir di samping mobilnya.Suara retakan terdengar keras di belakang Devi. Kedua bola matanya melihat dengen jelas bagimana orang itu menabrak spion mobilnya. Dan kini langkah Devi benar-benar terhenti.Niat untuk segera masuk ke ruang kelas Jessy terhenti seketika. Dia perlu membuat perhitungan dengan orang tolol yang telah menabrak mobilnya.Devi berdiri di samping mobil sedan warna hitam, menunggu sang empu keluar dari dalam mobil. Orang itu harus diberi pelajaran, siapa tahu dia sebernarnya orang yang tidak mahir membawa mobil namun nekat mengendarai.Sepatu datar mengkilat dengan moncong sedikit keatas keluar terlebih dahulu dari dalam mobil. Seorang pria dengan tubuh kekar dengan kemeja yang minim keluar d

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 18. Haruskah Berkencan dengan Pria?

    Mantan kekasih adalah belegu.Sebuah kalimat yang cocok untuk Devi saat ini. Rangga kembali datang menawarakan sebuah pertemanan, namun bukan itu sebenarnya. Devi mengerti tidak ada pertemanan murni dengan mantan.Kemungkinan untuk masuk ke jurang yang sama masih jelas ketara. Akan tetapi jika terus menerus menghindari Rangga justru semakin pria itu terpacu adrenalin.Devi harus melalukan sesuatu agar berhenti mengusiknya.“Oke. Aku memaafkanmu, kita bisa berteman. Tapi tolong beri aku ruang dan waktu. Tidak mudah aku kembali pada masalalu walau hanya untuk berteman!” Suara Devi terdengar sedikit kaku dengan dua bola mata menatap penuh ke arah Rangga.“Beri aku waktu!”Rangga berdehem. “Apa yang harus aku lakukan?”“Dua minggu saja kamu berhenti menemuiku?”“Kenapa?” tanya Rangga.“Beri aku ruang dan waktu!”Pertemuan itu berlangsung cukup sengit. Namun, membuahkan hasil bagi Devi. Pria itu pergi dari ruangan Devi, meskipun dengan perasaan yang begitu kacau.Kini yang ada hanya Devi y

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 17. Penyesalan

    Satu bulan setelah pertemuan itu Devi menolak untuk bertemu Rangga. Bahkan urusan kerja sama dengan Erlangga ia serahkan penuh ke Susi. Ia benar-benar menolak untuk bertemu dengan Rangga.Rasa tersinggung karena ucapan Rangga kala itu masih lekat di otak Devi. Namun, siapa sangka selama satu bulan itu juga Rangga tidak berhenti mengusik dirinya. Dari mengirim buket bunga sampai makanan hingga beberapa batang coklat.Akan tetapi akhir dari buket bunga-bunga itu ialah tong sampah jika untuk makanan Devi biarkan karyawan yang menghabiskan semua.Sedikit pun ia tak lagi terkesan dengan godaan yang diberikan Rangga.Sebenarnya hal itu ia lakukan agar untuk menjaga hati akan rayuan Rangga. Ia tahu pria itu sudah berubah, tidak lagi sama seperti dahulu. Kini Rangga lekat dengan alkohol dan rumor-rumor miring.Devi juga tak bisa menampik kabar yang beredar jika Rangga saat ini sedang dekat dengan beberapa model dan juga artis kontroversial. Beberapa kali Rangga datang ke kantor, tapi Devi

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 16. Kencan Dengan Masalalu

    Berdua dengan mantan kekasih yang pernah mencintai begitu dalam adalah siksaan nyata. Urat di belakang leher Devi terasa kaku, jantung terus dipacu berdetak lebih keras. Sesekali Rangga mentap lalu buang muka, dan itu sedikit memuakan untuk Devi. Tapi itu tidak berlangsung lama ketika ponsel Devi berbunyi, meskipun itu panggilan hanya dari staf kantor dan bisa dialihkan tapi hal itu menjadi kesempatan Devi untuk keluar ruangan itu. Dan ia dengan sengaja kembali dua puluh menit kemudian ketika semua sudah berkumpul di bilik 55. Meeting dan sekaligus makan sing berlangsung singkat; dua jam. Kali ini Devi hanya berkata jika perlu, tidak banyak basa basi apalagi bercanda, terlebih lagi Rangga. Pria itu hanya menjadi pendengar, sambil terus memainkan mata ke arah Devi. Semua setuju project akan digarap satu minggu yang akan datang. Sebagai bentuk penutup acara semua yang ada dalam ruangan itu saling berjabat tangan. Termasuk Rangga dengan Devi. Akan tetapi jabat tangan kali ini Rangga d

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 15. Di Bilik 55

    Kurang dari tiga puluh menit pertemuan di mulai. Seorang pria dengan kacamata hitam bertubuh tinggi dengan rambut sedikit ikal berjalan memasuki bilik ruangan no 55. Di pertemuan ini pria itu sengaja mengenakan kemeja kualitas premiun berbahan flannel, dengan lengan panjang. Dan untuk celana ia mengenakan celana jins warna hitam. Pria itu juga mengenakan sepatu kanvas dengan model kasual sebuah penampilan sederhana tapi tetap modis. Untuk pertemuan dan tebar pesona. Namun langkahnya terhenti sebelum memasuki ruangan itu. Dari cela pintu kaca terlihat jelas sosok wanita yang sangat ia kenali. Dua mata Rangga kini tak lepas dari sosok wanita dengan dres berwarna hitam polos berkalung mutiara sedang duduk menatap ponsel. Bersyukur wanita itu fokus ke poselnya, hingga tidak menyadari kehadiran Rangga. Rangga bergumam, sedikit kesal ternyata Devi jauh lebih dahulu sampai restoran. Padahal pria itu percaya diri jika kehadiranya menjadi hal yang mengejutkan bagi Devi. Tapi sebaliknya ia

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 14. Kembalinya Rangga

    Devi sengaja datang lebih awal di restoran tempat ia akan meeting. Ia memilih restoran di hotel paling terkenal mewah di Surabaya dengan menu-menu ala Itali. Beberapa kali Susi dan Iqbal sedikit komentar tentang restoran yang dianggapnya sedikit berlebihan. Akan tetapi hal itu tidak jadi beban Devi. Ia rela datang satu jam lebih awal untuk memastikan semua maksinal. Menu makanan, minuman ia memilih yang paling laris dan enak. Ia bahkan berani memberi tips khusus untuk kepala staf pelayan restoran itu, untuk tidak mengecewakan dirinya apa lagi relasi bisnis. Hal itu ia lakukan bukan hanya semata-mata meeting dengan Erlangga tetapi bakal calon tiga model yang akan membintangi produknya. Semua bukan orang sembarangan. Salah satunya ia Devi kenal betul. Luar dan dalam model itu. Sepuluh tahun berlalu sejak berpisah dengan Rangga kini ia harus bertemu kembali. Bukan untuk urusan pribadi tapi untuk urusan bisnis. Hal itu ia benci tapi sulit sekali untuk ia hindari. Dan semua itu terjadi

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 13. Kembalinya Masalalu

    Hari ini tidak sepenuhnya menyebalkan untuk Devi, karena sore hari pukul tiga ia telah menandatangi kontrak kerja sama dengan brand fashion terkenal di Indonesia dan dua tahun belakangan sudah masuk ke skala Internasional. ERINA, sebuah brand fashion baju yang kini sedang digadungi nyaris semua lapisan masyarakat Indonesia.Setidaknya dengan kolaborasi dengan brand ERINA, sudah dipastikan produk sekaligus salon yang Devi kelolah bakal semakin melesat. Bukan hanya di Indonesia tapi juga kawasan Asia Tenggara.“Untuk urusan model serahkan pada saya. Saya akan mencari model atau artis yang bisa membawa berlian untuk produk kita.” Pria dengan rambut hitam mengkilat itu melepas kaca matanya, dilipat lalu diselipkan ke kantong kemeja. Ialah Erlangga pria berusia empat puluh tahun, pemilik tunggal brand ERINA.“Tentu saya akan senang. Saya percaya pilihan Pak Erlangga. Semua tahu jika beberapa tahun ini ERINA tidak pernah gagal mengeluarkan produk.” Devi tersenyum puas. Begitu pula dengan Su

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 12. Ibu Otoriter

    Perang dingin itu belum usai hingga sarapan ke esok harinya. Jessy masih dengan mulut rapat, lekuk wajah kaku. Dan hal itu sering terjadi jika Jessy sedang marah. Sebaliknya bagi Devi hal itu bukan hal yang memberatkan pikiran, ia sudah biasa dengan sikap kaku Jessy. Toh berjalan waktu nanti semua akan membaik.“Untuk sekolah SMA, mama udah dapat sekolah yang pas buat kamu Jes. Sekolah ternama, ramah untuk siswi putri dan kurikulumnya menurut mama bagus.” Devi tersenyum manis sambil memandang wajah Jessy yang semakin tertunduk. “Mama juga sudah daftarkan Jessy les matematika dan fisika juga. Mungkin nanti juga akan ada les model, Mama pengen nanti kalau Jessy udah tujuh belas tahun jadi model di salon Mama.”Jessy terdiam, lemas. Selera makan semakin menghilang bahkan semangkuk sup sedari tadi hanya ia incim kurang dari tiga kali. Dan kini benar-benar ia tak ingin melanjutkan sarapan. Perutnya terasa sudah penuh seketika sejak Devi mengatakan urusan sekolah.Dua mata Devi mulai menga

DMCA.com Protection Status