Bagaimana jika dirimu diberi dua pilihan yang sama-sama punya konsekunsi besar? Bertahan dengan orang yang salah atau pergi dengan sejuta dendam?
Tepat pukul satu dini hari Devi sampai pekarang rumah, di badannya masih melekat pakaian formal, bekas rapat siang tadi di Surabaya. Bibir dipenuhi senyuman, kedua netra tertujuh pada kue coklat lengkap dengan tulisan anniversary satu tahun dan satu lilin yang menyala di tengah-tengah kue.
Langkah kaki jenjang dengan balutan celana panjang warna hitam dan alas kaki sepatu flat dengan bungga di bagian tengah, penuh kehati-hatian melangkah menuju pintu. Satu tangannya merogoh saku blazer hitam yang melekat di tubuhnya, mengambil kunci rumah yang sengaja ia bawa.
Dengan sangat hati-hati Devi mendorong pegangan pintu agar tak mengeluarkan suara, berharap kejutan untuk suaminya sesuai harapan. Langkah kakinya masuk ruang tamu yang remang-remang minim cahaya. Hanya ada satu lampu kecil yang menerangi ruang tamu itu.
Tapi untuk menerangi benda di sekitarnya masih sangat jelas, kini bola mata yang berbinar berubah menjadi mata seekor elang yang tajam. Devi hampir tak percaya dengan apa yang dirinya lihat. Tanganya bergetar hebat diikuti detak jantung berirama keras. Kelopak matanya berkedip keras memastikan yang dilihatnya salah.
Sepatu wanita, tas mungil warna merah jambu, long dres di atas sofa.
Kini telinganya merdengar suara cekikian mesra sepasang manusia di kamar tengah, yang selama ini kosong. Devi seperti dihatam batu besar pas mendarat di telinga.
“Kamu luar biasa sayang.” Suara serak khas Devan dari dalam kamar.
“Kamu bisa aja mas!”
Suara perempuan itu terdengar sangat manja, membuat bulu halus di tubuh Devi serasa berdiri tegak. Badannya bergetar hebat, tubuh terasa panas, giginya gemeletuk menahan amarah.
Perlahan kini langkahnya menuju pintu, berusaha tidak mengeluarkan suara apapun.
“Gimana kalo Devi tahu aku di sini Mas?” wanita dalam kamar itu bertanya.
“Tenang saja! Katanya Devi pulang besok sore sayang. Jangan berfikir macam – macam! ” kata Davin sambil mencium kening wanita yang sedang di sampingnya. Kecupan itu sampai terdengar keluar kamar.
“Kapan Mas Davin nikahin aku? Masak aku jadi simpanan terus? ”
“Bentar sayang, nanti aku atur waktu dulu!”
Devi meletakan telingan di pintu, percakapan itu jelas masuk ke indra pendengarnya. Tak lama kemudian terdengar suara gelora vitalitas dua insan yang sedang memadu kasih. Suara ciuman dan desahan saling bergantian.
Devi berusaha berjijit memercingkan mata di lobang kecil yang letaknya sedikit di atas. Meskipun kecil untuk sekedar melihat kondisi kamar tetap terlihat jelas.
Pakaian dalam berceceran, dua insan diatas ranjang tanpa busana sedang bermadu kasih. Cukup tiga detik saja Devi melihatnya. Devan pasangan yang sangat ia cintai saat ini sedang diatas tubuh seorang wanita.
Menjijikan!
Perempuan yang bersama Devan, sosok yang sangat dikenal Devi. Tak menyangka Si Ular Dewi sejauh ini akan mengoda suaminya.
Air mata Devi mengalir deras, dua kali menutup mulutnya berusaha tidak mengeluarkan suara. Tubuhnya lemas, saat itu juga terduduk di depan pintu kamar.
Suara erangan itu masih berlanjut seolah-olah dunia ini milik mereka berdua hingga melumpuhkan akal sehat membuat semakin gemuruh di dalam dada Devi tubuhnya serasa semakin lemas ia tak tahan berusaha berdiri dan melangkah cepat menuju kamar. Sekotak perhiasan ia masukkan ke dalam tas , kemudian Devi kembali menuju meja ruang tamu meraih kue coklat sekilas ke deua mata Devi melihat lilin sudah meleleh merusah dekorasi kue. Kemudian melangkah keluar menutup pintu dan melanjutkan langkahnya lantas melempar kue coklat dengan sekuat tenaga ke dalam got depan rumah.
Tangisan itu akirnya pecah di dalam mobil, air mata wanita malang menetes bercampur keringat dingin di sekujur tubuhnya. Berkali-kali memukul stir di hadapanya, mengigit kotak tisu tanpa maksut yang jelas.
"Dasar bangsat, keparat!" umpat Devi kasar.
Suara lolongan anjing dan hewan malam saling bersautan menambah ngilu hati siapapun yang mendengar tangisan kemarahan wanita malang itu. Tubuhnya merangkul erat stir mobil seolah-olah hanya benda itu yang menjadi sadaranya. Merintih dengan suara sangat memelas meratapi nasibnya.
“Maafkan Mama nak! Maafkan mama! ”
Devi mengusap perutnya yang masih rata dan terus mengulai kata yang sama, terus menerus. Air matanya terus menetes seolah-olah tak bisa berhenti.
Raungan itu kini terhenti, tapi air mata tak kunjung ingin berhenti. Kini Devi menangis tanpa suara. Terdiam dalam sepi, pikiranya kosong nyaris seperti orang gila.
Ingatanya tegelam saat sebelum Devi berangkat ke Surabaya, Devan masih mendekapnya dan menciumnya dengan mesra. Siapa sangka kekasih hatinya juga melakukan hal yang sama dengan Dewi. Menjijikan!
“Sayang kapan mau berhenti kerjanya? Kalo kamu sering ke luar kota terus kapan kita fokus ke progam hamil, ” tanya Devan sambil menerapkan Devi dari belakang.
“Iya sayang, sebentar lagi kantor lagi sibuk banget ini. Aku janji jika kewajibanku sudah kelar aku berhenti kerja,” ujar Devi dengan lembut.
“Minggu lalu 2 hari di Surabaya sekarang Surabaya lagi!” keluh manja Devan sambil mengoyangkan badan Devi ke kanan-kiri. “Biar Ibu tambah sayang sama kita kalo kita bisa kasih cucu.”
“Iya sayang.” Devi meraba ubun-ubun Devan.
"Ya udah kita coba lagi yuk!” pinta Devan sambil mencium pundak Devi.
Devi hanya diam pasrah saat Devan mencumbuhnya. Hingga terjadi perang yang sama-sama di inginkan sepasang kekasih.
“Semoga kita berhasil ya sayang!” ucap,” jawab Devan sambil mencium ubun-ubun Devi.
Kini Devi menangis sendiri, di tengah malam gelap gulita. Perlahan kakinya menekan gas mobil terus melesat di kesepian malam. Pergi dari surga yang pernah menjadi tempatnya untuk pulang.
Hatinya hancur tak berbentuk, orang yang dia cintai menghianati cintanya. Kekasih hatinya kini telah menjadi seorang bajingan. Harapan hidupnya kini segumpal orok yang menyatu dengan tubuhnya.
Sudah dua minggu tamu bulanan tak kunjung datang, dengan berdebar mencoba melakukan tes urin secara mandiri, dan hasilnya garis merah dua. Dirinya yang tak percaya mencoba mengulangi kembali, memasukan ujung test pack yang masih baru ke dalam urin. Hasilnya sama, garis dua. Hingga lima alat test pack Devi masukan ke dalam urin menunjukan dirinya telah positif hamil.
Tanpa keraguan sedikit pun, Devi bermaksut menjadikan test pack itu kado spesial satu tahun pernikahanya.
Devi dengan sengaja membatalkan semua rapat yang dilakukan di Surabaya untuk kembali ke Solo, memberi kejutan pada Devan. Saking bahagianya Devi tak perduli jika nanti di pecat dari perusahanya toh dia akan benar-benar berhenti berkerja.
Seperti janjinya dia akan berhenti kerja dan fokus progam hamil. Tapi tanpa progam hamil Tuhan telah mengabulkan doanya.
Tapi rencana itu dulu, sebelum Devan berhianat, mungkin rencana itu akan berubah mulai malam ini atau mungkin selamanya. Karena harapan yang ia miliki telah sirna!
Apakah ini karma dari Yang Maha Kuasa? Bisik dalam hati Devi tenggelam dalam isi kepala dengan sejuta pertanyaan mengapa hidupnya penuh sial.
Devi sampai di halaman rumah Namy, ibunya. Tubuhnya lemas tak berdaya di ambang pintu. Tangganya terus mengetuk pintu dengan kasar. “Ibu bangun! Tolong bangun Ibu!” jerit Devi. Terdengar dari dalam suara kunci pintu dibuka, wanita tua dengan tubuh sedikit berisi keluar dengan panik, tangannya gementar membuka pintu. Tahu benar suara dari luar adalah suara jerit putri semata wayangnya. “Kamu sa—sama siapa?” tanya Namy. Devi tak menjawab. Yang ada hanya isak tangis dari mulutnya. Kedua tangganya membungkam mulutnya. Perlahan Namy meraih pundak Devi membimbingnya masuk dan duduk di kursi kayu jati di ruang tamu. “Kenapa menangis tengah malam begini?” tanya Namy sangat kuatir. Mulut Namy terus bertanya kamu kenapa, dengan siapa kemari dan banyak hal yang ia sudah lontarkan tapi tak ada jawaba
Pagi semakin terang, fajar mulai semakin percaya diri menampakan cahayanya. Dua sejoli berjalan terburu-buru masuk kedalam mobil, lalu tancap gas meninggalkan pekarangan rumah, seolah-olah sedang dikejar babi hutan. “Kenapa sih harus terburu-buru? Masih pagi juga!” Mulut Dewi monyong sambil merilik Devan yang sedang sibuk memutar stir mobil. “Bukan begitu, kalo kesiangan dikit nanti tetangga tahu kamu di rumah. Kamu mau mereka lihat kamu?” tanya Devan santai. Dewi mengeleng pelan, wajahnya sedikit kusut karena kecewa. Memang sial nasib seorang wanita simpanan. Ia harus bersembunyi seperti pencuri, walapun sama-sama suka. Sebenarnya Dewi sudah muak dengan semua ini, tapi apa daya perasaan yang sudah terlanjur dalam, sulit untuk menjauh dari Devan, sedetik pun. “Sudah jangan cemberut! Nanti aku kasih uang buat ke salon ya!” Devan menoleh kea rah Dewi sambil tersenyum mempesona.
Hay pembaca yang baik hati, saya Zedan Zee sebagai penulis mengucapkan terimakasi telah menikmati tulisan saya. Oh ya… kalian dapat mengomentari setiap paragaf yang kalian baca, dengan klik paragaf yang ingin kalian beri komentar, lalu klik icon komentar. Dan saya harap kalian meluangkan waktu untuk memberikan bintang lima untuk karya saya!Memberi bintang lima itu gratis dan saya akan bahagia jika kalian melakukanya. Ingat! Membahagikan orang lain itu pahalanya banyak, maukan dapat pahala yang banyak? Selamat membaca!*Tepat hari ini Devi terakir di kantor, sekilas itu termenung memandang ruangan kerja yang selama ini menjadi tempat ternyaman setelah rumah, yang sekarang sudah menjadi neraka. Pikiranya terus menari-nari tak menentu, kecerdasan otaknya saat ini rasanya benar-benar menghilang. Nyaris ia frustasi dengan garis takdirnya.“Tuhan, aku harus bagaimana?” keluh Devi
Mario memasukkan kedua tanggannya ke dalam saku celana, kedua bola matanya memandang pemandangan sedih. Devi memeluk rekan-rekanya di kantor satu persatu. Semua jajaran staf dan manajer sudah berusaha untuk mengurungkan niatnya, tapi pecuma. Devi tetap ingin mengundurkan diri.Setiap rekannya bertanya alasan ia mengundurkan diri, hanya satu kata yang terlontar “bosan”. Jawaban bohong dan tak masuk akal. Hanya Mario-lah yang tahu persis alasan Devi mengapa ia berhenti berkerja.Devi memang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala, ucapanya tegas dan singkat. Tidak bisa di ganggu gugat. Ya… oleh itu ia terkenal manajer paling angkuh, jangan sampai membuat kesalahan kalo tidak mau dicerca sampai tengah malam. Tapi di dalam dirinya memancarkan karisma, mungkin kalo laki-laki ia begitu berwibawa.Dia juga terkenal baik kepada semua rekan kerja, dari jabatan office boy sampai CEO sekalipun. Tidak pel
Udara malam di musim kering terasa dingin, kalo orang Jawa bilang musim bedidih. Tak heran jika siang panas seperti membakar kulit, jika menjelang malam udara seperti di puncak gunung. Dingin sekali.Seorang wanita usia hampir kepala tiga narik nafas panjang sambil memandang langit, luas tak terbatas, kedua lengan tanganya menyila di depan dadanya merasakan hawa dingin menyapu kulitnya.Masih sama seperti dulu di saat merasakan gundah gulana, Devi akan selalu menatap langit. Sambil mengucapkan sesuatu dalam hatinya“Masalahku kecil, di banding nikmat yang Kuasa.” Kalimat itu yang selalu terbesit jika ia merasa resah. Semacam matra ajaib yang selalu ia ulang-ulang dalam hatinya.Semua berawal dari Ayah Devi sewaktu kecil, ketika dirinya mengeluh saat kesulitan mengerjakan PR atau hal apa pun yang membuatnya tak suka. Hingga dirinya menjelang dewasa selalu terucap dari bibir Ayah.
Cuaca panas menyengat setiap kulit yang telanjang, saat waktu masih menunjukan pukul sembilan pagi. Devi membuka pintu mobil, buru-buru melangkah sekilas menoleh mengisaratkan Tarjo untuk meninggalkanya.Tanganya mendorong hendle pintu, memasuki salon yang berdiri di jajaran ruko dua lantai.“Pagi Bu Devi!”Seru dua orang pegawai salon yang sedang merapikan majalah di atas meja.Seperti biasa Devi tak menjawab, hanya mengangguk pelan dan melanjutkan langkahnya melewati beberapa kursi yang biasa untuk pengunjung potong rambut.Di sudut ruangan paling belakang sebelahan dengan tangga tampak meja sederhana, di atasnya terdapat beberapa alat tulis, buku motifasi, buku seputar mengandung dan leptop. Perlahan Devi duduk, sambil tangannya menyalakan leptop di hadapnya.Perlahan lapak tangannya membelai halus perut yang mulai buncit.
Tak pernah terbayangkah sebelumnya jika proses menyusui begitu menyakitkan. Tidak sekedar mengeluarkan tetek di balik baju lalu dekatkan di mulut bayi. Tak sesederhana itu bagi ibu baru, termasuk Devi.Ketika mulut mungil warna kebiruan dengan lahap berusaha menghisap tonjolan di dada Devi. Rasanya luar biasa perih, sakit seperti diiris dengan sebilah pisau. Rasa itu semakin menyakitkan ketika si mungil Jessy tiba-tiba menangis setelah satu menit menghisab tonjolan di dada Devi.Tak ada air berwarna putih yang keluar dari tubuh Devi, yang ada cairan kental berwarna kuning . Itu pun keluar saat Devi menekan keras bagian ujung putingnya. Bukan hanya buah dadanya saja yang sakit, tapi hatinya juga ikut merasakan ngilu. Ibu mana yang tak merana jika air kehidupan tak kunjung keluar?Namy terus mendesak untuk memberikan susu formula pada bayi Jessy, kuatir dengan cucu kesayangnya telah menguning sebab ku
Tiga bulan yang lalu, sebelum Jessy lahir Devi sudah merasakan beban berat soal uang. Empat orang yang berkerja untuknya. Tarjo, Mbok Min dan dua pegawai salon semua harus di gaji. Uang tabungan hampir terkuras habis untuk modal, sedangkan salon Devi belum seberapa ramai walapun setiap harinya selalu ada peningkat pengunjung.Keuntungan salon cukup untuk membayar dua pegawai dan membeli kebutuhan salon. Perkiraan satu tahun baru berjalan normal, syukur-syukur semakin meningkat.Dengan sangat terpaksa Devi berniat memperhentikan Tarjo, berkurangnya satu pegawai bisa mengurangi beban pikirnya. Toh dirinya bisa mengendari mobil sendiri.Uang warna merah empat puluh lembar sudah siap di amplop, Devi berniat menghampiri Tarjo yang sedang duduk di teras. Siapa sangka orang tua itu sedang berbicara di telefon.Devi tidak tahu persis Tarjo bicara dengan siapa yang jelas menganggil
“Bekerja di bidang apa Bu?” tanya Max sangat kaku.“Jangan panggil Bu. Terlalu formal. Panggil saya Devi,” pungkas Devi tegas.Max menelan ludah. Dia salah lagi. “Oh maaf Devi. Kamu bekerja di bidang apa?”“Salon kecantikan. Kamu?”“Kontruksi. Pantas saja.” Max tersenyum lebar ke arah Devi sambil mengendalikan kemudi.Kening Devi sedikit mengkerut. “Pantas apa?”“Cantik.”Devi tersenyum lalu melihat ke arah jalan raya yang semakin padat. Dia tidak terlalu tertarik dengan jawaban Max, menurutnya terlalu berlebihan.Entah angin dari mana, ucapan Susi kembali mengema. Seperti kaset yang diputar berulang dengan kalimat yang sama. “Cobalah dekat dengan pria dan lunakan hatimu.”Max tidak terlalu buruk. Di usia yang sama dengan Devi yang telah memasuki kepala empat tubuhnya masih segar bugar dan tampan. Bicaranya juga sopan, memiliki anak seusia Jessy. Dia pasti juga pengalaman menjadi orang tua. Pasti cukup nyambung untuk sekedar bicara dan ngobrol lebih jauh.Devi mulai berpresepsi tentan
Devi berjalan terburu-buru setelah memarkirkan mobilnya di halaman sekolah Jessy. Dia terlambat lima menit menghadiri rapat pengambilan rapot Jessy.Akan tetapi langkah kaki itu terhenti ketika sebuah mobil sedan warna hitam melintas tepat di hadapnya kemudian berbelok hendak parkir di samping mobilnya.Suara retakan terdengar keras di belakang Devi. Kedua bola matanya melihat dengen jelas bagimana orang itu menabrak spion mobilnya. Dan kini langkah Devi benar-benar terhenti.Niat untuk segera masuk ke ruang kelas Jessy terhenti seketika. Dia perlu membuat perhitungan dengan orang tolol yang telah menabrak mobilnya.Devi berdiri di samping mobil sedan warna hitam, menunggu sang empu keluar dari dalam mobil. Orang itu harus diberi pelajaran, siapa tahu dia sebernarnya orang yang tidak mahir membawa mobil namun nekat mengendarai.Sepatu datar mengkilat dengan moncong sedikit keatas keluar terlebih dahulu dari dalam mobil. Seorang pria dengan tubuh kekar dengan kemeja yang minim keluar d
Mantan kekasih adalah belegu.Sebuah kalimat yang cocok untuk Devi saat ini. Rangga kembali datang menawarakan sebuah pertemanan, namun bukan itu sebenarnya. Devi mengerti tidak ada pertemanan murni dengan mantan.Kemungkinan untuk masuk ke jurang yang sama masih jelas ketara. Akan tetapi jika terus menerus menghindari Rangga justru semakin pria itu terpacu adrenalin.Devi harus melalukan sesuatu agar berhenti mengusiknya.“Oke. Aku memaafkanmu, kita bisa berteman. Tapi tolong beri aku ruang dan waktu. Tidak mudah aku kembali pada masalalu walau hanya untuk berteman!” Suara Devi terdengar sedikit kaku dengan dua bola mata menatap penuh ke arah Rangga.“Beri aku waktu!”Rangga berdehem. “Apa yang harus aku lakukan?”“Dua minggu saja kamu berhenti menemuiku?”“Kenapa?” tanya Rangga.“Beri aku ruang dan waktu!”Pertemuan itu berlangsung cukup sengit. Namun, membuahkan hasil bagi Devi. Pria itu pergi dari ruangan Devi, meskipun dengan perasaan yang begitu kacau.Kini yang ada hanya Devi y
Satu bulan setelah pertemuan itu Devi menolak untuk bertemu Rangga. Bahkan urusan kerja sama dengan Erlangga ia serahkan penuh ke Susi. Ia benar-benar menolak untuk bertemu dengan Rangga.Rasa tersinggung karena ucapan Rangga kala itu masih lekat di otak Devi. Namun, siapa sangka selama satu bulan itu juga Rangga tidak berhenti mengusik dirinya. Dari mengirim buket bunga sampai makanan hingga beberapa batang coklat.Akan tetapi akhir dari buket bunga-bunga itu ialah tong sampah jika untuk makanan Devi biarkan karyawan yang menghabiskan semua.Sedikit pun ia tak lagi terkesan dengan godaan yang diberikan Rangga.Sebenarnya hal itu ia lakukan agar untuk menjaga hati akan rayuan Rangga. Ia tahu pria itu sudah berubah, tidak lagi sama seperti dahulu. Kini Rangga lekat dengan alkohol dan rumor-rumor miring.Devi juga tak bisa menampik kabar yang beredar jika Rangga saat ini sedang dekat dengan beberapa model dan juga artis kontroversial. Beberapa kali Rangga datang ke kantor, tapi Devi
Berdua dengan mantan kekasih yang pernah mencintai begitu dalam adalah siksaan nyata. Urat di belakang leher Devi terasa kaku, jantung terus dipacu berdetak lebih keras. Sesekali Rangga mentap lalu buang muka, dan itu sedikit memuakan untuk Devi. Tapi itu tidak berlangsung lama ketika ponsel Devi berbunyi, meskipun itu panggilan hanya dari staf kantor dan bisa dialihkan tapi hal itu menjadi kesempatan Devi untuk keluar ruangan itu. Dan ia dengan sengaja kembali dua puluh menit kemudian ketika semua sudah berkumpul di bilik 55. Meeting dan sekaligus makan sing berlangsung singkat; dua jam. Kali ini Devi hanya berkata jika perlu, tidak banyak basa basi apalagi bercanda, terlebih lagi Rangga. Pria itu hanya menjadi pendengar, sambil terus memainkan mata ke arah Devi. Semua setuju project akan digarap satu minggu yang akan datang. Sebagai bentuk penutup acara semua yang ada dalam ruangan itu saling berjabat tangan. Termasuk Rangga dengan Devi. Akan tetapi jabat tangan kali ini Rangga d
Kurang dari tiga puluh menit pertemuan di mulai. Seorang pria dengan kacamata hitam bertubuh tinggi dengan rambut sedikit ikal berjalan memasuki bilik ruangan no 55. Di pertemuan ini pria itu sengaja mengenakan kemeja kualitas premiun berbahan flannel, dengan lengan panjang. Dan untuk celana ia mengenakan celana jins warna hitam. Pria itu juga mengenakan sepatu kanvas dengan model kasual sebuah penampilan sederhana tapi tetap modis. Untuk pertemuan dan tebar pesona. Namun langkahnya terhenti sebelum memasuki ruangan itu. Dari cela pintu kaca terlihat jelas sosok wanita yang sangat ia kenali. Dua mata Rangga kini tak lepas dari sosok wanita dengan dres berwarna hitam polos berkalung mutiara sedang duduk menatap ponsel. Bersyukur wanita itu fokus ke poselnya, hingga tidak menyadari kehadiran Rangga. Rangga bergumam, sedikit kesal ternyata Devi jauh lebih dahulu sampai restoran. Padahal pria itu percaya diri jika kehadiranya menjadi hal yang mengejutkan bagi Devi. Tapi sebaliknya ia
Devi sengaja datang lebih awal di restoran tempat ia akan meeting. Ia memilih restoran di hotel paling terkenal mewah di Surabaya dengan menu-menu ala Itali. Beberapa kali Susi dan Iqbal sedikit komentar tentang restoran yang dianggapnya sedikit berlebihan. Akan tetapi hal itu tidak jadi beban Devi. Ia rela datang satu jam lebih awal untuk memastikan semua maksinal. Menu makanan, minuman ia memilih yang paling laris dan enak. Ia bahkan berani memberi tips khusus untuk kepala staf pelayan restoran itu, untuk tidak mengecewakan dirinya apa lagi relasi bisnis. Hal itu ia lakukan bukan hanya semata-mata meeting dengan Erlangga tetapi bakal calon tiga model yang akan membintangi produknya. Semua bukan orang sembarangan. Salah satunya ia Devi kenal betul. Luar dan dalam model itu. Sepuluh tahun berlalu sejak berpisah dengan Rangga kini ia harus bertemu kembali. Bukan untuk urusan pribadi tapi untuk urusan bisnis. Hal itu ia benci tapi sulit sekali untuk ia hindari. Dan semua itu terjadi
Hari ini tidak sepenuhnya menyebalkan untuk Devi, karena sore hari pukul tiga ia telah menandatangi kontrak kerja sama dengan brand fashion terkenal di Indonesia dan dua tahun belakangan sudah masuk ke skala Internasional. ERINA, sebuah brand fashion baju yang kini sedang digadungi nyaris semua lapisan masyarakat Indonesia.Setidaknya dengan kolaborasi dengan brand ERINA, sudah dipastikan produk sekaligus salon yang Devi kelolah bakal semakin melesat. Bukan hanya di Indonesia tapi juga kawasan Asia Tenggara.“Untuk urusan model serahkan pada saya. Saya akan mencari model atau artis yang bisa membawa berlian untuk produk kita.” Pria dengan rambut hitam mengkilat itu melepas kaca matanya, dilipat lalu diselipkan ke kantong kemeja. Ialah Erlangga pria berusia empat puluh tahun, pemilik tunggal brand ERINA.“Tentu saya akan senang. Saya percaya pilihan Pak Erlangga. Semua tahu jika beberapa tahun ini ERINA tidak pernah gagal mengeluarkan produk.” Devi tersenyum puas. Begitu pula dengan Su
Perang dingin itu belum usai hingga sarapan ke esok harinya. Jessy masih dengan mulut rapat, lekuk wajah kaku. Dan hal itu sering terjadi jika Jessy sedang marah. Sebaliknya bagi Devi hal itu bukan hal yang memberatkan pikiran, ia sudah biasa dengan sikap kaku Jessy. Toh berjalan waktu nanti semua akan membaik.“Untuk sekolah SMA, mama udah dapat sekolah yang pas buat kamu Jes. Sekolah ternama, ramah untuk siswi putri dan kurikulumnya menurut mama bagus.” Devi tersenyum manis sambil memandang wajah Jessy yang semakin tertunduk. “Mama juga sudah daftarkan Jessy les matematika dan fisika juga. Mungkin nanti juga akan ada les model, Mama pengen nanti kalau Jessy udah tujuh belas tahun jadi model di salon Mama.”Jessy terdiam, lemas. Selera makan semakin menghilang bahkan semangkuk sup sedari tadi hanya ia incim kurang dari tiga kali. Dan kini benar-benar ia tak ingin melanjutkan sarapan. Perutnya terasa sudah penuh seketika sejak Devi mengatakan urusan sekolah.Dua mata Devi mulai menga