Waktu berlalu begitu cepat tak terasa proses mengandung, melahirkan hingga menyusui telah terlewati dengan susah payah. Tiga tahun penuh perjuangan. Bukan hanya soal merawat anak dan mendidiknya tapi proses pemulihan luka yang terus saja dicoba dan dicoba lagi namun tak kunjung sembuh dengan sempurna.
Tidak semua kesakitan melahirkan nestapa.
Kadang kesakitan melahirkan kekuatan bagi mereka yang mau berjuang
Devi memang gagal dalam urusan cinta tapi untuk hal lain dirinya pemenangnya. Patah hati tidak menghancurkan seluruh hidupnya.
Luka yang masih membara setiap kali melihat pelupuk mata gadis kecil yang kini berusia dua tahun, dua bola mata itu mengingatkan pada sosok bajingan, sosok lelaki yang pernah Devi cinta dan selalu dibanggakan.
Tapi hanya gadis kecil itu yang menjadi semangat hidup Devi, ambisinya besar untuk memberikan semua hal yang istimewa. Termasuk
Maaf ya saya up datenya lama, hmmm saya sedang mengikuti kelas menulis dengan harapan karya saya semakin berkualitas dan menyenangkan untuk jadi bahan hiburan teman-teman.
Hay pembaca yang tersayang, saya mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya jika up date bab terlambat hingga tiga minggu lamanya. Bismillah dengan ini saya lanjutkan lagi menulis untuk menghibur kalian semua. * Kini Jessy kecil menangis meronta di pelukan Devi yang berjalan meninggalkan pusaran makam ayahnya. Pria di sebarang mulai melepas kaca mata yang melingkar di kedua bola matanya, seolah-olah menganggu pandanganya, kini matanya tajam melihat Devi yang mulai menjauh. “Sudah sayang, itu bukan mainan!” Devi mencium kening Jessy yang masih meraung-raung. Secepat kilat tangan kanannya membuka pintu mobil dan masuk, seolah-olah bersembunyi di dalam mobil. Jantungnya kini berdekat kencang, matanya terus melihat kebelakang tak memperdulikan Jessy yang tantrum. Devi benar-benar kwatir jika sosok itu menghampirinya. Tapi yang terlihat hanya tubuh gemuk Namy yang menuju mobil. &nbs
Rangga mulai menyadari sikap kakak iparnya yang semakin dingin. Setatusnya sebagai adik kandung Devan tidaklah pantas jika ikut campur rumah tangga yang mereka jalani, memang lancang tapi rasa penasaran tidak bisa ia bendung. Apa lagi pertemuannya dengan Jessy membuat hatinya terus bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi dengan rumah tangga kakaknya. “Saya minta maaf Mbak, jika tidak sopan,” celetuk Rangga memecah keheningan, sorot matanya begitu tenang tapi tak ada keberanian untuk memandang Devi. Devi tak menjawab hanya mengangguk pelan, beberapa kali menarik nafas panjang berusaha membuang semua sumbatan di dalam dadanya. “Hmmm, Jessy itu anak Mbak?” Devi tersenyum kecut. “Ya,” jawabnya. Kali ini air mata Devi menetes perlahan, bibir warna kemerahanya perlahan menyampaikan tutur kata masalalu yang teramat kelam. Nadanya tak beraturan kadang tinggi sesaat kem
“Saya anak satu-satunya dan saya kelurganya. Saya yang akan mengantarnya hingga keliang kubur.” Mata Devi mantap penuh kemarahan pada suster di hadapanya.Kemarahan di dalam diri Devi sebenarnya kepada perampok-perampok itu, tapi entah mengapa suster itu berhasil memantik kemarahan Devi semakin menjadi. Ya, sekarang Devi tak punya siapa pun selain Jessy. Namy sejak kecil adalah anak tunggal dan keluarga dari Ayah Devi hanya satu yaitu kakak kandung Ayah yang sudah menetap di Amerika.Suster itu lantas tertunduk dan pergi begitu saja tak mengucapkan apa pun, mungkin hatinya sedikit tersinggung dengan ucapan ketus Devi tapi dirinya cukup mengerti atau bahkan sering meladeni orang yang kehilangan semacam Devi.Semua berjalan cepat dan mulus. Devi ikut memandikan Namy sambil mengendong Jessy yang tertidur lelap dan menyaksikan proses pengkafanan yang dilakukan oleh petugas rumah sakit. Satu jam kemudian Devi tela
Lima menit lebih dua detik Devi menangis di pelukan Rangga setelah dirasa gumpalan di dalam dada telah memudar Devi perlahan melepas dekapannya.“Di mana Jessy?”Rangga tersenyum tipis dan menjawab, “Jessy pulang bersama Pak Saman dan istrinya. Katanya mau di ajak mandi dan makan.”“Aku terlalu sibuk dengan kesedihanku hingga melupakan orang yang butuh perhatianku.” Senyuman getir menghiasai wajah Devi.Keduanya berdiri kembali tertunduk memandang bungga segar di atas gundukan makam. Saat itulah Devi tersadar akan kehadiran Rangga di makam bukan suatu kebetulan belaka. Sekilas Devi melirik tubuh jangkung Rangga dan kembali menghapus air mata yang membasahi pipinya.“Kamu tahu dari mana ibuku meninggal?” Suara pelan Devi memecah keheningan.“Hari ini adalah hari kematian Ibu, tepat yang ke tiga tahun. Niatk
Ada sesuatu hal yang tak begitu sederhana untuk dikatakan di antara dua manusia yang mempunyai unek-unek berbeda. Rangga sekarang sedikit canggung setelah mengentahui jika awal mula kesalahan terletak pada kakak kandungnya bukan Devi yang pergi begitu saja tanpa alasan. Hal itulah yang tidak pernah dibicarakan Devan waktu itu, hanya mengatakan jika Devi pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas. Rangga juga membantu Devan kala itu untuk menyakinkan pada Lydia jika kakak iparnya itu orang baik-baik walaupun tak berbuah manis. Tapi dirinya menjadi tempat ternyaman Lydia untuk menumpahkan isi hati perihal Devan dan menantunya yang tak kunjung hamil meskipun Rangga lebih banyak mendengarkan. Saat itu memang Rangga tak tertarik untuk ikut campur urusan rumah tangga Devan. Ada sedikit penyelasan di hati Rangga mengapa ibunya mati lebih cepat sebelum melihat cucu yang dinantikan benar-benar hadir ke dunia, tapi Rangga lebih menyesali menutupi r
Devan mulai gagap jika surat itu ia berikan, pasti Dewi akan melarang datang kepersidangan. Itu artinya Devan setuju dengan gugatan perceraian. Tapi kalo tak diberikan pasti Dewi akan menaruh curiga, ngomel dan bertengkar lagi seperti biasanya. Sedangkan Devan masih ragu dengan keputusannya . “Pinjamlah! Tapi aku ingin makan dulu.” Devan melangkah ke ruang makan disusul Dewi berjalan di belakang. Sebenarnya Devan sempat mencari keberadaan Devi setelah satu tahun ditinggalkan. Tapi nihil. Di rumah mertuanya tak ada manusia, di tempat hotel Devi berkerja tak ada satu pun orang yang tahu kemana Devi pergi. Mencari ke teman-teman waktu sekolah pun tak ada satu pun yang tahu. Semua itu ia lakukan tanpa sepengetahuan Dewi. Meskipun awalnya menikmati kepergian Devi nyatanya Devan sulit menghapus bayang-bayang Devi dari benaknya. Kadang ketulusan, kasih sayang dan cinta baru dirasa jika pelakunya sud
Hasrat yang sudah tidak tertahankan yang Devan rasakan, sesuatu di dalam tubuhnya minta dikeluarkan. Tubuhnya yang gempal berdiri dan berjalan ke samping rumah, melepas kancing celana jins yang ia kenakan kemudian menurunkan resleting mengeluarkan pusaka miliknya. Kaki Devan maju selangkah tubuhnya hampir menghimpit tembok berusaha menyembunyikan pusaka yang menjulur di balik celananya. Air kencing membasahi tembok rumah, tak perduli itu rumah siapa yang penting Devan segera kencing. Lalu kembali ke tempat duduk semula sambil meraih bungkus rokok di atas meja. Bungkus rokok kosong yang bergambar terselip gambar leher bolong itu kosong. Devan menarik nafas panjang sambil meremas bungkus lalu melemparnya sembarangan. Hanya ditemani puluhan bahkan ratusan nyamuk yang bergantian mencicipi darahnya Devan terus menunggu berharap ada manusia datang memberi kabar soal Devi. Berkali-kali menepuk nyamuk yang sudah gendut mengisap darahnya, gatal di kaki dan
Dada Rangga sedikit bergetar tapi masih mampu mengusai emosi membuatnya tak begitu menampilkan kepanikan. Tak ada pilihan lain selain menatap wajah kakaknya yang mudah tersulut emosi. “Wow ... kejutan apa ini?” kata Devan. “Gini Mas, kita bicara dulu!” suara Rangga sangat bergetar. Dengan sangat tergesa-gesa Devi turun dari mobil melangkah menuju rumah. Devan yang melihat Devi menghindar lantas mengikuti dari arah belakang meninggalkan Rangga. “Dev ... Dev ... tunggu!” Devi terdiam tak menjawab atau pun menoleh, kini berdiri di hadapan pintu merogoh tasnya mencari kunci rumah. Karena panik Devi hanya mengaduk-aduk tas tak menemukan kunci yang ia cari. “Kita tak perlu bicara!” kata Devan di sampingnya. Devi tetap sama tak menoleh atau menjawab tanganya terus mencari kunci di dalam tas. “Dev!” Suara Devan terdengar keras. Tangan Devi berhenti bergerak, tertunduk sejenak. “Mau apa?” “Jelaskan semua!” “Apa lagi yang harus aku jelaskan?” Tangan Devan kembali mengepal kuat, dadany
“Bekerja di bidang apa Bu?” tanya Max sangat kaku.“Jangan panggil Bu. Terlalu formal. Panggil saya Devi,” pungkas Devi tegas.Max menelan ludah. Dia salah lagi. “Oh maaf Devi. Kamu bekerja di bidang apa?”“Salon kecantikan. Kamu?”“Kontruksi. Pantas saja.” Max tersenyum lebar ke arah Devi sambil mengendalikan kemudi.Kening Devi sedikit mengkerut. “Pantas apa?”“Cantik.”Devi tersenyum lalu melihat ke arah jalan raya yang semakin padat. Dia tidak terlalu tertarik dengan jawaban Max, menurutnya terlalu berlebihan.Entah angin dari mana, ucapan Susi kembali mengema. Seperti kaset yang diputar berulang dengan kalimat yang sama. “Cobalah dekat dengan pria dan lunakan hatimu.”Max tidak terlalu buruk. Di usia yang sama dengan Devi yang telah memasuki kepala empat tubuhnya masih segar bugar dan tampan. Bicaranya juga sopan, memiliki anak seusia Jessy. Dia pasti juga pengalaman menjadi orang tua. Pasti cukup nyambung untuk sekedar bicara dan ngobrol lebih jauh.Devi mulai berpresepsi tentan
Devi berjalan terburu-buru setelah memarkirkan mobilnya di halaman sekolah Jessy. Dia terlambat lima menit menghadiri rapat pengambilan rapot Jessy.Akan tetapi langkah kaki itu terhenti ketika sebuah mobil sedan warna hitam melintas tepat di hadapnya kemudian berbelok hendak parkir di samping mobilnya.Suara retakan terdengar keras di belakang Devi. Kedua bola matanya melihat dengen jelas bagimana orang itu menabrak spion mobilnya. Dan kini langkah Devi benar-benar terhenti.Niat untuk segera masuk ke ruang kelas Jessy terhenti seketika. Dia perlu membuat perhitungan dengan orang tolol yang telah menabrak mobilnya.Devi berdiri di samping mobil sedan warna hitam, menunggu sang empu keluar dari dalam mobil. Orang itu harus diberi pelajaran, siapa tahu dia sebernarnya orang yang tidak mahir membawa mobil namun nekat mengendarai.Sepatu datar mengkilat dengan moncong sedikit keatas keluar terlebih dahulu dari dalam mobil. Seorang pria dengan tubuh kekar dengan kemeja yang minim keluar d
Mantan kekasih adalah belegu.Sebuah kalimat yang cocok untuk Devi saat ini. Rangga kembali datang menawarakan sebuah pertemanan, namun bukan itu sebenarnya. Devi mengerti tidak ada pertemanan murni dengan mantan.Kemungkinan untuk masuk ke jurang yang sama masih jelas ketara. Akan tetapi jika terus menerus menghindari Rangga justru semakin pria itu terpacu adrenalin.Devi harus melalukan sesuatu agar berhenti mengusiknya.“Oke. Aku memaafkanmu, kita bisa berteman. Tapi tolong beri aku ruang dan waktu. Tidak mudah aku kembali pada masalalu walau hanya untuk berteman!” Suara Devi terdengar sedikit kaku dengan dua bola mata menatap penuh ke arah Rangga.“Beri aku waktu!”Rangga berdehem. “Apa yang harus aku lakukan?”“Dua minggu saja kamu berhenti menemuiku?”“Kenapa?” tanya Rangga.“Beri aku ruang dan waktu!”Pertemuan itu berlangsung cukup sengit. Namun, membuahkan hasil bagi Devi. Pria itu pergi dari ruangan Devi, meskipun dengan perasaan yang begitu kacau.Kini yang ada hanya Devi y
Satu bulan setelah pertemuan itu Devi menolak untuk bertemu Rangga. Bahkan urusan kerja sama dengan Erlangga ia serahkan penuh ke Susi. Ia benar-benar menolak untuk bertemu dengan Rangga.Rasa tersinggung karena ucapan Rangga kala itu masih lekat di otak Devi. Namun, siapa sangka selama satu bulan itu juga Rangga tidak berhenti mengusik dirinya. Dari mengirim buket bunga sampai makanan hingga beberapa batang coklat.Akan tetapi akhir dari buket bunga-bunga itu ialah tong sampah jika untuk makanan Devi biarkan karyawan yang menghabiskan semua.Sedikit pun ia tak lagi terkesan dengan godaan yang diberikan Rangga.Sebenarnya hal itu ia lakukan agar untuk menjaga hati akan rayuan Rangga. Ia tahu pria itu sudah berubah, tidak lagi sama seperti dahulu. Kini Rangga lekat dengan alkohol dan rumor-rumor miring.Devi juga tak bisa menampik kabar yang beredar jika Rangga saat ini sedang dekat dengan beberapa model dan juga artis kontroversial. Beberapa kali Rangga datang ke kantor, tapi Devi
Berdua dengan mantan kekasih yang pernah mencintai begitu dalam adalah siksaan nyata. Urat di belakang leher Devi terasa kaku, jantung terus dipacu berdetak lebih keras. Sesekali Rangga mentap lalu buang muka, dan itu sedikit memuakan untuk Devi. Tapi itu tidak berlangsung lama ketika ponsel Devi berbunyi, meskipun itu panggilan hanya dari staf kantor dan bisa dialihkan tapi hal itu menjadi kesempatan Devi untuk keluar ruangan itu. Dan ia dengan sengaja kembali dua puluh menit kemudian ketika semua sudah berkumpul di bilik 55. Meeting dan sekaligus makan sing berlangsung singkat; dua jam. Kali ini Devi hanya berkata jika perlu, tidak banyak basa basi apalagi bercanda, terlebih lagi Rangga. Pria itu hanya menjadi pendengar, sambil terus memainkan mata ke arah Devi. Semua setuju project akan digarap satu minggu yang akan datang. Sebagai bentuk penutup acara semua yang ada dalam ruangan itu saling berjabat tangan. Termasuk Rangga dengan Devi. Akan tetapi jabat tangan kali ini Rangga d
Kurang dari tiga puluh menit pertemuan di mulai. Seorang pria dengan kacamata hitam bertubuh tinggi dengan rambut sedikit ikal berjalan memasuki bilik ruangan no 55. Di pertemuan ini pria itu sengaja mengenakan kemeja kualitas premiun berbahan flannel, dengan lengan panjang. Dan untuk celana ia mengenakan celana jins warna hitam. Pria itu juga mengenakan sepatu kanvas dengan model kasual sebuah penampilan sederhana tapi tetap modis. Untuk pertemuan dan tebar pesona. Namun langkahnya terhenti sebelum memasuki ruangan itu. Dari cela pintu kaca terlihat jelas sosok wanita yang sangat ia kenali. Dua mata Rangga kini tak lepas dari sosok wanita dengan dres berwarna hitam polos berkalung mutiara sedang duduk menatap ponsel. Bersyukur wanita itu fokus ke poselnya, hingga tidak menyadari kehadiran Rangga. Rangga bergumam, sedikit kesal ternyata Devi jauh lebih dahulu sampai restoran. Padahal pria itu percaya diri jika kehadiranya menjadi hal yang mengejutkan bagi Devi. Tapi sebaliknya ia
Devi sengaja datang lebih awal di restoran tempat ia akan meeting. Ia memilih restoran di hotel paling terkenal mewah di Surabaya dengan menu-menu ala Itali. Beberapa kali Susi dan Iqbal sedikit komentar tentang restoran yang dianggapnya sedikit berlebihan. Akan tetapi hal itu tidak jadi beban Devi. Ia rela datang satu jam lebih awal untuk memastikan semua maksinal. Menu makanan, minuman ia memilih yang paling laris dan enak. Ia bahkan berani memberi tips khusus untuk kepala staf pelayan restoran itu, untuk tidak mengecewakan dirinya apa lagi relasi bisnis. Hal itu ia lakukan bukan hanya semata-mata meeting dengan Erlangga tetapi bakal calon tiga model yang akan membintangi produknya. Semua bukan orang sembarangan. Salah satunya ia Devi kenal betul. Luar dan dalam model itu. Sepuluh tahun berlalu sejak berpisah dengan Rangga kini ia harus bertemu kembali. Bukan untuk urusan pribadi tapi untuk urusan bisnis. Hal itu ia benci tapi sulit sekali untuk ia hindari. Dan semua itu terjadi
Hari ini tidak sepenuhnya menyebalkan untuk Devi, karena sore hari pukul tiga ia telah menandatangi kontrak kerja sama dengan brand fashion terkenal di Indonesia dan dua tahun belakangan sudah masuk ke skala Internasional. ERINA, sebuah brand fashion baju yang kini sedang digadungi nyaris semua lapisan masyarakat Indonesia.Setidaknya dengan kolaborasi dengan brand ERINA, sudah dipastikan produk sekaligus salon yang Devi kelolah bakal semakin melesat. Bukan hanya di Indonesia tapi juga kawasan Asia Tenggara.“Untuk urusan model serahkan pada saya. Saya akan mencari model atau artis yang bisa membawa berlian untuk produk kita.” Pria dengan rambut hitam mengkilat itu melepas kaca matanya, dilipat lalu diselipkan ke kantong kemeja. Ialah Erlangga pria berusia empat puluh tahun, pemilik tunggal brand ERINA.“Tentu saya akan senang. Saya percaya pilihan Pak Erlangga. Semua tahu jika beberapa tahun ini ERINA tidak pernah gagal mengeluarkan produk.” Devi tersenyum puas. Begitu pula dengan Su
Perang dingin itu belum usai hingga sarapan ke esok harinya. Jessy masih dengan mulut rapat, lekuk wajah kaku. Dan hal itu sering terjadi jika Jessy sedang marah. Sebaliknya bagi Devi hal itu bukan hal yang memberatkan pikiran, ia sudah biasa dengan sikap kaku Jessy. Toh berjalan waktu nanti semua akan membaik.“Untuk sekolah SMA, mama udah dapat sekolah yang pas buat kamu Jes. Sekolah ternama, ramah untuk siswi putri dan kurikulumnya menurut mama bagus.” Devi tersenyum manis sambil memandang wajah Jessy yang semakin tertunduk. “Mama juga sudah daftarkan Jessy les matematika dan fisika juga. Mungkin nanti juga akan ada les model, Mama pengen nanti kalau Jessy udah tujuh belas tahun jadi model di salon Mama.”Jessy terdiam, lemas. Selera makan semakin menghilang bahkan semangkuk sup sedari tadi hanya ia incim kurang dari tiga kali. Dan kini benar-benar ia tak ingin melanjutkan sarapan. Perutnya terasa sudah penuh seketika sejak Devi mengatakan urusan sekolah.Dua mata Devi mulai menga